Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Asia
,
Perang di Eropa
“Aku tidak ingin berbicara persoalan agama.
Disana hanya kutemukan orang-orang fanatik dan buta
yang mengatasnamakan agama untuk melegalisasikan
penindasan dan ketidakadilan. Menganggap dirinya
memahami kalimat Tuhan dan menjadi
satu-satunya representatif Tuhan di dunia.
Karena Agama yang sebenarnya adalah apa yang ada dihatimu,
Ia akan menuntunmu untuk menegakkan
kesejahteraan, keadilan dan kebenaran.
Karena itu merupakan alasan mengapa engkau dilahirkan.”
-Kalimat Pendeta kepada Ksatria Salib dalam film Kingdom of Heaven-
Perang salib merupakan sejarah yang memiliki cukup banyak sudut pandang dan sarat akan kepentingan. Umat Islam, Kristen bahkan Yahudi memiliki versi sejarah yang berbeda dalam perang salib. Satu kaum mengunggulkan “cerita” dalam sejarah perang salib terhadap kaum yang lain. Bagaimanapun, meskipun kondisi saat itu merupakan situasi dimana negara-negara di dunia sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi. Terlepas apakah perluasan kenegaraan tersebut terlepas dari sentimen agama maupun tidak. Namun, pada kanyataan yang terjadi dalam perang salib peperangan perluasan daerah “jajahan” tersebut mengatasnamakan agama. Meyakini bahwa agama yang mereka bawa sebagai penyelamat dan meyakini bahwa meninggal dalam peperangan merupakan jalan menuju surga.
Perlu kami tekankan disini bahwasanya terdapat perbedaan catatan sejarah mengenai terjadinya perang salib. Literatur dari en.wikipedia.org (perpustakaan internet) menyebutkan bahwa terdapat 9 peristiwa perang salib ditambah 3 peristiwa perang salib berdasarkan momentum peristiwa; sehingga tercatat 12 peristiwa perang salib. Sementara Dr. Th. Van den End dan Dr. Christiaan de Jonge dalam buku Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam mengutarakan bahwa perang salib terjadi sebanyak 7 kali. Sedangkan Dr. Badri Yatim, M.A. dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam membagi dalam 3 periode. Bahkan, untuk tahun peristiwa-pun terdapat perbedaan. Perbedaan ini barangkat dari standarisasi sudut pandang yang tidak sama mengenai perang salib, faktor, nilai yang terkandung dan dampaknya; meskipun berangkat dari fakta yang sama .
A. Metodologi Sejarah
Sebagian besar orang menganggap bahwasanya sejarah merupakan bagian dari masa lalu yang tidak perlu diketahui, apalagi dipelajari. Sejarah seakan menjadi “romantisme patriotis” yang dibanggakan, dielukan atau bahkan mengecewakan. Tidak cukup banyak orang yang menganalisa bahkan mengambil pelajaran berharga dari sejarah. Karena sejarah memang tidak pernah berulang, akan tetapi pola sejarah akan tetap berulang. Seperti halnya spiral, dimana putarannya tidak akan bertemu dengan putaran sebelumnya.
Dalam makalah ini, kami mencoba untuk memadukan berbagai literatur yang kami dapatkan. Bukan untuk melakukan resume melainkan menganalisa menggunakan metodologi penulisan sejarah yang diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Menghadirkan penulisan sejarah perang salib menurut sudut pandang dan metodologi yang kami gunakan. Dua metode penulisan sejarah yang kami gunakan yaitu, model lingkaran sentral dan model jangka panjang-menengah-pendek . Model lingkaran sentral merupakan metodologi penulisan yang mencoba untuk menganalisa keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Dan sejauh mana faktor-faktor yang berada di luar peristiwa dapat mempengaruhi terbentuknya peristiwa tersebut. Karena dinamika sejarah merupakan alur logis dari serentetan peristiwa sejarah yang saling bertautan.
Sedangkan model jangka panjang-menengah-pendek merupakan pendekatan keberlangsungan sejarah dalam tiga fase. Pertama, ialah sejarah jangka panjang yang perubahannya lamban, merupakan perulangan yang konstan dan perkembangan waktu yang tidak dapat dilihat. Kedua, ialah perkembangan sejarah yang dapat dirasakan ritme dan dinamika dari peristiwa sejarah. Ketiga, ialah sejarah jangka pendek yang serba cepat, pendek dan terfokus pada titik tekan peristiwa sejarah.
Menggunakan dua metodologi di atas, kami lebih menitikberatkan pada faktor terbentuknya dan dampak dari perang salib. Meskipun dampak perang salib tidak dapat kami hadirkan sebagaimana pembahasan dalam faktor-faktor terbentuknya perang salib. Namun, kami tetap mencoba untuk menghadirkan peristiwa “peperangan” salib sebaik mungkin. Meskipun demikian, penggunaan model lingkaran interval dan model jangka panjang-menengah-pendek dalam menganalisa perang salib sangat tergantung pada literatur yang kami dapatkan. Terlebih literatur tersebut –seringkali- menyampaikan tafsiran subyektif penulis atas peristiwa yang terjadi. Sehingga menjadi bias antara fakta sejarah dan “fakta” penulis atas sejarah.
B. Faktor Terbentuknya Perang Salib
Perang Salib merupakan sejarah yang tidak mudah terhapus dalam ingatan masyarakat dunia. Bahkan ketika Paus Benediktus XVI secara “tidak sengaja”, memberikan kuliah di jerman, telah menghina umat muslim. Hal tersebut dianggap dapat menjadi pemicu perang salib di abad ke-21 (Republika, 17 Sept. 2006). Namun, Paus bersedia untuk memberikan klarifikasi dan memenuhi permintaan umat muslim dunia atas dirinya untuk memberikan pernyataan maaf (Metro TV, 18 Sept. 2006, 17.00 WIB). Hal ini menunjukkan bahwasanya perang salib teridentik sebagai perseteruan dua agama samawi, yaitu Islam dan Kristen.
a. Faktor Sejarah
Peristiwa (awal) penting terkait dengan perang salib, adalah ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan yaitu peristiwa Manzikart tahun 1071 M (464 H). Tentara Alp Arselan yang berkekuatan 15.000 prajurit berhasil mengalahkan tentara berjumlah 200.000 orang; yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dr. Badri Yatim, M.A. menyebutkan bahwa peristiwa tersebut menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap umat Islam (2003: 76).
Pada tahun 1076 M (471 H) Dinasti Seljuk dapat merebut Bait Al-Maqdis dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk, khalifah Abdul Hakim, menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan tersebut dirasakan sangat memberatkan mereka . Dan jauh sebelum kedua peristiwa di atas terjadi; diperkirakan pada tahun 1009 tersebar berita di Eropa bahwa Gereja Sepulcher dihancurkan oleh penguasa Mesir, al-Hakim bi Amr Allah .
Pada tahun 1085 raja-raja Kristen di Spanyol Utara melancarkan serangan untuk merebut Spanyol dari tangan orang Islam. Gagasan menolong Byzantium, yang sedang diserang tentara Turki, dan membebaskan Palestina telah dilontarkan oleh Paus Gregorius VII (1073-1085). Namun, hal tersebut terhambat oleh perpecahan antara Byzantium dan Paus dimana kedua belah pihak saling mengutuk dan melakukan tekanan kekuasaan; yang dimulai sejak tahun 1054.
b. Faktor Agama
Berbagai literatur umumnya menuliskan bahwa faktor utama dari sisi agama ialah sejak Dinasti Seljuk merebut Baitul Maqdis dari Dinasti Fathimiyah. Ketika itu umat Kristen merasa tidak lagi bebas untuk menunaikan ibadah (baca: berziarah) ke sana. Mereka yang pulang dari ziarah sering mendapat perlakuan jelek dari orang-orang Seljuk . Selain itu khalifah Abdul Hakim menaikkan pajak ziarah bagi orang-orang Kristen Eropa. Hal ini memicu kemarahan Paus Urbanus II yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan perampokan dan sebuah kewajiban untuk merebut kembali Baitul Maqdis . Selain itu, Paus juga menjanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.
Namun, perang salib tidak terlepas dari penyebaran agama Islam ke berbagai daerah yang menjadi kota-kota penting dan tempat suci umat Kristen. Seperti halnya beberapa kawasan Iran dan Syria (632), penaklukan Syria, Mesopotamia dan Palestina (636), Mesir (637), penaklukan Cyprus dan Afrika Utara (645), peperangan melawan Byzantium (646) kemudian terjadi peperangan di laut melawan Byzantium (647) hingga musnahnya kerajaan Parsi pada tahun yang sama. Tidak hanya sampai disitu, penyebaran Islam juga mengharuskan serangan atas Konstatinopel (677) kemudian terjadi kembali pada 716, penaklukan Spanyol, Sind dan Transoksian (711) hingga serangan atas bagian selatan Perancis (792). Serta berbagai peristiwa penaklukan lainnya dalam melakukan ekspansi serta dakwah Islam.
c. Faktor Politik
Pada sinode di Clermont Perancis, Paus Urbanus II (1088-1099) memulai inisiatif mempersatukan dunia Kristen (yang saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma dan Romawi Timur atau Byzantium di Konstantinopel). Kebetulan saat itu raja Byzantium sedang merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Saljuk, yakni orang-orang Turki yang sudah memeluk Islam.
Ketika terasa cukup sulit untuk mempersatukan para pemimpin dunia Kristen dengan ego dan ambisinya masing-masing, maka dicarilah suatu musuh bersama. Dan musuh itu ditemukan: ummat Islam. Sasaran jangka pendeknyapun didefinisikan: pembebasan tempat-tempat suci Kristen di bumi Islam, termasuk Baitul Maqdis. Adapun sasaran jangka panjangnya adalah melumat ummat Islam.
Sementara itu, umat Islam justru terpecah tidak hanya secara “pandangan” terhadap agama, namun juga hingga politik. Mereka yang bersebarangan tidak dapat bersatu padu dalam melawan Kristen. Hingga akhirnya Sholahudin al-Ayubi datang dan menyatukan kembali.
d. Faktor Sosial-Ekonomi
Stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri atas kaum gereja, bangsawan serta ksatria dan rakyat jelata. Mayoritas dari mereka adalah rakyat hjelata yang harus tunduk pada tuan tanah, terbebani pajak dan kewajiban lainnya. Gereja memobilisir mereka untuk turut serta dalam perang salib dengan janji akan diberi kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik bila dapat memenangkan peperangan.
Masyarakat Eropa memberlakukan dikriminasi terhadap rakyat jelata. Di Eropa ketetapan hukum waris, bahwa hanya anak tertua yang berhak menerima waris. Jika anak tertua meninggal, maka harta waris harus diserahkan kepada gereja. Hal ini menyebabkan anak miskin meningkat; kemudian diarahkan untuk turut berperang.
Sementara, meluasnya daerah kekuasaan Islam berdampak pada beragam pola pemahaman, budaya dan cara beragama. Sehingga nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil alamin belum dapat meresapi seluruh daerah kekuasaan Islam. Tidak sedikit perlakuan buruk yang dilakukan oleh kaum muslim terhadap orang-orang kristen; utamanya mereka yang hendak berziarah ke Baitul Maqdis. Namun, dengan meluasnya daerah kekuasaan, perekonomian muslim di timur tengah mengalami kemajuan yang pesat.
C. Sejarah Perang Salib
a. Perang Salib I (1099)
Serangan salib pertama, pada tahuan 1099, di bawah Gottfried von Bouillon merebut Yerusalem (Baitul Maqdis). Kemudian mendirikan negara-negara boneka di wilayah yang diduduki tentara salib. Pasukan salib berkuasa di daerah Yerusalem tepatnya pada bulan Juli 1099. Mereka terus berada di kota ini sampai dikalahkan oleh Sholahudin al-Ayubi pada tahun 1187. Dalam kekuasaan mereka, Dome of the Rock dijadikan gereja, sedangkan masjid al-Aqsha dijadikan kantor pusat para Ksatria Biarawan (Knight Templar’s) .
b. Perang Salib II (1147-1149)
Pasukan salib berusaha merebut wilayah-wilayah di sepanjang pantai laut tengah, baik yang dikuasai muslim maupun bukan, seperti wilayah Athena, Korinthia dan beberapa pulau-pulau Yunani.
c. Perang Salib III (1189-1192)
Serangan salib ketiga terjadi setelah Sholahuddin al Ayubi berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah Islam di Mesir dan Syria. Pada 1171 , Sholahuddin berhasil menyingkirkan kekuasaan Fathimiyah di Mesir yang merupakan separatisme dari Khilafah di Bagdad; dan mendirikan pemerintahan Ayubiah tahun 1175 M yang loyal kepada Khalifah. Pada 1187 Sholahudin berhasil merebut kembali Yerusalem.
Serangan salib ketiga dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang terkenal, yaitu Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun, di antara mereka terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat. Sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan, dan Phillip bergegas kembali ke Perancis .
d. Perang Salib IV (1202-1204)
Perang salib keempat terjadi ketika pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Norman (Eropa Barat) di atas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan salib telah murtad. Di Konstatinopel (Roma) permintaan pendirian kerajaan Norman menimbulkan perlawanan rakyat, hingga akhirnya tentara salib Eropa Barat membakar kota tersebut. Kemudian mendudukan kaisar dari mereka; dimana sebelumnya selalu dikuasai oleh orang Yunani.
e. Perang Salib Anak-anak (1212)
Peperangan pada tahun ini merupakan perang salib yang menoreg sejarah tersendiri yang tidak akan dilupakan oleh dunia. Hanya 201 dari 50.000 anak-anak yang pergi ke Baitul Maqdis kembali dalam keadaan masih hidup. Selama perjalanan sebagian dari mereka meninggal karena kelaparan, dijual sebagai budak oleh kapten kapal dan sebagian lagi ditawan sepanjang perjalanan ke Tanah Suci.
f. Perang Salib V (1218-1221)
Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang juga menetapkan undang-undang dan berbagai aturan anti Yahudi, mengumumkan serangan salib kelima. Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib, jabatan raja Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan sebagai raja Yerusalem hanyalah “formalitas de yure”, tanpa kekuasaan sesungguhnya. Karena secara de facto, Yerusalem telah direbut kembali oleh Sholahuddin al Ayubi.
g. Perang Salib VI (1228-1229)
Serangan salib keenam dipimpin oleh kaisar Jerman Freidrich II. Sebagai “orang yang dimurtadkan” dia berhasil merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja Yerusalem. Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin.
h. Perang Salib VII (1248-1254)
Serangan salib ketujuh (1248-1254) dipimpin oleh IX dari Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang suci” oleh Paus Bonifatius VIII. Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun ia tidak cakap memimpin organisasi sehingga justru tertangkap di Mesir. Terdapat pula beberapa peristiwa peperangan setelah perang salib ketujuh, namun mempertimbangkan keterkaitan dan konsistensi literatur, terdapat kerancuan yang lebih besar terhadap apakah peristiwa tersebut merupakan bagian dari perang salib atau tidak.
D. Dampak Perang Salib
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”
Perang salib menghabiskan aset umat Islam baik harta benda maupun putra-putra terbaik. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis orang laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena umat Islam menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang.
Namun, peperangan salib selama kurang lebih 200 tahun telah memberikan warna kepada dunia Islam dan Kristen. Utamanya dalam bidang pemikiran, peradaban, ilmu dan teknologi. Bahkan, sejarah mencatat bahwa perang salib merupakan jembatan awal antara kebudayaan Islam dan bangsa Eropa. Meskipun terdapat luka sejarah dan sensitifitas yang mengiringi pertautan dua peradaban tersebut. Dan tetap membekas hingga saat ini dimana kurang lebih 8 abad perang salib telah berlalu.
E. Epilog: Dialektika Antara Agama, Sosial dan Politik
Kami tidak dapat menemukan literatur yang menggambarkan dengan jelas mengenai situasi politik, ekonomi, sosial dan intelektual pada masa per-perang salib dengan detail. Karena sebagian besar literatur -baik buku, makalah maupun artikel internet- lebih menitik beratkan pada faktor aktor dan sistem struktur “peperangan” dan “kepentingan politik”. Bahkan sebagian literatur menggunakan sudut pandang yang memberikan alasan-alasan dan melakukan pembenaran terjadinya perang salib atas nama agama.
Meskipun tidak mungkin untuk menutup diri dan melepaskan fakta mengenai adanya “benturan” antara Kristen dan Islam pada saat itu. Perang salib terjadi tidak hanya terkait dengan persoalan agama, namun juga terkait persoalan politik dan kondisi sosial. Karena dalam ranah kenegaraan, agama tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya pengaruh politik dan sosial. Dan hal ini tidak hanya terjadi di pihak Kristen –Eropa- namun juga Islam –Timur Tengah-.
Pandangan dunia saat ini, menganggap Islam adalah agama yang dibangun dari landasan terorisme. Dimana pilar-pilar kesuksesan dakwahnya dibangun diatas darah dan teror terhadap rakyat sipil. Hal ini tidak terlepas skenario besar yang memanfaatkan sejarah; dengan mencitrakan bahwasanya terjadinya perang salib merupakan upaya pembelaan diri umat Kristiani terhadap “penjajahan” umat Islam sejak tahun 632 masehi. Menjadi sebuah perenungan bagi umat Islam saat ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Edward W. Said, mengenai bagaimana kekuatan media dan pengetahuan pakar telah menentukan cara pandang kita terhadap dunia, dan cara pandang dunia terhadap kita.
Perang Salib mungkin telah usai, akan tetapi perang salib berikutnya merupakan perang pemikiran. Sebagaimana banyak dikutip oleh ulama dan cendekiawan muslim dunia. Namun yang perlu dicermati bahwasanya perang pemikiran tersebut bukan sekedar perang dalam tataran dakwah agama. Melainkan bagaimana memanfaatkan kekuatan pengetahuan, negara, politik, ekonomi dan media untuk menyudutkan umat Islam. Dan harus kita akui bersama, bahwasanya umat Islam sangatlah lemah dalam memanfaatkan “organ sayap” perang pemikiran tersebut.
“Sekalipun gelapnya malam telah merampas semangat dan senyuman dari mataku,
namun ia tidak dapat menyembunyikan nyala semangat perjuangan dari hatiku”
Sumber:
- Abdurrahman, Dudung dkk (2003), Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, Penerbit LESFI, Yogyakarta.
- Amhar, Fahmi (2005), Kilas Balik Perang Salib, hayatulislam.net,
- Anonim, The Crusader, Http://en.wikipedia.org
- End, van Den dan Jonge, Christian de (2001), Sejarah Perjumpan Gereja dan Islam, Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta.
- Kuntowijoyo (2003), Metodologi Sejarah, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta
- Redaksi (2005), Menelusuri Sejarah Perang Salib, hayatulislam.net.
- Said, Edward W. (2002), Covering Islam, Penerbit Jendela, Yogyakarta.
- Yatim, Badri (2004), Sejarah Peradaban Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Artikel Lainnya:
No Response to "Perang Salib: Peperangan Politik dan Kekuasaan, atau Dakwah Agama?"
Posting Komentar