Previous Next
  • Perang Teluk

    Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah Perang Delapan Tahun dengan Iran dalam perang Iran-Irak. Irak sangat membutuhkan petro dolar sebagai pemasukan ekonominya sementara rendahnya harga petro dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas Ladang Minyak Rumeyla sekalipun pada pasca-perang melawan Iran, Kuwait membantu Irak dengan mengirimkan suplai minyak secara gratis. Selain itu, Irak mengangkat masalah perselisihan perbatasan akibat warisan Inggris dalam pembagian kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Usmaniyah Turki. Akibat invasi ini, Arab Saudi meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi pada 6 Agustus 1990...

  • 5 Negara yang Terpecah Akibat Perang Dunia II

    Negara yang terpecah adalah sebagai akibat Perang Dunia II yang lalu di mana suatu negara diduduki oleh negara-negara besar yang menang perang. Perang Dingin sebagai akibat pertentangan ideologi dan politik antara politik barat dan timur telah meyebabkan negara yang diduduki pecah menjadi dua yang mempunyai ideologi dan sistem pemerintahan yang saling berbeda dan yang menjurus pada sikap saling curiga-mencurigai dan bermusuhan. Setelah perang dunia kedua, terdapat empat negara yang terpecah-pecah, antara lain:

  • Serangan Sultan Agung 1628 - 1629

    Silsilah Keluarga Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Dilahirkan tahun 1593, merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyokrowati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banowati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan. Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat. Yang menjadi Ratu Wetan adalah putri dari Batang keturunan Ki Juru Martani, melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I)...

  • Perang Dingin

    Perang Dingin adalah sebutan bagi sebuah periode di mana terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara Amerika Serikat (beserta sekutunya disebut Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta sekutunya disebut Blok Timur) yang terjadi antara tahun 1947—1991. Persaingan keduanya terjadi di berbagai bidang: koalisi militer; ideologi, psikologi, dan tilik sandi; militer, industri, dan pengembangan teknologi; pertahanan; perlombaan nuklir dan persenjataan; dan banyak lagi. Ditakutkan bahwa perang ini akan berakhir dengan perang nuklir, yang akhirnya tidak terjadi. Istilah "Perang Dingin" sendiri diperkenalkan pada tahun 1947 oleh Bernard Baruch dan Walter Lippman dari Amerika Serikat untuk menggambarkan hubungan yang terjadi di antara kedua negara adikuasa tersebut...

  • Perang Kamboja-Vietnam

    Pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan saigon tahun 1975, negara-negara anggota ASEAN mencemaskan kemungkinan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Asia Tenggara. Ketegangan terus memuncak mengingat ASEAN adalah negara-negara Non-Komunis sedangkan negara-negara Indochina adalah negara komunis. Kemenangan Vietnam pada Perang Vietnam sudah tentu mengkhawatirkan ASEAN ditengah rencana Amerika Serikat untuk mengurangi kehadiran pasukannya yang selama ini secara tak langsung melindungi ASEAN dari invasi komunis ke kawasan tersebut...

Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Ksatria Hospitaller, juga dikenal sebagai Ordo Hospitaller atau secara sederhana dikenal dengan sebutan kaum Hospitaller, adalah sekelompok pria yang ditugaskan menjaga sebuah rumah sakit di Yerusalem yang didirikan oleh Gerard Yang Terberkati di sekitar tahun 1023, darimana dua ordo ksatria besar tumbuh berkembang: Ordo Santo Yohanes (sakarang di beberapa cabang dikenal sebagai Ordo Militer Merdeka Malta dan sebagai Ordo Santo Yohanes (Bailiwick dari Brandenburg atau Johanniterorden) dan Ordo Santo Lazarus.


Kaum Hospitaller berkembang oleh karena kinerja sebuah rumah sakit milik Almafi (sebuah kerajaan kecil di Italia) yang terletak di distrik Muristan di Yerusalem, didirikan sekitar tahun 1023 untuk memberikan pelayanan bagi kaum papa, orang sakit dan para peziarah Tanah Suci yang terluka. Setelah dikuasainya Yerusalem oleh tentara Kristen Barat di tahun 1099 selama masa Perang Salib Pertama, organisasi ini menjadi sebuah Ordo Keagamaan dan Ordo Militer menurut akta pembentukannya, dan diberikan tugas untuk menjaga dan mempertahankan Tanah Suci. 

Setelah Perang Salib Kesembilan dimana Tanah Suci direbut oleh tentara Muslim, ordo ini beroperasi dari Pulau Rodos, dimana wilayah itu adalah wilayah merdeka, dan kemudian dari Pulau Malta dimana mereka menjadi negara bawahan di bawah raja negara bagian Spanyol di Sisilia.

Kekuatan ordo ini dilemahkan saat Malta direbut oleh Napoleon Bonaparte di tahun 1798 dan menjadi terpencar di seluruh penjuru Eropa. Mereka memperoleh kekuatannya kembali selama abad ke-19 saat ordo ini merubah tujuan keberadaan mereka ke tujuan-tujuan yang bersifat kemanusiaan dan keagamaan. Kepala lima Ordo Santo Yohanes modern semuanya menegaskan bahwa Ordo Militer Merdeka Malta Katolik Roma dengan markas besarnya di Roma merupakan ordo asli dan keempat ordo Protestan berasal dari akas yang sama. 

Cabang-cabang Protestan berpusat di Berlin (the Bailiwick of Brandenburg of the Order of Saint John), Den Haag (the Order of Saint John in the Netherlands), dan Stockholm (the Order of Saint John in Sweden), dan sebuah cabang di Inggris yang bangkit kembali berpusat di London (the Most Venerable Order of the Hospital of Saint John of Jerusalem).

Sumber: http://id.wikipedia.org
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Garda Swiss atau Pasukan Pengawal Swiss adalah tentara bayaran Swiss yang telah bertugas sebagai pengawal pribadi, pasukan upacara dan penjaga istana di berbagai tempat di Eropa dari akhir abad ke-15 hingga hari ini (dalam bentuk Garda Swiss Sri Paus). Mereka pada umumnya memiliki reputasi sebagai pasukan yang sangat disiplin dan sangat setia pada para pihak yang menyewa jasa mereka. Beberapa unit Garda Swiss juga pernah bertempur di medan laga. Terdapat pula resimen-resimen tentara bayaran Swiss reguler yang bertugas sebagai tentara terdepan dalam berbagai kesatuan, seperti kesatuan-kesatuan dari Perancis, Spanyol dan Naples hingga abad ke-19.

Berbagai pasukan Garda Swiss pernah hidup. Kesatuan pasukan tersebut yang paling tua adalah Garda Seratus Swiss (Swiss Hundred Guard / Cent-Garde) di istana-istana Perancis (1497-1830). Kesatuan kecil ini kemudian dilengkapi oleh sebuah Resimen Garda Swiss di tahun 1567. Garda Swiss Sri Paus di Vatikan dibentuk pada tahun 1506 dan merupakan satu-satunya kesatuan Garda Swiss yang masih ada. Di abad ke-18 beberapa kesatuan Garda Swiss yang lain juga dibentuk dan tinggal di berbagai istana monarki Eropa.

Sejarah Lahirnya Garda Swiss Sri Paus

Garda Swiss Sri Paus (Bahasa Inggris: The Corps of the Pontifical Swiss Guard; Bahasa Jerman: Schweizergarde; Bahasa Italia: Guardia Svizzera Pontificia; Bahasa Latin: Pontificia Cohors Helvetica atau Cohors Pedestris Helvetiorum a Sacra Custodia Pontificis) sebagai bagian dari militer Vatikan adalah sebuah pengecualian dari undang-undang Swiss tahun 1874 dan 1927. Pasukan ini adalah sebuah kesatuan kecil yang bertanggung-jawab terhadap keamanan gedung-gedung di Vatikan, jalur masuk ke kota Vatikan dan keselamatan Paus. Bahasa resmi mereka adalah Bahasa Jerman.

Sejarah Garda Swiss di Vatikan bermula di abad ke-15. Paus Siktus IV (1471-1484) sebelumnya telah membuat aliansi dengan Konfederasi Swiss dan membangun banyak barak di Via Pellegrino setelah memprediksi kemungkinan menggunakan jasa tentara bayaran Swiss. Pakta tersebut diperbarui oleh Paus Innosentius VIII (1484-1492) untuk menggunakan jasa mereka melawan Adipati Milan. Paus Aleksander VI (1492-1503) kemudian juga menggunakan jasa tentara bayaran Swiss selama aliansi mereka dengan raja Perancis.

Pada era Borgias, atau era dimana keluarga Borgia menguasai kepemimpinan Gereja, perang di Italia mulai berkecamuk dimana tentara-tentara bayaran Swiss menjadi pasukan garis depan tetap bagi faksi-faksi yang bertikai - kadang-kadang untuk Perancis dan kadang-kadang untuk pihak Gereja atau Kekaisaran Romawi Suci. Para tentara bayaran ini bergabung ketika mereka mendengar bahwa Raja Charles VIII dari Perancis akan menyatakan perang terhadap Naples. Di antara peserta dalam perang Perancis-Naples adalah Kardinal Giuliano della Rovere (bakal menjadi Paus Julius II tahun 1503-1513), yang memiliki hubungan baik dengan orang-orang Swiss setelah menjadi Uskup Lausanne beberapa tahun sebelumnya. Usaha untuk menjatuhkan Naples ini gagal karena, salah satunya, adalah beberapa aliansi baru yang dibentuk oleh Paus Alexander VI untuk melawan pasukan Perancis.

Ketika Kardinal della Rovere menjadi Paus Julius II di tahun 1503, ia meminta Dewan Swiss untuk menyediakan sebuah korps tetap berkekuatan 200 tentara bayaran Swiss untuk menjadi pengawalnya. Pada bulan September 1505, kontingen pertama sejumlah 150 tentara memulai perjalanan mereka menuju Roma, di bawah komando Kaspar von Silenen. Mereka memasuki pintu gerbang Vatikan pada tanggal 22 Januari 1506 - tanggal yang dijadikan hari lahir Garda Swiss Sri Paus.

"Rakyat Swiss melihat situasi Gereja Tuhan - Ibu Iman Kristiani yang menyedihkan, dan sadar bagaimana besarnya bahaya dan malapetaka yang bisa dilancarkan tanpa ampun oleh tirani manapun yang rakus akan harta dunia pada Ibu Semua Iman Kristiani ini," begitu pernyataan Ulrich Zwingli, seorang Swiss beragama Katolik yang belakangan menjadi seorang reformis Protestan.

Paus Julius II kemudian menganugerahi Garda Swiss ini dengan gelar "Pembela Kemerdekaan Gereja".

Keanggotaan Garda Swiss Sri Paus

Para tentara Garda Swiss ini haruslah pria beragama Katolik, belum menikah, memiliki kewarganegaraan Swiss, telah menyelesaikan pendidik dasar militer dari Angkatan Bersenjata Swiss, dan dapat memperoleh sertifikat kelakuan baik. Para calon pasukan ini haruslah minimal memiliki sebuah diploma profesional atau lulus SMA, berusia antara 19 hingga 30 tahun, dan memiliki tinggi badan minimal 174 cm.

Semua calon yang memiliki kualifikasi tersebut harus mendaftarkan diri untuk bisa dipilih menjadi anggota pasukan elit tersebut. Bila dipilih, anggota-anggota baru disumpah di setiap tanggal 6 Mei di Lapangan San Damaso (Bahasa Italia: Cortile di San Damaso) di Vatikan. Tanggal 6 Mei adalah hari peringatan peristiwa Jatuhnya Roma Tahun 1527. Pastor dari Garda Swiss akan membaca sumpah dengan lantang dalam bahasa para pasukan tersebut (mayoritas berbahasa Jerman, beberapa berbahasa Perancis, sedikit berbahasa Italia):

(dalam Bahasa Jerman)
“ "Ich schwöre, treu, redlich und ehrenhaft zu dienen dem regierenden Papst [nama] und seinen rechtmäßigen Nachfolgern, und mich mit ganzer Kraft für sie einzusetzen, bereit, wenn es erheischt sein sollte, selbst mein Leben für sie hinzugeben. Ich übernehme dieselbe Verpflichtung gegenüber dem Heiligen Kollegium der Kardinäle während der Sedisvakanz des Apostolischen Stuhls. Ich verspreche überdies dem Herrn Kommandanten und meinen übrigen Vorgesetzten Achtung, Treue und Gehorsam. Ich schwöre, alles das zu beobachten, was die Ehre meines Standes von mir verlangt." ”

(translasi bebas Bahasa Indonesia)
“ "Saya bersumpah untuk melayani Paus yang berkuasa [nama Paus] dan para penerusnya yang resmi dengan sepenuh hati, penuh kejujuran dan penuh kehormatan, dan untuk mendedikasikan diri saya kepada mereka dengan semua kekuatan saya, siap untuk mengorbankan bahkan nyawa saya sekalipun setiap saat bila perlu untuk mereka. Dengan demikian saya mengajukan janji ini pada para anggota Dewan Kardinal yang suci dalam periode Sede vacante di Kepengurusan Murid-murid Tuhan. Kemudian daripada itu, saya berikrar untuk menghormati, setia dan taat pada Komandan dan para perwira lainnya. Saya bersumpah untuk mentaati semua persyaratan yang dibuat untuk kewibawaan posisi saya." ”

Ketika namanya dipanggil, tiap anggota Garda Swiss yang baru mendekatkan diri pada bendera Garda Swiss dan memegang kain bendera dengan tangan kirinya. Ia kemudian mengangkat tangan kanannya dengan ibu jari, jari telunjuk dan jari tengahnya diacungkan sebagai seimbol dari Trinitas, dan mengucapkan:

(dalam Bahasa Jerman)
“ "Ich, [Name des Rekruten], schwöre, alles das, was mir soeben vorgelesen wurde, gewissenhaft und treu zu halten, so wahr mir Gott und seine Heiligen helfen." ”

(translasi bebas Bahasa Indonesia)
“ "Saya, (menyebutkan nama), bersumpah untuk dengan segenap hati dan konsisten mematuhi semua hal yang baru saja dibacakan pada saya, dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Para Santo/Santa menjadi saksinya." ”

Masa tugas anggota Garda Swiss Sri Paus adalah antara 2 hingga 25 tahun.

Seragam

Seragam resmi mereka berwarna biru, merah, oranye dan kuning dengan penampilan gaya Masa Pencerahan (Renaissance) yang sangat unik. Salah satu anggapan yang salah yang sering terjadi adalah bahwa seragam tersebut dirancang oleh Michelangelo. Padahal, perancang seragam tersebut adalah Komandan Jules Repond (bertugas 1910-1921) pada tahun 1914. Walau seragam Garda Swiss yang sedang membawa Paus Julius II dalam sebuah tandu yang dilukis oleh Raphael seringkali disebut sebagai sumber inspirasi untuk seragam Garda Swiss saat ini, kenyataannya adalah seragam tersebut adalah gaya yang umum untuk seragam tentara di Masa Pencerahan.

Gambaran yang jelas dari seragam Garda Swiss modern bisa dilihat dalam lukisan karya Jacob Coppi tahun 1577 yang menggambarkan Ratu Eudoxia sedang berbincang dengan Paus Sixtus III. Disana jelas terlihat pendahulu dari seragam tiga warna masa kini yang dilengkapi dengan penutup sepatu bot, sarung tangan putih, kerah tinggi berkerut-kerut, dan sebuah baret hitam atau sebuah morion (helm tentara khas abad ke-16/17) berwarna hitam (berwarna perak mengkilat untuk upacara-upacara khusus). Para sersan mengenakan atasan berwarna hitam dan celana berwarna merah bata, sementara perwira lainnya mengenakan seragam berwarna merah bata seluruhnya.

Seragam harian bersifat lebih praktis, terdiri atas pakaian seragam berwarna biru tua, sebuah ikat pinggang sederhana berwarna coklat, kerah putih yang datar (tidak berkerut-kerut) dan sebuah baret hitam. Untuk anggota baru dan latihan menembak, seragam berwarna biru muda dan ikat pinggang coklat cukup untuk digunakan. Selama musim dingin atau cuaca yang tidak cerah, sepotong kain panjang berwarna biru tua dikenakan untuk menutupi seragam yang sedang dikenakan.

Warna asli biru dan kuning diresmikan oleh Paus Julius II mengambil warna-warna simbol keluarganya (Della Rovere). Paus Leo X menambahkan warna merah untuk menunjukkan warna simbol keluarganya (Medici).

Garda Swiss Saat Ini

Setelah percobaan pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 13 Mei 1981 oleh Mehmet Ali Agca, perhatian yang lebih mendalam telah dilakukan terhadap peran Garda Swiss selain menjadi anggota upacara. Perhatian ini terwujud dengan diadakannya latihan bertempur tanpa senjata, latihan tempur yang lebih mendalam, serta diijinkannya penggunaan senjata api dalam melakukan tugas mereka.

Pada tanggal 6 Mei 2003, Dhani Bachmann resmi menjadi orang non-kulit putih pertama yang menjadi anggota Garda Swiss Sri Paus. Dhani adalah anak yatim-piatu dari India yang diadopsi oleh sebuah keluarga Katolik Swiss dari Luzern yang berbahasa Jerman.

Daftar Komandan Garda Swiss

  1. Kaspar von Silenen, Uri (1506-1517) 
  2. Markus Röist, Zürich (1518-1524) 
  3. Kaspar Röist, Zürich (1524-1527) 
  4. Jost von Meggen, Luzern (1548-1559)
  5. Kaspar Leo von Silenen, Luzern (1559-1564)
  6. Jost Segesser von Brunegg, Luzern (1566-1592)
  7. Stephan Alexander Segesser von Brunegg, Luzern (1592-1629)
  8. Nikolaus Fleckenstein, Luzern (1629-1640)
  9. Jost Fleckenstein, Luzern (1640-1652)
  10. Johann Rudolf Pfyffer von Altishofen, Luzern (1652-1657)
  11. Ludwig Pfyffer von Altishofen, Luzern (1658-1686)
  12. Franz Pfyffer von Altishofen, Luzern (1686-1696)
  13. Johann Kaspar Mayr von Baldegg, Luzern (1696-1704)
  14. Johann Konrad Pfyffer von Altishofen, Luzern (1712-1727)
  15. Franz Ludwig Pfyffer von Altishofen, Luzern (1727-1754)
  16. Jost Ignaz Pfyffer von Altishofen, Luzern (1754-1782)
  17. Franz Alois Pfyffer von Altishofen, Luzern (1783-1798)
  18. Karl Leodegar Pfyffer von Altishofen, Luzern (1800-1834)
  19. Martin Pfyffer von Altishofen, Luzern (1835-1847)
  20. Franz Xaver Leopold Meyer von Schauensee, Luzern (1847-1860)
  21. Alfred von Sonnenberg, Luzern (1860-1878)
  22. Louis-Martin de Courten, Wallis (1878-1901)
  23. Leopold Meyer von Schauensee, Luzern (1901-1910)
  24. Jules Repond, Freiburg (1910-1921)
  25. Alois Hirschbühl, Graubünden (1921-1935)
  26. Georg von Sury d'Aspremont, Solothurn (1935-1942)
  27. Heinrich Pfyffer von Altishofen, Luzern (1942-1957)
  28. Robert Nünlis, Luzern (1957-1972)
  29. Franz Pfyffer von Altishofen, Luzern (1972-1982)
  30. Roland Buchs, Freiburg (1982-1997, 1998)
  31. Alois Estermann, Luzern (1998)
  32. Pius Segmüller, St. Gallen (1998-2002)
  33. Elmar Theodor Mäder, St. Gallen (2002-)

Sumber: http://id.wikipedia.org
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Jatuhnya Roma pada tanggal 6 Mei 1527 akibat serangan tentara Charles V menandai kemenangan penting bagi pihak kekaisaran dalam konflik antara Kekaisaran Romawi Suci dan Liga Cognac (1526-1529) - aliansi dari Perancis, Milan, Venice, Florence dan Vatikan.


Latar Belakang

Paus Klemens VII telah memberikan dukungannya pada Perancis dalan sebuah usaha untuk mengubah keseimbangan kekuatan di Eropa, dan membebaskan Vatikan dari dominasi pengaruh Kekaisaran Romawi Suci. Pasukan Kaisar Romawi Suci telah mengalahkan pasukan Perancis di Italia, tapi tidak memiliki uang untuk membayar gaji para prajurit. Sekitar 34.000 tentara Kekaisaran itu kemudian memberontak dan memaksa komandan mereka, Charles III - Bangsawan (Duke) dari Bourbon dan Panglima Militer Kekaisaran untuk Perancis, untuk memimpin mereka ke Roma.

Selain 6.000 tentara Spanyol dibawah pimpinan sang bangsawan, pasukan kekaisaran meliputi juga 14.000 tentara bayaran Jerman (Landsknecht) dibawah pimpinan Georg von Frundsberg, sejumlah tentara infanteri Italia dibawah pimpinan Fabrizio Maramaldo, Sciarra Colonna dan Luigi Gonzaga, dan sejumlah tentara kavaleri dibawah pimpinan Ferdinando Gonzaga dan Philibert, Pangeran Chalons. Walau Martin Luther sendiri tidak mendukungnya, banyak orang yang menganggap diri mereka pengikut Martin Luther memandang ibukota Sri Paus sebagai sebuah sasaran serangan untuk alasan religius, dan menjadikan keinginan rakus untuk cepat kaya sebagai keinginan bersama para prajurit dalam menjatuhkan dan merampok ibukota tersebut yang terlihat sebagai sebuah sasaran empuk. Banyak penjahat, bersama dengan para prajurit desertir dari Liga Cognac, bergabung dengan pasukan Kekaisaran selama perjalanan mereka ke Roma.

Charles III meninggalkan Arezzo pada tanggal 20 April 1527, mengambil keuntungan dari kekacauan di antara para prajurit Venice dan sekutu mereka setelah sebuah pemberontakan pecah di Florence melawan Keluarga Medici. Dalam situasi ini, pasukan berjumlah besar yang tidak terkomando merampok Acquapendente dan San Lorenzo all Grotte, serta menduduki Viterbo dan Roncigione, sebelum akhirnya tiba di tembok benteng kota Roma pada tanggal 5 Mei 1527.

Peristiwa Jatuhnya Roma

Jumlah pasukan yang mempertahankan Roma tidaklah besar, hanya terdiri atas 5.000 kaum milisi pimpinan Renzo de Ceri dan Garda Swiss Sri Paus. Pertahanan kota melibatkan tembok-tembok raksasa dan sebuah kekuatan artileri yang kuat yang mana pasukan Kekaisaran tidak bisa menandingi. Charles III perlu untuk menguasai Roma dengan cepat untuk menghindari risiko terjebak antara pasukan pertahanan kota yang sedang diserang dan pasukan Liga Cognac yang pasti akan datang membantu.

Pada tanggal 6 Mei, pasukan Kekaisaran menyerang tembok-tembok kota di Gianicolo dan Bukit-bukit Vatikan. Charles III terluka parah dan akhirnya meninggal dalam serangan tersebut. Benvenuto Cellini dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas terlukanya bangsawan Bourbon tersebut.

Kematian pemegang komando pasukan yang dihormati yang terakhir tersebut menyebabkan para prajurit tidak dapat lagi menahan diri dan mereka dengan mudah mengambil-alih tembok-tembok Roma di hari yang sama. Sebuah peristiwa penting dalam sejarah Garda Swiss terjadi saat itu. Hampir semua anggota Garda Swiss dibunuh oleh para tentara Kekaisaran di tangga Basilika Santo Petrus. Dari 189 prajurit yang sedang bertugas, hanya 42 prajurit Garda Swiss Sri Paus yang selamat. Namun, pengorbanan dan keberanian mereka memastikan bahwa Paus Klemens VII berhasil menyelamatkan diri lewat Passetto di Borgo, sebuah koridor rahasia yang masih menghubungan kota Vatikan dan Castle Sant'Angelo.

Setelah pengeksekusian sekitar 1.000 tentara yang mencoba mempertahankan Roma, perampokan dan penjarahan kota mulai berlangsung. Gereja-gereja dan biara-biara, termasuk juga istana-istana para uskup dan kardinal, dirusak dan dirampas barang-barang berharganya. Banyak biarawati dan wanita lainnya yang diperkosa tanpa ada yang berusaha mencegahnya; para pria disiksa dan dibunuh. Bahkan para kardinal yang pro dengan Kekaisaran harus membayar para tentara perampok ini untuk menyelamatkan kekayaan mereka.

Pada tanggal 8 Mei, Colonna - Kardinal Pompeo - seorang musuh pribadi Paus Klemens VII, tiba di Roma. Ia diikuti oleh para petani dari daerahnya yang datang untuk membalas dendam atas perampokan yang mereka alami sebelumnya atas perintah Sri Paus. Namun, Colonna menjadi iba melihat kondisi yang sangat menyedihkan tersebut di Roma dan membiarkan banyak penduduk Roma untuk mengungsi ke istananya.

Setelah kerusuhan selama tiga hari, Philibert memerintahkan agar perampokan dan penjarahan untuk berhenti, namun hanya sedikit dari para tentara yang mentaatinya. Sementara itu, Paus Klemens VII terus menjadi tahanan di Castel Sant'Angelo. Francesco Maria della Rovere dan Michele Antonio dari Saluzzo datang dengan bantuan kekuatan tentara pada tanggal 1 Juni di Monterosi, sebelah utara Roma. Mungkin karena tindakan mereka yang terlalu berhati-hati sehingga kemenangan mudah atas tentara Kekaisaran yang tidak disiplin lagi tidak tercapai.

Pada tanggal 6 Juni, Paus Klemens VII menyerahkan dan setuju untuk membayar pampasan perang sebesar 400.000 ducati sebagai jaminan atas nyawanya. Kondisi penyerahan termasuk dicaploknya Parma, Piacenza, Civitavecchia dan Modena oleh Kekaisaran Romawi Suci (walau hanya Modena yang nyatanya dapat dikuasai). Pada saat yang bersamaan Venice mengambil kesempatan dari situasi ini untuk mencaplok Cervia dan Ravenna, dan Sigismondo Malatesta kembali ke Rimini.

Pasca Peristiwa

Charles V sangat malu dan tidak berdaya untuk menghentikan tindakan keji pasukannya, tapi ia tidak kecewa dengan kenyataan bahwa pasukannya telah mengalahkan pasukan Paus Klemens VII dan memenjarakannya. Paus Klemens VII selanjutnya menjalani sisa hidupnya berusahan untuk menghindari konflik dengan Charles V, menghindari mengambil keputusan-keputusan yang bisa membuat Sang Kaisar Romawi Suci itu tidak senang (contohnya, ia menolak permintaan pembatalan pernikahan Raja Inggris Henry VIII untuk menceraikan Catherine dari Aragon karena Catherine adalah bibi dari Charles V, Kaisar Romawi Suci dan Charles I dari Spanyol).

Peristiwa ini menandai akhir dari Masa Pencerahan Romawi, merusak wibawa kekuasaan Sri Paus dan membebaskan Charles V untuk bertindak sesuka hati melawan gerakan Reformasi di Jerman. Terhadap hal ini, Martin Luther berkomentar: “Kristus menunjukkan kekuasaan-Nya dengan jalan dimana Sang Kaisar yang menghakimi Luther demi Sri Paus (pada akhirnya) harus menghancurkan Sri Paus agar dapat tetap menghakimi Luther” (LW 49:169).

Sebagai peringatan atas peristiwa ini dan peringatan atas keberanian pasukan Garda Swiss, para anggota baru Garda Swiss Sri Paus dilantik pada tanggal 6 Mei tiap tahunnya.

Sumber: http://id.wikipedia.org
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,


John dari Britannia atau Jean de Bretagne (sekitar tahun 1266 – 17 Januari 1334) Earl Ketiga Richmond, merupakan seorang berkebangsaan Inggris bangsawan dari Perancis/asal Breton. Ia memasuki pelayanan kerajaan di bawah Edward I, dan berperang di dalam Perang Skotlandia. Pada tanggal 15 Oktober 1306 ia menerima gelar ayahnya Earl dari Richmond. Meskipun ia biasanya setia kepada Edward II selama masa-masa oposisi baron, ia akhirnya mendukung kudeta Isabella dan Mortimer. Ia kemudian mengundurkan diri ke wilayahnya di Perancis, dan selama sisa hidupnya ia tetap tinggal inaktif.

John dari Britannia bukan seorang prajurit yang berprestasi, dan di antara para earl di Inggris politiknya cukup signifikan. Ia tetap sebagai seorang diplomat yang cakap, yang bernilai baik oleh Edward I dan Edward II atas keahliannya bernegosiasi. John tidak pernah menikah dan setelah kematiannya gelar dan wilayahnya jatuh ke tangan keponakannya, John III, Adipati Britannia.

Latar Belakang dan Kehidupan Awal

John merupakan putra kedua John II, Adipati Britannia, dan istrinya Beatrice, yang memiliki 3 orang putra dan 3 orang putri yang selamat sampai usia dewasa. Beatrice adalah putri Henry III dari Inggris, yang menjadikan John sebagai keponakan putra Henry dan pewaris Edward I. Ayahnya memegang gelar Earl dari Richmond, namun hanya sedikit terlibat dengan urusan-urusan politik Inggris. John dibesarkan di istana Inggris bersama dengan putra Edward I Henry, yang wafat di tahun 1274. Ia berpartisipasi di dalam turnamen di masa mudanya, namun tidak pernah membedakan dirinya sebagai seorang prajurit. 

Ketika di tahun 1294 raja Perancis menyita Wilayah Adipati Aquitania Raja Edward, John melakukan perjalanan ke Perancis namun gagal untuk mengambil Bordeaux, dan di hari Paskah tahun 1295 harus melarikan diri ke kota Rions. Di bulan Januari 1297 ia ikut ambil bagian dari kekalahan di pengepungan Bellegarde dengan Henry de Lacy, Earl dari Lincoln, diikut dengan kepulangannya ke Inggris.

Meskipun memiliki hasil yang buruk di Perancis ia tetap dinilai tinggi oleh Raja Edward I, yang menganggapnya sebagai putranya sendiri. Setelah kepulangannya ke Inggris John terlibat di dalam Perang Skotlandia. Ia barangkali juga terlibat di dalam Pertempuran Falkirk di tahun 1298, dan dengan pasti Pengepungan Caerlaverock di tahun 1300. Ayahnya wafat di tahun 1305, dan digantikan Wilayah Adipati Britannia oleh abang John, Arthur. Akan tetapi di tahun berikutnya, Edward I menginvestasikan John dengan gelar ayahnya yang lain, Earl dari Richmond.

Pelayanan Kepada Edward II

Meskipun kegagalan militer dan politik yang relatif signifikan, pemerintahan Inggris memandang Richmond sebagai seorang diplomat yang terpercaya. Ia adalah seorang perantara yang cakap, dan koneksi Perancisnya merupakan aset yang berguna. Di tahun 1305, Edward I menunjuknya sebagai Pengawal Skotlandia, sebuah posisi yang dikonfirmasikan setelah aksesi Edward II di tahun 1307. Pada saat ini Richmond juga merupakan salah seorang earl yang tertua di negara tersebut. Karena hubungan di antara Edward II dan bangsawannya memburuk, Richmond tetap setia kepada raja; di tahun 1309 ia melanjutkan kedutaan untuk Paus Clement V demi orang kesayangan Edward Piers Gaveston. 

Richmond diduga adalah sahabat dekat Gaveston, dan tidak berbagi sikap antagonis yang dipegang oleh ear tertentu lainnya. Akan tetapi, di tahun 1310 hubungan di antara Edward II dan para earlnya memburuk ke titik dimana sebuah komite tokoh terkemuka mengambil alih pemerintahan dari raja. Richmond merupakan salah satu dari delapan earl yang ditunjuk ke dalam kelompok tersebut of 21, yang disebut sebagai Maharaja Ordainer.


Richmond kemudian melakukan perjalanan ke Perancis untuk negosiasi diplomatik, sebelum kembali ke Inggris. Gaveston, diasingkan oleh para Ordainer tapi yang kemudian berbalik, menjadi terbunuh di bulan Juni 1312 oleh Thomas dari Lancaster dan para bangsawan lainnya. Kejadian itu menimpa Richmond, bersama dengan Gilbert de Clare, Earl dari Gloucester, untuk mendamaikan kedua belah pihak setelah kejadian itu. Di tahun 1313 ia mengikuti Edward pada kunjungan negara ke Perancis, dan setelah itu ia tinggal sebagai seorang pengikut yang terpercaya. Di tahun 1318 ia menyaksikan Perjanjian Leake, yang memulihkan Edward pada kekuasaan penuh.

Di tahun 1320 ia sekali lagi menemani raja ke Perancis, dan di tahun berikutnya ia mengemban negosiasi perdamaian dengan bangsa Skotlandia. Ketika di tahun 1322 Thomas dari Lancaster memberontak dan dikalahkan di dalam Pertempuran Boroughbridge, Richmond hadir di pengadilan, ketika Lancaster dihukum mati. Setelah ini, Edward melancarkan kampaye militer yang gagal melawan Skotlandia. Meskipun Richmond menutupi kemunduran Edward di Pertempuran Byland Kuno, memungkinkannya untuk menghindari penangkapan, Richmond ditawan. Ia tetap tinggal sebagai tawanan sampai dengan tahun 1324, ketika ia dibebaskan untuk tebusan sebanyak 14,000 Mark. Setelah ia dibebaskan, ia melanjutkan kegiatan diplomatiknya di Skotlandia dan Perancis.

Penurunan Tahta Edward II dan Tahun-tahun Terakhir

Di bulan Maret 1325 Richmond melakukan perjalanan pulang yang terakhir ke Perancis, dimana untuk pertama kalinya ia membuat dirinya sendiri oponen yang nyata terhadap raja. Wilayah-wilayahnya di Inggris disita oleh Mahkota. Ia menyelaraskan dirinya sendiri dengan Ratu Isabella, yang dikirim ke misi diplomatik ke Perancis, dan mengabaikan perintah-perintah suaminya untuk kembali. Di bulan September 1326 Isabella, kekasihnya Mortimer, dan sekelompok pasukan kecil menyerang Inggris. Di bulan Januari 1327 Edward II dipaksa untuk berabdikasi, dan putranya diumumkan sebagai Raja Edward III. 

Meskipun wilayah-wilayah Richmond dipulihkan, tahun-tahun terakhirnya dihabiskan di wilayah-wilayah Perancisnya, dan ia tetap sebagian besar terputus dari urusan-urusan politik Inggris. Ia wafat pada tanggal 17 Januari 1334, dan dimakamkan di dalam gereja Franciskan di Nantes. John dari Britannia tidak pernah menikah; ia digantikan oleh keponakannya John (putra Arthur), yang menjadi pewaris wilayah Earlnya.

Sumber: http://id.wikipedia.org
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Arthur II (2 Juli 1262 – 27 Agustus 1312), dari Istana Dreux, merupakan seorang Adipati Britannia dari tahun 1305 sampai kematiannya. Ia adalah putra sulung John II dan Beatrice, putri Henry III dari Inggris dan Eleanor dari Provence.

Setelah ia menjadi pewaris tahta keadipatian, ia memberikan saudaranya John ayah Inggrisnya wilayah earl dari Richmond.


Sebagai adipati, Arthur independen dari mahkota Perancis. Ia membagi wilayah adipatinya ke dalam delapan "pertempuran": Leon, Kernev, Landreger, Penteur, Gwened, Naoned, Roazhon, dan Sant Malou. Di tahun 1309, ia mengadakan rapat wilayah umum (leluhur parlemen Breton) di Britannia. Peristiwa ini adalah untuk yang pertama kalinya di dalam sejarah Perancis yang dihadiri oleh negara ketiga.

Arthur wafat di Château de L'Isle dan dimakamkan di dalam sebuah makam marmer cordelier di Vannes. Makam tersebut dirusak semasa Revolusi Perancis, namun diperbaiki dan masih ada sampai sekarang.

Di tahun 1275, Arthur menikahi Mary, Viscount Wanita Limoges, putri Gui VI, Viscount dari Limoges dan Margaret, Lady dari Molinot. Eyang maternalnya adalah Hugh IV, Adipati Burgundia dan istri pertamanya Yolande dari Dreux. Mereka adalah orangtua dari 3 orang anak:

* John III, Adipati Britannia (8 Maret 1286 – 30 April 1341).
* Guy dari Britannia, Pangeran Penthièvre (1287–1331). Ayah Joanna dari Penthièvre.
* Peter dari Britannia (1289–1312).

Mary meninggal di tahun 1291. Di bulan Mei, 1292, Arthur menikah lagi dengan Yolande dari Dreux, yang adalah Pangera Wanita Montfort, putri Robert IV, Pangeran Dreux dan Beatrice de Montfort. Ia secara singkat adalah Ratu Skotlandia oleh pernikahannya yang pertama. Mereka adalah orangtua dari 7 orang anak:

* Joan dari Britannia (1294–1363), menikah dengan Robert, Maharaja de Cassell.
* John IV, Adipati Britannia (1295 – 16 September 1345).
* Beatrice dari Britannia (1295–1384), menikah dengan Guy X, Maharaja Laval.
* Joan dari Britannia (1296–1364), menikah dengan Robert, Pangeran Marle.
* Alice dari Britannia (1297–1377), menikah dengan Bouchard VI, Pangeran Vendôme.
* Blanche dari Britannia (lahir sekitar 1300), diperkirakan mati muda.
* Marie dari Britannia (1302–1371). Seorang biarawati.

Sumber: http://id.wikipedia.org
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Gaddafi memberikan julukan dirinya dengan : "Raja di Raja". Berkuasa selama 42 tahun. Kekayaannya mencapai $ 160 miliar dollar. Anak-anaknya, dan keluarganya ikut berkuasa. Libya menjadi identik dengan Gaddafi, anaknya, dan keluarganya. Selama 42 tahun berkuasa, dan dengan minyak melimpah, tak dapat mengubah hidup rakyatnya. Tetap terbelakang.


"Raja di Raja", akhirnya, dikuburkan sebelum fajar, pukul 05.00 waktu Libya, di padang gurun, dan dirahasiakan. Penguburan jenazahnya dilakukan sesudah lima hari tewas ditembak.

Selama lima hari itu, jenazah Gaddafi itu dipertontokan kepada kalayak di sebuah supermarket, di Misrata. Jenazah Gaddafi dibaringkan begitu saja diatas matras di ruang pendingin, yang digunakan sebagai penyimpanan daging.

Selama lima hari itu jenazah Gaddafi menjadi tontotan rakyatnya. Begitulah nasib Gaddafi. Kematiannya menjadi semacam katarsis bagi rakyatnya di zaliminya selama berkuasa.

Akhir hidup "Raja di Raja" sangat tragis dan hina. Gaddafi ditangkap di gorong-gorong, digelandang, dipukuli, dijambak rambutnya, ditendang hingga terjatuh, kemudian ditembak.

Padahal, Gaddafi sudah menghiba kepada yang menangkapnya, memohon jangan diperlakukan dengan kasar, disakiti, dan diberikan hak hidup. Tetapi, mereka sudah tidak peduli lagi, dan ketika Gaddafi itu terjatuh, ditembak kepalanya.

Penguburan Gaddafi menjadi perdebatan dikalangan pejabat Dewan Transisi Nasional (NTC), di mana Gaddafi itu dimakamkan? Sebagian menginginkan agar Gaddafi itu dimakamkan di pekuburan para agresor atau musuh rakyat Llibya, di dekat kota Misrata. Kuburan para agresor itu, adalah para loyalis Gaddafi yang tewas dalam pertempuran di Misrata. Tetapi, rakyat di Misrata menolak jenazah Gaddafi dikubur di Misrata.

Namun, sikap yang paling jelas, terkait dengan jenazah Gaddafi adalah Mufti Libya, Sheikh Shadiq al-Gariyani, bagaimana dalam memperlakukan jenazah Gaddafi. Sheikh Al-Gariyani, berfatwa melarang melakukan shalat jenazah atas jasad Gaddafi di masjid atau melakukan shalat ghaib atas jenazah mantan penguasa Libya itu di manapun di muka bumi ini. Itulah status Gaddafi.

Sheikh Abdullah Azzam menegaskan bahwa Gaddafi itu kafir, menjadi musuh umat Islam. Ketika berlangsung aksi-aksi protes, dan terus berjatuhan korban tewas, Sheikh Yusuf al-Qardawi, menfatwakan, agar siapa saja yang dekat dengan Gaddafi membunuhnya. Fatwa al-Qardawi itu disampaikan saat shalat Jum'at di Qatar.

Di dalam al-Qur'an, sangat tegas Allah Azza Wa Jalla menyampaikan larangan membunuh manusia, tanpa dasar yang haq. Lalu, berapa kaum Muslimin dibunuh oleh Gaddafi selama berkuasa 42 tahun?

Allah Azza Wa Jalla memberikan berbagai bentuk kenikmatan kepada manusia, salah satunya berupa kekuasaan, dan hendaknya kekuasaan itu digunakan dalam rangka taat dan tunduk kepada Allah Rabbul Alamin. Bukan menyombongkan diri. Kekuasaan yang dimilikinya hendaknya tetap dalam rangka bersyukur kepada Rabbul Alamin, bukan kemudian berbuat kufur dan durhaka atas nikmat-Nya.

Bahkan suatu ketika "Raja di Raja" Gaddafi menjadi imam shalat, usai membaca al-Fatihah, kemudian membaca surah al-Ikhlas. Gaddafi, tidak membaca, "kull" (katakanlah Muhamamd), tetapi dia langsung membaca: "Allahu ahad", sampai akhir ayat. Begitulah sikap Gaddafi.

Gambaran pandangannya dan sikapnya terhadap Islam, sudah sangat jelas, dan selama berkuasa 42 tahun, tidak mau menegakkan sistem Islam, dan berhukum dengan hukum Islam. Gaddafi menegakkan sistem "la diniyah" alias sekuler, semuanya tertera dengan sangat gamblang dalam "Buku Hijau" nya itu.

Mungkin nasib Gaddafi hanya bisa disamakan dengan mantan diktator Hongaria, Ceausescu, yang ketika berlangsung revolusi di Hongaria, di tangkap, kemudian ditembak bersama isterinya, sampai darah dari kepalanya muncrat. Dalam tayangan telivisi itu, bagaimana Ceasusescu, mengakhiri hidupnya dengan sangat tragis.

Semoga peristiwa yang jauh dari Indonesia, di dunia Arab dan Afrika Utara itu, bisa menjadi 'itibar (pelajaran) bagi para penguasa di manapaun, agar mereka tidak lupa, ketika berkuasa, dan menyakiti rakyat, serta meninggalkan rasa syukur.

Bahwa kekuasaan itu hakekatnya pemberian dari Allah Azza Wa Jalla, yang seharusnya dijalankan dengan penuh amanah, dan tidak semena-mena. Wallahu'alam.

Sumber: http://www.eramuslim.com
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: , ,


Secara tiba-tiba Presiden Barack Obama mengumumkan berakhirnya perang di Irak. Pengumuman Obama itu, menimbulkan reaksi dikalangan internal pemerintahan Obama, termasuk Menteri Pertahanan Leon Panetta, yang menilai terlalu cepat pengumuman itu. Tetapi, diakui oleh Panetta, keputusan politik Obama itu, terkait pemotongan anggaran bagi Pentagon, yang sangat signifikan, yang bertujuan mengurangi defisit anggaran.

Pemerintahan Irak yang dipimpin Al-Maliki dibawah pengaruh Syiah, yang dipimpin Muqtada al-Sadr, dan memperlihatkan sikapnya tidak bersahabat dengan Amerika Serikat. Jadi invasi Amerika Serikat ke Irak, yang banyak menimbulkan korban, tidak menghasilkan tujuan yang ingin dicapai oleh Amerika Serikat. Justru Amerika Serikat kehilangan hegemoni diwilayah itu.

Perlahan-lahan Amerika Serikat mulai kehilangan pengaruh dan hegemoninya di dunia Arab. Pengaruh Amerika Serikat dikawasan itu terus memudar. Tidak memiliki pengaruh signifikan lagi. Ini bersamaan dengan perubahan politik yang luas di dunia Arab dan Afrika Utara. Di mana sejak berlangsungnya revolusi yang mula-mula terjadi di Tunia, Februari lalu, dan terus menjalar ke seluruh dunia Arab dan Afrika Utara.

Revolusi di dunia Arab dan Afrika Utara itu, menimbulkan dampak yang luas, terutama terjadinya sirkulasi kekuasaan. Pergantian dari rezim sebelumnya kepada pemerintahan baru, yang berbeda coraknya.

Sekarang rezim-rezim diktator yang selama ini menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan Barat, satu-satu berguguran. Digantikan rezim yang baru melalui proses pemilihan. Seperti yang terjadi di Tunisia.

Masalahnya, pemerintahan yang baru, bukan lagi rezim-rezim yang diktator, dan memerintah dengan satu tangan. Tetapi, rezim baru bercorak demokratis, dan mengakomodasi banyak kepentingan, serta tidak lagi sistem pengambilan keputusan ada di satu tangan.

Selain itu, corak pemerintahan baru di dunia Arab dan Afrika Utara itu, memiliki warna ideologi berbeda dengan rezim sebelumnya. Seperti sekarang terjadi di Tunisia dan Libya, kemungkinan Mesir. Di mana kaum Islamis memenangkan pemilihan. Mereka belum tentu dapat menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan Barat. Apalagi, Barat selama ini, terlalu memanjakan Israel. Menjadikan rezim baru di dunia Arab dan Afrika Utara, yang sudah berubah itu, kemungkinan sangat apriori terhadap Barat.

Meskipun, serangkaian langkah yang dijalankan oleh kebijakan Amerika Serikat dan Eropa, mencoba memanfaatkan dengan mendukung gerakan revolusi dan protes di dunia Arab dan Afrika Utara itu, sebagai sebuah siasat, agar mereka tetap mempunyai pengaruh dengan rezim baru, khususnya bercorak Islam.

Lebih-lebih rakyat di dunia Arab dan Afrika Utara, sudah sangat trauma dengan peranan Amerika Serikat dan Eropa, terus-menerus mendukung rezim-rezim diktator dalam kurun waktu sangat panjang. Zine Al Abidin ben Alli, Mubarak, Ali Abdullah Saleh, Gaddafi, Raja Abdulah (Saudi), Raja Abdullah (Jordania), mereka adalah rezim sangat repressif dan menjadi perpanjangan tangan Barat.

Sekarang, seperti langkah-langkah Turki mengusir Duta Besar Israel dari Ankara, dan memutuskan semua tingkat hubungan bilateral dengan Israel itu, menunjukkan bahwa pengaruh Israel dan Amerika sudah menurun. Langkah Turki memberikan inspirasi terhadap dunia Arab dan Afrika Utara, dan mereka ingin lebih bersikap independen.

Bagaimana ketika di Tunisia yang memenangkan pemilihan Partai Islam An-Nahdhah, di Mesir yang memenangkan Partai Keadilan dan Kebebasan, dan Libya menjadi negara Islam, seperti yang dinyatakan oleh Ketua Dewan Transisi Nasional, Mustafa Abdul Jalil? Kemudian, di Yaman, Ali Abdullah Saleh juga tersingkir, dan digantikan kekuatan Islam, seperti Partai Ishlah? Kekuatan Islam di Syria yang dipelopori Gerakan Islam (Sunni), terutama yang menjadi lawan politik rezim Alawiyyin (Shia), semakin menampakkan pengaruhnya. Ini semua akan berdampak terhadap hegemoni Amerika Serikat.

Perubahan di dunia Arab dan Afrika Utara itu, tidak hanya berdampak terhadap hilangnya hegemoni Amerika Serikat, tetapi juga "warning" bagi Israel, seperti yang dikemukakan oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Leon Panetta, saat bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, yang mengatakan, bahwa Israel akan semakin terisolasi, jika Israel tidak segera mengambil langkah menuju perdamaian.

"Israel tidak akan survive menghadapi gelombang perubahan di dunia Arab dan kebangkitan Islam", ujar Leon Panetta.

Aksi penyerbuan Kedutaan Israel di Cairo, Mesir, yang begitu hebat, dan kemudian membakar sebagian gedung itu, menandai atmoshfir (suhu) politik di duni Arab sedang berubah. Ini dampaknya akan semakin memojokkan posisi Amerika Serikat dalam percaturan politik di kawasan itu.

Apalagi, pemerintahan baru, yang lahir, sangat berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, yang lebih bercorak Islam, dan semakin beragam dalam sistem pengambilan keputusan nantinya.

Amerika Serikat dan sekutunya Israel, harus mempertimbangkan kembali posisinya di tengah-tengah dunia Arab yang sudah berubah, jika masih ingin mempunyai mitra dengan rakyat dan gerakan-gerakan Islam di dunia Arab dan Afrika Utara. Wallahu'alam.

Sumber: http://www.eramuslim.com
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,

Semua negara Arab dan Afrika Utara mengalami perubahan pollitik, terjadi sirkulasi (pergantian) kekuasaan. Para penguasa lama yang sudah berkuasa dalam kurun waktu yang panjang, akhirnya mereka harus turun. Diturunkan rakyatnya.

Tunisia, Mesir, dan Libya telah terjadi transformasi kekuasaan, dan sekarang memasuki fase baru. Dari rezim-rezim yang otokratis ke arah demokrasi. Pemilu menjadi agenda kedua setelah terjadi perubahan politik, dan dilanjutkan dengan penyusunan konstitusi baru.

Persoalannya bagaimana corak pemerintahan yang datang di sejumlah negara Arab, di masa yang akan datang. Dapatkah kekuatan Islam menjadi alternatif baru?


Di hampir semua negara Arab dan Afrika Utara, selama berkuasanya rezim-rezim yang otokratis, sistem yang berlaku adalah sistem sekuler. Kekuatan Islam yang ada selalu ditindas, dan tidak diberi kesempatan oleh rezim yang berkuasa. Sampai terjadi perubahan politik, melalui sebuah revolulsi dan pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di Libya.

Selama rezim-rezim otokratis berkuasa, yang hidup dan eksis adalah kekuatan politik sekuler, yang memang menjadi perpanjangan tangan rezim. Mereka menjadi alat rezim yang berkuasa, sembari menindas kekuatan Islam. Nilai-nilai Islam direduksi. Sampai ke titik nol. Rezim-rezim yang berkuasa di dunia Arab dan Afrika Utara itu, menolak dan memerangi prinsip-prinsip Islam, yang diperjuangkan oleh Gerakan Islam.

Sekarang berlangsung pemilihan di Tunisia, Mesir, dan ke depan Libya, juga akan melangsungkan pemilihan.

Tentu, persoalan yang paling pokok, adakah kekuatan sekuler dan Barat, yang sekarang terlibat dalam perubahan memberikan ruang secara "fair" bagi Gerakan Islam, memberlakukan sistem Islam?

Di Tunisia kekuatan kaum sekuler melalui partai-partai politik, menyerang Partai An-Nahdhah, sebagai kekuatan teroris. Menuduh Rashid Ghannaoushi sebagai ancaman, dan itu mereka lakukan melalui kampanye. Bahkan, di tengah-tengah berlangsungya pemungutan suara pun, sejumlah anggota dari partai sekuler, meneriakkan cemoohan kepada Ghannoushi, agar kembali ke London, dan menyebutnya sebagai teroris.

Di Mesir pertarungan lebih sengit antara kekuatan Islamis dengan sekuler. Mereka menolak kekuatan politik Islamis, yang sekarang ikut dalam kontes pemilu, yang diwakili Partai Keadilan dan Kebebasan, yang didirikan Jamaah Ikhwanul Muslimin, di Mesir. Kaum sekuler yang diwakili Partai Wafd, menuduh Partai Keadilan dan Kebebasan sebagai ancaman masa depan Mesir.

Konflik Islam dan Kristen yang akhir-akhir berlangsung di Mesir, hanyalah sebuah "cara" (uslub), kekuatan-kekuatan yang ingin mendiskriditkan kekuatan Islam, yang dituduh tidak toleran dan mengancam golongan minoritas. Karena itu, di Mesir suhu politik meningkat menjelang pemilu.

Tentu, yang sangat menarik pernyataan Ketua Dewan Transisi Nasional (NTC) Mustafa Abdul Jalil, yang menegaskan, bahwa Tunisia bangsa Muslim, dan akan menegakkan syariah Islam, termasuk yang terkait dengan poligami", cetusnya. Jalil, menambahkannya, "Akan membatalkan semua aturan dan hukum yang bertentangan dengan hukum Islam", tegasnya.

Kekuatan sekuler yang ada di semua negara-negara Arab, dibelakangnya adalah Barat, yang mereka mempunyai kepentingan yang dalam di negeri-negeri Muslim. Sejak penjajahan mereka menjelang abad ke l9, sampai sekarang mereka tidak ingin melepaskan hegemoninya, dan masih terus akan mencengkeram kaum Muslim di dunia Islam.

Kaum sekuler menjadi represantasi kepentingan Barat, yang ingin terus melanggengkan jajahan mereka di negeri-negeri Muslim. Dengan terus menjaga kaum sekuler, dan melenggengkan mereka, dan mereka akan tetap menjadi perpanjangan tangan kepentingan Barat.

Perang dan revolusi baru saja usai, tetapi sekarang memasuki tahapan baru, perang dan revolusi menghadapi kaum sekuler, yang menjadi perpanjangan tangan Barat.

Tentu perang dan revolusi dalam bentuk perang dan revolusi yang lain, sudah tidak menggunakan senjata, tetapi perang dan revolusi beralih di parlemen. Dapatkah kekuatan Islam mewujudkan keinginannya? Menjadikan Islam sebagai sistem dan aturan serta undang-undang di setiap negeri Muslim. Bukan lagi menegakkansistem, aturan dan undang-undang sekuler, yang merupakan alat kepentingan Barat.

Sayangnya, seringkali kekuatan-kekuatan Gerakan Islam jarang yang kuat dan istiqomah, memegang amanah Allah, menegakkan dinul haq, serta menegakkan sistem Islam, yang merupakan wujud dari "syumuliyatul Islam", kemudian mereka menyerah dan berlaku pragmatis, dan mengganti nilai-nilai Islam yang mulia itu dengan kekuasaan.

Mereka takut dengan kaum sekuler yang mendapatkan dukungan Barat, dan kemudian mereka merubah prinsip perjuangan mereka, dan menggantinya dengan prinsip-prinsip sekuler dan nasionalisme, yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan Barat.

Maka, jika ini yang terjadi, seluruhnya akan menjadi sia-sia perjuangan mereka, yang sudah mengorbankan begitu banyak nyawa dan darah. Tetapi, kemudian para pemimpinnya menggadaikan prinsip-prinsip yang menjadi dasar perjuangan mereka.

Semoga kita masih dapat berharap kepada Gerakan Islam yang ada di seluruh negara Arab dan Afrika Utara, agar tidak larut dalam kekuasaan dan masuk dalam jeratan strategi kaum sekuler dan Barat.

Kemudian, partai-partai Islam seperti barang di "etalase", yang hanya indah dilihat, tetapi tidak memiliki arti apa-apa. Semoga. Wallahu'alam.

Sumber: http://www.eramuslim.com
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: , ,

Bagaimana revolusi di Timur Tengah dan Afrika Utara telah membawa perubahan kekuasaan yang sangat dramatis. Kurang dari setahun yang lalu, keempat orang yang paling kuat di Afrika Utara dan Timur Tengah masih dalam gelak-tawa, dan bertemu dalam konferensi.


Hari ini, satu sudah mati, satu di pengasingan, satu menghadapi pengadilan, dan satunya menunggu. Sementara itu, hanya salah satu dari mereka tetap berkuasa. Tapi, tidak bakalan lama.

Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Presiden Libya Moammar Gadhafi, dan Presiden Mesir Hosni Mubarak, mereka begitu tersenyum di depan kamera, pada pertemuan puncak para pemimpin Afrika dan Arab yang diselenggarakan di kampung halaman Gadhafi itu, Sirte, Oktober lalu.

Setahun kemudian, berlangsung pemberontakan atau revolusi di dunia Arab, yang menyapu negara-negara mereka, dan para pemimpin yang pernah ditakuti, dan dibenci, serta tidak pernah tersentuh apapun telah disingkirkan.

Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali adalah yang pertama dari kelompok empat pemimpim yang jatuh. Kerusuhan yang berkembang, berubah menjadi revolusi memicu jatuhnya pemimpin Arab itu dari negaranya pada bulan Desember tahun lalu. Ketika penjual buah Muhammad Al Bouazizi membakar dirinya, karena pemuda yang frustrasi itu menjadi pengangguran di negara Tunisia itu.

Kemudian Al Bouazizi meninggal, tetapi tindakannya memberikan inspirasi lairnya gerakan protes massa, dan ribuan rakyat turun ke jalan untuk menuntut perubahan politik. Gerakan rakyat yang terus membesar itu, membuat Presiden Zainal al Abidin melarikan diri ke Arab Saudi, dan berakhir kekuasaannya yang sudah berlangsung selama lebih tiga puluh tahun itu.

Dampak Revolusi Arab

Ben Ali, yang telah memerintah Tunisia sejak mengambil kekuasaan dalam kudeta pada tahun 1987, melarikan diri ke Arab Saudi, tiga minggu kemudian, pada tanggal 14 Januari. Dia diadili secara in absentia karena korupsi, dan dijatuhi hukuman 35 tahun penjara.

Kemudian, pemerintahan baru di Tunisia akan mengadakan pemilihan pada akhir pekan ini, dan merupakan pemilihan pertama pasca-revolusi. Di Tunisia kekuatan utama di negeri itu, Partai An-Nahdhah, yang dipimpin Prof. Rashid Gaunushi, yang pernah hidup di pengasingan di London.

Hosni Mubarak berikutnya kehilangan cengkeraman kekuasaannya, akibat pemberontakan rakyatnya, yang berlangsung di seluruh Mesir.Ratusan ribu Mesir mendirikan kemah-kemah sebagai bentuk protes di Tahrir Square, Kairo.

Ratusan orang tewas dan terluka, saat para demonstran menyerukan pengunduran dirin Mubarak - presiden Mesir yang berkuasa sejak 1981 - gerakan itu menuntut Mubarak mengundurkan diri dan meninggalkan negara itu. Gerakan protes itu bentrok dengan pasukan pro-pemerintah yang menimbulkan banyak korban.

Mubarak awalnya menolak menyerahkan kekuasaannya, tetapi Mubarak akhirnya mundur pada tanggal 11 Februari. Sekarang Mubarak sedang diadili karena korupsi dan membunuh lebih dari 800 demonstran.

Korban terbaru dari revolusi Arab, adalah Presiden Libya Kolonel Moammar Gadhafi, seorang diktator, yang berkuasa lebih empat puluh tahun, dan kekuasaannya berakhir dengan tragis, ketika Gaddafi tewas di kota kelahirannya, Sirte, Kamis, 20 Oktober, kemarin.

Kematian Gaddafi

Gadhafi telah mengungsi ke kampung halamannya, di Sirte, tak lama setelah pejuang oposisi mengambil alih ibukota Tripoli dua bulan lalu, dan berlangsung pertempuran selama berbulan-bulan untuk menguasai kota-kota di seluruh negeri. Lebih delapan bulan pertempuran berkecamuk, antara kekuatan oposisi melawan pasukan yang setia kepada Gaddafi.

Hanya satu dari empat pemimpin Arab yang masih bertahan, yaitu Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, di mana dia masih bertanggung jawab - atas kerusuhan di negaranya, di mana protes damai di Sanaa, Aden dan Taiz telah menemui perlawanan sengit dari unit tentara masih setia Saleh, akibatnya meninggalkan ratusan orang yang mati.

Saleh, yang telah berkuasa sejak 1978, selamat dari upaya pembunuhan pada bulan Juni lalu, ketika istana presiden dibom, menewaskan lima orang dan melukai Saleh dan beberapa menterinya.

Ali Abdullah Saleh menghabiskan beberapa bulan di Arab Saudi, guna mendapatkan perawatan medis, akibat luka bakar dan paru-parunya mengalami luka parah, dan sekarang kembali ke Sanaa, bulan lalu.

Abdullah Saleh telah berulang kali berjanji untuk mundur sebelum pemilu presiden berikutnya, tetapi kelompok oposisi di Yaman, mengatakan ia telah melanggar janji-janji berkali-kali seperti sebelumnya.

Namun, kematian Gadhafi, seperti kartu domino yang jatuh, dan meningkatkan harapan para aktivis gerakan oposisi bahwa mereka juga dapat menggulingkan penguasa lama mereka.

Berapa lama lagi, Ali Abdullah Saleh, Bashar al-Assad, Raja Arab Saudi Abdullah, dan Raja Jordania Abdullah, yang sekarang masih bercokol, dan memegang kekuasaannya?

Mungkin tidak lama lagi. Jika mereka tidak pergi, maka rakyatnya akan memaksa mereka pergi selama-lamanya. Wallahu'alam.

Sumber: http://www.eramuslim.com
Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,


Seperti kartu domino. Satu-satu jatuh. Berurutan. Semuanya pasti akan jatuh. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu. Kapan mendapat gilirannya? Betapapun mereka berusaha mempertahankannya. Tak ada kekuatan yang dapat menahannya. Kemudian segalanya berakhir dengan sangat tragis.

Pertama kali yang pergi meninggalkan kekuasaannya Presiden Tunisia Zainal Abidin bin Ali, yang berkuasa hampir tiga dekade (tiga puluh tahun). Merebut kekuasaan dari penguasa sebelumnya, Habib Bourguiba, yang berhasil digulingkannya. Bourguiba yang sudah sakit-sakitan itu, harus merelakan kekuasaannya diserahkan kepada Zainal Abidin bin Ali.

Penguasa Tunisia beserta keluarganya masih beruntung. Karena Raja Arab Saudi Abdullah masih melindunginya. Mendapatkan suaka bersama keluarganya. Sekarang menikmati hari tuanya di pengasingan di Arab Saudi. Sekalipun menghadapi tuntutan rakyatnya. Tetapi rakyat Tunisia seperti sudah mulai melupakannya. Rakyat Tunisia mulai kehidpan baru, dan menata kehidupan mereka.

Pengaruh gerakan revolusi rakyat yang berlangsung di Tunisia itu, berimbas terhadap Mesir, dan Presiden Hosni Mubarak, yang sudah berkuasa tiga dekade itu, tak pula mampu bertahan. Mubarak berhasil digulingkan rakyatnya.

Mubarak nasibnya tidak sebaik Zainal al Abidin, karena Mubarak dan anak-anaknya serta isterinya, harus menghadapi tuntutan di pengadilan. Dalam kondisi yang sudah sakit-sakitan sekarang menghadapi tuntutan pengadilan.

Tidak ada yang membelanya. Orang-orang dekatnya meninggalkan. Sekutunya ikut menjatuhkannya saat Mubarak, menginginkan pertolongan. Sekarang Mubarak sendirian dengan anak-anaknya serta isterinya, menghadapi tuntutan atas kekuasaannya yang dia pegang selama hampir tiga dekade.

Pengadilan yang sekarang bukan lagi bisa melindunginya, justru mendakwanya melakukan pembunuhan terhadap aktivis yang berjuang menggulingkannya.

Tentu, yang paling tragis, penguasa Libya Muammar Gaddafi, yang berusaha mempertahankan kekuasaannya, dan menggunakan kekuatan militer yang dimilikinya, selama delapan bulan, berakhir dengan tragis. Kematian. Gaddafi mati di tangan rakyatnya sendiri. Nasib begitu hina.

Delapan bulan perang di Libya antara kekuatan yang ingin menumbangkan kekuasaannya dengan kekuatan-kekuatan yang mendukungnya. Gaddafi dengan segala kekuatan militer yang dimilikinya berusaha mempertahankan kekuasaan. Begitu banyak korban yang tewas. Ribuan. Puluhan ribuan terluka. Akibat perang saudara itu.

Semuanya, karena Gaddafi terlalu mencintai kekuasaan, dibandingkan mencintai rakyatnya. Tidak mau menyerahkan kekuasaan yang sudah digenggamnya selama empat dekade.

Para penguasa Arab dan Afrika Utara itu, sekarang berguguran, seperti kartu domino, menghadapi rakyatnya, yang memang sudah terlalu lama menghadapi para penguasa, yang sangat lalim.

Karakter para penguasa Arab, umumnya mereka mendapatkan kekuasaan dengan jalan kekerasan, kudeta, dan berakhir dengan kudeta, dan sekarang menghadapi revolusi rakyatnya. Mereka menggunakan kekuasaannya dengan kejam, dan penuh kekerasan yang sangat. Kekuasaan bukan digunakan melindungi rakyatnya. Para penguasa Arab benar-benar seorang despotis.

Kekuasaan menjadi sebuah "perusahaan keluarga". Di mana pemerintahan dan kekuasaannya sangat elitis. Dikelola dan dikendalikan bersama dengan keluarganya.

Anak-anaknya, saudara-saudaranya, kerabatnya, isterinya, serta kawan-kawannya. Segelintir kecil orang yang sangat berkuasa.

Mereka menguasai pemerintahan, birokrasi, militer, aparat intelijen, ekonomi, dan seluruh sarana yang menjadi hajat hidup rakyat, berada di tangan segilintir orang, yaitu keluarganya. Keluarga terdekat. Itulah sistem pemerintahan diseluruh dunia Arab dan Afrika Utara.

Tidak ada pembagian kekuasaan yang transparan dan terbuka. Semua pengelolaan negara seperti mengelola perusahaan pribadi. Sangat tertutup.

Di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Saudi Arabia, Yordania, Maroko, Aljazair, semuanya pengelolaan negara sangat ekslusif. Sangat terbatas. Orang-orang luar diluar keluarga dan kerabatnya sangat dibatasi kewenangannya. Tidak ada sirkulasi (pergantian) kekuasaan regular (terutar). Kekuasaan turun-temurun. Orang-orang diluar garis keturunannya, tidak bakal dapat berkuasa.

Mereka ingin mempertahankan kekuasaannya dengan cara-cara yang sangat naif. Dengan kekerasan dan menggunakan kekuatan militer. Menindas rakyat. Rakyat dihancurkan. Setiap gerakan yang menginginkan perubahan ditindas dan dihancurkan. Itulah tradisi kekuasaan di dunia Arab.

Sementara itu, para penguasa dan keluarganya, mereka hidup seperti dalam dongeng-dongeng. Anak dan menantu Presiden Tunisia Zainal al Abidin, yang tinggal di Paris, mempunyai seekor harimau, yang makannya lebih mahal, dibandingkan makan yang digunakan seribu orang rakyatnya.

Militer dan intelijen dikendalikan keluarganya, atau kelompok-kelompok yang satu suku atau aliran. Seperti yang terjadi di Syria. Di mana militer dan intelijen negeri itu, dipegang oleh keluarga Bashar al-Assad dan kelompok Alawiyyin (Shiah).

Berapa lama mereka dapat mempertahankan kekuasaan dengan cara seperti itu? Mereka rezim yang tamak dan rakus, serta menindas rakyatnya, dan menjadi alat kepentingan Amerika dan Zionis-Israel. Sekarang mereka satu-satu berguguran.

Tragisnya. Dalam kondisi yang sekarat mereka tidak mendapatkan pertolongan dan dukungan. Justru Amerika dan Eropa mengirimkan pesawat tempur dan bom menghancurkan mereka.

Kematian Kolonel Muammar Gaddafi itu, tak lama sesudah kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hallary Clinton, yang bertemu pejabat Pemerintahan Transisi Libya (NTC) Mustafa Abdul Jalil, di mana Hallary Clinton, menyerukan agar menangkap Gaddafi hidup atau mati.

Itulah nasib para pemimpin Arab dan Afrika Utara, yang lalim dan tamak,serta menjadi alat Barat, sekarantg mereka harus menghadapi nasibnya yang sangat tragis. Mereka bukan hanya menghancurkan masa depan rakyatnya, tetapi juga menghancurkan Islam dan umatnya.

Kekuaaan yang digenggamnya itu, tak dapat dipertahankan, dan meninggalkannya dan pergi, saat-saat mereka membutuhkannya. Wallahu'alam.

Sumber: http://www.eramuslim.com
  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments