Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:
Pada tanggal 24 Agustus 1572, mulai terjadi pembunuhan massal atas kaum Huguenot, yang adalah kaum Protestan Calvin di Prancis, oleh penganut Gereja Roma. Hal itu dimulai di Paris, dan tersebar ke seluruh Prancis selama 2 bulan sampai hampir 100 ribu orang Protestan dibunuh, dan kaum Huguenot hampir dipunahkan dari muka bumi. Semua itu dimulai dalam sebuah perayaan pernikahan. Charles IX, raja Prancis dari 1560-1574, merancang pernikahan antara saudara perempuannya yang berusia 19 tahun, Margaret of Valois, dan Raja Henry of Navarre yang juga berusia 19 tahun. Henry, yang pada 1580 akan menjadi Raja Henry IV di Prancis, dibesarkan oleh ayahnya yang adalah penganut Calvin, dan merupakan pemimpin kaum Huguenot. Charles berpikir bahwa melalui pernikahan ini ia bisa menyelesaikan pertikaian antara sebagian besar penganut Gereja Roma di Prancis dengan kaum Protestan, yang pasukannya di bawah kepemimpinan Laksamana Gaspard de Coligny beberapa kali telah mengalahkan tentara kerajaan Prancis dan memenangkan gencatan senjata yang pecah.

Gaspard de Coligny dilahirkan di Prancis pada 16 Februari 1519. Ia memiliki karier militer yang brilian. Saudaranya, Francis d'Andelot, adalah penganut Calvin, dan melalui pengaruhnya Coligny bertobat menjadi penganut Calvin setelah ia tertangkap dalam peperangan St. Quentin tahun 1557. Ketika Raja Henry II terbunuh tanpa sengaja dalam turnamen ksatria berkuda pada 1559, Coligny bergabung dengan Pangeran De Conde, Louis I, memimpin kaum Huguenot untuk menuntut toleransi agama dari raja Baru, Charles IX, yang adalah penganut gereja Roma. Meskipun Coligny berusaha mendapat solusi damai untuk masalah keagamaan, perang sipil tetap berkobar. Pada 1569, Louis I terbunuh dalam perang ketika tentara Duke of Anjou mengalahkan kaum Huguenot. Coligny menjadi pemimpin tentara Protestan.

Tidak lama, Coligny memimpin tentaranya melintas Prancis, dan mengalahkan kerajaan di Arnay le Duc pada juni 1570. Akibat kemenangan ini, ia berhasil melakukan gencatan senjata dengan raja. Ia menunggu lebih dari setahun sebelum menghadap ke istana raja. Setelah ia di sana, dengan cepat ia mendapat perkenan raja Charles yang berusia 21 tahun, dan sering menasihati Charles. Ketika persahabatan Charles dan Coligny tumbuh, Catherine de'Medici, ibu suri, melihatnya sebagai ancaman. Sejak kematian suaminya, ia berhasil memiliki kekuasaan besar atas Charles, dan ingin terus mempertahankannya. Namun, nasihat Coligny memperlemah kekuasaannya.

Pernikahan antara Margaret of Valois dan Raja Henry of Navarre dirayakan di Prancis pada 18 Agustus 1572, dipimpin oleh Kardinal Bourbon. Pesta itu dihadiri oleh setiap pejabat tinggi di Prancis, baik yang katolik maupun protestan. 4 hari kemudian, pada saat Coligny datang dari rapat di konsili prancis, ia terluka kedua tangannya, yang disebabkan pembunuh bayaran yang disewa catherine dan anggota keluarga guise. Sementara ia dirawat, ia berkata kepada menteri yang menyertainya, "aku sekarang tau bahwa aku sangat dikasihi oleh Allahku karena aku terluka demi kepentingan-Nya yang paling suci". Meskipun menteri menasihati untuk meninggalkan Paris segera, Coligny memilih untuk tinggal.

Pertama, Charles bersumpah untuk membalas usaha pembunuhan Coligny, dan segera memerintahkan penyelidikan. Oleh karena takut penyelidikan itu akan menyingkap kebenaran, Chaterine, dibantu teman-temannya, membujuk raja muda itu bahwa itu semua merupakan bagian dari rencana kaum protestan untuk memulai kerusuhan serta ia harus memerintahkan pembunuhan atas semua pemimpin Huguenot sebelum mereka bisa beraksi menentangnya. Karena takut atas keadaan dirinya, raja setuju dengan usulan mereka, termasuk pembunuhan Coligny. Catherine dan teman-temannya segera memerintahkan pembunuhan massal semua kaum Huguenot. Sebagian besar pemimpin Huguenot sudah ada di Paris untuk menghadiri pernikahan, dan tidak satupun dibiarkan lolos. Yang pertama dibunuh adalah Coligny. Henry, Duke of Guise ketiga, menyaksikan kematiannya.

Tengah malam 24 Agustus 1572, pada hari st Bartolomeus, tanda diberikan, dan pembunuhan atas kaum Huguenot dimulai. Coligny yang sudah terluka diserang dir rumahnya sendiri oleh sekelompok orang yang dipimpin Duke. Seorang Jerman bernama Besme menusukkan pedangnya ke dada Coligny, dan melemparkannya, yang masih hidup, keluar jendela ke jalan. Di sana pasukan Guise lainnya memenggal kepada Coligny ketika ia tergeletak di kaki Duke of Guise. Besme kemudian berkata bahwa ia tidak pernah melihat seorang yang mati lebih berani daripada Coligny.

Meskipun ia sudah mati, pengikut paus yang penuh kemarahan memotong-motong tangannya dan anggota tubuhnya yang lain, menyeret tubuhnya tanpa lengan ke jalan-jalan selama 3 hari kemudian menggantungnya dalam posisi terbalik di luar kota. Bersamaan dengan pembunuhannya, mereka membunuh setiap pemimpin protestan yang bisa mereka temukan, seperti menantu Coligny, Count de Teligny, Count de la Rochefoucalt, Antonius, Clarimontus, Marquis of Ravely, dan banyak orang lain. Namun, ini tidak memuaskan nafsu mereka untuk mencurahkan darah; hal itu hanya meningkatkan nafsu mereka yang bejat, dan mereka mulai membantai orang Protestan awam, dan memberu mereka seperti binatang siang dan malam. Dalam tiga hari pertama, hampir 10.000 mayat ditemukan di Paris saja.

Mereka melemparkan mayat itu ke Sungai Seine sampai airnya menjadi mereka seperti darah. Pembantaian tersebut terus berlanjut sehingga sepanjang selokan di jalan-jalan Paris darah mengalir seperti sungai setelah terjadi hujan badai. Kegusaran para pembunuh demikian bergelora sehingga mereka juga membunuh orang-orang gereja roma yang mereka percaya lemah dalam agama mereka dengan kejam. Pembantaian itu segera menyebar ke seluruh Prancis, dan berlanjur sampai Oktober, seolah-olah bencana yang najis telah mencengkeram pendukung paus sampai mereka bersikap lebih buruk daripada binatang dalam semangat mereka untuk membunuh setiap orang Protestan di Prancis. Tidak ada seorang pun yang berusaha menghentikan mereka dan tidak ada hukuman bagi mereka, tidak peduli berapa banyak pun orang yang mereka bunuh.

Di Orleans, yang jaraknya 112,5 km dari Paris di Sungai Loire, seribu laki-laki, perempuan, dan anak-anak dibantai. Di Lyon, sekitar 402,4 barat daya Paris di persimpangan Sungai Rhone dan Saone, 800 orang dibantai. Anak-anak dan orangtua yang saling berpelukan dengan penuh kasih dan ketakutan dibunuh tidak peduli apapun jenis kelamin atau berapapun usia mereka. Tiga ratus orang yang mengungsi di rumah Uskup dibunuh, dan rahib yang jahat itu tidak mengizinkan mayat mereka dikubur. Di Rouen, 112,5 km di barat laut sungai Seine, dan di Toulouse, dan di banyak kota lainnya di seluruh Prancis, ketika mendengar tentang pembantaian kaum Huguenot di Prancis, dan itu disetujui oleh raja, mereka menutup pintu gerbang kota atau menempatkan pengawal sehingga tidak ada kaum protestan yang bisa melarikan diri sementara mereka diburu, dipenjarakan kemudian dibunuh dengan kejam. Di Rouen sendiri, 6000 orang dibunuh.

Di provinsi Ajou, mereka membunuh seorang imam bernama Albiacus, dan memerkosa dan membunuh banyak perempuan. Di antara mereka terdapat 2 bersaudara yang mereka perkosa di depan ayah mereka setelah mereka mengikatnya di dinding sehingga ia dipaksa untuk menyaksikan itu. Setelah mereka selesai, mereka membunuh ketiga orang itu.

Di Bordeaux, meskipun itu merupakan ibukota provinsi Aquitaine yang dikuasai Inggris di pantai atlantik, rahib yang jahat, yang sering berkhotbah bahwa pendukung paus harus membunuh semua orang protestan, memprovokasi penganut gereja roma sehingga mereka membunuh 264 kaum protestan dengan kejam. Di Blois, Duke of Guise mengizinkan prajuritnya untuk membunuh semua orang protestan yang bisa mereka temukan dan merampas harta mereka. Tidak seorangpun dibiarkan lolos, dan setiap perempuan muda diperkosa oleh para prajurit sebelum dibunuh dan dilemparkan ke sungai Loire. Mereka melakukan hal yang sama di kota bernama Mere, tempat mereka juga menemukan seorang imam bernama Cassebonius dan melemparkannya ke sungai Loire sehingga tenggelam. Di setiap kota atau desa yang mereka datangi, entah besar atau kecil, dikenal atau tidak dikenal secara nyata, mereka bertindak dengan kekejaman yang luar biasa.

Di tempat yang bernama Turin (bukan Turin di Italia), walikota protestan memberi mereka banyak uang asal tidak dibunuh. Setelah menerima uang itu, mereka memukulinya dengan tongkat, menelanjanginya, dan menggantungnya dalam posisi terbalik, dan memasukkan kepala dan dadanya ke dalam sungai sehingga ia harus mengangkat dirinya sendiri keluar dari air supaya ia tidak terbenam. Ketika mereka sudah bosan dengan tontonan ini, mereka merobek perutnya, mengeluarkan ususnya, dan melemparkan ke dalam sungai. Kemudian mereka memotong jantungnya lalu membawanya berkeliling kota dengan tombak.

Di Penna, 300 orang dibantai setelah mereka dijanjikan keamanan. Di Albia pada hari Tuhan, 45 orang dibunuh. Di Nonne penduduknya melawan untuk beberapa saat sampai mereka dijamin tidak akan dilukai, hanya harta benda mereka yang dirampas. Namun, setelah pendukung paus masuk kota mereka membunuh setiap orang tidak peduli berapapun usianya dengan brutal dan membakar rumah mereka. Seorang perempuan dan suaminya diseret dari tempat persembunyian mereka dan ia diperkosa beberapa kali di depannya. Kemudian mereka meletakkan pedang ke dalam tangannya dan memegang tangannya di pangkal pedang sementara mereka mendorong pedang itu ke dalam perut suaminya. Setelah perbuatan kejam itu selesai, mereka juga membunuhnya.

Di desa barre, hamba iblis ini merobek perut beberapa anak kecil dan menarik keluar ususnya kemudian mereka mengunyahnya dalam kegusaran yang gila. Di Matiscon mereka memotong-motong tangan dan kaki banyak korban; kemudian beberapa orang mereka bunuh dan yang lain mereka biarkan mengeluarkan darah sampai mati. Demi tontonan yang kejam bagi diri mereka sendiri dan orang lain seperti mereka, mereka seringkali melemparkan kaum Huguenot, baik laki-laki maupun perempuan, dari jembatan yang tinggi ke Sungai Loire sambil berteriak "Pernahkah kamu melihat seorang melompat dengan begitu indah?"

Tidak mungkin menceritakan semua bentuk kekejaman yang dilakukan pada orang Protestan selama 2 bulan pembantaian yang mengerikan itu. Namun, satu contoh sudah cukup mewakili semuanya.

Istri Philip De Deux sedang hamil dan ditunggui bidan karena ia akan melahirkan. Pendukung paus menerobos masuk ke dalam rumah mereka dan membunuh Philip di tempat tidurnya kemudian tanpa mempedulikan permohonan bidan itu, mereka menusukkan belati ke perut si istri. Ia berjalan terhuyung-huyung keluar rumah menuju gudang dan naik ke atas loteng jagung, dan berharap untuk bersembunyi dari si penjagal itu, dan melahirkan bayinya sebelum ia meninggal. Namun, mereka segera menemukannya lalu menusuk perutnya sekali lagi, dan membelahnya. Kemudian mereka melemparkannya dari loteng jerami itu ke bawah. Ketika ia terjatuh ke tanah dengan bunyi yang keras pada punggungnya, bayinya keluar dari kandungannya. Segera para penjahat gereja roma itu menanggkapnya, menusuknya, dan melemparkannya ke sungai.

Sebagai saksi kedua kebenaran tentang pembantaian kaum huguenot ini, di bawah ini ada surat yang ditulis oleh seorang anggota gereja roma yang berpendidikan tinggi dan bijaksana:

Pernikahan raja muda Navarre dengan saudara perempuan raja Prancis dirayakan dengan kemegahan yang luar biasa. Semua perhatian, jaminan persahabatan, semua janji suci di antara manusia, diberikan dengan limpah oleh Catherine, ibu suri, dan raja. Selama perayaan, tamu-tamu pernikahan itu tidak memikirkan apapun kecuali menikmati perayaan, permainan, dan pesta topeng. Kemudian pada pukul 12 malam, pada permulaan hari St. Bartolomeus, tanda diberikan. Segera semua rumah kaum protestan dibuka paksa secara bersamaan. Laksanama Coligny karena menyadari kerusuhan itu, melompat dari tempat tidurnya tepat sebelum para pembunuh menerobos masuk ke tempat tidurnya. Pemimpin mereka adalah Besme, seorang pelayan di keluarga Guise. Orang yang kejam ini menusukkan pedangnya ke dada Laksamana serta wajahnya.

Henry, Duke of Guise yang masih muda, yang berdiri di pintu tempat tidur sampai pembantaian yang mengerikan itu dilaksanakan, berseru keras, "Besme! Apakah sudah terlaksana?". Segera setelah itu, para penjahat itu melemparkan Laksamana keluar jendela dan ia dibunuh di kaki Guise oleh penjahat lainnya yang memenggal kepalanya. Count de Teligny, yang menikah dengan anak perempuan Colignya sepuluh bulan sebelumnya, juga dibunuh. Ia seorang yang wajahnya menawan sehingga para penjahat yang pertama bergerak untuk membunuhnya merasa sayang, tetapi yang lain yang lebih kejam dari mereka menerobos melewati mereka dan membunuhnya. Sementara itu, semua teman Coligny dibunuh di seluruh Paris. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak dibunuh tanpa pandang bulu dan setiap jalan dipenuhi orang Protestan yang sekarat. Imam-imam berlari di jalan sambil memegang salib di tangan satunya dan pedang di tangan lainnya, dan memperingatkan pemimpin pembunuh itu untuk tidak membiarkan saudara atau teman-teman mereka lolos.

Tavannes, marsekal Prancis, seorang prajurit yang menyukai takhayul, dan bodoh, mengendarai kudanya melewati jalan-jalan Paris, dan berteriak kepada tentaranya, "Curahkan darah! Curahkan darah! Pencurahan darah pada bulan Agustus sama baiknya seperti pada bulan Mei". Dalam memoir tertulis anaknya tentangnya, kita diberi tahu bahwa ketika Tavannes hampir meninggal, dan membuat pengakuan terbuka kepada pastornya, imam itu berkata kepadanya dengan terkejut "Apa! Tidak menyebutkan pembantaian pada hari St. Bartolomeus?". Mendengar itu Tavannes menjawab, "Saya memandang itu sebagai tindakan yang layak mendapat pahala dan pujian yang akan menghapus semua dosa saya.". Hanya roh agamawi yang sesat yang bisa mengilhami perasaan yang sangat mengerikan itu.

Henry of Navarre dan istrinya yang baru saja menikah tidur di istana raja; semua pelayannya adalah penganut protestan. Banyak dari mereka yang dibunuh di tempat tidur; yang lain berlari menuju aula dan ruangan istana berusaha melepaskan diri; bahkan beberapa orang masuk ke dalam ruang utama raja. istri Hendry yang masih muda karena takut atas nasib suaminya dan dirinya sendiri, melompat dari tempat tidurnya dan berlari ke tempat tidur raja, dan menjatuhkan dirinya di kaki saudaranya dan mohon perlindungan. Namun, ketika ia membuka pintu kamar tidurnya, beberapa pelayannya yang Protestan menerobos masuk ke kamar itu untuk berlindung. Para prajurit masuk ke dalam kamar itu melewatinya dan membunuh seorang pelayan yang bersembunyi di bawah tempat tidur. Dua yang lain dilukai dengan tombak, dan jatuh di kakinya dan menumpahi kakinya dengan darah.

Count de la Rochefoucault, seorang bangsawan muda yang sangat disukai raja dan yang menunjukkan kebahagiaan dalam percakapannya, dan bisa berbicara penuh humor, telah menghabiskan malam yang menyenangkan bersama raja dan pejabat istananya, sampai pukul sebelas malam. Raja merasa menyesal terhadap Rochefoucault karena ia seorang Protestan, dan mendorongnya dua atau tiga kali untuk pulang ke rumah, tetapi menghabiskan malam itu di Louvre, dan saat itu ia tahu ia tidak akan ditemukan. Namun, bangsawan itu berkata ia harus pulang ke rumah menemui istrinya, jadi raja tidak mendesaknya lagi dan berkata secara pribadi kepada pegawainya, "Biarkan ia pergi. Saya melihat Allah telah memutuskan kematiannya". Dua jam kemudian bangsawan itu dan istrinya dibunuh.

Banyak korban yang malang melarikan diri ke tepi sungai reine untuk bersembunyi, dan beberapa orang berenang menyeberang sungai ke wilayah St. Germaine. Dari jendela kamar tidurnya di istana raja, raja bisa memandang ke sungai dan melihat orang-orang yang berenang untuk melepaskan diri. Satu di antara hambanya mempersiapkan senapan untuknya dan ia membunuh beberapa orang di sungai itu. Ibu suri tidak terganggu dengan semua pembantaian itu, dan sering melihat ke bawah dari balkonnya dan berteriak memberikan semangat kepada para pembunuh dan tertawa mendengar erangan kematian para korban.

Beberapa hari setelah peristiwa mengerikan di Paris itu, parlemen Prancis berusaha membuat pembantaian itu tidak begitu serius, dan membenarkan tindakan itu dengan melemparkan kesalahan pada Coligny dan menuduhnya melakukan kesepakatan untuk melawan raja, tetapi tak seorangpun mempercayainya. Mereka kemudian berusaha mencemarkan ingatan akan dirinya dengan menggantung mayatnya dengan rantai agar dilihat penduduk. Raja sendiri pergi melihat pemandangan yang mengguncangkan ini. Ketika satu di antara pegawainya menasihatinya untuk menjauh, sambil mengeluh atas bau busuk mayat itu, ia menjawab, "musuh yang mati mengeluarkan bau yang harum". Pembantaian pada hari St. Bartolomeus itu digambarkan di aula eksibisi istana Vatikan di Roma, dengan penjelasan: Pemimpin gereja roma menyetujui kematian Coligny.

Pembunuhan yang mengerikan ini tidak hanya terjadi di Paris. Perintah dikeluarkan dari istana raja kepada semua gubernur provinsi untuk membunuh semua kaum Huguenot di provinsi mereka. Akibatnya, sekitar 100 ribu orang protestan dibantai di seluruh prancis. Hanya sedikit gubernur yang menolak untuk menaati perintah itu. Montmorrin, gubernur Auvergne di Prancis tengah, menulis surat kepada Raja Charles dan berkata, "Tuan! Saya telah menerima perintah dengan meterai kerajaan untuk membunuh semua orang protestan di provinsi saya. Saya sangat menghargai keagunganmu sehingga tidak percaya jangan-jangan surat ini dipalsukan. Namun jika-Allah pasti melarang- perintah itu murni, saya sangat menghargai keagunganmu, serta akan menaati perintah itu".

Di Roma, sukacita atas pembantaian pada Hari Bartolomeus itu begitu besar sehingga mereka menyatakan hari itu sebagai hari pesta dan hari kebebasan. Orang-orang yang merayakan hari itu, dan mengungkapkan kegembiraan dengan segala cara yang bisa mereka pikirkan diberi banyak fasilitas. Orang yang pertama kali membawa kabar tentang pembantaian itu ke Roma diberi uang 1000 crown oleh Kardial lorraine atas beritanya yang tidak saleh itu. Di Paris raja juga memerintahkan agar hari itu dirayakan dengan setiap uangkapan sukacita sebab ia percaya bahwa seluruh ras Huguenot sudah dipunahkan, juga seluruh kaum Protestan di Prancis. Namun, Injil Kristus yang sejati tidak bisa dipadamkan di 1 negara-Hanya Allah yang bisa mencabutnya.

Lalu bagaimana nasib Raja Henry of Navarre yang masih muda, yang pernikahannya memberikan kesempatan bagi pembantaian itu dan yang nyawanya diselamatkan?

Ada orang yang mengatakan bahwa ia diselamatkan dari kematian oleh ibu suri karena ia ingin ia tetap hidup sebagai penjaga keamanan untuk dirinya sendiri dari kaum Huguenot yang berusaha membunuhnya serta ia berpikir juga bahwa mungkin ia bisa menggunakannya untuk meyakinkan kaum Huguenot yang lolos untuk menyerah. Orang lain mengatakan bahwa Henry terlepas dari pembantaian itu dengan membiarkan orang berpikir bahwa ia telah menyangkal iman protestannya. Dan ada orang yang berkata bahwa ia selamat, tetapi dipaksa untuk bertobat pada gereja roma; dan tiadk lama kemudian, ia menyangkal pertobatannya supaya ia bisa menjadi pemimpin untuk tentara Huguenot. Setelah pembantaian itu selesai, Raja Charles sangat terganggu, menjadi pemurung, dan tetap dalam keadaan seperti itu sampai ia mati dua tahun kemudian karena demam. Ia digantikan saudaranya, Henry III. Raja Prancis, Henry III segera membuat perjanjian damai dengan kaum Huguenot. Ini menyalakan kemarahan penganut gereja roma yang kemudian membentuk perserikatan umat gereja roma yang kuat, dipimpin keluarga Guise, untuk menentang raja.

Pada 1585 perserikatan itu memaksa Henry III untuk melarang paham protestan lagi, dan berusaha menyingkirkan Henry of Navarre dari pewarisan tahta Prancis. Oleh karena perserikatan ini masih tidak mempercayai raja, pada bulan Mei 1588 mereka menyebabkan kerusuhan yang mengusirnya dari Prancis. Perserikatan dan paus kemudian menyatakan bahwa Henry III dipecat dari jabatannya dan tidak lagi menjadi raja. Pada Desember 1588, Henry membalas dendam dengan membunuh Henri, duc de guise, dan saudaranya kardinal de guise. Ketika ia dinyatakan dipecat, Henry III membuat aliansi dengan Henry of Navarre, dan pada 1589 dibunuh oleh penganut gereja roma yang fanatik, jacques clement, di St. Cloud. Sebelum kematiannya, Raja Henry mengangkat Henry of Navarre sebagai penggantinya. Selain itu, Henry of Navarre mengklaim tahta itu sebagai hak warisnya dari Raja Louis IX melalui anak laki-laki Louis, Robert dari Clermont. Selain itu, istri Henry, margaret of Valois, adalah putri Henry II.

Perserikatan gereja roma yang kuat menolak mengakuinya dan didukung oleh raja Philip II dari Spanyol. Henry berusaha mengalahkan mereka dengan pasukan militer dan mendapatkan kembali tahtanya di Prancis, tetapi gagal dalam usahanya. Jadi pada 1593, ia bertobat pada paham gereja roma. Hal ini memberikan dukungan yang ia butuhkan untuk mendapatkan paris kembali pada tahun 1594. Dilaporkan bahwa ia membenarkan pertobatannya itu dengan berkata, "Paris layak untuk mendapatkan misa.". Pada 1598 Henry IV, gelar yang ia pakai saat itu, berkuasa sepenuhnya atas kekaisaran Prancis.

Segera setelah mendapatkan kekuasaan penuh atas Prancis, Henry IV mengeluarkan Edict of Nantes. Keputusan itu mengakhiri setengah abad perang dan memberikan hak politis yang sama kepada kaum Huguenot seperti penganut gereja roma; hak hidup dengan bebas di manapun di prancis; kebebasan beribadah pribadi di tempat-tempat tertentu, tetapi tidak di istana raja atau dalam jarak 24 km dari Paris. Keputusan itu juga memberikan beberapa tempat yang kuat sebagai "kota perlindungan" agar bisa melarikan diri dari penganiayaan dan aman, jika mereka bisa sampai di sana. Satu di antara tempat semacam itu adalah kotamadya La Rochelle di sebelah barat Prancis di Teluk Biscay. Edict of Nantes itu tetap berlaku sampai 1685 sampai undang-undang itu dicabut oleh Louis XIV.

Selama pemerintahannya sebagai raja prancis, Henry IV, yang sebelumnya adalah Henry of Navarre, mengabdikan dirinya untuk memperbaiki kondisi kehidupan penduduk prancis, terutama untuk melakukan eksplorasi dunia baru. Ia meninggal pada 14 Mei 1610, ketika ia dibunuh oleh penganut agama yang fanatik saat ia sedang melintas Paris dengan kuda.

Sumber: http://paulusteguh.blogspot.com Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

4 Response to Pembantaian pada Hari Santo Bartolomeus - Tahun 1572

Anonim
18 Desember 2014 pukul 10.52

korban

15 November 2015 pukul 12.57

banyak pembantaian. sungguh tragis

13 Juli 2016 pukul 08.40

Hbis kata kata

16 April 2019 pukul 13.27

Kamu bisa Trading FOREX dengan minimal Deposit Rp. 50.000 menggunakan bank lokal
Kelebihan bertransaksi di DetikTrade:
1. DetikTrade memberikan Bonus Deposit awal 10%** T&C Applied
2. Minimal Deposit Rp. 50.000,- menggunakan Bank lokal
3. Teregulasi di FCA UK
4. Perusahaan berdiri sejak 2017 telah mengalami perubahan platform lengkap dengan fitur2 analis dan teknikal trading
5. Deposit dapat dilakukan menggunakan BANK LOKAL
Bergabung sekarang juga di www.detiktrade.com
WA : 087752543745

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments