Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
Era 1970 merupakan tahun paceklik buat kekuatan udara pasca dikandangkannya pesawat Blok Timur yang menggetarkan dunia. Di era itu TNI AU hanya mempunyai jenis pesawat angkut, latih, dan heli serta beberapa pesawat tempur tanpa gigi selain OV-10F yang datang di akhir tahun 1976. Berikut tuturan penulis sesuai pengalaman sebagai pilot muda di Skuadron Udara 11 dan 14.
Sebuah angkatan udara dengan sederetan pesawat pengebom jarak jauh Tu-16, dua di antaranya berkemampuan recce, puluhan pesawat tempur terbaik MiG mulai dari jenis varian 15, 17, 19 dan 21, pengebom taktis 11-28, setengah lusin helikopter terbesar di dunia jenis Mi-6 selain puluhan varian Mi-4 serta pesawat angkut jarak jauh An-12 dan puluhan angkut taktis 11-14 satu di antaranya diberi nama Dolok Martimbang sebagai pesawat Air Force One, menjadikan Indonesia mempunyai kekuatan udara terbesar bukan hanya di Asia tetapi di belahan Bumi Selatan.
Sayang dampak putusan politik, kekuatan udara yang begitu modern dan kuat terpaksa dikandangkan bersamaan dengan perubahan kebijakan tentang pengadaan pesawat militer. Angkatan udara kita yang mendunia ini terpaksa menerima nasibnya, menjadi kekuatan yang sekadar ada dan dimiliki sebuah negara. Banyak kemampuan lebih dalam mengelola kekuatan udara dialihkan kepada kemampuan teritorial dan dihadapkan pada angkatan udara yang hanya mampu menjadi alat angkut. Didengungkan pula bahwa untuk masa duapuluh tahun ke depan tidak anda ancaman dari luar untuk apa mempunyai kekuatan udara yang hebat (lagi).
Di tengah keterpaksaan ini, lava bantuan Blok Barat dalam hal ini Amerika lewat program Defense Liaison Group (DLG), mengalirlah bantuan kekuatan udara. Dari Amerika didapat beberapa jenis pesawat termasuk jenis “tempur” tanpa senjata yaitu 16 unit pesaw43-33A Pesawat yang tadinYa bermarkas di Clark, Filipina dihibahkan dan datang ke Indonesia awal tahun 1973 secara bergelombang, serta 18 unit pesawat F-86 Avon Sabre yang datang dari Australia dalam program yang diberi nama Garuda Bangkit disusul lima unit dari Tentara Udara Diraja Malaysia (TUDM) yang datang medio 1976.Untuk mempersiapkan pilot kombatan mengawaki pesawat-pesawat ini beberapa yang masih terbang di luar negeri dipanggil kembali bergabung dengan yang masih di dalam negeri untuk berlatih.terbang kembali. Terpilih enam pilot untuk mengawaki pesawat T-33 dan 12 pilot untuk mengawaki pesawat F-86, dua di antaranya tidak dapat selesai.
Para pilot yang dipersiapkan untuk mengawaki pesawat T-33 semuanya berkualifikasi instruktur Pilot (IP). Memang rencananya pesawat ini akan masuk jajaran Kodikau berdampingan dengan pesawat L-29 Dolphin sebagai pesawat latih lanjut – kala itu lebih dikenal dengan sebutan Advanced Phase. Keenam IP dari Kodikau berlatih di Lachland AFB dan Cloves AFB selama tujuhbulan masing-masing mendapat latihan 80 jam untuk menjadi pilot sekaligus instruktur di pesawat T-33. Mereka lulus semua dengan nilai baik dan dipercaya menerbangkan pesawat T-33 nantinya di Indonesia.
Sejumlah pilot F-86 Sabre TNI AU dan para pilot A-4 dari Selandia Baru menyempatkan diri berfoto bersama setelah merampungkan latihan bersama dengan sandi Elang Seberang. |
Sebagai rasa bangga dan untuk menunjukkan jati dirinya sebagai pilot pesawat jet di zaman modern, Instruktur Pilot dari AU AS memberikan sebutan terhadap pilot TNI AU ini dengan call sign Thunder diikuti nomor urut berurutan dari senior. Namun pilot Indonesia mempunyai visi yang lebih jauh lagi dengan mengalokasikan nomor satu hanya untuk mereka yang menjadi Komandan Skadron. Sehingga lulusan konversi pertama pesawat T-33 mempunyai Thunder number mulai dengan 02 hingga 07. Mereka adalah Rudy Taran (Thunder-02), Noeroedin (Thunder-03), Kadar Poeraatmadja (Thunder-04), Sofyan Noer (Thunder-05), Uting Soekirwan (Thunder-06), Rilo Pambudi (Thunder-07), urutan ini berdasar senioritas. Sedang Thunder-01 dikhususkan untuk Komandan Skadron yang nantinya dipakai pertama kali oleh Isbandi Gondosuwignjo (717.418) sebagi komandan pertama pesawat T-33 yang menjadi kekuatan Kodikau dengan warna abu-abu-gelang kuning, ciri khas pesawat latih TNI AU.
Atas kajian yang mendalam, pesawat T-33 yang tadinya dioperasikan Kodikau pada tanggal 3 Mei 1974 dipindahkan ke Kohanudnas sebagai pesawat Transition Training dan Pre-Combat Pilot Training sejenis OCU (Operation Combat Unit) untuk masa kini. Konsekuensi lainnya adalah registrasi yang tadinya A-3301 (bermakna pesawat Advance nomor satu) menjadi J-3301 (jet nomor satu). Dengan demikian pesawat ini masuk jajaran Satuan Buru Sergap T33 (Satsergap T33) berdampingan dengan Satuan Buru Serap F86 (Satsergap F86) yang mempunyai registrasi F-8601 (bermakna Fighter nomor satu) keduanya bermarkas di Lanuma Iswahyudi. Kala itu jajaran Kohanudnas mempunyai satuan pelaksana yang disebut Satuan Buru Sergap, Satuan Radar, Satuan Peluru KendalL Nantinya Satuan Buru Sergap menjadi Wing Tempur lalu Wing Operasional dan akhirnya menjadi Wing-300 dan kini ber-metamorfosa lagi menjadi Wing-3 setelah satuan wing dalam jajaran TNI AU diaktifkan pada tahun 2000.
Periode 1970-an TNI AU mendapat kekuatan tempur lagi yaitu 16 pesawat OV-10F Bronco yang didatangkan dari pabrikan Rockwell, Amerika. Pesawat yang datang menjelang akhir 1976 ini ber-hope bffni Lanuma Abdulvalnian Saleh, Malang menghuni Skadron Udara-3 yang ditinggalkan si Cocor Merah pada tahun 1974.-Dengan datarignya si Kuda Liar ini maka kekuatan kombatan TNI AU menjadi nyata dan mampu melaksanakan tugas sebagai angkatan udara. Proyek pengadaan pesawat OV-10F ini melibatkan 10 pilot dall2A teknisi belajap sauna 9 bulan di Patrick AFB, Amerika. Pesawat datang dengan registrasi S-101 dan seterusnya bermakna Serang (jenis OV-10) nomor satu.
Nantinya pada tahun 1985 setelah diadakan reorganisasi besar-besaran di tubuh TNI termasuk meng-Indonesiakan registrasi pesawat militer maka pesawat T-33 mempunyai registrasi TS-3301, F-86 menjadi T-8601 dan OV-10 mejadi TT-1001. Makna TS adalah Tempur Sergap sedang TT adalah Tempur Taktis dan untuk pesawat tempur bertempat duduk ganda mempunyai registrasi TL bermakna Tempur Latih, ini pun hanya bertahan sampai tahun 2000 setelah semua pesawat tempur tidak dikenal adanya istilah Jet Tempur Latih (F.Djoko Poerwoko).
Artikel Lainnya:
No Response to "Era 1970-an, Kembali ke Blok Barat"
Posting Komentar