Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
V. Lompatan Jauh ke Depan - Menciptakan Kepalsuan untuk Menguji Kesetiaan
Setelah melancarkan Gerakan Anti Sayap Kanan, Tiongkok mulai takut pada fakta yang sesungguhnya. Setiap orang dilibatkan untuk mendengarkan kebohongan, menceritakan kebohongan, membuat cerita palsu, menghindari dan menutupi kebenaran dengan kebohongan dan rumor. Lompatan Jauh ke Depan adalah sebuah contoh menceritakan kebohongan skala nasional. Seluruh masyarakat berada dalam arahan setan jahat PKC, telah melakukan banyak hal yang tidak masuk akal. Di antara yang berbohong dan yang dibohongi saling mengkhianati. Dalam kebohongan dan kebodohan ini, PKC dengan paksa menanamkan sifat kejamnya dan energi jahat ke dalam pikiran para intelektual. Pada saat itu, banyak orang menyanyikan lagu yang mempropagandakan Lompatan Jauh ke Depan, "Saya adalah Raja Langit, saya adalah Raja Naga, saya dapat memindahkan gunung dan sungai, saya telah datang." Kebijakan seperti "menaikkan produksi beras melampaui 75.000 kg per hektar", "melipatgandakan produksi baja", dan "melampaui Inggris 10 tahun dan Amerika 15 tahun" digembar-gemborkan setiap tahunnya. Hingga bencana kelaparan besar melanda Tiongkok, yang mati kelaparan berserakan di mana-mana, rakyat hidup dalam kesusahan hebat.
Selama pertemuan Lushan pada tahun 1959, seluruh peserta merasa pendapat Jendral Peng Dehuai adalah benar dan Lompatan Jauh ke Depan yang diprakarsai Mao Zedong adalah tidak masuk akal. Namun bagaimanapun juga tidak ada seorang pun berani berbicara. Keputusan untuk mendukung rencana Mao atau tidak, membuat garis bawah antara menjadi seorang yang setia atau pengkhianat, dengan kata lain, garis antara hidup dan mati. Dalam sejarah kuno, saat Zhao Gao [6] mengatakan seekor rusa besar adalah kuda, sebenarnya dia tahu perbedaan rusa dan kuda, dia bermaksud untuk menguji dan mengendalikan opini publik. Hasil dari pertemuan Lushan adalah Peng Dehuai dipaksa menandatangani sebuah pernyataan bersalah dan mengundurkan diri dari pemerintahan pusat. Sama halnya saat tahun-tahun terakhir Revolusi Kebudayaan, Deng Xiaoping dipaksa untuk memberikan jaminan bahwa dia tidak akan menyerang atau pun melawan keputusan pemerintah untuk menggeser dia dari kedudukannya.
Biasanya orang mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu. Namun PKC mensensor media, tidak mengijinkan orang untuk mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan pemerintah Tiongkok. Hal ini mempengaruhi cara berpikir rakyat, menghilangkan kemampuannya untuk berpikir kritis. Selama pergerakan masa lalu, setiap generasi hanya mengetahui pokok pikiran partai dan sama sekali tidak mengetahui pemikiran para oposan. Sebagai hasilnya, banyak gerakan baru yang dihasilkan dengan berdasarkan pengetahuan sejarah masa lalu yang amat terbatas. PKC sampai saat ini mengandalkan badan sensor untuk tetap membodohi masyarakat agar tetap membawa paham kekerasan.
VI. Revolusi Kebudayaan - Memutarbalikkan Dunia
Tak seorang pun dapat membahas tentang setan jahat PKC tanpa menyebut Revolusi Kebudayaan. Pada tahun 1966, sebuah gelombang baru kekerasan terjadi di Tiongkok, teror Pengawal Merah meliputi setiap sudut negara. Penulis Qin Mu menggambarkan Revolusi Kebudayaan sebagai : "Benar-benar sebuah musibah yang tiada taranya. Berapa juta orang yang bahkan dudukpun sulit, jutaan orang yang membawa perasaan dendam sampai mati, jutaan rumah tangga tercerai berai, mengajarkan anak-anak menjadi jahat, buku-buku dibakar, peninggalan kuno dirobohkan, makam pemikir-pemikir kuno dihancurkan, beragam kejahatan dilakukan dengan mengatas namakan revolusi". Menurut hitungan konservatif para ahli, jumlah orang yang meninggal secara tidak wajar selama Revolusi Kebudayaan mencapai jumlah 7,73 juta jiwa.
Orang mempunyai salah pengertian tentang kekerasan dan pembunuhan secara besar-besaran selama masa Revolusi Kebudayaan, mengira bahwa semua ini terjadi karena tidak berfungsinya sistim pemerintahan akibat pemberontakan, dan pelakunya adalah "Pengawal Merah" dan "kelompok pemberontak". Bagaimanapun juga, ribuan laporan resmi tahunan pemerintah Tiongkok mengindikasikan puncak kematian tidak wajar tidak terjadi pada tahun 1966 masa Revolusi Kebudayaan, saat Pengawal Merah menguasai sebagian besar organisasi-organisasi pemerintahan, atau pada tahun 1967 ketika antar pemberontak yang berbeda aliran berperang dengan menggunakan senjata, akan tetapi terjadi di tahun 1968, pada saat Mao berhasil menguasai seluruh negara dan lapisan masyarakat melalui "Komite Revolusioner." Pembunuhnya kebanyakan adalah petugas administratif angkatan dan tentara, pasukan militan dan anggota PKC di berbagai tingkat pemerintah.
Contoh-contoh di bawah menggambarkan kekejaman yang terjadi selama Revolusi Kebudayaan bukanlah merupakan perbuatan Pengawal Merah atau pun kelompok pemberontak, melainkan suatu kebijakan yang diputuskan oleh PKC dan pemerintah Tiongkok. Pemimpin PKC pada masa itu dan seluruh jajaran pemerintahnya selalu menutupi keterlibatan secara langsung dalam melakukan kampanye dan perintah-perintah yang diberikan; semuanya ditutupi untuk mengelabui rakyat.
Pada bulan Agustus 1996, Pengawal Merah dengan mengatas namakan "mengembalikan ke tempatnya", memaksa penduduk Beijing yang termasuk golongan "tuan tanah, petani kaya, pemberontak, elemen-elemen buruk, dan sayap kanan" untuk pindah dari Beijing ke daerah pedesaan. Berdasarkan data statistik yang kurang lengkap menunjukkan 33.695 rumah di geledah dan 85.196 penduduk Beijing diusir keluar dari kota ke pedesaan di mana nenek moyangnya berasal. Pengawal Merah di seluruh negeri melaksanakan perintah ini, mengusir lebih dari 400.000 penduduk kota ke pedesaan. Bahkan pejabat tinggi pemerintahan yang memiliki orang tua seorang tuan tanah juga diusir ke luar.
Sebenarnya, PKC telah merencanakan kampanye pengusiran sebelum Revolusi Kebudayaan dimulai. Walikota Beijing, Peng Zhen mengatakan penduduk kota Beijing harus memiliki ideologi semurni "panel kaca dan kristal", yang bermaksud seluruh penduduk yang termasuk klasifikasi musuh politik (termasuk mereka atau yang mempunyai orang tua sebagai tuan tanah, petani kaya, pemberontak, elemen buruk dan sayap kanan) akan diusir dari kota. Pada bulan Mei 1966, Mao memerintahkan orang bawahannya untuk "melindungi ibukota" dan membentuk sebuah tim kerja yang diketuai oleh Ye Jianying, Yang Chengwu dan Xie Fuzhi. Salah satu tugas dari tim ini adalah menggunakan polisi untuk mengusir keluar penduduk Beijing yang memiliki klasifikasi politik buruk.
Inilah latar belakang mengapa pemerintah dan departemen kepolisian tidak mencegah tetapi malahan mendukung Pengawal Merah menggeledah rumah-rumah dan mengusir lebih dari 2% penduduk Beijing. Menteri Keamanan Umum, Xie Fuzhi, meminta polisi tidak mencegah Pengawal Merah melakukan aksinya sebaliknya malahan diminta memberikan saran dan informasi kepada mereka. Pengawal Merah dengan mudah diperalat oleh partai untuk mengerjakan rencana yang sudah dibuat. Pada akhir tahun 1966, Pengawal merah ini dicampakkan oleh PKC, sebagian besar anggotanya dicap sebagai kontra revolusioner dan dipenjarakan, sebagian lagi bersama rombongan yang disebut sebagai "Intelektual Muda" dikirim ke pedesaan untuk mengikuti program kerja dan merubah pola pikiran. Organisasi Pengawal Merah Wilayah Kota Barat yang bertanggung jawab terhadap operasi pengusiran penduduk didirikan dibawah "curahan perhatian pribadi" pemimpin PKC, perintah yang diberikan adalah ditinjau dan dikeluarkan oleh Sekretaris Dewan Negara saat itu.
Sejalan dengan pembersihan penduduk Beijing yang diklasifikasikan sebagai musuh politik ke daerah pedesaan, mereka menemukan meningkatnya penganiayaan yang ada di pedesaan. Pada tanggal 26 Agustus 1966, sebuah perintah dari Xie Fuzhi turun ke kantor polisi Daxing. Xie memerintahkan polisi untuk membantu Pengawal Merah dengan memberi informasi dan saran dalam menggeledah rumah-rumah yang penghuninya dikategorikan dalam "lima kelas hitam - tuan tanah, kaya, anti, jahat, kanan." Pembunuhan Daxing [7] dilakukan di bawah petunjuk langsung dari departemen kepolisian; organisatornya adalah direktur dan sekretaris partai departemen kepolisian, dan pembunuhnya kebanyakkan kalangan militan yang tidak pernah menyisakan anak-anak.
Banyak di antaranya diterima bergabung dalam PKC atas "perilaku baiknya" selama pembunuhan masal. Menurut data statistik untuk propinsi Guangxi, sekitar 50.000 anggota PKC terlibat dalam pembunuhan massal. Lebih dari 9.000 diantaranya diterima bergabung dengan partai dalam jangka waktu singkat setelah membunuh seseorang. Lebih dari 20.000 orang yang melakukan pembunuhan setelah diterima bergabung dengan partai, dan lebih dari 19.000 anggota partai lainnya berhubungan dengan pembunuhan.
Selama masa Revolusi Kebudayaan, teori kelas juga dilakukan untuk "menyerang orang." Orang jahat selayaknya dipukul orang baik. Merupakan kehormatan bagi orang jahat untuk memukul orang baik. Adalah kesalahpahaman jika seorang yang baik memukul orang baik lainnya. Demikian kata-kata yang diucapkan oleh Mao saat itu, menyebar luas pada saat mencetusnya pemberontakan. Tindak kekerasan terhadap musuh-musuh kelas adalah "pantas dirasakan" mereka, hasilnya adalah kekerasan dan pembunuhan massal yang merajalela.
Dari tanggal 13 Agustus sampai 7 Oktober 1967, pasukan militan di daerah Dao propinsi Hunan melakukan pembunuhan massal terhadap anggota organisasi "Angin dan Petir Xiangjiang" dan "lima kelas hitam." Pembunuhan ini berlangsung selama 66 hari; lebih dari 4.519 orang terbunuh, meliputi 2.778 rumah tangga yang termasuk 468 divisi dari 36 komunitas masyarakat yang berada di 10 distrik. Total seluruhnya adalah 9.093 orang dibunuh di daerah tersebut, dimana 38% termasuk "lima kelas hitam" dan 44% adalah anak-anak "lima kelas hitam." Dan usia korban yang paling tua 78 tahun dan yang paling muda berusia 10 hari. Ini hanyalah salah satu kasus yang terjadi diarea yang kecil selama masa Revolusi Kebudayaan. Di Mongolia dalam, setelah pembentukan "Komite Revolusioner" pada awal tahun1968, sebuah gerakan penghapusan kelas yang melawan "orang dalam" partai telah membunuh lebih dari 350.000 orang. Pada tahun 1968, puluhan ribu orang di propinsi Guangxi berpartisipasi dalam pembunuhan massal terhadap "422 organisasi", dengan korban 110.000 jiwa.
Dalam kasus ini menunjukkan tindakan utama dari pembunuhan selama masa Revolusi Kebudayaan adalah seluruhnya di bawah pengendalian langsung dan instruksi dari pemimpin PKC yang menggunakan dan memperbolehkan kekerasan untuk menganiaya dan membunuh warga negara.
Jika selama landreform, PKC memperalat para petani untuk menggulingkan tuan tanah untuk mendapatkan lahan, pada masa pembaruan Industri dan Perdagangan, PKC memperalat kelas pekerja untuk menggulingkan kelompok pemilik modal untuk merebut seluruh asetnya, dan selama Gerakan Anti Sayap Kanan telah memusnahkan seluruh intelektual-intelektual yang memiliki pandangan oposisi, dan kemudian jenis perkelahian antar rakyat yang terjadi di masa Revolusi Kebudayaan ini menunjukkan bahwa orang tidak bisa menyandarkan nasibnya pada suatu kelas. Bahkan seandainya anda berasal dari kelas buruh atau seorang petani penggarap lahan yang dipakai oleh partai, jika pandangan anda berbeda dari partai, berarti hidup anda berada dalam bahaya. Jadi pada akhirnya, untuk siapakah semuanya ini?
Tujuannya adalah menjadikan komunisme sebagai satu-satunya kekuatan yang meliputi keseluruhan, mengontrol penuh atas seluruh wilayah, tidak hanya tubuh akan tetapi juga pikiran. Revolusi Kebudayaan memaksa pemujaan sepenuhnya terhadap PKC dan Mao Zedong. Teori Mao digunakan untuk mendominasi segala bidang dan pandangan satu orang harus ditanamkan disetiap pikiran puluhan juta orang. Yang unik dari Revolusi Kebudayaan yaitu dengan sengaja tidak menjelaskan apa yang tidak boleh dikerjakan, malah menegaskan "Apa yang dapat dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Segala sesuatu di luar batasan ini tidak boleh dilakukan atau bahkan dipertimbangkan pun tidak boleh."
Selama masa Revolusi Kebudayaan, setiap penduduk melakukan hal-hal ritual seperti "menanyakan perintah-perintah di pagi hari dan membuat laporan pada malam hari." Setiap hari mengirim salam hormat kepada Pemimpin Mao beberapa kali, "mendoakannya" berumur panjang. Hampir setiap orang terpelajar pernah menulis pernyataan mengritik diri sendiri. Pernyataan Mao seperti "berperang dengan buas melawan setiap pikiran egois" dan "melaksanakan perintah meskipun paham atau tidak memahaminya, paham setelah proses pelaksanaan berlangsung" seringkali diulang-ulang. Hanya ada satu "Tuhan" (Mao) yang boleh disembah ; hanya ada satu kitab (ajaran Mao) yang boleh dipelajari. Segera setelah itu timbul keadaan di mana orang tidak dapat membeli makanan di kantin jika mereka tidak mengutip perkataan Mao atau memberi salam pada Mao. Ketika berbelanja, mengendarai bus, atau bahkan menelepon seseorang harus mengutip salah satu perkataan Mao, meski tidak ada kaitannya. Dalam melakukan hal ini, rakyat menjadi fanatik atau sinis, dan setiap orang sudah di bawah kontrol setan jahat komunis. Berbohong, bertoleransi dan bersandar pada kebohongan telah menjadi bagian hidup rakyat Tiongkok.
Bersambung...
Sumber: http://erabaru.net/
Artikel Lainnya:
No Response to "Membahas Kekuasaan Tirani Partai Komunis China (2)"
Posting Komentar