Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Perang di Afrika
Republik Rwanda adalah negara kecil yang terletak di Timur-Tengah dari Afrika bertetangga dengan Uganda, Burundi, the Democratic Republic of the Congo dan Tanzania. Dulu Rwanda adalah salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu. Kalau kita lihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran.
Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu dianggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih “tinggi” eksistensinya. Itu semua hanya karena suku Tutsi lebih terang, tinggi, langsing dan ukuran hidung mereka lebih ramping dan mancung, sedangkan suku Hutu lebih berwarna hitam, agak pendek, hidungnya besar dan pesek. Para Penjajah Belgia lebih memilih orang-orang Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang Hutu.
Mereka mengerjakan Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” dan Hutu untuk “kerah biru”. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini. Dan inilah awal dari munculnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Dan hal ini setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya di Tahun 1994, memuncak ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai para “Cokroaches” / Tutsi, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai.
Dengan sandi “Lets Cut The Tall Trees!!” mereka memulai pembantaian itu. Pada bulan Juli, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) yang notabene menyetujui perjanjian damai Hutu-Tutsi, dibunuh dalam pesawatnya, dengan roket, oleh kaum Tutsi (tapi ini hanya drama yang dilakukan oleh Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai, presiden tersebut mati di tangan Hutu aslinya). Akhirnya Pecahlah perang Genosida tersebut, kaum-kaum Hutu turun ke jalan, membawa parang dan senjata, atau apa saja yang bisa dipakai untuk membunuh kaum Tutsi. Dengan memakai seragam kebanggaan mereka, mereka membantai siapa saja kaum Tutsi yang ada.
Operasi mereka dimulai dengan sweeping massal kartu identitas warga negara Rwanda yang dimana di kartu identitas tersebut ada cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi. Teror itu pecah dan menghantui rakyat yang tak berdaya, terutama suku Tutsi dengan pasukannya, Interahamwe, para Hutu membantai para Tutsi.
Kurang lebih 250.000 suku Tutsi dibantai pada hari itu dan hampir 50.000 Suku Hutu tewas karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi oleh “Tutsi Rabels”. Total semua korban yang tewas dari Genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000 dan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada akhir teror tersebut, suku Tutsi berhasil membalas para militan Hutu, dan mereka dapat menekan keberadaan suku Hutu sampai ke perbatasan Kongo, dan setelah serangkaian perjanjian dan mandat, dengan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya perang saudara tersebut berhenti.
Negara Perancis dituduh sudah membantu Rezim Hutu dalam operasi Turquoise, dan memang nyatanya Perancis lah yang menyuplai senjata untuk Militan Hutu dan rezimnya. Setelah itu diumumkanlah daftar kriminal Genosida oleh PBB, sebagian sudah tertangkap, dan sebagian masih bebas berkeliaran.
1. Penyebab Timbulnya Konflik
Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi dan Tanzania. Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang tiba di Rwanda sejak abad ke-15. Suku Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk, merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959, suku Hutu membentuk strata dominan di bawah sistem feodal yang berdasarkan pada kepemilikan ternak. Suku Twa, yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu.
Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu dianggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek.
Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekerja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini.
Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Menurut Simon Fisher dalam bukunya, Mengelola konflik; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, dalam teori Hubungan Masyarakat disebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok Tutsi yang disebut dengan “Cocoroaches”, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai. Dengan sandi “Lets Cut The Tall Trees!!” mereka memulai pembantaian itu.
Bahkan ketika pada bulan Juli 1994, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut terjadi, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui perjanjian damai HUTU-TUTSI, dibunuh dalam pesawatnya, yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai dengan menyebarkan berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai yang telah dilakukan oleh perwakilan dari kedua suku tersebut pun gagal. Operasi mereka dimulai dengan sweeping masal kartu identitas warga negara Rwanda yang dimana di kartu identitas tersebut terdapat cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi.
Selain itu menurut teori Identitas, konflik juga disebabkan oleh identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Jika dikaitkan dengan konflik yang terjadi di Rwanda antara kedua kelompok suku tersebut, dapat dilihat bahwa diversivikasi dan stratifikasi sosial yang terjadi antara Hutu dan Tutsi pada masa kolonialisasi menimbulkan kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua suku tersebut. Dendam suku Hutu terhadap identitas dirinya sebagai penduduk mayoritas yang terdiskriminasi di Rwanda belum terselesaikan hingga kini dan menjadi penyebab utama timbulnya pembantaian terhadap suku Tutsi.
2. Eskalasi Konflik
Tidak adanya komunikasi yang baik, diskriminasi pekerjaan, kecemburuan sosial, menyebabkan kesenjangan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut mengakar hingga saat ini dan menimbulkan konflik yang sejak dulu ada kembali muncul ke permukaan. Eskalasi konflik terjadi ketika kelompok suku Hutu sengaja melakukan pembunuhan berencana terhadap presiden Habyarimana. Hal tersebut dilakukan oleh kelompok suku Hutu untuk memancing kemarahan massa suku Hutu terhadap dendam yang selama ini terpendam. Mereka dengan sengaja menyebarkan berita palsu bahwa pembunuhan presiden yang juga berasal dari suku Hutu tersebut dibunuh oleh kelompok pemberontak suku Tutsi.
Dengan tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat, menyebabkan suku Hutu semakin marah dan mengupayakan tindakan balas dendam terhadap seluruh suku Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih 250.000 suku Tutsi dibantai di hari itu dan hampir 50.000 jiwa yang berasal dari suku Hutu mati karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi oleh “TUTSI REBELS”. Total semua korban yang mengalami kematian dari genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000. Berdasarkan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada saat genosida ini berlangsung, para perempuan dari suku Tutsi di perkosa lalu dibunuh. Mereka diperlakukan seperti binatang. Dilempari batu, di perkosa dan di kandangkan.
3. Aktor dan Pihak yang berperan dalam konflik
Dalam menganalisa kasus ini dapat dilihat dari peran-peran aktor yang bermain di dalamnya. Terdapat 5 tingkatan analisa aktor menurut Mochtar Ma’soed yaitu pertama, tingkat analisa sistem internasional; kedua, tingkat analisa kelompok negara-bangsa atau regionalisme; ketiga, tingkat analisa negara atau bangsa; keempat, tingkat analisa masyarakat atau kelompok individu; dan yang kelima adalah tingkat analisa individu. Dalam konflik Rwanda ini dapat dilihat dengan jelas bahwa aktor utama yang bertikai adalah aktor kelompok individu atau masyarakat yang berasal dari suku Hutu dan Tutsi. Masyarakat merupakan salah satu bagian penting dari sebuah negara. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara sangat ditentukan oleh suara dan opini dari masyarakat. Sebagai suku mayoritas yang memiliki sejarah hitam di Rwanda akibat kolonialisme, Hutu yang kini berhasil mengendalikan pemerintahan memanfaatkan wewenang untuk melakukan pembantaian terhadap Tutsi.
Selain itu ada juga aktor sistem internasional yaitu pasukan perdamaian PBB yang masuk ke dalam Rwanda yang berperan untuk mencegah konflik menjadi semakin berkembang. Sebagai organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara dunia, PBB merupakan salah satu bentuk perwujudan sistem internasional. Segala tindakannya selalu dipengaruhi oleh kebijakan dan keputusan bersama negara-negara anggotanya. Namun sayangnya pasukan pedamaian PBB hanya masuk sebentar dan kembali ke perbatasan. Seolah mereka membiarkan konflik yang tengah terjadi di Rwanda.
Sebenarnya aktor negara atau pemerintahan di Rwanda sendiri yang dikendalikan oleh suku Hutu juga memiliki peran dalam terjadinya konflik tersebut. Semua pembuat keputusan pada dasanya akan berperilaku sama apabila menghadapi situasi yang sama. Karena itu analisis para ilmuwan seharusnya ditekankan pada perilaku unit negara-bangsa. Pembunuhan presiden Habyarimana merupakan rekayasa yang telah sengaja direncanakan oleh pemerintah Rwanda untuk melakukan aksi balas dendam terhadap suku Tutsi. Analisa aktor selanjutnya lebih jelas dapat dilihat di dalam film Hotel Rwanda bahwa terdapat peran aktor individu yaitu Paul Rusesabagina yang diperankan oleh Don Cheadle sebagai pemilik hotel yang pada akhirnya dijadikan tempat pengungsian dan berlindung para warga Tutsi dari genosida massal yang dilakukan oleh suku Hutu.
4. Respon dunia internasional
Walaupun banyak warga asing yang saat itu sedang berada di Rwanda, tetapi dunia seakan menutup mata bahwa sebuah pembantaian suku sedang terjadi di abad 20, abad dimana manusia mengagung-agungkan diri sebagai bangsa yang modern dan beradab. Seperti yang digambarkan dalam film Hotel Rwanda, Joe pun berusaha menjemput Rachel, seorang teman yang bekerja sebagai reporter BBC, dan seorang kameraman rekan kerja Rachel. Idenya cukup bagus, yaitu Rachel bisa meliput soal terjebaknya warga negara asing di tengah konflik berdarah Rwanda. Karena negara-negara Barat tidak akan pernah peduli suku Tutsi sedang dibantai, tapi mereka akan segera bertindak apabila tahu ada warga negaranya ada di dalamnya. Apapun tujuannya, Joe sangat mengharapkan campur tangan internasional.
Di tengah perjalanan pulang, mobil mereka dicegat Hutu. Hampir saja mereka dibunuh kalau saja Francois tidak datang. Joe tahu Francois berasal dari suku Hutu, tapi ia tidak sangka kalau teman baiknya itu akan datang dengan membawa parang berlumuran darah, dengan tawa tersungging di bibirnya. Berkat Francois, Hutu yang lain mengizinkan Joe pergi. Disepanjang jalan mereka melihat mayat-mayat suku Tutsi bergeletakan, dikerubuti lalat.
Setelah Rachel selesai meliput dari sisi warga Rwanda dan PBB, pasukan perdamaian lain datang. Sayangnya, mereka tidak datang untuk menyelamatkan Tutsi, tapi untuk menjemput warga negara asing, terutama Perancis. Joe dan Christopher memilih untuk tetap berada di sekolah itu, sedangkan Rachel ikut pergi. Malam sebelumnya, Rachel sempat bercerita bahwa ia menangis setiap hari ketika meliput Perang Bosnia, 1992. Namun ada dua cara agar tetap bertahan, ”I could think that i could be one of them (who died), or i can think they’re just dead africans” Begitu usaha Rachel tetap berpegang pada tujuan profesinya dan tidak terpengaruh emosi di lapangan.
5. Hambatan Penanganan Konflik
Dalam konflik yang terjadi antara suku Hutu dan Tutsi ini, humanitarian intervension yang dilakukan oleh PBB dapat dikatakan gagal. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya dukungan dari pemerintah Rwanda dan masyrakat Rwanda sendiri yang mayoritas adalah suku Hutu. Mereka dengan sengaja mengusir pasukan perdamaian PBB dari Rwanda. Sebagai organisasi internasional, PBB tidak dapat melakukan apa-apa jika Rwanda telah menolak mandat yang diberikan PBB di dalam wilayah kedaulatannya. Tidak hanya itu, masyarakat Hutu yang tidak memihak terhadap aksi balas dendam ini pun ikut menjadi sasaran keganasan suku Hutu.
Perancis-Rwanda Pulihkan Hubungan Diplomatik
Hubungan Diplomatik antara Perancis-Rwanda sempat terputus sejak tahun 2006 lalu, saat Hakim Perancis mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembantaian di Rwanda pada tahun 1994. Paul Kagame dituding sebagai dalang dari penembakan roket ke pesawat presiden Rwanda Juvenal Habyarimana pada 6 April 1994 silam. Beberapa awak dari pesawat tersebut merupakan warga Perancis dan keluarga mereka menuntut serta membawa perkara tersebut ke pengadilan Perancis. Namun, di lain pihak pemerintah Rwanda yang beribukota di Kagali menuding Perancis sebagai dalang dari pembantaian etnis Tutsi dan Hutu moderat. Pemerintah Rwanda juga menuding Perancis membantu pelolosan beberapa tokoh penting yang telibat dalam pembantain di Rwanda. Sedangkan pengadilan Perancis tidak dapat membuktikan keterlibatan Kagame dalam penembakan roket ke Pesawat keperesidenan Rwanda pada tahun 1994 silam. Sejak saat itu hubungan Perancis-Rwanda memburuk dan puncaknya pada tahun 2006, pemerintah Rwanda memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Perancis.
Pemulihan hubungan diplomatik Perancis-Rwanda saat ini dianggap langkah yang baik bagi hubungan ke-dua negara ini. Pemerintah Perancis melalui staf kepresidenannya Claude Guaent menyatakan bahwa presiden Rwanda, Paul Kagame memutuskan untuk memulihkan hubungan ke-dua negara tersebut. Itikad baik tersebut juga di sambut oleh Presiden Perancis Nicholas Sarkozy. Terbukti pada tanggal 25/2 Sarkozy mengunjungi museum peringatan genosida Rwanda di Kagali. Sarkozy menjadi presiden pertama Perancis yang pernah bertandang ke Rwanda.
Pemutusan hubungan diplomatik tidak dengan mudah diambil oleh Pemerintah Perancis, begitu juga dengan pemerintah Rwanda. Banyak hal yang harus dipikirkan untuk memutuskan hubungan diplomatik. Seperti yang kita pelajari dalam politik luar negeri, untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan suatu negara pemerintah negara tersebut harus siap akan segala dampak serta kerugian yang akan mereka dapatkan. Pemutusan hubungan diplomatik ditandai degan penutupan kedutaan besar dan penarikan utusan-utusan (envoy) dari negara yang bersangkutan. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi ke-dua negara tersebut mengadakan kerjasama. Kerjasama tersebut tidak melalui negara sebagai aktor utamanya, bisa dilakukan oleh aktor non-negara.
Dalam pemulihan hubungan ini, sangat terlihat adanya hubungan yang saling menguntungkan antara ke-dua negara tersebut dari berbagai sektor. Jika hubungan diplomatik anatara negara membaik berarti trust antara kedua negara tersebut telah pulih. Ini berarti kebijakan politik luar negeri Rwanda terhadap Perancis telah berubah sejak dibukannya kembali hubungan antara ke-dua negara ini, dengan menempatkan perwakilan negara serta pembukaan kembali kedutaan besar di-kedua negara tersebut. Pada dasarnya setiap negara memiliki national interest yang ingin dicapai, oleh karena itu wajar kalau Rwanda memutuskan memulihkan hubungannya dengan Perancis, begitu juga dengan pemerintah Perancis.
Kesimpulan
Dengan melihat konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk kolonialisasi yang tidak terarah seperti yang dilakukan Belgia hanya akan meninggalkan bekas luka di dalam hati dan kehidupan suku Hutu sehingga memicu timbulnya perpecahan. Sebagai sesama manusia kita memiliki banyak kekurangan dan juga kelebihan yang telah diberikan oleh Tuhan. Tidak ada manusia yang sempurna untuk itu klasifikasi, diversivikasi, dan stratifikasi terhadap suatu kelompok etnis, ataupun ras, adalah hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan di dalam kehidupan bersosial umat manusia. Hal tersebut hanya akan menjadikan api dalam sekam yang suatu saat akan meledak ke berbagai arah.
Masih banyak film-film lain yang memiliki unsur edukasi dan dibuat berdasarkan fakta dan peristiwa yang pernah terjadi. Film seperti itulah yang sangat bagus untuk ditonton. Banyak intisari yang dapat di ambil dan dijadikan sebagai pelajaran hidup.
Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu dianggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih “tinggi” eksistensinya. Itu semua hanya karena suku Tutsi lebih terang, tinggi, langsing dan ukuran hidung mereka lebih ramping dan mancung, sedangkan suku Hutu lebih berwarna hitam, agak pendek, hidungnya besar dan pesek. Para Penjajah Belgia lebih memilih orang-orang Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang Hutu.
Mereka mengerjakan Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” dan Hutu untuk “kerah biru”. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini. Dan inilah awal dari munculnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Dan hal ini setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya di Tahun 1994, memuncak ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai para “Cokroaches” / Tutsi, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai.
Dengan sandi “Lets Cut The Tall Trees!!” mereka memulai pembantaian itu. Pada bulan Juli, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) yang notabene menyetujui perjanjian damai Hutu-Tutsi, dibunuh dalam pesawatnya, dengan roket, oleh kaum Tutsi (tapi ini hanya drama yang dilakukan oleh Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai, presiden tersebut mati di tangan Hutu aslinya). Akhirnya Pecahlah perang Genosida tersebut, kaum-kaum Hutu turun ke jalan, membawa parang dan senjata, atau apa saja yang bisa dipakai untuk membunuh kaum Tutsi. Dengan memakai seragam kebanggaan mereka, mereka membantai siapa saja kaum Tutsi yang ada.
Operasi mereka dimulai dengan sweeping massal kartu identitas warga negara Rwanda yang dimana di kartu identitas tersebut ada cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi. Teror itu pecah dan menghantui rakyat yang tak berdaya, terutama suku Tutsi dengan pasukannya, Interahamwe, para Hutu membantai para Tutsi.
Kurang lebih 250.000 suku Tutsi dibantai pada hari itu dan hampir 50.000 Suku Hutu tewas karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi oleh “Tutsi Rabels”. Total semua korban yang tewas dari Genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000 dan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada akhir teror tersebut, suku Tutsi berhasil membalas para militan Hutu, dan mereka dapat menekan keberadaan suku Hutu sampai ke perbatasan Kongo, dan setelah serangkaian perjanjian dan mandat, dengan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya perang saudara tersebut berhenti.
Negara Perancis dituduh sudah membantu Rezim Hutu dalam operasi Turquoise, dan memang nyatanya Perancis lah yang menyuplai senjata untuk Militan Hutu dan rezimnya. Setelah itu diumumkanlah daftar kriminal Genosida oleh PBB, sebagian sudah tertangkap, dan sebagian masih bebas berkeliaran.
1. Penyebab Timbulnya Konflik
Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi dan Tanzania. Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang tiba di Rwanda sejak abad ke-15. Suku Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk, merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959, suku Hutu membentuk strata dominan di bawah sistem feodal yang berdasarkan pada kepemilikan ternak. Suku Twa, yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu.
Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu dianggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek.
Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekerja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini.
Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Menurut Simon Fisher dalam bukunya, Mengelola konflik; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, dalam teori Hubungan Masyarakat disebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok Tutsi yang disebut dengan “Cocoroaches”, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai. Dengan sandi “Lets Cut The Tall Trees!!” mereka memulai pembantaian itu.
Bahkan ketika pada bulan Juli 1994, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut terjadi, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui perjanjian damai HUTU-TUTSI, dibunuh dalam pesawatnya, yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai dengan menyebarkan berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai yang telah dilakukan oleh perwakilan dari kedua suku tersebut pun gagal. Operasi mereka dimulai dengan sweeping masal kartu identitas warga negara Rwanda yang dimana di kartu identitas tersebut terdapat cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi.
Selain itu menurut teori Identitas, konflik juga disebabkan oleh identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Jika dikaitkan dengan konflik yang terjadi di Rwanda antara kedua kelompok suku tersebut, dapat dilihat bahwa diversivikasi dan stratifikasi sosial yang terjadi antara Hutu dan Tutsi pada masa kolonialisasi menimbulkan kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua suku tersebut. Dendam suku Hutu terhadap identitas dirinya sebagai penduduk mayoritas yang terdiskriminasi di Rwanda belum terselesaikan hingga kini dan menjadi penyebab utama timbulnya pembantaian terhadap suku Tutsi.
2. Eskalasi Konflik
Tidak adanya komunikasi yang baik, diskriminasi pekerjaan, kecemburuan sosial, menyebabkan kesenjangan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut mengakar hingga saat ini dan menimbulkan konflik yang sejak dulu ada kembali muncul ke permukaan. Eskalasi konflik terjadi ketika kelompok suku Hutu sengaja melakukan pembunuhan berencana terhadap presiden Habyarimana. Hal tersebut dilakukan oleh kelompok suku Hutu untuk memancing kemarahan massa suku Hutu terhadap dendam yang selama ini terpendam. Mereka dengan sengaja menyebarkan berita palsu bahwa pembunuhan presiden yang juga berasal dari suku Hutu tersebut dibunuh oleh kelompok pemberontak suku Tutsi.
Dengan tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat, menyebabkan suku Hutu semakin marah dan mengupayakan tindakan balas dendam terhadap seluruh suku Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih 250.000 suku Tutsi dibantai di hari itu dan hampir 50.000 jiwa yang berasal dari suku Hutu mati karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi oleh “TUTSI REBELS”. Total semua korban yang mengalami kematian dari genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000. Berdasarkan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada saat genosida ini berlangsung, para perempuan dari suku Tutsi di perkosa lalu dibunuh. Mereka diperlakukan seperti binatang. Dilempari batu, di perkosa dan di kandangkan.
3. Aktor dan Pihak yang berperan dalam konflik
Dalam menganalisa kasus ini dapat dilihat dari peran-peran aktor yang bermain di dalamnya. Terdapat 5 tingkatan analisa aktor menurut Mochtar Ma’soed yaitu pertama, tingkat analisa sistem internasional; kedua, tingkat analisa kelompok negara-bangsa atau regionalisme; ketiga, tingkat analisa negara atau bangsa; keempat, tingkat analisa masyarakat atau kelompok individu; dan yang kelima adalah tingkat analisa individu. Dalam konflik Rwanda ini dapat dilihat dengan jelas bahwa aktor utama yang bertikai adalah aktor kelompok individu atau masyarakat yang berasal dari suku Hutu dan Tutsi. Masyarakat merupakan salah satu bagian penting dari sebuah negara. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara sangat ditentukan oleh suara dan opini dari masyarakat. Sebagai suku mayoritas yang memiliki sejarah hitam di Rwanda akibat kolonialisme, Hutu yang kini berhasil mengendalikan pemerintahan memanfaatkan wewenang untuk melakukan pembantaian terhadap Tutsi.
Selain itu ada juga aktor sistem internasional yaitu pasukan perdamaian PBB yang masuk ke dalam Rwanda yang berperan untuk mencegah konflik menjadi semakin berkembang. Sebagai organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara dunia, PBB merupakan salah satu bentuk perwujudan sistem internasional. Segala tindakannya selalu dipengaruhi oleh kebijakan dan keputusan bersama negara-negara anggotanya. Namun sayangnya pasukan pedamaian PBB hanya masuk sebentar dan kembali ke perbatasan. Seolah mereka membiarkan konflik yang tengah terjadi di Rwanda.
Sebenarnya aktor negara atau pemerintahan di Rwanda sendiri yang dikendalikan oleh suku Hutu juga memiliki peran dalam terjadinya konflik tersebut. Semua pembuat keputusan pada dasanya akan berperilaku sama apabila menghadapi situasi yang sama. Karena itu analisis para ilmuwan seharusnya ditekankan pada perilaku unit negara-bangsa. Pembunuhan presiden Habyarimana merupakan rekayasa yang telah sengaja direncanakan oleh pemerintah Rwanda untuk melakukan aksi balas dendam terhadap suku Tutsi. Analisa aktor selanjutnya lebih jelas dapat dilihat di dalam film Hotel Rwanda bahwa terdapat peran aktor individu yaitu Paul Rusesabagina yang diperankan oleh Don Cheadle sebagai pemilik hotel yang pada akhirnya dijadikan tempat pengungsian dan berlindung para warga Tutsi dari genosida massal yang dilakukan oleh suku Hutu.
4. Respon dunia internasional
Walaupun banyak warga asing yang saat itu sedang berada di Rwanda, tetapi dunia seakan menutup mata bahwa sebuah pembantaian suku sedang terjadi di abad 20, abad dimana manusia mengagung-agungkan diri sebagai bangsa yang modern dan beradab. Seperti yang digambarkan dalam film Hotel Rwanda, Joe pun berusaha menjemput Rachel, seorang teman yang bekerja sebagai reporter BBC, dan seorang kameraman rekan kerja Rachel. Idenya cukup bagus, yaitu Rachel bisa meliput soal terjebaknya warga negara asing di tengah konflik berdarah Rwanda. Karena negara-negara Barat tidak akan pernah peduli suku Tutsi sedang dibantai, tapi mereka akan segera bertindak apabila tahu ada warga negaranya ada di dalamnya. Apapun tujuannya, Joe sangat mengharapkan campur tangan internasional.
Di tengah perjalanan pulang, mobil mereka dicegat Hutu. Hampir saja mereka dibunuh kalau saja Francois tidak datang. Joe tahu Francois berasal dari suku Hutu, tapi ia tidak sangka kalau teman baiknya itu akan datang dengan membawa parang berlumuran darah, dengan tawa tersungging di bibirnya. Berkat Francois, Hutu yang lain mengizinkan Joe pergi. Disepanjang jalan mereka melihat mayat-mayat suku Tutsi bergeletakan, dikerubuti lalat.
Setelah Rachel selesai meliput dari sisi warga Rwanda dan PBB, pasukan perdamaian lain datang. Sayangnya, mereka tidak datang untuk menyelamatkan Tutsi, tapi untuk menjemput warga negara asing, terutama Perancis. Joe dan Christopher memilih untuk tetap berada di sekolah itu, sedangkan Rachel ikut pergi. Malam sebelumnya, Rachel sempat bercerita bahwa ia menangis setiap hari ketika meliput Perang Bosnia, 1992. Namun ada dua cara agar tetap bertahan, ”I could think that i could be one of them (who died), or i can think they’re just dead africans” Begitu usaha Rachel tetap berpegang pada tujuan profesinya dan tidak terpengaruh emosi di lapangan.
5. Hambatan Penanganan Konflik
Dalam konflik yang terjadi antara suku Hutu dan Tutsi ini, humanitarian intervension yang dilakukan oleh PBB dapat dikatakan gagal. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya dukungan dari pemerintah Rwanda dan masyrakat Rwanda sendiri yang mayoritas adalah suku Hutu. Mereka dengan sengaja mengusir pasukan perdamaian PBB dari Rwanda. Sebagai organisasi internasional, PBB tidak dapat melakukan apa-apa jika Rwanda telah menolak mandat yang diberikan PBB di dalam wilayah kedaulatannya. Tidak hanya itu, masyarakat Hutu yang tidak memihak terhadap aksi balas dendam ini pun ikut menjadi sasaran keganasan suku Hutu.
Perancis-Rwanda Pulihkan Hubungan Diplomatik
Hubungan Diplomatik antara Perancis-Rwanda sempat terputus sejak tahun 2006 lalu, saat Hakim Perancis mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembantaian di Rwanda pada tahun 1994. Paul Kagame dituding sebagai dalang dari penembakan roket ke pesawat presiden Rwanda Juvenal Habyarimana pada 6 April 1994 silam. Beberapa awak dari pesawat tersebut merupakan warga Perancis dan keluarga mereka menuntut serta membawa perkara tersebut ke pengadilan Perancis. Namun, di lain pihak pemerintah Rwanda yang beribukota di Kagali menuding Perancis sebagai dalang dari pembantaian etnis Tutsi dan Hutu moderat. Pemerintah Rwanda juga menuding Perancis membantu pelolosan beberapa tokoh penting yang telibat dalam pembantain di Rwanda. Sedangkan pengadilan Perancis tidak dapat membuktikan keterlibatan Kagame dalam penembakan roket ke Pesawat keperesidenan Rwanda pada tahun 1994 silam. Sejak saat itu hubungan Perancis-Rwanda memburuk dan puncaknya pada tahun 2006, pemerintah Rwanda memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Perancis.
Pemulihan hubungan diplomatik Perancis-Rwanda saat ini dianggap langkah yang baik bagi hubungan ke-dua negara ini. Pemerintah Perancis melalui staf kepresidenannya Claude Guaent menyatakan bahwa presiden Rwanda, Paul Kagame memutuskan untuk memulihkan hubungan ke-dua negara tersebut. Itikad baik tersebut juga di sambut oleh Presiden Perancis Nicholas Sarkozy. Terbukti pada tanggal 25/2 Sarkozy mengunjungi museum peringatan genosida Rwanda di Kagali. Sarkozy menjadi presiden pertama Perancis yang pernah bertandang ke Rwanda.
Pemutusan hubungan diplomatik tidak dengan mudah diambil oleh Pemerintah Perancis, begitu juga dengan pemerintah Rwanda. Banyak hal yang harus dipikirkan untuk memutuskan hubungan diplomatik. Seperti yang kita pelajari dalam politik luar negeri, untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan suatu negara pemerintah negara tersebut harus siap akan segala dampak serta kerugian yang akan mereka dapatkan. Pemutusan hubungan diplomatik ditandai degan penutupan kedutaan besar dan penarikan utusan-utusan (envoy) dari negara yang bersangkutan. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi ke-dua negara tersebut mengadakan kerjasama. Kerjasama tersebut tidak melalui negara sebagai aktor utamanya, bisa dilakukan oleh aktor non-negara.
Dalam pemulihan hubungan ini, sangat terlihat adanya hubungan yang saling menguntungkan antara ke-dua negara tersebut dari berbagai sektor. Jika hubungan diplomatik anatara negara membaik berarti trust antara kedua negara tersebut telah pulih. Ini berarti kebijakan politik luar negeri Rwanda terhadap Perancis telah berubah sejak dibukannya kembali hubungan antara ke-dua negara ini, dengan menempatkan perwakilan negara serta pembukaan kembali kedutaan besar di-kedua negara tersebut. Pada dasarnya setiap negara memiliki national interest yang ingin dicapai, oleh karena itu wajar kalau Rwanda memutuskan memulihkan hubungannya dengan Perancis, begitu juga dengan pemerintah Perancis.
Kesimpulan
Dengan melihat konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk kolonialisasi yang tidak terarah seperti yang dilakukan Belgia hanya akan meninggalkan bekas luka di dalam hati dan kehidupan suku Hutu sehingga memicu timbulnya perpecahan. Sebagai sesama manusia kita memiliki banyak kekurangan dan juga kelebihan yang telah diberikan oleh Tuhan. Tidak ada manusia yang sempurna untuk itu klasifikasi, diversivikasi, dan stratifikasi terhadap suatu kelompok etnis, ataupun ras, adalah hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan di dalam kehidupan bersosial umat manusia. Hal tersebut hanya akan menjadikan api dalam sekam yang suatu saat akan meledak ke berbagai arah.
Masih banyak film-film lain yang memiliki unsur edukasi dan dibuat berdasarkan fakta dan peristiwa yang pernah terjadi. Film seperti itulah yang sangat bagus untuk ditonton. Banyak intisari yang dapat di ambil dan dijadikan sebagai pelajaran hidup.
Artikel Lainnya:
2 Response to Pembantaian Rwanda
Sungguh satu pengalaman membaca yg menarik. Terima kasih yah kak mimin.
bener2 jd pengetahuan baru, sekaligus bisa membantu saya untuk mengerjakan tugas yang ada kaitannya dengan ini yang kebetulan saya kuliah di jurusan Hubungan Internasional..
Posting Komentar