Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,
Ilustrasi
Pada era globalisasi sekarang ini, telah banyak terjadi berbagai perubahan kebijakan di dunia yang terkait dengan Doktrin Perang. Hal ini berawal dari berakhirnya Perang dingin, dimana AS dan sekutunya telah berhasil men-globalisasi-kan dunia di bawah naungan satu kekuasaan. Disinilah mulai populer sebuah istilah baru, hegemoni. Asumsi dasar bahwa dunia segera memulai babak baru di bawah naungan liberalisme adalah hal yang wajar. Perang memang selalu memberikan keuntungan bagi pemenangnya dan membawa sejumlah kon sekuensi bagi pihak yang kalah atau tidak turut dalam berperang.

Perang Irak, adalah salah satu peperangan yang mempertontonkan bukan hanya kecanggihan teknologi namun juga sebuah revolusi dari sejumlah doktrin perang. Ketika pada Perang Dunia II kita pernah mendengar doktrin perang conditional surrender (menyerah dengan syarat) atau unconditional surrender (menyerah tanpa syarat), maka dunia dalam perang AS-Irak ini diperkenalkan dengan doktrin baru yakni Pre-emptive Strike atau mendahului menyerang sebelum diserang. Ketika terjadi ledakan di gedung WTC dan Pentagon oleh aksi terorisme pada 11 September 2001, Presiden AS GW Bush pernah menyesali diri seraya berkata bahwa seandainya Amerika segera melaksanakan Doktrin Pre-Emptive Strike, yang pada awalnya telah dikemukakan oleh Paul Wolfowitz pada era 90-an, maka rencana teroris tersebut dipastikan akan gagal. Pada akhirnya doktrin ini diyakini oleh Presiden Bush dan menjadi doktrin AS di era kepemimpinan Bush. Melalui Doktrin Pre-Emptive Strike, AS memiliki visi mampu bertempur dimana saja dan kapan saja di belahan dunia manapun untuk memberantas terorisme.

Awal mula terjadinya perang diawali oleh maklumat perang melawan teror yang dikumandangkan pertama kali oleh Presiden Bush lewat pidato kenegaraan di hadapan kongres Amerika pada 20 September 2001, sembilan hari sesudah tragedi peledakan gedung World Trade Center (WTC), New York dan gedung Pentagon, Washington DC pada 11 September 2001. Dalam pidatonya, Presiden Bush menegaskan bahwa sasaran perang melawan teror bukan hanya Al Qaeda organisasi teroris di bawah pimpinan Osama Bin Laden, tetapi seluruh jaringan teroris dunia. Bush mengultimatum negara-negara di dunia untuk menentukan pilihan, bersama Amerika atau bersama teroris (With us or with terorists). Pidato ini sekaligus merupakan doktrin dan memicu reaksi dari berbagai negara, seolah-olah dunia dipaksa untuk mengikuti arah kebijakan Amerika. Bush seakan-akan menciptakan “common enemy” yaitu musuh bersama bagi dunia. Di sisi lain, ungkapan ini bagi kelompok Hamas, Hizbullah, dan bahkan Al Qaeda dianggap “ common mission” yaitu mendukung eksistensi Israel di kawasan Timur Tengah, mengekspor demokrasi, dan menguasai perekonomian khususnya minyak bumi. Dampaknya di mata dunia, variabel perang ini akhirnya menjadi berkembang.

Perang Irak mengetengahkan drama tentang perang yang sangat cepat. Bila pada Perang Badai Gurun 1990-1991, AS dan sekutunya mengandalkan “overhelming force” yaitu pengerahan kekuatan dalam serangan yang jumlahnya beberapa kali lipat dari jumlah pasukan dan peralatan musuh, maka dalam Perang Irak kali ini, doktrin ini segera berganti dengan “Overmatching Power” yaitu lebih mengedepankan peran teknologi canggih, baik sistem sensor, laser, GPS, maupun komunikasi satelit yang memungkinkan AS dan sekutunya mampu memantau seluruh perkembangan di daerah operasi, baik siang maupun malam hari secara up to date. Alhasil, tak satupun pergerakan pasukan Irak yang tidak terpantau oleh pasukan koalisi. Memang benar bahwa pasukan Irak mampu memberikan perlawanan tetapi hanya sebatas memanfaatkan kelengahan pasukan AS dalam pendistribusian logistik. Perkembangan doktrin perang ini selanjutnya adalah dalam hal pola serangan yang tidak bertujuan menduduki suatu tempat, tetapi hanya melewati, memantau dan mengendalikan wilayah. Pasukan AS dan sekutunya meskipun melakukan perang di berbagai wilayah Irak, tetapi tak satupun diduduki. Ini merupakan antagonis dari sebuah doktrin lama dimana sebuah negara yang umumnya menduduki wilayah negara lain dalam konteks imperialisme secara otomatis akan menguasai wilayah yang diduduki. Realitanya, pasukan koalisi justru melarang pengibaran bendera AS di semua tempat yang sudah dilewati. Dalam konteks politik, Pre Emptive Strike secara tidak langsung akan memberikan efek jera bukan hanya bagi negara sasaran namun juga negara lain yang kedapatan memberikan ruang bagi perkembangan sel-sel terorisme. Namun doktrin ini dapat dijalankan juga disebabkan karena pada aspek ekonomi dan sosial negara sasaran telah terlebih dahulu dilumpuhkan dari dalam atau dengan istilah lain “Self Destruction”.

Bagaimanakah pandangan doktrin perang ini menurut karya-karya strategis para ahli perang? Tentang Pre-Emptive Strike, ribuan tahun yang lalu Sun-Tzu mengemukakan betapa pentingnya pengambilalihan posisi strategis yang mana dari posisi ini bila diambil akan memungkinkan musuh tidak mampu menyerang atau dalam kalimat “….ambillah posisi yang tak dapat diserang.” Pengambilalihan posisi strategis dilakukan jauh sebelum perang bahkan harus selalu tersirat dalam doktrin perang apapun termasuk pertahanan. Permasalahannya, bertahan jauh lebih sulit daripada menyerang sehingga agar kuat dalam pertahanan maka mindset menyerang harus tetap ada dalam perhitungan. Perhitungan kalkulasi ancaman bukan hanya di atas kertas tapi harus diimplementasikan dalam pengambilan posisi. Sebagai contoh bila musuh unggul dalam kekuatan udara, maka kekuatan lautan harus berada di tangan kita. Sumber daya lautan harus sepenuhnya di tangan kita dimana di atas sumber daya laut tersebut jika digelar berbagai kekuatan militer serta diolah isinya secara mandiri agar mampu mewujudkan pengambilalihan posisi strategis sehingga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan daya tangkal.

Demikian pula menurut Clausewitz, seorang ahli strategi dari Prussia (kini Jerman), dalam teorinya yang sangat terkenal center of gravity (CoG) dimana sangat dibutuhkan suatu critical capabilities yang akan menutup ruang center of gravity yang dimiliki bagi pihak kita dari serangan musuh kapanpun dan dimanapun. Selanjutnya, kemampuan yang dimaksud tak lain merupakan esensi dalam doktrin pertahanan yaitu mobilisasi yang setiap saat dan terus menerus mampu dilakukan bahkan di dalam kondisi perang yang sedang berkecamuk. Mobilisasi yang dikembangkan harus mampu mengerahkan sumber daya perang “Just On Time” melalui sinergitas keterpaduan berbagai komponen. Hal ini bila dilakukan secara tepat mampu mereduksi kekuatan bertempur musuh dan membuatnya keluar dari wilayah yang diduduki.

Apa yang kita saksikan di dalam perang Irak, kekuatan penyerang ini jelas tak terlihat bagi pasukan Saddam karena setiap serangan yang dilancarkan oleh pasukan koalisi tak mampu di-recovery kembali menjadi serangan balik yang pada akhirnya strategi bertempur pasukan Saddam dalam skala perang menjadi tercerai-berai dalam bentuk perlawanan bersenjata kelompok kecil. Bagi koalisi, perjuangan bersenjata melawan kelompok kecil memberikan kepadanya pengalaman tersendiri dan mengakibatkan munculnya doktrin baru bernama counter-insurgency. Doktrin yang salah satunya dibuat oleh Mayjen David Petraeus ini menyatakan bahwa kekuatan militer untuk menghadapi kelompok militan sebenarnya cukup 20% artinya dibutuhkan kerjasama erat antara militer dan sipil dalam menumpasnya.

Pre-Emptive Strike, adalah doktrin menyerang yang sebenarnya bisa dinetralisir melalui dua pendekatan, baik dari Sun Tzu maupun Clausewitz. Fakta kesulitan pasukan Saddam di banyak pertempuran ternyata terletak pada mobilisasi, itulah dasar berpijak pasukan koalisi dalam bertempur yaitu melumpuhkan kendali pasukan, dan menciptakan ketakutan sehingga pasukan Saddam lumpuh secara sistemik, dan tak mampu melakukan reorganisasi kembali. Bertitik tolak dari perang AS-Irak, mobilisasi bukanlah hanya menyoal pengerahan tenaga manusia, namun juga mengerahkan segenap sumber daya ekonomi dan kemandirian aspek industri strategis serta gelar kemampuan dan kekuatan sehingga memunculkan “Deterrence Effect”.

Oleh karena itu, hal ini merupakan jalan yang teramat panjang menuju pertahanan yang kuat bagi sebuah negara yang menganut doktrin perang semesta tanpa didukung keberanian dalam menyusun mobilisasi dan kekuatan yang riil secara ekonomi. Kini, berakhirnya konflik perang AS-Irak telah membuka peluang terbentuknya doktrin-doktrin baru di berbagai belahan dunia sebagai antisipasi terhadap Doktrin Pre-Emptive Strike atau sebagai turunannya yang bertujuan menghambat terjadinya proses mobilisasi dalam suatu negara. Para pengambil kebijakan dapat mengambil pelajaran berharga dari perang AS-Irak guna mengkaji doktrin baru yang mampu membuat pertahanan menjadi lebih eksis.

Oleh : Mayor Inf Andy Irawan Ch, S.Sos, Kasidokin Ditjakstra Strahan Kemhan RI

---

1. Referensi: Roger Ames, Sun Tzu The Art Of Warfare, 2002
2. PK Ojong, Perang Eropa, 2002
3. Col. Dale Eikmeier, Center Of Gravity Analysis, 2004
4. Trias Kuncahyono, Bulan Sabit di atas Baghdad, 2005
5. Ibra Erawan, Perang Irak, 2008
6. Joseph E. Stighlitz, Perang Tiga Trilyun Dolar, 2008
7. Richard M. Daulay, Amerika VS Irak, 2009
8. Marsheimer, Dahsyatnya Lobi Israel, Gramedia, 2010
9. David Petraeus, Counterinsurgency, Department of the Army, 2006.
Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Analisis Perang Irak dalam Perspektif Doktrin Pertahanan"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments