Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
Saya tidak pernah sama sekali bercita-cita menjadi seorang peacekeeper, bermimpi pun tidak. Tapi inilah kondisi yang saya hadapi saat ini. Semua saya lakukan sebagai bentuk loyalitas terhadap perintah pimpinan yang dipercayakan kepada saya.
Sebelum saya menjalankan misi kemanusiaan ini, sebelumnya saya melalui mekanisme tes kelayakan untuk menjadi seorang peacekeeper terlebih dahulu yang diselenggarakan oleh Mabes TNI. Dalam hal ini PMPP (Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian), kesatuan yang menangani dan menyelenggarakan tentang operasi-operasi yang berbau misi kemanusiaan.
Dari ratusan peserta seleksi yang berasal dari tiga angkatan (darat, laut dan udara) hanya 150 orang yang dipilih dan dinyatakan lulus, termasuk saya. Beberapa persyaratan tentunya telah saya penuhi sebagai kelengkapan administrasi di antaranya; surat keterangan berbadan sehat baik jasmani dan rohani, berkemampuan berbahasa Inggris dan komputer serta harus lulus dalam menjalani psikotes. Tentunya banyak suka maupun duka yang saya peroleh selama menjadi peacekeeper, bahkan saat ini saya sedang menjalankan misi itu. Sisi sukacita tentunya saya merasa bangga bisa mengabdikan diri ke hadapan dunia internasional dalam misi kemanusiaan dengan bentuk tugas penjaga perdamaian di negara yang biasa disebut negara seribu konflik, Lebanon.
Saat ini saya tergabung dalam naungan Unifil-Lebanon yang bermarkas di Naqoura Lebanon Selatan. Bentuk suka cita yang lain adalah saya bisa bergabung dengan negara-negara kontributor pasukan perdamaian, di antara sesama Satgas memiliki tujuan yang sama, memiliki misi dn visi yang sama, yaitu menjalankan resolusi PBB 1701. Di sinilah saya bisa menunjukkan kepada dunia internasional, saya datang mewakili ratusan ribu tentara Indonesia untuk membawa misi perdamaian dan saya harus bersikap imparsial alias netral tanpa harus memihak kepada salah satu pihak yang bertikai. Demi Indonesia saya harus bisa buktikan.
Sisi lain cerita tentang dukacita tentunya saya tidak luput dari duka yang memang harus saya pikul. Saya manusia yang perlu bersosial baik dengan keluarga tercinta maupun dengan masyarakat. Rasa duka yang sangat dalam saya rasakan, yakni ketika harus meninggalkan keluarga, anak dan istri tercinta. Masih beruntung sarana komunikasi di era saat ini sudah sangat mudah untuk kami dapat sehingga hampir setiap hari kami (saya dan keluarga) bisa saling berkomunikasi, baik melalui telpon, skype, yahoo messenger bahkan sampai demam menggunakan jejaring sosial yang sedang booming, facebook. Awalnya istri saya kurang memahami apa itu yang dinamakan facebook, namun mengingat media ini merupakan salah satu media yang sangat efisien untuk dijadikan sarana berkomunikasi, akhirnya secara singkat, padat dan cenderung memaksa saya pun berhasil membuat istri saya melek dunia maya khususnya facebook. Maklumlah istri saya memang berasal dari pinggiran kota Malang-Jawa Timur yang hingga saat ini masih jauh dari multimedia.
Duka yang lebih dapat saya rasakan manakala mendapat kabar istri atau anak sedang sakit, sangat mempengaruhi kondisi mental, namun apapun kondisinya, saya sudah bertekad meninggalkan mereka untuk suatu tugas negara dan bukan untuk hura-hura. Memang, terkadang muncul rasa bersalah yang telah meninggalkan mereka karena sejak saya menikah dan memiliki anak, hampir tidak pernah saya menungguinya dalam waktu yang cukup lama sebagaimana pasangan keluarga yang lain. Inilah salah satu resiko saya sebagai tentara dan resiko istri menjadi istri prajurit. Sisi lain yang selalu menjadi beban pikran saya adalah manakala bertemu dengan korban perang antara Lebanon-Israel yang pecah di tahun 2006 yang biasa disebut perang 34 hari yang banyak ragam derita yang mereka alami. Ada yang harus kehilangan kaki atau tangan sebelah, kehilangan tempat tinggal.
Bahkan harus berpisah dengan keluarganya yang hingga saat ini masih belum mereka ketemukan, dalam artian apakah yang mereka cari masih hidup atau sudah mati, banyak dan banyak lagi ragam derita mereka. Inilah salah satu fungsi misi kami. Kami harus menjaga sepenuhnya agar kedua negara tidak terjadi pertikaian kembali. Tekad kami sebagai peacekeeper, meraka harus berdamai, mereka harus saling menyadari, instrospeksi dan berhenti berperang demi ketentraman mereka masing-masing, bukan untuk kami tapi semata-mata paling tidak untuk anak cucu mereka sendiri di masa depannya.
Konflik kepentingan di antara dua negara bertikai hingga saat ini masih belum ada penyelesaian, bahkan hampir setiap hari selalu mendengar adanya pasukan tentara Lebanon dan Israel yang masih beradu moncong senjata-senjata mereka, khususnya di wilayah Ghajar Lebanon Selatan. Situasi dan kondisi seperti ini sangatlah dilema, namun kami tetap punya prinsip untuk menjalankan tugas sesuai mandat yang diberikan kepada kami oleh PBB.(IRIB)
Oleh: Nur kholis
Artikel Lainnya:
No Response to "Suka Duka Seorang Peacekeeper"
Posting Komentar