Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Asia
Saga merah perang Afghanistan tampaknya terus berlangsung, bahkan juga jauh melebihi yang pernah diharapkan oleh AS dan sekutunya, terutama. Sementara biaya dan korban perang makin meningkat, dan suasana Afghanistan yang makin berubah menjadi neraka, kaum Mujahidin Taliban pun tidak bisa pula ditaklukan dalam waktu yang sudah demikian panjangnya itu. Berbagai kalangan di internal AS sendiri sudah menunjukkan pesimisme bahwa AS akan memenangkan perang di Afghanistan. Bayang-bayang kegagalan Uni Soviet dua dekade lalu tampaknya hanya tinggal beberapa langkah lagi di hadapan AS.
Yang lebih mengenaskan lagi tentunya data statistik. Misalnya saja, jumlah tentara AS yang tewas di Afghanistan kira-kira telah mencapai dua kali lipat dalam tiga bulan pertama tahun 2010 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, saat Washington menambah puluhan ribu tentara tambahan untuk membalikkan momentum Taliban.
Jumlah kematian tersebut disertai dengan lonjakan dramatis dalam jumlah yang luka, dengan lebih dari tiga kali lipat dalam dua bulan pertama tahun ini berdasarkan data terakhir untuk bulan Maret.
Para pejabat Amerika memperingatkan bahwa korban cenderung meningkat lebih banyak padahal Pentagon telah melengkapi pengerahan 30.000 pasukan tambahan ke Afghanistan dengan segala perangkat perangnya tentu saja. AS sudah menetapkan bahwa Kandahar, sebagai provinsi dimana dijadikan basis oleh Talibab, akan menjadi fokus penyerangan AS pada bulan-bulan mendatang.
"Kami akan berlaku lebih keras lagi, tidak peduli seberapa sukses kami pada hari tertentu," Laksamana Mike Mullen, ketua Kepala Staf Gabungan, mengatakan pada satu acara pengarahan bulan lalu.
Secara total, 57 tentara AS tewas di Afghanistan selama dua bulan pertama tahun 2010 dibandingkan dengan 28 orang pada bulan Januari dan Februari tahun lalu. Ini artinya peningkatan lebih dari 100 persen, menurut angka-angka Pentagon yang disusun oleh The Associated Press. Setidaknya 20 serdadu Amerika telah terbunuh di bulan Maret, rata-rata sekitar 0,8 orang per hari, dibandingkan dengan 13 korban, atau 0,4 per hari, setahun yang lalu.
Peningkatan yang tajam akan kematian serdadu AS ini telah menimbulkan reaksi publik di Amerika Serikat. Bahkan, mungkin inilah era dimana dukungan publik di AS terasa begitu merongrong selama 8 tahun misi Amerika di Afghanistan. Presiden AS, Barack Obama tampaknya tengah menghadapi oposisi domestik yang serius atas keputusannya pada bulan Desember tahun lalu dalam meningkatkan pasukan di Afghanistan, dan separuh rakyat Amerika mendukungnya, meskipun korban tentara AS makin meningkat.
Menurut jajak pendapat yang dilakukan Associated Press pada awal Maret ini, 57 persen dari mereka yang disurvei menyetujui penanganan perang di Afghanistan, dibandingkan dengan 49 persen dua bulan sebelumnya. Jajak pendapat nasional yang melibatkan 1.002 orang dewasa dan memiliki margin kesalahan plus atau minus 4,2 poin persen.
Michael O'Hanlon, seorang ahli kebijakan luar negeri di Brookings Institution, mengatakan hasil jajak pendapat ini sebagian bisa menjadi reaksi terhadap serangan pada Taliban di provinsi Helmand Marjah. Sekitar 10.000 tentara gabungan AS, NATO dan juga pasukan Afghanistan mengambil alih kontrol Marjah dengan tiba-tiba dari masyarakat pertanian yang berjumlah sekitar 80.000 orang. Namun hasilnya sungguh jauh pula dari memuaskan. Taliban terus bertahan dan pada pada malam hari mereka melancarkan serangan balik, yang walaupun dalam kapasistas yang kecil, tapi tampaknya memukul AS begitu telak.
"Tesis utama saya adalah bahwa Amerika bisa menguatkan diri untuk korban dalam perang jika mereka mempertimbangkan taruhannya cukup tinggi dan strategi yang diikuti cukup menjanjikan," kata O'Hanlon. "Tapi kemajuan seperti ini hanya ada dalam opini publik yang fana, jika tidak segera mereka mempertahankan momentum baru."
Kenaikan jumlah tentara yang luka ini--sebuah angka yang kurang menarik perhatian dibandingkan dengan statistik kematian--menunjukkan bahwa Taliban adalah lawan yang tangguh bagi AS.
Jumlah tentara AS yang terluka di Afghanistan meningkat dari 85 pada dua bulan pertama sudah mencapai 2.009.381orang tahun ini, meningkat hampir 350 persen. Sebanyak 50 tentara AS terluka Maret lalu dengan jumlah cedera atau cacat sekitar rata-rata 1,6 per hari. Sebagai perbandingan, 44 orang luka-luka hanya selama enam hari pertama bulan Maret tahun ini, rata-rata 7,3 per hari.
Peningkatan korban sebagian didorong oleh meningkatnya jumlah tentara di Afghanistan pada tahun 2010. Tentara Amerika naik dari 32.000 pada awal tahun lalu untuk 68.000 pada akhir tahun, meningkat lebih dari 110 persen.
"Kami punya arus besar pasukan, pasukan kami telah pergi ke daerah-daerah dimana mereka belum pernah datangi sebelumnya," kata juru bicara NATO Letnan Kolonel Todd Breasseale.
Menteri Pertahanan AS Robert Gates mengatakan Kamis lalu bahwa sepertiga dari kekuatan tambahan, atau 10.000 tentara, sudah berada lagi di Afghanistan. Dan AS akan menggenapkan lagi 30.000 tentara tambahan di Afghanistan sebelum akhir tahun.
Banyak analis percaya bahwa operasi Kandahar operasi akan jauh lebih sulit daripada seranga terhadap Marjah karena dispersi yang lebih besar dari pasukan Taliban, lingkungan perkotaan di kota Kandahar dan kompleks politik dan kekuatan suku yang berada di provinsi ini.
Jika sampai akhir tahun ini AS masih juga berada di Afghanistan, itu artinya mereka sama sekali tak bisa menaklukan Taliban, bisa dipastikan, dengan kengerian dan gengsi luar biasa, AS hanya tinggal selangkah lagi menuju kegagalan yang telah dikecap Soviet dua dekade lalu.
Sejarah peradaban suatu Negeri, termasuk 'track record' bangsa itu dalam peperangan, seharusnya menjadi bahan studi suatu negeri sebelum mereka bermaksud menaklukkan dan menjajahnya sebagai sebuah bangsa. Afghanistan itu, rakyatnya punya sejarah panjang peperangan dunia sejak 2000 tahun terakhir. Misalnya saja, Iskandar Zulkarnaen (Alexander The Great), pernah menyerbu daerah kesana, tapi mentok dan akhirnyap pasukannya bubar di wilayah itu. Jengsi Khan juga pernah mencoba menyerbu wilayah itu, tapi pasukan Mongol yang hebat itu pun kalah oleh medan Afghan yang sangat berat. Dan itu emnandai berakhirnya era 'super power' pasukan orang Mongol itu di dunia militer di zamannya. Dalam zaman modern, pasukan Inggris pernah merambah 3X ke wilayah itu (tahun 1900-an), sebelum yang ke empat bersama NATO dan AS sekarang ini. Hasilnya? Ribuan pasukan Inggris tewas dibantai suku-suku pegunungan di wilayah keras itu di masa lalu (sekitar abad 19).
Dalam sejarah modern, 10 tahun pasukan Uni Sovyet (1979-1989) berjuang untuk menaklukkan Afghanistan, juga akhirnya mundur, dan menjadi salah satu sebab utama bubarnya negeri komunis itu akibat kebangkrutan ekonomi karena harus membiayai perang yang mahal di wilayah Afghanistan serta mensubsidi milyaran dollar pemerintahan komunis yang korup di negeri para mullah itu.
Kini giiliran AS dan sekutu Eropanya (NATO). Ini adalah perang terlama pasukan S di luar negeri sejak perang Dunia II lalu. Bahkan, PD II hanya membutuhkan waktu sekitar 4 tyahun saja. AS kini sudah berkutat 9 tahun di Afghanistan, hanya setahun lebih lama saat Sovyet selama 10 tahun tinggal di negeri ini. Dan hasilnya? Semakin banyak saja pasukan AS dan NATO yang tewas sia-siia di medan perang yang keras dan serba mistery itu.
Jangan tanya biaya ekonominya. Yang jelas, krisis keuangan global yang kini masih memnyebabkan ekonomi AS terpuruk, sedikit banyak pastilah berhubungan dengan semakin besarnya defisit APBN mereka yang ditalangi dengan penjualan surat utang negara (SUN) yang nilainya semakin membengkak saja. Thesis Kapitalisme AS akan runtuh akibat kebangkrutan ekonominya karena membiayai perang di Afghanistan yang tak kunjung selesai seperti halnya nasib Sovyet lalu, sudah menjadi keyakinan banyak pengamat ekonomi dan politik Internasional saat ini.
Sumber: http://www.kaskus.us/
Artikel Lainnya:
No Response to "Studi Peperangan: Bayang-bayang Kegagalan Soviet Hantui AS di Afghanistan"
Posting Komentar