Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:
Bertepatan di hari Natal, 25 Desember 1991, bendera merah dengan palu arit kuning diturunkan untuk selama-lamanya. Uni Soviet, sebuah negara dengan luas wilayah seperenam wilayah dunia pun bubar. Kehancuran Soviet diikuti dengan cepat oleh ambruknya imperium komunisme di negara-negara Eropa Timur. Situasi politik global pun berubah. Huntington di dalam Clash of Civilization menyatakan jika “bahaya merah” telah hilang dan digantikan dengan “bahaya hijau”.

Peristiwa tragis, hancurnya Soviet, yang banyak mengejutkan warga dunia sesungguhnya telah dirancang oleh Amerika Serikat jauh sebelum meletus Perang Dunia I. Pada 8 Januari 1918, Presiden AS Woodrow Wilson dalam program 14 pasalnya mengakui bahwa pihaknya telah merancang suatu upaya rekayasa untuk menghancurkan kekuasaan Soviet dan memecah Rusia (Vsyemirnaya Istoria 1961, VII:82)

Usaha ini terhalang oleh dua perang dunia dan setelah 1945, Marshall Plan dicanangkan dan seluruh kekuatan Kapitalisme Barat dikonsentrasikan untuk membendung dan menghancurkan komunisme. CIA melakukan ratusan bahkan ribuan operasi di berbagai negara, baik operasi terbuka maupun yang bersifat tertutup. Negara dunia ketiga menjadi sasaran utama “dekonstruksi kekuasaan” agar tunduk pada kekuatan imperialisme Barat.

Di Guatemala, Jacobo Arbenz digulingkan dan digantikan oleh Kolonel Castillo Armaz. Patrice Lumumba di Kongo digantikan Moise Tschombe dan kemudian Mobutu Sese-Seko. Di Vietnam Selatan, pemerintah yang sah dikudeta dan dinaikkanlah Nguyen Khanh. Lalu Phibul Songram di Thailand digantikan oleh Sarit Thanatah, Syngman Rhee di Korea Selatan digulingkan Jenderal Park Cung Hee, Karim Kasim di Irak digulingkan, Pangeran Norodom Sihanouk di Kamboja digulingkan Jenderal Lon Nol, Salvador Allende di Chile digulingkan Jenderal Augusto Pinochet, dan jangan lupa: Soekarno di Indonesia digulingkan dan digantikan oleh Jenderal Suharto. Semua penggulingan kekuasaan ini didalangi oleh CIA dengan memanfaatkan “The Local Army Friend”.

Di Indonesia maupun di negara-negara dunia ketiga yang penguasanya digantikan oleh penguasa yang bisa diajak bersekutu dengan Amerika Serikat sebagai panglima blok kapitalisme dunia, lembaga-lembaga intelijennya juga bekerja demi memenuhi pesanan dari lembaga intelijen Amerika, dalam hal ini CIA.

Sayangnya, berakhirnya perang dingin di awal 1990-an ternyata tidak diikuti dengan perubahan yang berarti. CIA tetap memiliki kontrol luar biasa, tentu saja secara tertutup, terhadap kebijakan lembaga-lembaga intelijen negara proksinya seperti Indonesia. Jika dahulu dilakukan perburuan terhadap sejumlah orang dan organisasi yang dituduh komunis, maka kini dilakukan perburuan terhadap para aktivis Islam dalam operasi berkedok ‘War On Terrorism”, suatu perang berskala global yang diawali dengan merobohkan Menara Kembar WTC, 11 September 2001.

Kesatuan-kesatuan khusus lokal di sejumlah lembaga keamanan negara pun, militer maupun kepolisian, dibentuk dari, oleh, dan untuk CIA. Bahkan pelatih-pelatih atau instruktur-instruktur bagi kesatuan-kesatuan elit anti teroris ini terdiri dari para agen CIA aktif. Patut ditekankan di sini, seperti halnya wartawan, maka agen intel pun sesungguhnya tidak ada kata pensiun atau”mantan”. Jika dia “keluar” maka itu hanya bersifat sementara dan bisa dibangkitkan setiap waktu untuk mengerjakan suatu tugas. Istilahnya, Sleeping Agent.

Di Indonesia, kasus yang sangat mencolok mata yang membuka adanya hubungan erat antara aparat keamanan Indonesia dengan CIA adalah dalam kasus Al-Faruk. Orang Indonesia keturunan Arab ini ditangkap di Bogor, Jawa Barat, namun dalam waktu singkat diterbangkan diam-diam ke pangkalan militer AS di Bagram, Afghanistan.

Kasus Al-Faruk ini sesungguhnya sangat mencederai rasa kedaulatan dan harga diri bangsa ini. Mengapa Al-Faruk tidak diadili saja di wilayah hukum Indonesia. Adakah Indonesia sungguh-sungguh menjadi negara bagian ke-51 Amerika Serikat? Dan mengapa pula para konglomerat perampok yang sampai sekarang masih saja bersembunyi dengan aman di luar negeri, sekutu Amerika seperti Singapura, tidak diantarkan ke Indonesia? Mengapa kita yang harus selalu melayani mereka? Beginilah jika para pemimpin bangsa masih saja memelihara mentalitas budak, yang selalu siap sedia tunduk pada apa pun keinginan tuannya.

Di masa “Reformasi” ini, bangsa dan negara Indonesia secara de facto benar-benar sebuah bangsa yang bukan saja salah urus, namun memang tidak pernah diurus. Para pemimpinnya terlalu sibuk dengan rebutan proyek demi proyek yang didanai oleh uang rakyat. Pos-pos pajak diperbanyak, negara kian buas menyedot uang rakyatnya, dan segelintir elit bersuka ria bergotong-royong dalam permainan besar bernama The Great Corruption.

Rakyat Indonesia kebanyakan kian hari kian susah dan kian disibukkan dengan urusan sekadar mempertahanan hidup. Semua ini akhirnya membuat bangsa ini lalai terhadap perampokan diam-diam yang tengah dilakukan korporasi-korporasi asing terhadap sumber daya alam negeri bernama Indonesia. Inilah potret nyata negeri kita. (rd)
Tamat

Sumber: http://www.eramuslim.com
Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Jejak CIA di Indonesia (Tamat)"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments