Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,
A. Agresi Israel ke Libanon

Serangan Israel dengan menggunakan pesawat tempur yang memuntahkan bom-bom berdaya ledak besar terhadap objek-objek sipil di Libanon telah berlangsung satu bulan sepanjang bulan Juli 2006 dan awal Agustus 2006. Agresi Israel tampaknya masih terus berlanjut. Sasarannya bukan hanya sentra kegiatan pasukan [milisi] Hizbullah di perbatasan Israel-Libanon, tetapi termasuk pemboman ke ibukota Beirut dan beberapa kota lain. Pasukan Multinasional (Multi-National Forces) untuk meredam pertempuran di Libanon sedang dipersiapkan [termasuk kontingen tentara dari Indonesia], tetapi perlu menunggu keputusan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang masih diwarnai standar ganda dalam sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS).

Israel pernah melakukan serangan besar-besaran seperti itu ke Libanon Selatan pada 24 tahun lampau dengan tujuan untuk melemahkan perjuangan Palestina. Kita ingat tahun 1982 tentara Israel melakukan invasi ke Libanon, menggempur dan memporak-porandakan kamp pengungsi Palestina di Shabra dan Shatila. Namun tidak ada tindakan keras yang dikenakan terhadap pemerintah Israel dan tidak ada petinggi militer Israel yang diajukan ke pengadilan internasional. Jauh berbeda dengan kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) dan pelanggaran hukum berat (grave breaches) di Bosnia dan Rwanda. [1]

Kini 2006 pemerintah Zionis Israel melakukannya lagi, tanpa alasan yang kuat atau yang dapat dibenarkan menurut aturan hukum internasional dan hukum humaniter (misalnya, ada alasan dan bukti bahwa keamanan Israel terancam). Memang kemudian pasukan Hizbullah juga membalas dengan meluncurkan beberapa kali serangan bom ke wilayah utara Israel, tetapi tindakan “bela diri” itu sebenarnya dipicu oleh arogansi sikap dan aksi serangan brutal Israel ke Libanon Selatan.

B. Perikemanusiaan dan HAM dalam Peperangan

Perlunya penerapan aturan serta rasa kemanusiaan dalam perang sudah dikenal sejak jaman dahulu kala. Namun ironisnya pelanggaran demi pelanggaran masih saja terus berlangsung hingga jaman postmodern ini. Di India misalnya, sejak dahulu kala telah dikenal peraturan-peraturan hukum perang yang bertujuan untuk melindungi orang-orang yang tak berdaya, terluka, dan yang sakit; terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak tentara pendudukan, senjata terlarang, dan perlakuan tawanan perang. Cerita Mahabharata misalnya, mengandung aturan-aturan perang yang berperikemanusiaan.

Demikian pula kitab Undang-undang Manu di India pada masa lampau memuat ketentuan terperinci mengenai orang-orang [penduduk sipil] yang tidak boleh diserang, barang-barang rampasan perang, dan larangan untuk melakukan kekejaman. Salahudin Al- Ayubi pada masa kejayaan Islam juga telah menerapkan aturan hukum humaniter berdasar ajaran Al-Qur’an dan Hadits Rasulllulah SAW.

Yunani Kuno dan Romawi juga mengenal ketentuan-ketentuan yang melarang pemakaian racun, pembunuhan tawanan perang, dan penyerangan atas tempat-tempat ibadah. Sumbangan yang berharga dari hukum Romawi terhadap hukum perang modern adalah definisi “perang” dan pendapat yang mengatakan bahwa peperangan harus dimulai dengan suatu pernyataan perang yang resmi.

Jelas bahwa rasa kemanusiaan merupakan suatu hal yang umum dan telah dikenal oleh berbagai bangsa dan peradaban sejak dahulu kala. Tidakl benar apabila ada yang berpendapat bahwa sebelum Rousseau merumuskannya dalam “Du Contract Social”, prinsip perikemanusiaan itu belum dikenal. Perbedaannya hanyalah bahwa sebelum itu perikemanusiaan dalam perang sering masih terbatas pelaksanaannya pada musuh yang seagama atau satu kebudayaan sehingga pada saat itu belum dapat dikatakan sebagai asas yang berlaku umum dan universal yang melintasi batas keagamaan, kebudayaan, dan kebangsaan seperti di jaman modern.

Dasar-dasar hukum humaniter bertujuan melindungi masyarakat dan membatasi akibat yang tidak perlu atau yang berlebihan, yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa konflik dan perang. Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata.

Pada prinsipnya masyarakat internasional memang mengakui bahwa peperangan antarnegara (international armed conflict) dan bahkan secara internal/domestik dalam suatu negara (non-international armed conflict) dalam banyak kasus yang pernah terjadi memang sukar atau tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan tetapi orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Oleh karena itu semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang. Tidak benar bahwa dalam peperangan, aspek hukum akan lenyap seperti yang digambarkan dalam peribahasa Romawi “inter arma silent leges” (terjadinya perang membuat aturan-aturan hukum bisa diabaikan).

Hukum yang mengatur konflik bersenjata lazim disebut sebagai hukum perang, kemudian setelah Perang Dunia II diubah menjadi hukum humaniter. Penggantian istilah tersebut dalam rangka memanusiakan manusia dalam perang. Perang biasanya ditandai oleh konflik di suatu wilayah dengan intensitas penggunaan kekuatan bersenjata cukup tinggi dan terorganisasi. Tujuan hukum humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut:
  1. Untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan penduduk sipil.
  2. Untuk membatasi akibat buruk penggunaan senjata dan kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut.
Israel jelas telah melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dalam berbagai tindakan atau aksi militernya, baik selama kurang-lebih enam dasawarsa di Palestina maupun kini di Libanon. Dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya, Israel telah menggunakan cara-cara yang tidak berperikemanusiaan, melanggar HAM, mengabaikan aturan hokum humaniter, dan tidak sesuai dengan doktrin “Just War”.

C. Doktrin-Doktrin Perang dan Hukum Humaniter.

Berikut ini kita tinjau doktrin-doktrin masa lampau yang berlaku hingga kini dalam hukum humaniter internasional a.l. doktrin mengenai dua kategori perang yaitu “Just War” dan “Unjust War”. “Just War” bermakna bahwa ada justifikasi atau alasan pembenaran untuk melaksanakan serangan, bahwa perang dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang logis dan dapat dibenarkan , bahwa perang berlangsung secara adil dan seimbang, bahwa perang dilakukan terbatas untuk mencapai tujuan tertentu dan bukan untuk menghancurkan atau memusnahkan pihak lawan (suatu negara, suatu bangsa, etnis dan suku-bangsa, kelompok/oposisi/ pemberontak, dan lain-lain).

Berlandaskan doktrin “Just War” ini, sepanjang perang tidak terhindarkan dalam rangka memperjuangkan sesuatu atau mempertahankan sesuatu, dibolehkan melakukan tindakan untuk mengalahkan/menaklukkan lawan, tetapi bukan untuk menghancurkan. Boleh memperjuangkan sesuatu, mencakup hal-hal kepentingan nasional atau mencegah berlanjutnya agresi, tetapi bukan dengan cara-cara teror yang menimbulkan kesengsaraan bagi penduduk sipil. Contohnya “Just War” a.l. membela hak-hak publik atau hak rakyat, menggulingkan pemerintah yang zalim, guna menghapus perbudakan seperti “civil war” di AS (1861-1865), guna memberantas peredaran narkoba, dan lain-lain. Untuk mempertahankan sesuatu, contohnya mempertahankan keutuhan wilayah, mempertahankan sumber-sumber daya alam, dan lain-lain.

“Just War doctrine” meliputi lima kriteria yaitu: a) “Just Cause” [Sebab/Alasan yang Wajar], b) “Right Authority” [Berdasar Kewenangan yang tepat/sesuai], c) “Right Intention” [Tujuan/Niat dengan iktikad baik], 4) “Proportionality” [Berlangsung secara wajar, proporsional, seperlunya saja], dan 5) “Last Resort” [Tidak ada jalan lain, hanya ditempuh sebagai keputusan terakhir/pamungkas, karena cara lain sudah buntu].

Selain yang diatur berdasar doktrin, dalam perkembangan di jaman modern diadakan pula aturan-aturan berdasar konvensi/perjanjian internasional dan ketetapan dari badan perlengkapan organisasi internasional. Sehingga ketentuan-ketentuan Hukum Perang atau Hukum Humaniter ini dibagi ke dalam tiga cabang, yaitu : [2]
  1. Hukum The Hague (Law of the Hague) lebih terkait dengan peraturan mengenai cara dan sarana bertempur dan memusatkan perhatiannya pada tindakan operasi militer. Oleh karena itu, maka jenis Hukum The Hague sangat penting bagi komandan militer di darat, laut, dan udara. Hukum ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di The Haque (Den Haag, Belanda) pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan.
  2. Hukum Jenewa (Law of Geneva), yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Mereka yang dilindungi adalah militer maupun sipil, di darat maupun di air. Hukum Jenewa melindungi semua orang yang hers de combat, yakni yang luka-luka, sakit, korban karam/tenggelam, dan tawanan perang. Hukum Jenewa ini mencakup Konvensi Jenewa 1929, Konvensi Jenewa 1949, dan juga Protokol Jenewa 1977.
  3. Hukum New York (New York Rules), yaitu aturan-aturan baru yang berkaitan dengan hukum humaniter atau yang mengatur ketentuan yang berlaku dalam peperangan/pertempuran. Ketentuan dihasilkan melalui mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Organization) yang bermarkas besar di New York. Lazimnya yang digolongkan sebagai “New York Rules” adalah yang dibuat setelah tahun 1980. Ada yang berupa konvensi, protocol, maupun berupa resolusi a.l. Resolusi Majelis Umum dan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Contoh-contohnya a.l. : Convention on the prohibition of the development, production, stock-pilling and the use of chemical weapons and on their destructions (1993); Protocol on Binding Laser Weapons (1995), Protocol on the Explosive Remnants of War (2003), dan “New York Rules” juga mencakup yang sebelum tahun 1970-an yaitu Konvensi PBB tentang Genosida (Genocide Convention) tahun 1948 yang merupakan pengembangan dari Resolusi PBB No 96 (11Desember 1946), serta Resolusi Majelis Umum PBB No 2444 Tahun 1968 (Respect for Human Rights in Armed Conflict).
D. Pelanggaran HAM dan Hukum Humaniter (Grave Breaches)

Beberapa kategori tindakan kejahatan/pelanggaran berat (grave breaches) dalam hukum humaniter yang bisa kita simpulkan dari isi Konvensi Jenewa 1949 adalah sebagai berikut:
  1. Willful Killing (Pembunuhan yang direncanakan/disengaja)
  2. Torture or Inhuman Treatment, including Biological Experiment. (Penyiksaan atau perlakuan tidak berperikemanusiaan, termasuk bila manusia digunakan untuk eksperimen biologik)
  3. Wilfully Causing Great Suffering
  4. Destruction of Property Unjustified by Military Necessity
  5. Compelling Civilians or Prisoners of War to Serve the Hostile power
  6. Wilfully Depriving Civilians or Prisonesrs of war of a Fair Trial
  7. Unlawful Deportation of Confinement of Civilians
  8. The Taking of Hostages
Dalam hal serangan udara yang berlanjut dengan agresi militer Israel ke wilayah Libanon (Juli+Agustus2006), ketentuan yang secara faktual telah dilanggar oleh Israel adalah Nomor 1 (pemboman yang membantai penduduk sipil), 3 (menimbulkan derita dan kesengsaraan berkelanjutan) , 4 (menghancurkan pemukiman dan rumah-rumah).

E. Upaya Internasional Menghentikan Pertempuran di Libanon

Sejak 12 Juli 2006, Israel melakukan Serangan udara dengan pesawat tempur yang menjatuhkan bom-bom ke pemukiman penduduk di Libanon Selatan (sebelah utara wilayah Israel). Serangan-serangan itu telah menewaskan serta melukai penduduk sipil termasuk anak-anak. Alasannya untuk melumpuhkan pasukan/milisi Hizbullah yang anti Zionis dan menentang pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Namun yang ternyata menjadi korban adalah penduduk sipil, termasuk wanita dan anak-anak.

Hal seperti ini sesungguhnya bukan hanya tergolong kejahatan perang (war crimes) tetapi juga kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Banyak bangunan, rumah, dan sarana pelayanan publik hancur di Libanon, penduduk meninggal dan luka-luka, ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Serangan pesawat tempur Israel ke kota Qana (29 Juli 2006) saja telah menewaskan tidak kurang dari 54 orang penduduk sipil, 37 diantaranya adalah anak-anak. Belum lagi di berbagai kota lainnya. Sekitar 800 orang tewas [3], belum termasuk yang luka-luka, kehilangan tempat tinggal, dan yang mengungsi.

Hal ini tentunya disorot tajam oleh dunia internasional dan bukan hanya oleh negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Unjukrasa mengecam Israel, berlangsung di berbagai negara, termasuk di negara-negara Eropa Barat. Namun pemerintah Zionis Yahudi itu tidak bergeming dan terus melanjutkan aksi pemboman yang tidak berperikemanusiaan serta tegas menolak himbauan gencatan senjata.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukannya tidak memperhatikan hal yang mengenaskan itu. Dewan Keamanan PBB telah bersidang membahasnya, tetapi Amerika Serikat (AS) memveto Rancangan Resolusi Dewan Keamanan PBB (yang isinya mengutuk kekejaman Israel dan mendesak Israel untuk menghentikan aksi pemboman). Tidak aneh dan bukan hal baru bahwa AS hampir selalu menyatakan penolakan (veto) di DK-PBB dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan Israel.

Upaya lebih lanjut yang dapat dilakukan oleh negara-negara anggota PBB adalah melalui Majelis Umum PBB, karena dalam MU-PBB tidak berlaku hak veto. Cara ini dikenal sebagai pola “Uniting for Peace”, yang justru pernah ditempuh oleh AS pada tahun 1950 untuk menghasilkan Resolusi PBB menyangkut pecahnya Perang Korea. Ketika itu AS berhasil dalam upayanya mengalihkan rancangan Resolusi melalui DK-PBB yang diveto oleh Uni Soviet (Rusia), untuk dibahas oleh Sidang Istimewa (Sidang Darurat) Majelis Umum PBB.

Resolusi MU-PBB yang dikeluarkan pada tahun 1950 itu dikenal sebagai “Uniting for Peace Resolution No. 377A / 1950”. Selanjutnya MU-PBB belum pernah mengeluarkan lagi resolusi semacam itu dan tampaknya bisa saja cara seperti itu ditempuh lagi pada tahun 2006 ini. Untuk menembus kebuntuan di DK PBB. Cuma masalahnya kemudian apakah Resolusi MU-PBB itu bisa cukup efektif untuk menekan pemerintah Israel menghentikan aksi-aksi brutalnya di Libanon dan Palestina.

Lalu jika PBB tidak mampu bertindak untuk mengendalikan serta mendamaikan situasi “perang” di Libanon melalui himbauan atau resolusi, apa yang bisa dilakukan dalam waktu dekat ini ? Pilihannya adalah mengirimkan Pasukan Multi-Nasional (Multi-National Forces) untuk memisahkan pihak-pihak yang bertikai itu atau Gencatan Senjata di antara kedua pihak yang sama-sama berjanji tidak akan melakukan serangan.

Pemerintah AS, sebagai adidaya yang kini memegang hegemoni dunia, cenderung ke arah pembentukan pasukan multinasional (MNF) untuk segera dikirim/ditempatkan ke Libanon. Sedangkan Perancis dan negara-negara anggota Uni Eropa menyokong upaya Gencatan Senjata terlebih dulu, untuk kemudian dilanjutkan dengan perundingan. Jadi perlu ada penghentian serangan dan pertempuran lebih dulu, terutama penghentian pemboman oleh Israel. Barulah kemudian berlanjut dengan upaya penyelesaian konflik (penyelesaian sengketa dan permusuhan) melalui perundingan bilateral/trilateral antara Israel dengan Libanon dan pasukan Hizbullah.

Pola perundingan (setelah gencatan senjata) bisa langsung oleh para pihak yang bertikai dan bisa pula berlangsung melalui adanya mediasi oleh negara lain yang bersikap netral. Lalu hasil kesepakatan dari perundingan itu agar dilaksanakan secara konsekuen dengan adanya pengawasan internasional. Usulan yang dikemukakan oleh Uni Eropa ini tampaknya lebih ideal dan adil untuk diterapkan, selain bahwa yang terpenting adalah untuk menyelamatkan penduduk sipil agar tidak menjadi korban pertempuran.

Sedangkan usulan pemerintah AS untuk mengirimkan “Multi-National Forces” ke Libanon, berkemungkinan hanya akan menguntungkan Israel. Bisa jadi Pasukan pejuang Hizbullah saja yang bukan tentara resmi suatu negara yang akan dilucuti persenjataannya dan dibubarkan struktur komandonya (oleh Pasukan Multi-Nasional). Sedangkan pihak militer Israel hanya disuruh menghentikan serangan dan mundur dari wilayah Libanon.

Belum lagi masalah dalam hal menentukan tentara dari negara-negara mana yang akan menjadi inti Pasukan Multi-Nasional itu. Jangan-jangan akan didominasi struktur pimpinannya dan jumlah personilnya oleh tentara AS, seperti dalam kasus Irak. Jelas AS perlu diragukan kenetralan dan keobjektifannya dalam penanganan konflik Israel dan Hizbullah yang sedang berlangsung di Libanon dewasa ini.

Yang terbaik adalah gencatan senjata terlebih dulu (sampai sekarang Israel terus menolak usulan gencatan senjata) yang dilanjutkan dengan upaya perundingan menuju perdamaian. Sejalan dengan hal itu dilakukan penempatan “Peace Keeping Operation” (PKO) oleh PBB di perbatasan Libanon-Israel, termasuk untuk membantu rekonstruksi pemulihan kehidupan sosial-ekonomi penduduk di Libanon. Perlu kita pahami di sini bahwa tugas-tugas “Multi-National Forces” (MNF) adalah memukul-mundur pihak yang bertikai yang saling menggempur, berbeda dengan “Peace Keeping Operation” (PKO) yang bertujuan melindungi penduduk setelah adanya penghentian pertempuran.

Hal lain yang perlu dipahami berkait dengan konflik Palestina serta pertempuran Israel dan Hizbullah adalah bahwa hal ini bukan “perang agama” dan bukan bermotif keagamaan (antara Kristen dan Islam). Sekitar 25-30 persen bangsa Palestina beragama Kristiani/Nasrani, walau mayoritas 70-75 persen beragama Islam. Sekitar 35-40 persen penduduk Libanon beragama Kristen (Maronit) dan oleh karena itu ada pola pembagian kekuasaan dalam Konstitusi Libanon, jika kepala negara (presiden) dipilih dari tokoh yang beragama Kristen maka kepala pemerintahan (Perdana Menteri) dari tokoh yang beragama Islam.

Konflik dan pertempuran di kawasan itu adalah semata-mata bermotif perjuangan Israel menegakkan hegemoni dan sebaliknya penentangan pihak lain (Palestina, Syria, Libanon) terhadap dominasi Israel. Jelas konflik kepentingan nasional masing-masing bangsa dan bukan bermotif konflik keagamaan. AS juga dalam banyak hal cenderung berpihak kepada Israel karena ideologi dan kepentingan nasional untuk mengendalikan kawasan Timur Tengah yang kaya sumber energi minyak, selain kuat dan luasnya lobby Yahudi di dalam perpolitikan nasional AS.

Catatan:
[1]  Untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM dan hukum humaniter di bekas negara Yugoslavia serta di Rwanda telah dibentuk International Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY) dan International Tribunal for Rwanda (ICTR) sejak 2003 dan proses pengadilannya berlangsung hingga kini.
[2]  Lihat juga : C de Rover, TO SERVE AND TO PROTECT: Acuan Universal Penegakan HAM, (terjemahan), Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000, hl. 100. Dalam hal ini C. de Rover membuat penggolongan hanya dua cabang yaitu “Geneva Law” (1864, 1929, 1949) dan “The Hague Law” (1899 dan 1907). Namun berdasar kepada realita/kenyataan dan juga beberapa artikel kontemporer, sesungguhnya sejak dasawarsa 1970 dan 1980-an telah bisa kita tambahkan adanya penggolongan ketiga yaitu “The Law of New York” yang digodok dan dihasilkan melalui Markas Besar PBB di New York.
[3]  Media Indonesia, berita utama (headline news), Selasa, 1 Agustus 2006. 

Oleh: Teuku May Rudy

Sumber: http://conformeast.multiply.com Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Serangan Israel ke Libanon: Pelanggaran Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments