Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,
Yordan, Iran, dan Para Pengkhianat

Jatuhnya Iraq tentu saja tak lepas dari tangan konspirasi banyak pihak. Ketika persengkongkolan telah terbuka di antara mereka, maka saatnya membagi-bagi kue kekuasaan di antara mereka, dengan CIA sebagai kepala mandornya, tentu saja. Menurut Chalabi, hancurnya Iraq sedemikian rupa tidak melulu karena invasi AS begitu saja, namun karena berbagai negara Arab pun mempunyai peran yang juga besar. Ketika Chalabi berada di Kurdistan, ia mendapat telefon dari Raja Hussein (Yordania). Raja Hussein secara terang-terangan meminta pertemuan langsung dengan intelijen Iraq yang tengah bekerja mendekati Saddam. Tak pelak, Raja Hussein disinyalir telah mengetahui rencana kudeta AS.

Raja Hussein pun mengirim kepala intelijen Yordania untuk menemui Chalabi. Intelijen Yordan bertanya apakah mungkin melancarkan konspirasi bermula dari Yordan? Chalabi segera saja menyebutkan gerakan milter yang menentang Saddam. Namun tanpa sebab yang jelas, pada detik-detik terakhir Raja Hussein menarik Yordania dari pesekutuan itu. Sementara Saddam Hussein pun bukannya tak mengetahui. Sebelum ia jatuh dan ia masih mempunyai kekuasaan, setiap kali orang yang bersengkongkol menjatuhkannya diketahui, maka Saddam pun memberikan hukuman.

Namun yang paling memalukan bagi Chalabi adalah kepala intelijen Iraq, Taher Jalil al-Habbosh. Ia dibawa ke Yordan untuk dikorek segala keterangan darinya tentang Iraq dan dibayar sebanyak $5 juta. Permainan terus berjalan sebelum invasi meletus. Para intelijen yang berasal dari negara-negara Arab itu terus-terusan meminta uang. Setiap kali utusan dari CIA datang, dipastikan mereka selalu membawa segepok uang yang sangat banyak, dan segera saja informasi mengalir begitu derasnya. CIA jelas merasa tenang karena banyak pejabat Saddam yang telah bekerja pada dinas intelijen AS itu. Perang pun pecah pada 19 Maret 2003.

Perang bermula dari George Tenet yang bertemu dengan Bush. Tenet mengatakan bahwa semua informasi telah berhasil didapatkan bahkan tentang posisi Saddam yang berada di peternakan di Al-Darwa, Baghdad. Tenet memberikan informasi bahwa Saddam tengah bersama dengan cucu-cucunya, namun Bush, yang semula mempertimbangkannya, menyerukan untuk terus maju saja.

Yang memberitahukan posisi Saddam ini adalah kelompot Kurdistan. Curangnya, semua pelaku konspirasi tidak pernah diberitahu waktu penyerangan itu oleh AS. Yang mereka tahu, bahwa AS telah mendirikan pangkalan militer di Bandara Harir dan Dataran Harir, sebelah utara Shaqlawa dan selatan Jalan Sabilah. Jay Arner, gubernur AS pertama untuk Iraq sama sekali bungkam akan masalah penyerangan ini. Tanggal penyerangan ini, Chalabi memastikan, diputuskan sendiri oleh Bush di Washington, 18 Maret malam.

"Jangan juga dilupakan peran Iran dalam penyerangan ini," ujar Chalabi. "Iran memang tidak terlibat langsung, dan tidak mengirimkan pasukannya. Tapi mereka menyediakan semua fasilitas untuk semua pihak yang bekerja sama dalam penghancuran Iraq." Bahkan jauh sebelum invasi meletus, Iran telah juga ikut bekerja sama, dengan menyediakan tempat pertemuan. "Saya tidak akan pernah menyebutkan nama, tapi para pejabat kelas atas Iran jelas berada di balik penyerangan AS terhadap Iraq. Jika saja Iran tidak bekerja sama dan tidak membantu AS, maka operasi AS di Iraq niscaya akan jauh lebih sulit!" terang Chalabi.

Tidak heran jika setelah invasi AS, rakyat Iraq benar-benar membenci Iran. Karena AS mengingkari janjinya, seketika Iraq berubah menjadi lautan kekacauan. Tidak jelas pembagian kue kekuasaan kepada siapa, makin membuat kondisi semakin parah. Ditambah dengan perlakuan tentara AS yang tak berperikemanusiaan, Iraq tak ubahnya menjadi arena jagal, yang lebih seringnya dilakukan kepada kaum muslim oleh tentara AS.

AS sendiri tak langsung berhasil membunuh Saddam pada hari pertama pernyerangan. Ketika hari kedua mereka pun gagal, mereka makin gelap mata, dengan mengatakan Saddam telah terbunuh di Restoran Al-Saah di Al-Mansur, atau dimanapun itu, tapi semuanya bohong. Saddam bahkan menelefon Chalabi dan mengatakan bahwa ia masih hidup. "Ketika Collin Powell mengetahui saya mengatakan hal itu, ia menjadi berang dan mengatakan saya ini pembohong karena selalu berubah-ubah perkataannya setiap hari." tutur Chalabi. Saddam sendiri ketika itu ternyata berada di rumah tetangganya. Tradisi rakyat Iraq adalah melindungi tetangganya yang tengah kesulitan. AS makin kehilangan muka, dan semua informannya yang berasal dari Arab dicaci-makinya.

Ketika akhirnya AS berhasil menangkap Saddam, itupun karena pengkhianatan seorang keamanannya yang berasal dari Al-Mosallat bernama Muhammad Ibrahim. Seminggu sebelumnya, CIA menangkap Muhammad Ibrahim di rumah Saddam yang tengah dijaganya. Ia mengatakan bahwa Saddam ada di rumah itu, tapi tentara AS tak pernah berhasil menemukannya. Akhirnya para tentara AS terus berjaga di dalam rumah Saddam, sampai kemudian salah seorang tentara menginjak sebuah kabel listrik tanpa sengaja. Ia menelusuri kabel itu yang membawanya ke sebuah lubang. Para tentara menelusuri lubang itu dan di dalamnya mereka menemukan lubang yang lain. Terus begitu, hingga akhirnya menemukan Saddam memegang banyak dokumen, uang 700 ribu dollar, sebuah senapan mesir dan sebuah pistol. Tentara AS mengarahkan senapannya kepada Saddam dan Saddam mengatakan, "Aku Saddam Hussein, Presiden Republik Iraq!" Wajah Saddam dipenuhi dengan jenggot.

"Saddam tidak berusaha melawan. Dia ditangkap pada 12 Desember. Setelah dilakukan test DNA, mereka segera menggelandangnya ke sebuah helikopter dan mebawanya ke bandara." tutur Chalabi. Apa yang terjadi setelah Saddam ditangkap? Challabi ditelefon oleh Paul Bremer, gubernur AS untuk Iraq. Ketika Chalabi bertemu dengan Saddam, Bremer menawarinya untuk melihat saja melalui layar televisi, tapi Chalabi menolak. Ia pun masuk ke dalam kamar yang berukuran 5X3 meter. Dilihatnya Saddam tengah tidur di sebuah tempat tidur militer dan dijaga ketat oleh tentara.

Ketika Saddam dibangunkan dan melihat Chalabi, Saddam sangat terpukul. Mereka duduk berhadapan. "Saya tidak bisa mengatakan apa-apa kepada Saddam. Saya melihat dua hal dalam dirinya: ketidakpeduliannya pada situasi global dan standarnya dalam kekuasaan, sekaligus juga kelemahannya dalam mempercayai orang. Dia adalah seorang yang narsis, dia selalu berpikir apa yang dilakukannya adalah benar tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu." ujar Chalabi. Tapi tidak ada yang lebih membuat Chalabi takut ketika ia melihat kenyataan di Baghdad. Situasi tidak terkendali. Selama 35 tahun Saddam berkuasa masih lebih baik dibandingkan dengan hanya beberapa jam setelah Saddam ditangkap. Kota berubah menjadi ganas, rakyat menjadi tak terlindungi.

Ada banyak tokoh yang kemudian menemui Saddam, di antaranya adalah Muwaffaq al-Rubaie, penasihat keamanan nasional Iraq. Saddam hanya berkata kepada al-Rubaie yang menganut Syiah, "Anda seorang pengkhianat!". Sedangkan ketika Adnan Pachachi, seorang politisi Iraq, menemuinya, Saddam ditawari untuk pergi ke Kuwait, mungkin sebagai penebusan rasa bersalahnya kepada Saddam, dan Saddam hanya mengatakan, "Mengapa Anda melakukan itu?", dan Pachachi pun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam bukunya yang diterbitkan di AS, Pachachi mengatakan, "Semua terjadi di masa lalu. Saya hanya menyaksikan saja tanpa bisa berbuat apa-apa..."

Yang paling membuat Chalabi sangat puas adalah Saddam tak pernah mau berbicara dengan Paul Bremer, bahkan untuk sepatah katapun. "Saddam tidak terlihat ketakutan. Ketika tinggal hanya saya dan Dr. Pachachi, dia berbicara, 'Seumur hidup, aku akan selalu memerangi Amerika, dan sekarang pun aku tengah memerangi mereka!'" tutur Chalabi. Yang bisa diingat oleh Chalabi adalah, semua orang yang berkhianat kepada Saddam terus menyesali perbuatannya sampai kini, bahkan ketika beberapa saat setelah Saddam tertangkap.
Bersambung...
Sumber: http://www.eramuslim.com
Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Detik-detik Invasi Amerika ke Irak (2)"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments