Previous Next
  • Perang Teluk

    Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah Perang Delapan Tahun dengan Iran dalam perang Iran-Irak. Irak sangat membutuhkan petro dolar sebagai pemasukan ekonominya sementara rendahnya harga petro dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas Ladang Minyak Rumeyla sekalipun pada pasca-perang melawan Iran, Kuwait membantu Irak dengan mengirimkan suplai minyak secara gratis. Selain itu, Irak mengangkat masalah perselisihan perbatasan akibat warisan Inggris dalam pembagian kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Usmaniyah Turki. Akibat invasi ini, Arab Saudi meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi pada 6 Agustus 1990...

  • 5 Negara yang Terpecah Akibat Perang Dunia II

    Negara yang terpecah adalah sebagai akibat Perang Dunia II yang lalu di mana suatu negara diduduki oleh negara-negara besar yang menang perang. Perang Dingin sebagai akibat pertentangan ideologi dan politik antara politik barat dan timur telah meyebabkan negara yang diduduki pecah menjadi dua yang mempunyai ideologi dan sistem pemerintahan yang saling berbeda dan yang menjurus pada sikap saling curiga-mencurigai dan bermusuhan. Setelah perang dunia kedua, terdapat empat negara yang terpecah-pecah, antara lain:

  • Serangan Sultan Agung 1628 - 1629

    Silsilah Keluarga Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Dilahirkan tahun 1593, merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyokrowati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banowati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan. Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat. Yang menjadi Ratu Wetan adalah putri dari Batang keturunan Ki Juru Martani, melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I)...

  • Perang Dingin

    Perang Dingin adalah sebutan bagi sebuah periode di mana terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara Amerika Serikat (beserta sekutunya disebut Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta sekutunya disebut Blok Timur) yang terjadi antara tahun 1947—1991. Persaingan keduanya terjadi di berbagai bidang: koalisi militer; ideologi, psikologi, dan tilik sandi; militer, industri, dan pengembangan teknologi; pertahanan; perlombaan nuklir dan persenjataan; dan banyak lagi. Ditakutkan bahwa perang ini akan berakhir dengan perang nuklir, yang akhirnya tidak terjadi. Istilah "Perang Dingin" sendiri diperkenalkan pada tahun 1947 oleh Bernard Baruch dan Walter Lippman dari Amerika Serikat untuk menggambarkan hubungan yang terjadi di antara kedua negara adikuasa tersebut...

  • Perang Kamboja-Vietnam

    Pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan saigon tahun 1975, negara-negara anggota ASEAN mencemaskan kemungkinan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Asia Tenggara. Ketegangan terus memuncak mengingat ASEAN adalah negara-negara Non-Komunis sedangkan negara-negara Indochina adalah negara komunis. Kemenangan Vietnam pada Perang Vietnam sudah tentu mengkhawatirkan ASEAN ditengah rencana Amerika Serikat untuk mengurangi kehadiran pasukannya yang selama ini secara tak langsung melindungi ASEAN dari invasi komunis ke kawasan tersebut...

Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

Konflik Mindanao mulai tercermin tatkala regim kolonial Spanyol yang menguasai kawasan Filipina Utara, atau yang lebih dikenal dengan kepulauan Luzon, mencoba memperluas kekuasaan ke daerah selatan. Regim Spanyol hampir tidak mengalami perlawanan yang berarti tatkala menguasai wilayah kepulauan bagian tengah, yang lebih dikenal sebagai daerah Visayas.

Namun ketika Spanyol mencoba melakukan penetrasi kekuasaan ke wilayah Mindanao, terutama dibagian paling utara, regim Spanyol mendapatkan perlawanan yang sangat keras dari beberapa kasultanan Islam yang kokoh berdiri di Mindanao. Spanyol berulang kali melakukan upaya untuk menguasai Mindanao dalam kurun waktu hampir 350 tahun, namun usaha tersebut mengalami kegagalan karena kohesifnya politik kasultanan di Mindanao, baik di kasultanan Sulu, Maguindanao ataupun di Sultan Kudarat. Ketiga-ketiganya mampu membangun pertahanan yang kokoh untuk menghadapi berbagai strategi yang diterapkan pemerintah Spanyol untuk menguasai Mindanao secara keseluruhan.


Tatkala regim kolonial Spanyol berhasil dikalahkan oleh kekuatan Amerika Serikat, melalui perjanjian Paris dalam formula “barter” . Namun yang menjadi persoalan besar adalah Amerika Serikat berupaya memperluas wilayah kolonialnya di Filipina sampai ke wilayah selatan, yang selama ini tidak pernah dikuasai Mindanao. Pada awalnya upaya memperluas wilayah ke selatan dilakukan secara persuasif. Amerika Serikat mengundang beberapa Sultan di Mindanao untuk diajak berbincang tentang upaya pengembangan kawasan secara bersama-sama.

Langkah ini disambut cukup apresiatif oleh beberapa sultan Mindanao. Dalam sebuah ulasan menarik yang ditulis McKenna tentang upaya demonstrative Amerika Serikat untuk menunjukkan bahwa Amerika Serikat dapat menguasai Mindanao secara mudah dengan kekuatan senjata yang modern. Konflik dengan Amerika Serikat semula tidak dalam bentuk perang terbuka terhadap kasultananan Maguindanao, Sulu maupun Cotabato. Hubungan antara Kasultanan di Mindanao berjalan secara normal, terbangun kordinasi yang baik untuk saling menghormati satu sama lain. Perang terbuka baru terjadi manakala pemerintah Filipina secara sefihak memasukkan wilayah Mindanao sebagai bagian integral dalam wilayah administratif Filipina.

Yang menjadi masalah yang rumit adalah proses transisi kemerdekaan Filipina, yang kemudian menafsirkan kesediaan bekerjasama kasultanan Islam di Mindanao dengan Amerika Serikat sebagai bentuk dari pengakuan atas kekuasaan Amerika Serikat atas Mindanao. Bangsamoro kemudian mengajukan petisi kepada pemerintah Amerika Serikat agar Bangsamoro tidak dimasukkan dalam wilayah Filipina. Langkah ini dilakukan dala 3 tahap, yani petisi masyarakat Sulu, tertanggal 9 Juni 1921. Kemudian dilanjutkan dengan petisi, yang sering dikenal dengan Zamboanga Declaration, tertanggal 1 Februerai 1924, dan petisi yang terakhir diajukan kembali pada tanggal 18 Maret 1935, yang dikenal dengan Dansalan Declaration, di mana 120 datuk Bangsamoro terutama dari Lanao mengeluarkan “Deklarasi Dansalan” yang menyatakan pemisahan diri dari pemerintahan persemakmuran dan memilih berada di bawah protektorat Amerika Serikat sampai masyarakat Bangsamoro dapat membentuk pemerintahan sendiri.

We do not want to be included in the Philippines for once an independent Philippines is launched, there will be trouble between us and the Filipinos because from time immemorial these two peoples have not lived harmoniously together. Our public land must not give to people other than the Moros.

Upaya damai yang ditempuh masyarakat Mindanao ternyata tidak mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah Amerika Serikat maupun pemerintah transisi Filipina, dan pada deklarasi kemerdekaan Filipina 4 Juli 1946, Mindanao menjadi bagian tak terpisahkan dari wilayah politik dan administratif Filipina. Masyarakat Mindanao masih mengupayakan upaya hukum dengan membuat Amilbangsa (HB 5682), yang menyatakan akan memisahkan diri dari pemerintah Filipina jika pemerintah Filipina tidak melakukan langkah-langkah persuasive dalam menyelesaikan status Mindanao.

Pemerintah Filipina menggunakan argumentasi kesamaan regim kolonial Amerika Serikat antara Luzon, Visayas dan Mindanao sebagai argument untuk memasukan wilayah Mindanao dalam wilayah kesatuan Filipina. Sedangkan dalam perspektif elit Mindanao, posisi kasultanan Mindanao otonom atas kekuasaan Spanyol, bahkan Amerika Serikat sekalipun. Bahkan sejarawan Mindanao, Jamail Rasul, mencoba mengungkap fakta bahwa para pejuang kemerdekaan Filipina, semisal Jose Rizal maupun Aguinaldo melihat Mindanao sebagai bagian dari mitra komunitas Luzon di mana memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dan tidak terikat dengan proses politik yang ada di Luzon.

Datu Utdog Matalam, pendiri MIM menyebutkan empat alasan yang mendasari tuntutan pemisahan diri Bangsa Moro dari Filipina, yaitu:
1. The establishment of the provincial and municipal governments undermined the status of the traditional leaders, dislocated the authority and communications set up, and negated the existing coalition formation patterns, so necessary in the cooperative and communal ventures that the Muslims were accustomed to. In operation, these governments were disruptive and not functional
2. The imposition of a new legal system negated the judicial functions of the village elders. This caused a breakdown in social order and gave rise to a lot of social problems which exist up to this day
3. It was in the field of education where irreparable dislocations were created. The public school organization systematically alienated the school children. They were forced to learn new sets of values that put down the cultural milieu in which they grew
4. The transportation of settlers and land grabbers to Muslim provinces and the creation of agricultural colonies out of Muslim lands caused a lot of resentment in Muslim circles. In effect, this reduced the economic base of the Moroland

Pada tahun 1950-an, masyarakat Muslim Mindanao mulai menunjukkan minat untuk melanjutkan studi, baik yang didanai oleh pemerintah Filipina untuk mengambil studi di Manila. Nur Misuari adalah anak orang miskin dari suku Tausug di Sulu yang memilih untuk meneruskan studinya di University of Philippines dengan mengambil studi ilmu Politik. Karies Misuari dalam sekolah sangatlah cemerlang, sehingga Misuari memperoleh gelar Doktor bahkan Professor dan menjadi salah satu pengajar di University of Philippine, sebagaimana halnya Cesar Adib Majul .

Di samping memilih studi di Manila, ada sebagian masyarakat Muslim Mindanao yang memilih studi di perguruan tinggi di Timur Tengah, baik di Arab Saudi maupun di Al-Azhar Mesir melalui program beasiswa yang ditawarkan pemerintah Arab Saudi. Salamat Hashim adalah salah satu anak bangsawan di Maguindanao yang memilih studi Keagamaan daripada studi politik sebagaimana halnya Nur Misuari. Selama studi Salamat Hashim menjadi ketua Ikatan Mahasiswa Filipina (Philippine Student’s Union) (1962) dan menjadi sekretaris jenderal Organisasi Mahasiswa Asia.

Salamat Hashim juga memiliki jaringan Islam internasional yang sangat luas di kemudian hari karena beberapa teman kuliahnya di Mesir, seperti Burhanuddin Rabbani dan Abdul Rasul Sayyaf, dikemudian hari menjadi pimpinan pada kelompok mujahidin yang anti-Soviet di Afghanistan.7 Sekembalinya ke Cotabato, Hashim mulai tertarik kepada politik separatis, serta menjadi salah satu calon pertama untuk memimpin Front Pembebasan Nasional Moro (Moro National Liberation Front/MNLF).

MNLF merespon aktivitas represif dari dari pemerintahan Marcos dengan melakukan pengiriman kader-kader militant MNLF ke luar negeri untuk menjalani latihan militer dengan bantuan dari elit kasultanan di Mindanao yang kecewa dengan kebijakan pemerintah Marcos. Gelombang pertama pengiriman pelatihan kombatan MNLF, atau yang dikenal sebagai “Top 90” dan termasuk ketua MNLF Nur Misuari, di Pulau Pangkor dekat Pulau Pinang di Malaysia melalui fasilitasi Libya.

Pada tahun 1970, gelombang pelatihan kombatan menyusul yang kemudian dikenal sebagai “Gelombang 300” termasuk Al-Haj Murad, yang menggantikan Hashim selaku ketua MILF setelah kematiannya pada Juli 2003. Dan diikuti dengan “Gelombang 67” atau Kelompok Bombardir, yang membawa keahlian baru dalam penggunaan artileri ringan dari Malaysia. Selanjutnya Libya menggantikan Malaysia sebagai tempat pelatihan utama mulai pertengahan 1970an, dan selama tahun 1980an ditambah lagi dengan Syria, kamp-kamp PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) di Timur Tengah, dan Pakistan.

Untuk memahami dinamika penyebab konflik Mindanao, diperlukan suatu pemahaman yang komprehensif tentang struktur sejarah konflik di Mindanao. Mindanao pada hakekatnya adalah kepulauan yang terdiri dari beberapa pula besar, maupun yang kecil dengan segala bentuk keragamannya. Namun semenjak abad ke 12 seiring dengan mulai masuknya Islam di kawasan ini, Islam telah menjadi identitas dengan berdirinya dua kasultanan besar yakni Kasultanan Maguindanao dan Sulu.

Terdapat beberapa aksentuasi untuk melihat dinamika konflik di Mindanao Pertama, Mindanao sendiri merupakan sebuah gugusan kepulauan yang sebelum abad ke 20 didominasi oleh penduduk Muslim dengan berdirinya dua kasultanan besar yakni Kasultanan Sulu dan Maguindanao di sekiatar abad ke 13 M. Kedua kasultanan Islam di Mindanao ini ada kecederungan saling berkompetisi satu sama lain dalam memperebutkan pengaruh kepada sekitar 13 etnik yang ada di sekitar kepulauan Mindanao. Dalam konteks ini, ada kecenderungan konflik Mindanao merupakan cerminan konflik etnis, yakni antar komunitas etnis Muslim di Mindanao.

Aksentuasi yang kedua adalah konflik antara komunitas muslim Mindanao dengan komunitas etnis Visayas atau Filipino yang melakukan politik migrasi ke arah selatan. Perpindahan penduduk ini menjadi masalah yang serius tatkala sekelompok etnis Ilaga dengan dibantu oleh pasukan Filipina melakukan politik genocide di awal dekade 1970-an. Sejarah konflik ini juga masih mengedepankan corak konflik etnis, etnis Ilaga yang melakukan pembantaian kepada komunitas Muslim mengidentikan diri sebagai kelompok Katolik yang juga ada kecenderungan dibiarkan oleh pemerintahan Marcos sehingga dalam batas tertentu berkembang isu besar telah terjadi konflik antar agama di Mindanao sebagai sebuah cerminan dari perang Salib. Karena alasan inilah kemudian Nur Misuari melakukan internasionalisasi konflik Mindanao ke dunia Islam agar komunitas Islam memberikan bantuan bagi komunitas Islam Mindanao.

Aksentuasi ketiga, yakni telah terjadi pergeseran peta aktor konflik dari bentuk konflik etnis menjadi konflik separatism, yakni adanya keinginan dari masyarakat Muslim Mindanao yang kemudian mengidentifikasi diri sebagai Bangsamoro untuk melakukan politik pemisahan diri sebagai respon dari berbagai ketidakadilan yang diterima masyarakat Muslim Mindanao baik oleh pemerintah Filipina. Sehingga dalam bentuk perlawanan kepada pemerintah Filipina, masyarakat muslim Mindanao mempergunakan konsep Moro dibandingkan dengan Mindanao. Konflik yang bernuansakan separatisme ini berlangsung sangat lama, bahkan sampai saat ini gejala konflik di Mindanao lebih difahami sebagai bentuk konflik separatis dibandingkan dengan konflik primordialis. Ada kecenderungan besar bahwa sulit terselesaikannya konflik di Mindanao karena dalam konflik Mindanao telah melahirkan suatu lingkaran konflik yang kompleks baik dari sisi aktor, issue dan kepentingan-kepentingan baik nasional dan internasional bagi berlangsungnya konflik.

Aksentuasi yang keempat adalah semakin kompleksnya peta aktor konflik di Mindanao karena merupakan sebuah relasi konflik antar aktor dengan munculnya dua kekuatan besar yakni etnis Lumad, sebuah etnis local yang masih menganut agama local yang senantiasa mengidentifikasi diri sebagai fihak yang paling sah untuk mewarisi Mindanao dan ditambah dengan hadirnya kelompok bersenjata yang berhaluan komunis, NPA (National People Army). Sedangkan dari sisi komunitas muslim Mindanao juga semakin bervariasi semenjak diselenggarakannya perjanjian damai antara pemerintah Filipina dengan Muslim Mindanao, Tripoli Agreement 1971 yang justru menyebabkan timbulnya faksionalisasi dalam tubuh gerakan perlawanan MNLF (Moro National Liberation Front) dengan lahirnya organisasi perlawanan baru seperti MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan ASG (Abu Sayyaf Group).

Antar kelompok ini ada kecenderungan memiliki derajat independensi satu sama lain. Kelompok satu dengan yang lainnya saling memberikan klaim bahwa kelompoknya-lah yang paling representatif mewakili masyarakat Mindanao atupun Bangsamoro. Demikian dengan pula kebijakan pemerintah dalam melakukan pendekatan terhadap kelompok–kelompok ini juga cenderung tidak saling kompatibel. Pada saat tertentu melakukan politik kompromi pada satu kelompok, namun sekaligus melakukan politik represif terhadap kelompok yang lain. Semisal di era pemerintahan Estrada, MNLF mendapatkan tempat yang signifikan di dalam pemerintahan Filipina namun kepada kelompok perlawanan yang lain diberlakukan kebijakan represif atau all-out-war terhadap kelompok MILF, NPA, ataupun Abu Sayyaf.
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

Kakiali adalah putera Tepil yang bergelar “Kapitan Hitu” dan berketurunan dari Perdana Jamilu (Nusapati) adalah seorang dari para Perdana (pemimpin) Hitu di Jasirah Hitu Pulau Ambon. Kakiali terkenal sebagai pahlawan dalam perang Hitu I tahun 1634 – 1643 melawan penjajah Belanda (VOC). Politik monopoli perdagangan dan “hongi tochten” pada zaman VOC sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu). Karena itu rakyat Hitu (Ambon) di Maluku Tengah mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh Kakiali.

Pada tahun 1634 peperangan mulai berkobar melawan Belanda dan rakyat Hitu dibantu oleh Gimelaha Luhu dari Jasirah Hoamual di Seram Barat dan para pejuang dari Hatuhaha di Pulau Haruku dan rakyat Iha dari Pulau Saparua. Selain itu rakyat Hitu mendapat bantuan dari Makassar dan Ternate. Setelah digempur dengan armada oleh pasukan Belanda yang dikirim dari Batavia (Jakarta), para pejuang Hitu terpaksa menyingkir dan bertahan di gunung Wawani yang dijadikan benteng pertahanan yang kuat dan dipimpin panglima Hitu Patiwani. Pada tahun 1635 Kakiali dapat ditangkap melalui suatu tipu daya dalam perundingan dengan Belanda. Ia dibuang ke Batavia. Tahun 1637, Kakiali dipulangkan ke Hitu untuk menentramkan rakyat Hitu yang semakin bergolak.


Bersama dengan Kakiali datang pula Gubernur Jenderal van Diemen. Ia meminta bantuan Sultan Hamzah dari Ternate (politik adu domba) untuk bersama-sama melawan Hitu. Kemudian diangkatlah Gubernur Gerard Demmer. Tokoh Belanda yang keras ini mulai mengadakan serangan besar-besaran ke benteng Wawani. Pada tahun 1643 Belanda dapat menduduki Wawani setelah perang tersebut dikosongkan pasukan Hitu dan Panglima Patiwani. Kakiali kembali menyusun siasat baru melawan Belanda dengan rencana meminta bantuan Makassar, namun dia dikhianati oleh teman-temannya sendiri. Kakiali gugur bukan karena peluru VOC. Pada tanggal 16 Agustus 1643 seorang kenalannya yang baik yaitu Fransisco de Toire (seorang Spanyol) setelah disogok uang oleh Belanda, ia membunuh Kakiali pada saat sedang tidur. Kakiali ditikam dengan sebilah keris. Pahlawan dari Wawani ini meninggal seketika. Namun perlawanan rakyat Hitu belum berhenti. Peperangan diteruskan pada tahun 1643 – 1646 sebagai perang Hitu II yang dipimpin oleh Kapitan Tulukabessy dan Imam Rijali.
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

Silsilah Keluarga
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Dilahirkan tahun 1593, merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyokrowati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banowati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.

Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat. Yang menjadi Ratu Wetan adalah putri dari Batang keturunan Ki Juru Martani, melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).

Gelar Sultan Agung

Pada awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelar menjadi Susuhunan Agung, atau disingkat Sunan Agung. Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab untuk mengimbangi saingannya, yaitu Sultan Banten. Gelar tersebut diperoleh dari pemimpin Ka'bah di Makkah, yaitu Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam uraian artikel di bawah ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu Sultan Agung.

Awal Pemerintahan

Sultan Agung naik tahta tahun 1613 dalam usia 20 tahun. Patih senior Ki Juru Martani wafat tahun 1615, dan digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kotagede. Pada tahun 1614 dibangun istana baru di desa Kerta yang kelak ditempati pada tahun 1622. Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati dalam perangkap Tumenggung Alap-Alap. Kemudian tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba (Mojoagung, Jombang).




Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang berniat mengkhianati Mataram namun ragu-ragu. Akibatnya, tanpa bantuan Pajang, pasukan Surabaya dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan. Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem, Rembang dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.

Menaklukkan Surabaya

Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air namun kota ini tetap bertahan. Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahurekso (bupati Kendal) menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.


Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan. Pemimpinnya menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng. Pemimpin Surabaya yang bernama Jayalengkara akhirnya meninggal karena usia tua. Putranya yang bernama Pangeran Pekik ditangkap dan diasingkan ke Ampel. Surabaya pun menjadi bawahan Mataram yang dipimpin Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.



Pasca Penaklukan Surabaya

Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga penduduknya. Pada tahun 1627 terjadi pemberontakan Pati yang dipimpin Adipati Pragola sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini dapat ditumpas dengan biaya yang sangat mahal.

Hubungan Sultan Agung dengan VOC

Pada tahun 1614 VOC yang saat itu masih bermarkas di Ambon, mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Namun, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 Belanda berhasil merebut Jakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas VOC pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan Belanda, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam menghadapi Surabaya dan Banten. Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu menyerang Surabaya. Hubungan diplomatik pun putus.

Perang Menyerbu Batavia

Sasaran Mataram setelah Surabaya jatuh adalah Banten. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu direbut terlebih dahulu. Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal menjadi duta ke Batavia menyampaikan tawaran damai dengan syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak VOC sehingga perang menjadi pilihan selanjutnya. Maka, pada bulan Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahurekso bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan.
 

Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas. Pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Bahurekso dan Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala. Sultan Agung kembali menyerang Batavia. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada Mei 1629, dan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi. Lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon disediakan sebagai persediaan pangan pasukan Mataram. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Maka, serangan kedua Sultan Agung pun mengalami kegagalan lagi. Meskipun demikian, pihak Mataram sempat membendung dan mengotori Sungai Ciliwung mengakibatkan timbul wabah kolera melanda Batavia. Gubernur Jenderal VOC yaitu J.P. Coen tewas oleh penyakit ini.

Pasca Kekalahan di Batavia

Sultan Agung pantang menyerah. Ia menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama menghancurkan VOC-Belanda. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena Sultan menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah. Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632. Sedangkan Ukur dapat ditumpas oleh Patih Singaranu tahun 1635

Disusul kemudian pemberontakan Giri Kedaton. Karena orang Mataram tidak ada yang berani menghadapi keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini dipadamkan pasangan suami istri tersebut tahun 1636.

Akhir Kekuasaan Sultan Agung

Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Silarong untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur. Meskipun dibantu Bali, negeri Blambangan akhirnya jatuh tahun 1640. Seluruh pulau Jawa akhirnya berada dalam kekuasaan Mataram, kecuali Banten dan Batavia. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Ia juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri kuat di Sulawesi saat itu.


Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat Mataram hanya bergantung pada pertanian. Sultan Agung juga menaruh perhatian pada kebudayaan. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal itu ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.


Kematian Sultan Agung

Pada tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga Mataram mulai dari dirinya. Sultan Agung akhirnya meninggal dunia pada awal tahun 1646 dan dimakamkan di sana. Sultan Agung digantikan putranya, yaitu Raden Mas Sayidin bergelar Amangkurat I.
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

Kemenangannya dengan Sultan Hasanuddin pada tahun 1667, membawa tekad yang lebih besar bagi Belanda untuk menundukkan Banten di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Strategi ini ditempuh, pertama, karena Banten adalah kekuasaan pemerintah Islam yang paling dekat dengan Batavia, dan senantiasa bisa mengancam keamanan dan ketenteraman Belanda di pusat pemerintahannya di Batavia. Kedua, Belanda telah mengadakan perjanjian damai dengan pemerintahan Mataram di bawah pimpinan Sultan Amangkurat I, putera Sultan Agung. 

Sebelum konfrontasi bersenjata antara Belanda dengan Banten dibicarakan, sebaiknya diketahui tentang kondisi pemerintahan Islam di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Ia naik tahta kesultanan Banten pada tahun 1651, menggantikan ayahnya Sultan Abul Fath. Sejak kepemimpinannya, Banten telah naik kembali harkat dan martabatnya, sehingga kehidupan ekonomi berjalan sangat baik, pelabuhan Banten ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang darl Pilipina, Jepang, Cina, India, Persia dan Arab. Islamisasi berjalan dengan sangat mantap, berkat kehadiran seorang ulama besar dari Makasar yang bernama Syeikh Yusuf. Perannya yang besar, dalam peningkatan Islamisasi di Banten; menyebabkan ia diambil menjadi menantu oleh Sultan. 

                                                   Persiapan Rakyat dalam Perang Banten

Setelah sepuluh tahun memerintah dengan sukses, Sultan mencoba menyiapkan penggantinya yaitu puteranya Pangeran Ratu untuk memegang kekuasaan di dalam negeri. 

Untuk meningkatkan komunikasi dengan dunia Islam, Sultan pada tahun 1674 telah mengutus puteranya Pangeran Ratu atau dengan sebutan Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar untuk melawat ke dunia Islam dan sekaligus naik Haji ke Mekah. Perjalanan ini memakan waktu kurang lebih dua tahun. 

Sekembalinya dari perlawatannya, ia diberikan kembali jabatan sebagai Sultan Muda, yang memerintah dalam negeri Banten, dengan sebutan Sultan Haji. Pergaulannya dengan para pejabat dan pengusaha Belanda yang mempunyai loji di Banten mempengaruhi pandangan hidupnya. Apalagi setelah di ketahui bahwa adiknya pangeran Purbaya, yang mempunyai watak dan akhlaq menyerupai ayahnya dan lebih disenangi oleh para bangsawan Banten, menumbuhkan rasa kecurigaan, jika pengganti ayahnya itu akan beralih kepada adiknya. Perasaan kecurigaan dan ambisinya yang cepat menjadi sultan penuh, mendapat tanggapan positif oleh Belanda, yang sehari-harinya banyak bergaul dengan Sultan Haji. Persekutuan atau lebih tepat persekongkolan antara Sultan Haji dengan Belanda untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purbaya berjalan dengan rapi. 

Peristiwa perompakan atau pembajakan kapal milik Banten yang pulang dari Jawa Timur oleh kapal-kapal Belanda, menimbulkam amarah Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga ia menyatakan perang kepada Belanda. Kebijaksanaan ini ditentang keras oleh anaknya Sultan Haji. Bahkan atas bantuan Belanda pada tanggal 1 Maret 1680, Sultan Haji menurunkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan dan mengangkat dirinya menjadi Sultan Banten. 

Tindakan pemecatan Sultan Ageng Tirtayasa menimbulkan reaksi besar dari para bangsawan Banten di bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan para ulama dan rakyat di bawah pimpinan Syeikh Yusuf. Secara spontan rakyat Banten tidak mengakui kepemimpinan Sultan Haji di Banten. Dan sebaliknya mereka berkumpul dihadapan Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyatakan kesetiaannya dan bersedia berperang untuk menurunkan Sultan Haji dan Belanda-Kristen yang menjadi biang keladinya. 

Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa telah berhasil menguasai seluruh Banten, kecuali istana Sultan Haji yang dikelilingi oleh benteng pertahanan yang kuat. Dalam situasi seperti itu, sesuai dengan persekongkolannya dengan Belanda, Sultan Haji meminta bantuan pasukan Belanda, yang berpangkalan tidak jauh dari pantai Banten. Dengan seketika itu pula armada pasukan Beianda-Kristen di bawah pimpinan Laksamana De Saint Martin pada tanggal 8 Maret 1680 mendarat di Banten. Untuk memperkuat pasukannya, Belanda mengirimkan lagi satu armadanya di bawah pimpinan Laksamana Tak. 

Pada tanggal 7 April 1680 pagi-pagi buta pasukan Sultan Ageng di bawah pimpinannya langsung, didampingi oleh anaknya pangeran Purbaya dan menantunya Syeikh Yusuf melakukan serangan umum yang mematikan, terhadap kehidupan Sultan Haji dan pasukan Belanda. Dalam keadaan yang sangat kritis, Laksamana Saint Martin dan Tak menyodorkan 'surat perjanjian' kepada Sultan Haji untuk ditanda-tangani, jika bantuan pasukan Belanda diperlukan oleh Sultan. Untuk mempertahankan hidupnya dan kekuasaannya, Sultan Haji menanda-tangani surat perjanjian yang sangat merugikan itu untuk selama-lamanya. 

Setelah perjanjian selesai ditanda-tangani, mulailah pertempuran dahsyat antara pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dengan pasukan Belanda meledak. Meriam-meriam besar milik pasukan Belanda-Kristen dimuntahkan sebanyak-banyaknya ke tengah-tengah pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga menimbulkan korban yang banyak sekali, gugur menjadi syuhada. Kekuatan senjata yang sangat tidak seimbang, mengakibatkan pasukan Sultan Ageng mengalami kekalahan besar dan akhirnya ia, bersama pasukannya mengundurkan diri ke istananya di Tirtayasa dekat Pontang. 

Tetapi tidak lama kemudian pasukan Belanda mengejarnya dan mengepung kota tersebut. Atas perintah Sultan Ageng, istana di bumi hanguskan, dan ia bersama Pangeran Purbaya dan Syeikh Yusuf serta pasukannya mengundurkan diri ke pedalaman dan membuat markasnya di Lebak (Rangkasbitung). Dari sini Sultan Ageng melancarkan pertempurannya dengan Belanda selama hampir setahun. Tetapi kemudian dalam pertempuran itu kerugian senantiasa diderita oleh pasukan sultan, bahkan Syeikh Yusuf sendiri tertangkap. 

Karena sudah tidak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan peperangan, akhirnya pada bulan Maret 1683, Sultan Ageng Tirtayasa menyerah dan ia ditawan oleh Belanda di Batavia sampai wafatnya pada tahun 1695. Syeikh Yusuf yang ditangkap oleh Belanda dibuang mula-mula ke Sailan (Ceylon), kemudian ke Afrika Selatan dan di sana ia wafat, sedangkan Pangeran Purbaya meneruskan perjuangannya dengan bergerilya di daerah Periangan, tetapi akhirnya juga menyerah. 

Selanjutnya, isi perjanjian antara Belanda dengan Sultan Haji, yang ditanda-tangani pada saat-saat genting itu berisi antara lain:
  1. Semua hamba-sahaya (budak) milik Belanda yang lari melindungi diri ke Banten, wajib dikembalikan kepada Belanda;
  2. Orang-orang Belanda yang membelot ke Banten dan bekerja untuk kepentingan Banten, seperti Cordeel, wajib diserahkan kepada Belanda;
  3. Banten tidak boleh turut campur tangan dalam masalah-masalah politik di Cirebon dan daerah-daerah lain yang berada di bawah wewenang Mataram;
  4. Segala kerugian yang diakibatkan oleh bajak laut dan sabotase oleh Banten terhadap milik Belanda, wajib ganti rugi di bayar oleh Banten;
  5. Orang-orang asing tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan ekonomi di Banten, kecuali orang-orang Belanda.
Sultan Haji yang mengangkat dirinya menjadi sultan Banten sejak tanggal 1 Maret 1680 sampai wafatnya tahun 1687, pada hakekatnya telah menjadi bawahan Belanda-Kristen dan menyerahkan Banten ke bawah telapak jajahan Belanda dengan menumpahkan darah ayahnya dan saudara-saudaranya sendiri serta rakyat Banten. 

Setelah Sultan Haji wafat pada tahun 1687, ia digantikan oleh puteranya dengan gelar Abu Fadl Muhammad Yahya. Pada tahun 1690, baru tiga tahun ia bertahta, Sultan Yahya wafat pula dan digantikan oleh adiknya Abu Mahasin Zainal Abidin. Gelar sultan setelah kekuasaan Sultan Haji pada dasarnya hanya 'sultan boneka Belanda', sebab yang berkuasa sebenarnya adalah Belanda. 

Selanjutnya berdasarkan keputusan pemerintah Belanda di Nederland, pada tahun 1798 Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang didirikan sejak tahun 1606 dinyatakan bubar; segala hak-milik dan hutang-hutangnya seluruhnya diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Keputusan itu berlaku terhitung mulai tanggal 31 Desember 1799. Selanjutnya daerah kekuasaan VOC di Indonesia dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda dengan jalan membentuk pemerintahan jajahan dengan nama 'Nederlandsch Indie' (Hindia Belanda). 

Dengan keputusan ini, secara resmi Indonesia merupakan daerah jajahan Belanda. Untuk mengelola Hiindia Belanda ini, maka pada tanggal 28 Januari 1807 Herman Willem Daendels telah diangkat menjadi Gubernur Jenderal, yang mulai berlaku pada hari keberangkatannya dari Nederland ke Indonesia yaitu pada tanggal 18 Februari 1807. Ia baru tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808 dan pada tanggal 15 Januari 1808 timbang-terima dari Gubernur Jenderal Wiese sebagai pejabat tertinggi VOC terakhir dengan Gubernur Jenderal H.W. Daendels sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda dilangsungkan di Batavia. 

H.W Daendels yang mempunyai tugas utama mengkonsolidir kekuatan militer Hindia Belanda untuk menghadapi kemungkinan serangan Inggeris, maka pekerjaan pertama adalah membuat pelabuhan armada perang yang berpusat di ujung Kulon dan Merak, Banten-Jawa Barat. Untuk melaksanakan proyek ini H.W Daendels telah mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa yang terdiri dari rakyat Banten. Kerja paksa (rodi) yang di luar batas kemanusiaan mengakibatkan tidak kurang 1500 orang telah meninggal dunia. 

Melihat nasib rakyat yang malang ini, Sultan Abdul Nasar dan Patih Wargadireja dari Banten menolak untuk turut serta melanjutkan proyek tersebut dengan jalan tidak lagi mau mengirimkan tenaga kerja ke sana. Penolakan sultan ini menimbulkan amarah Gubernur Jenderal, sehingga ia mengirimkan pasukan militer untuk menangkap Patih Wargadireja; yang dianggap sebagai pimpinan pembangkang, dan memerintahkan sultan untuk memindahkan istananya ke Anyer serta harus mengirimkan setiap hari 1000 tenaga kerja paksa ke proyek-proyek Daendels. 

Pasukan Belanda yang dikirimkan kepada sultan disergap oleh prajurit dan rakyat Banten, kemudian dibunuh semuanya: Benteng Belanda yang ada di sekitar istana dan pegawai-pegawai Belanda yang diperbantukan di istana sultan semuanya diserbu dan dibunuh. Perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang penguasa kolonial Belanda yang bersifat putus asa telah berkembang menjadi huru-hara yang menyulut seluruh Banten.
Dalam menghadapi gerakan perlawanan Sultan Banten ini, H.W. Daendels telah mengirimkan pasukan militer yang besar sekali dari Batavia. Ibukota kesultanan Banten diserang habis-habisan dengan jalan pembunuhan massal dan perampokan harta milik rakyat Banten yang seluruhnya dilakukan oleh pasukan Belanda. Patih Wargadireja yang mati tertembak dalam pertempuran itu, jenazahnya dilemparkan ke laut oleh tentara Belanda. Sultan Abdul Nasar ditangkap dan dibuang ke Ambon dan seluruh daerah kesultanan dirampas, serta langsung dalam penguasaan Belanda dari Batavia. Untuk basa-basi putera mahkota diangkat menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Muhammad Aliuddin, yang berkuasa atas sebagian kecil saja dari daerah kesultanan Banten. 

Kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh pasukan Belanda tidak menyebabkan matinya ruhul jihad (semangat berjuang) untuk melawan setiap bentuk kezaliman dan ketidak-adilan yang dilakukan oleh penjajah kafir Kristen. Di bawah pimpinan Pangeran Ahmad kekuatan perlawanan rakyat disusun kembali dan kali ini bukan hanya rakyat Banten tetapi juga dengan mengikut sertakan rakyat Lampung. Potensi rakyat besar yang disertai dengan tekad mati syahid di medan pertempurann perlawanan rakyat Banten-Lampung ini sulit untuk dapat ditumpas oleh Belanda-Kristen. Berulang kali pasukan militer Belanda yang dikirimkan dari Batavia untuk menghadapi perlawanan rakyat Banten-Lampung di bawah pimpinan Pangeran Ahmad senantiasa kandas dan gagal. 

Perlawanan rakyat Banten-Lampung tambah seru, setelah H.W. Daendels membuka proyek jalan raya dari Anyer sampai Panarukan yang Panjangnya kurang lebih 1000 km, dengan tenaga kerja rodi. Para pekerja yang terdiri dari antara lain rakyat Banten dalam proyek jalan raya Anyer-Panarukan itu, tak ubahnya bagaikan budak belian yang pernah dijumpai dalam zaman Romawi kuno. Perlakuan kejam dan sadis oleh pasukan Belanda-Kristen ini, yang memperpanjang proses perlawanan rakyat Banten-Lampung. Walau akhirnya, perlawanan Pangeran Ahmad dengan rakyatnya bisa ditumpas oleh Belanda. 

Kekejaman dan kebiadaban penguasa kolonial Belanda yang dilakukan di Indonesia, selain pandangan hidup yang dimiliki dari ajaran Kristen, yang menganggap umat Islam adalah keturunan palsu-penyembah syaitan dan manusia setengah monyet, juga karena dasar untuk mengatur pemerintahannya hanya berorientasi kepada kekuasaan tanpa hukum. Sebab hukum kolonial zaman VOC berkuasa yang ada hanya di Batavia dengan nama 'Statuta Betawi', yang berlaku untuk daerah 'Bataviase Ommelanden', dengan batas-batasnya:
  1. sebelah barat yaitu sungai Cisadane;
  2. sebelah utara yaitu teluk Batavia;
  3. sebelah timur yaitu aungai Citarum;
  4. sebelah selatan yaitu samudera Hindia.
Kemudian bagi beberapa daerah para penguasa VOC mencoba mengadakan kodifikasi dari hukum adat, untuk mengadili penduduk yang tunduk pada hukum adat, misalnya:
  1. Kodifikasi hukum adat Cina yang berlaku bagi orang-orang Cina yang tinggal di sekitar pusat kekuasaan VOC;
  2. Kodifikasi pepakem Cirebon, dimaksudkan berlaku bagi penduduk bumi putera (penduduk asli) di Cirebon dan sekitarnya;
  3. Kodifikasi Kitab Hukum Mogharraer yang berlaku bagi penduduk bumi putera di Semarang dan sekitarnya;
  4. Kodifikasi hukum adat Bone dan Goa, yang berlaku bagi penduduk bumi putera Bone dan Goa.
Dari fakta-fakta tentang hukum positif yang digambarkan di atas jelas bahwa penguasa VOC sebagai penguasa kolonial dalam mengatur daerah jajahannya (Indonesia) dari sejak tahun 1606 sampai dengan tahun 1798 semata-mata berdasarkan 'kekuasaan' dan bukan berdasarkan hukum. 

Begitu pula penguasa Hindia Belanda yang mewarisi Indonesia sebagai daerah jajahan dari VOC tidak mendasarkan pemerintahannya dengan hukum, tetapi semata-mata berdasarkan kepentingan kekuasaan. Sebab baru pada tanggal 16 Mei 1846 penguasa Hindia Belanda melalui Keputusan Raja Belanda di Nederland telah mengeluarkan pengumuman Pengaturan Baru Tata Hukum di Indonesia, yang dimuat di dalam STB 1847, No. 23. 

Pada saat berlakunya 'Tata Hukum Baru' itu maka terhapuslah ketentuan Hukum Belanda Kuno dan Hukum Romawi; demikian juga segala peraturan dengan nama 'verordeningen, reglementen, publication, ordonansien, instruksien, plakkaten, statuten, costumen; dan pada umumnya segala peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang di Indonesia mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak tegas dipertahankan untuk seluruh Indonesia atau sebagiannya. 

Pada pasal 1 dari keputusan Raja Belanda itu, mengatur antara lain tentang:
  1. Ketentuan umum tentang perundang-undangan;
  2. Peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijak-sanaan pengadilan;
  3. Kitab Hukum Perdata;
  4. Kitab Hukum Dagang.
Sedangkan pengaturan tentang Hukum Pidana termuat dalam pasal 8 dari keputusan raja tersebut di atas.
Tetapi penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru dapat direalisasikan pada tahun 1886, di mana pada waktu itu negeri Belanda telah membuat Kitab Undang-undang Hukum Pidana sendiri yang bernama 'Nederlandsch Wetboek van Strafrecht'. 

Bagi Indonesia yang menjadi daerah jajahan Belanda dengan Hindia Belanda sebagai penguasanya, waktu itu dibuatkan pula Kitab Undang-Undang Hukum Pidana guna masing-masing golongan sendiri-sendiri, yaitu:
  1. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan Koninklijk Besluit tertanggal 10 Februari 1886; berisi mengenai tindak kejahatan saja;
  2. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk bumi putera dan timur asing, ditetapkan dengan Ordonansi 6 Mei 1872, berisi hanya mengenai tindak kejahatan saja;
  3. Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan Ordonansi tertanggal 15 Juni 1872, yang berisi hanya tentang tindak pelanggaran saja;
  4. Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan bumi putera dan timur asing, ditetapkan dengan ordonansi tertanggal 15 Oktober 1915.
Uraian historis tentang hukum positif yang digunakan oleh penguasa kolonial Hindia Belanda di Indonesia; baru secara formal diatur pada tahun 1846, yang pelaksanaannya baru bisa dilaksanakan pada tahun 1886. Dengan demikian penguasa Hindia Belanda yang mengambil-alih kekuasaan VOC pada tahun 1799 dan secara efektif baru berjalan sejak Januari 1808, dengan Gubernur Jenderal Daendels sebagai penguasa tertingginya, maka roda pemerintahan kolonial Belanda diatur semata-mata berdasarkan kekuasaan sampai pada tahun 1886. 

Oleh karena itu hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia selama hampir 100 tahun Hindia Belanda berkuasa, senantiasa tergantung pada selera dan keinginan penguasa kolonial. Nilai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk seluruhnya tergantung kepada pertimbangan akal dan hawa nafsu penguasa kolonial Belanda. Kriteria mengenai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk sepenuhnya kembali kepada benak dan perut penguasa kolonial Belanda. Dengan kata lain, hampir satu abad penguasa Hindia Belanda berkuasa di Indonesia (dari 1799-1886) hukum yang berlaku adalah hukum rimba. 

Kekejaman dan kebiadaban yang pola contohnya telah diberikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels adalah merupakan pola kekuasaan Hukum rimba yang diwarisi turun-menurun oleh penguasa kolonial Belanda sampai mereka angkat kaki dari Indonesia pada tahun 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia. 

Kekejaman dan kebiadaban yang tak terperikan itu, yang melahirkan perlawanan umat Islam sepanjang masa, dalam periode kekuasaan kolonial Belanda.
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

Perang Banjar adalah merupakan satu cetusan di dalam rangkaian perjuangan bangsa Indonesia menolak penjajahan dari bumi Indonesia. Perang ini merupakan salah satu mata rantai sejarah perang kemerdekaan utamanya pada abad ke-19, seperti peristiwa – peristiwa yang hampir bersamaan kasusnya di daerah – daerah lain di Indonesia, misalnya di Minangkabau dengan perang Padrinya, di Jawa dengan perang Diponegoro-nya, perang Bali, perang Aceh dan sebagainya.


Perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah telah terjadi sejak kedatangan bangsa asing yang ingin menjajah Indonesia dengan berbagai dalih yang dilakukannya demi untuk mengeruk keuntungan dari tanah jajahannya.

Pertentangan pertama antara Belanda dengan kerajaan Banjar, dalam hal ini Penambahan Marhum di satu pihak dan Belanda di lain pihak telah terjadi pada tanggal 14 Februari tahun 1606 dengan terbunuhnya nakhoda kapal Belanda Gillis Michielzoon beserta anak buahnya di Banjarmasin. Dalam rangka pembalasan dan memamerkan kekuatan beberapa kapal Belanda pada tahun 1612 secara mendadak telah menyerang dengan melakukan penembakan dan pembakaran di daerah Kuin. Dengan demikian pusat pemerintahan kerajaan Banjar terpaksa dipindahkan ke Martapura, ke kraton baru yang terkenal dengan sebutan Kayu Tangi.

Pertikaian bersenjata menghangat lagi pada tahun 1638, dimana di Banjar Anyar telah terbunuh 64 orang bangsa Belanda di dalam satu penyergapan. Untuk pembalasan terhadap ini Belanda mengirim 2 buah kapal menuju Banjarmasin dan Kotawaringin. Mereka menahan perahu- perahu rakyat dan mengadakan penganiayaan kejam sesuai dengan instruksi dari Batavia, membunuh dan menyiksa tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun wanita atau anak-anak suku Banjar, tanpa perikemanusiaan. Kekejaman ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat di Kerajaan Banjar, dan sejak tahun 1600 sampai abad ke-18, walaupun telah ada perjanjian, selalu terjadi pertempuran-pertempuran antara orang-orang Banjar melawan Portugis, Belanda dan Inggris.




Ketika Sultan Muhammad meninggal dunia pada tahun 1761, ia meninggalkan 3 (tiga) orang anak yang belum dewasa, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Karena ketiga orang anak Sultan Muhammad itu belum dewasa, maka tahta kerajaan kembali ke tangan Mangkubumi, yaitu Sultan Tamjidillah, atau Pangeran Sepuh, dan pelaksanaan pemerintahan dikuasakan kepada anaknya Pangeran Nata. Dengan jalan menyuruh membunuh kedua kemenakannya, yaitu Pangeran Rahmat dan Pangeran Abdullah, Pangeran Nata berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata sebagai Sultan yang pertama sebagai Penambahan Kaharudin.

Pangeran Nata Dilaga yang Menjadi raja pertama dinasti Tamjidillah dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772.

Anak Sultan Muhammad (almarhum) yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Tahmidillah melarikan diri ke Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe. Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kerajaan Banjar dengan pasukan Bugis yang besar, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sailan. Sesudah itu diadakan perjanjian antara kerajaan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC.

Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putera Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat Kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.

Negeri hilang sama sekali, Kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik Belanda.
Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :
a. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
b. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Belanda. Wilayah-wilayah itu seperti tersebut dalam Pasal 4 :
- Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
- Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Pantuil,
- Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
- Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah,
- Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak,
- Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan,
- Tanah Dayak Besar Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya,
- Tanah Mandawai,
- Sampit,
- Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya,
- Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
- Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan,
- Negeri-negeri di pesisir timur Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
c. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
d. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
e. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Padang perburuan itu, meliputi :
- Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka,
- Padang Bajingah,
- Padang Penggantihan,
- Padang Munggu Basung,
- Padang Taluk Batangang,
- Padang Atirak,
- Padang Pacakan,
- Padang Simupuran,
- Padang Ujung Karangan.

Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya berburu manjangan.
f. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.

Gambaran umum abad ke-19 bagi kerajaan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdauat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan.
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

Pangeran Diponegoro lahir sekitar 1785. Pangeran ini merupakan putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III yang memerintah pada tahun 1811 hingga 1814.Ibunya bernama, Raden Ayu Mangkarawati, yang merupakan keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur. Saat masih kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir. (Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89). Kondisi kraton ketika itu penuh dengan intrik dan persaingan akibat pengaruh Belanda.



Sebab itulah sejak kecil Diponegoro yang bernama asli Pangeran Ontowiryo dikirim ibunya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung.Diponegoro belajar mengenai Islam kepada Kyai Taftayani, salah seorang keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29). Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M Ambyah. Penolakan ini disebabkan karena untuk menjadi seorang Raja yang mengangkat adalah orang Belanda.

Sehingga Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Keputusan ini merupakan hasil perenungannya di pantai Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).

Perang besar

Dalam bukunya, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19,. Kareel A. Steenbrink, mencatat, sebagian besar sejarawan menurut Steenbrink meyepakati bahwa perang Dipnegoro lebih bersifat perang anti kolonial. Beberapa sebab itu antara lain: 1. Wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih Belanda, 2. Pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, 3. Kekurang adilan di masyarakat Jawa 4. Aneka intrik di istana, 5. Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar, 6. Kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja tetapi juga untuk kepentingan Belanda.

Alasan lebih filosofis dalam perang melawan belanda yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, “Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.”

Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya. “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa).

Kareel A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. Cukup banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro. Disamping itu 90 persen pangeran Kasultanan Yogyakarta juga ikut mendukung Diponegoro.

Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut.

Paduan motivasi agama dan sosial ekonomi ini menyebabkan Perang Diponegoro menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial bahkan hampir membangkrutkan VOC. Korban perang Diponegoro: orang Eropa 8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta gulden. Total orang jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu baru tujuh juta orang, sementara separuh penduduk Yogyakarta terbunuh.
Data ini menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya dukungan rakyat terhadapnya. Oleh bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro yang dikenal dengan sorban dan jurbahnya, kemudian diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional, yang sangat besar jasanya bagi bangsa Indonesia.

Sumber: http://id.shvoong.com
  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments