Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Afrika
,
Perang di Eropa
Gen. Christian Quesnot (France military affairs of France President during Rwanda crisis)
“…he would have wanted the international community to intervene at the start of the massacres because, from a technical point of view, they could have been stopped at that time since at the beginning, the abuses were the work of the militia and of the presidential guard which was behaving disgracefully. If the international community, not France alone, had not been so shortsighted…it could have stopped the massacres launched in Kigali.”
I. Pendahuluan
Sebelum mendiskusikan lebih lanjut ada baiknya untuk menjelaskan soal Definisi Humanitarian intervention atau Intervensi kemanusiaan secara umum. Intervensi kemanusiaan adalah upaya untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan kekuatan militer di suatu negara, baik dengan atau tanpa persetujuan negara itu (negara mengalami internal konflik). Penjelasan soal intervensi kemanusiaan diatas memiliki elemen sebagai beikut ; adanya penggunaan militer sebagai kekuatan pemaksa, kedua, biasanya intervensi itu dilakukan tanpa persetujuan negara target; ketiga, intervensi adalah melindungi warga negara negratarget; keempat adalah aktor intervensi bisa negara–negara secara unilateral ataupun organisasi internasional seperti PBB.
Definisi Kedaulatan negara artinya negara memiliki kekuasaan absolut atas kebijakan politik,ekonomi maupun militer tanpa intervensi negara lain. Kedaulatan negara dapat dilihat dari dua aspek yaitu internal dan eksternal. Aspek internal sangat terkait dengan kewenangan yang dimiliki negara dalam wilayahnya yang meliputi hak menentukan sistem politik, hukum dan ekonomi yang dianut sebuah negara. Aspek ini berkaitan dengan status negara sebagai aktor atau subyek hukum internasional yang kemudian menimbulkan aspek eksternal yaitu bahwa setiap negara memiliki posisi sama sederajat dalam berinteraksi dengan negara lain. Oleh karena itu satu negara tidak berhak untuk melakukan intervensi terhadap negara lain. Prinsip kedaulatan negara pada saat ini tidak bisa dilihat hanya sebagai hak negara, tetapi sangat terkait dengan kewajiban negara untuk melakukan perlindungan Hak asasi manusia.
Menurut JJ .Rousseau, negara dibentuk berdasarkan kontrak yang salah satu tujuannya adalah kewajiban untuk melindungi setiap manusia baik warga negaranya dan warga negara asing, dari terjadinya pelanggaran atas hak asasinya.
II. Pembahasan
Dikuranginya kedaulatan yang dimiliki suatu negara untuk sementara merupakan konsekuensi dari pelanggaran kewajiban negara dalam perlindungan hak asasi manusia. Sehingga aspek eksternal dari kedaulatan tidak lagi menempatkan dalam posisi sederajat. Masyarakat internasional memiliki tanggungjawab sisa (residual responsibility) untuk mengembalikan upaya demi memulihkan pelanggaran HAM yang terjadi dalam sebuah negara. Kewajiban masyarakat internasional ini merupakan pemahaman baru dari doktrin intervensi kemanusiaan yang selama ini dikaitkan sebagai hak. Pada tahun 2001 internasional commsion on intervention and states sovereignty (ICISS), menghasilkan sebuah konsep yang dikenal dengan Responsibility to Protect (R2P) artinya adalah intervensi kemanusiaan merupakan sebuah tanggungjawab bagi masyarakat internasional untuk mengambil tindakan yang memadai termasuk intervensi apabila terjadi pelanggaran HAM dalam sebuah negara. Dalam hal ini hanya berlaku pada pelanggaran HAM berat. Ini hanya adalah konsekuensi dari berhentinya kedaulatan sementara yang dimiliki negara karena tidak mampu melindungi HAM di wilayahnya.
a. Landasan Hukum dari Intervensi pada Krisis Kemanusiaan.
Untuk lebih menjawab ada banyak konvensi dan hukum internasional, tetapi karena ada organisasi internasional yang bisa merupakan penganungjawb atas perdamaian dan keamanan internasional. Melalui pasal 24 dan 25 Piagam PBB tentang tugas dan fungsi Dewan Keamanan PBB, maka DK berhak memberikan rekomendasi yang mengikat terkait adanya ancaman terhadap keamanan internasional, atau pelanggaran perdamaian dan keamanan dan agresi.
Sedangkan beberapa artikel yang sangat jelas dapat memberikan landasan hukum bagi tindakan intervensi kemanusian adalah Bab VI dan Bab VII Piagam PBB. Dalam Bab VI (pasal 33) Piagam PBB memiliki mandat untuk melakukan semua upaya agar konflik dapat diselesaikan secara damai melalui cara-cara negosiasi, mediasi, arbitrasi, penyelesaian hukum, serta cara damai lainnya. Sedangkan pasal 34 dalam Bab yang sama menyatakan bahwa PBB bisa melakukan investigasi setiap pertikaian (konflik) yang bisa membahayakan ancaman perdamaian internasional.
Dalam BAB VII terutama pasal 42 dinyatakan bahwa jikalau langkah-langkah politik dan ekonomi (pasal 41) tidak bisa atau cukup mendorong pihak-pihak yang bertikai maka pengunaan kekuatan militer (kekuatan darat, laut, udara) dapat dibenarkan untuk menjami kestabilan keamanan dan perdamaian internasional. Untuk lebih melengkapi intervensi miliiter dalam intervensi kemanusian sesuai dengan doktirn “responsibility to protect”, tindakan militer hanya lah langkah terakhir jika cara-cara lain tidak berhasil untuk melindungi penduduk dari pelanggaran HAM berat dan ini hanya dapat dilakukan dengan dua prasyarat, yaitu;
1. large scale loss of life, actual or apprehended, with genocidal intent or not, which is the product either of deliberate state action, or state neglect or inability to act, or a failed state situation; or
2. large scale “ethnic cleansing,” actual or apprehended, whether carried out by killing, forced expulsion, acts of terror or rape.
Dibawah ini kasus intervensi kemanusiaan yang dianalisa bagaimana intervensi kemanusiaan pada beberapa aspek bisa dianggap melanggar kedaulatan nasional, namun dengan sesuai dengan doktirn “responbility to protect”, maka kedaulatan nasional tidak berlaku apabila negara sebagai penanggungjawab utama dalam perlindungan warga negaranya dikatakan gagal seperti yang dijelaskan dalam kotak diatas.
b. Kasus-kasus Intervensi Kemanusiaan
Kosovo
Pasukan NATO dihadang rakyat sipil Kosovo yang berusaha mengusir mereka dari wilayah tersebut (SuaraMedia) |
Konflik ini bermula dimana etnis Albania menuntut supaya Kosovo menjadi Republik penuh, dalam artian ingin memisahkan diri dari Yugoslavia. Turut ambil bagian adalah mahasiswa di Universitas Pristina pada bulan Maret 1981 yaitu dengan mengadakan unjukrasa secara besar-besaran. Pemerintah Serbia menghadapi keadaan ini tidak lagi menggunakan cara-cara persuasif tetapi dengan kekuatan militer, bahkan pada saat itu seluruh institusi pendidikan di Kosovo di tutup. Puncak Konflik Kosovo adalah sekitar tahun 1999 dimana terjadi jatuhnya korban dari pihak Albania sekitar 100.000 orang meninggal dunia karena pembantaian yang dilakukan atas perintah Slobodan Milosovic.
Pembantaian inilah yang mendapat perhatian khusus dari internasional, terutama Amerika serikat pada waktu itu khususnya NATO. Amerika serikat dan Negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara menekan dan memaksa Presiden Serbia untuk segera berhenti melakukan aksinya.
Masyarakat internasional berpikir apa yang harus dilakukan terhadap Negara yang melakukan pelanggar hak berat. Terjawab dalam piagam PBB bahwa perlu dilakukan Intervensi kemanusiaan untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Piagam PBB inilah yang mendorong Amerika serikat melalui NATO untuk melakukan Intervensi. Tawaran dari Ameria Serikat pada saat itu melalui duta besar perdamaian, Richard Hoolbroke, adalah membujuk presiden Yugoslavia Slobodan Milsovic untuk berdamai dengan etnik Albania di Kosovo ditandai dengan pemberian otonomi khusus kepada Kosovo dan membolehkan pasukan perdamaian berada di propinsi tersebut. Saat bersamaan juga Amerika Serikat dan Negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara lainnya mengeluarkan ultimatum kepada Milosovic bahwa akan dilakukan penyerangan terhadap Yugoslavia jika Negara tersebut tidak menerima tawaran perdamaian tersebut. Namun Milosovic bersikukuh untuk tidak menerima tawaran tersebut. Pada Tanggal 24 Maret 1999 berdasarkan laporan dari Penasehat Keamanan Nasionalnya, Sandy Berger bahwa misi dari duta perdamaiannya telah gagal. Dengan tegas Bill Clinton memerintahkan untuk melakukan penyeranagn terhadap Yugoslavia. Awalnya Milosovic tetap pada pendirianya, namun akibat serangan militer NATO tersebut pada akhirnya dia menyerah dan mengikuti tuntutan dunia internasional yaitu Kosovo berada dibawah pengawasan KDOM pada tahun 1998.
Intervensi yang Gagal di Rwanda
Awal tahun 1990an, Pemerintah Rwanda yang didominasi suku Hutu bertikai dengan gerilyawan RPF dari suku Tutsi. Pemerintah Rwanda, elit politik/militer Rwanda dan pengusaha yang berasal dari suku Hutu melakukan kegiatan sistematis dengan melakukan intimidasi terhadap suku Tutsi. Salah satu melatih milisi Hutu yakni Interahamwe dan mempersenjatai dengan senjata api dan parang. Ini bagian dari upaya Presiden Juvenal Habyarimana untuk mempertahankan kekuasan, akibat tekanan dunia internasional dan juga gerilyawan RPF yang berkomitmen untuk menumbangkan pemerintahan dominasi Hutu.
UNAMIR, kemudian dibentuk awal 1994 melalui Arusha agreement, merupakan misi PBB untuk menjaga perdamaian di Rwanda.. Pada bulan awal April 1994, setelah kecelakan pesawat yang menewasan presiden Juvenal H., maka pimpinan militer dari pasukan pengawal presiden dan pasukan elit Rwanda – yang dipimpin Kol. Bogasara melakukan pembantaian pada kelompok Hutu yang menjadi oponen dan terutama pada suku Tutsi yang merupakan etnis minoritas sebagai kambing hitam dengan tuduhan sebagai kolaborator RPF. Yang menjadi sasaran serangan tidak saja suku Tutsi tapi sejumlah elit politik Hutu yang dianggap beroposis juga menjadi korban dari serangan kelompok Hutu.
Pembantaian yang terjadi sejak tanggal 7 hingga 15 April 1994, merupakan tragedi terburuk dalam sejarah konflik di dunia karena berakibat puluhan ribu tewas. Dalam masa konflik itu (bulan April), sebenar pimpinan pasukan perdamaiana UNAMIR pernah meminta pasukan tambahan (reinforcement) sebanyak 5.000 dan sarana yang memadai untuk menghentikan genosida, namun di tolak DK PBB. Dengan alasan PBB tidak mau dituduh berpihak atau melakukan intervensi kedaulatan negara (alasan itu adalah isu internal) pada salah satu pihak yang bertikai, padahal alasan sebenarnya yaitu ada keenganan dari negara besar (AS dan Perancis) untuk memberikan uang dalam operasi perdamaian dan tidak mau mengorbankan nyawa prajuritnya (ada preseden di Somalia).
Pasukan UNAMIR yang bertugas di Rwanda sebagai penjaga perdamaian tidak memiliki kekuatan dan sarana untuk menegakkan perdamaian. Mereka tidak dipersenjatai secara lengkap dan bahkan tidak bisa untuk membela diri mereka sendiri. Maka pimpinan UNAMIR meminta pasukan tambahan agar dapat mencegah kejadian lebih buruk lagi dan juga meminta mandat yang lebih besar untuk menggunakan kekuatan dalam mencegah meluasnya pembantaian. Tetapi menurut penilaian James Mayal dalam tulisannya, menyatakan bahwa sebenar proses perdamaian bisa dicapai jika pihak yang bertikai dan khusus pihak Hutu dilucuti persenjataannya. Namun disisi lain, ternyata UNMIR termasuk target dari serangan milisi dan militer Hutu, agar PBB meninggalkan Rwanda. Dan ternyata kampanye Hutu sangat sukses dimana DK PBB menarik pasukan perdamaian hingga hanya kekuatan pasukan perdamaian yang minimum. Dapat dinilai PBB gagal melaksanakan perannya dalam kasus genosida ini, Bruce Jones dalam bukunya menyimpulkan bahwa Sekjen PBB Boutrous Boutrous Ghali gagal dalam memimpin PBB pada saat-saat kritis itu. Dua minggu itu DK PBB tidak mau terlibat dalam banyak dalam mencegah penyerangan, bahkan seperti diatas PBB menarik diri dari Rwanda melalui putusan resolusi DK nomor 912 tahun 1994 setalh sebelumnya Belgia menyatakan secara resmi mengundurkan diri dari misi militer Belgia di Rwanda per 13 April ‘94. Hal ini meunjukkan PBB tidak memiliki rencana darurat akibat gagalnya perjanjian damai Arusha tahun 1993 antara pemerintah Rwanda dan RPF. Pada minggu kedua April 1994, tugas UNAMIR tereduksi tidak lebih pada membantu pasukan evakuasi Perancis untuk menyelamatkan warga negara asing ketimbang melindungi warga Rwanda tetapi bukan berarti mereka tidak mau melindungi warga Tutsi. Persoalan Rwanda bukan prioritas dari AS, sehingga konsekuensinya menjadi lebih buruk seperti yang telah mereka perkirakan
c. Dilemma Intervensi Kemanusiaan Dikaitkan dengan Kedaulatan Nasional
Terkait dengan hukum internasional, pasal intervensi internasional (pasal 42 Bab VII telah dijelaskan diatas) telah menimbulkan debat hangat. Perdebatan muncul karena doktrin tersebut berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum internasional (prinsip kedaulatan negara dan prinsip non intervensi). Dalam piagam PBB yang telah mengatur prinsip tentang dua hal tersebut dalam pasal 2 (ayat 1).” the organization is based on the principles of the sovereign equaltity of all the members”.
Pasal 2 (4): “all the members shall refrain in their international relation from the threat or use of force the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations.”
Inilah dilemma dari intervensi kemanusiaan di satu pihak muncul pertanyaan apakah organisasi internasional memiliki hak memaksakan pendapatnya tanpa mandat dari PBB, tapi apakah pelanggaran HAM yang dilakukan terus menerus dan sistematis dapat dibiarkan begitu saja. Karena melanggar prinsip kedaulatan bisa dipastikan adanya situasi dilematis bagi negara yang mengalami konflik kemanusiaan, di satu negara ingin menjaga kedaulatannya sembari menyelesaikan persoalan negara itu sendiri tanpa campur tangan negara lain ataupun organisasi internasional. Tapi disisi lain apabila konflik berkepanjangan dan memakan korban jiwa, maka isu HAM akan menjadi alasan untuk negara lain atau organisasi internasional untuk melakukan intervensi. Situasi dilematis inilah menjadi kontroversi antara intervensi kemanusiaan dengan prinsip kedaulatan.
Kesimpulan
Intervensi kemanusiaan dibenarkan menurut hukum internasional dan piagam PBB Bab VII, yaitu dunia internasional melalui DK PBB berhak melakukan intervensi apabila terjadi pelangaran HAM yang berat di suatu negara atau kondisi dimana terjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan interasional. Dalam situasi seperti ini negara yang bersangkutan kedaulatannya terbatas, jika dia tidak bisa melindungi hak asasi manusia warga negaranya, atau dengan sengaja melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Sumber: http://hankam.kompasiana.com/
Artikel Lainnya:
No Response to "Tantangan dan Prospek Intervensi Kemanusian Saat Ini"
Posting Komentar