Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:
Perang Boshin (戊辰戦争, Boshin sensō?, Perang Tahun Naga) adalah perang saudara di Jepang dari tahun 1868 hingga 1869 antara Keshogunan Tokugawa dan faksi yang ingin mengembalikan kekuasaan politik ke tangan kekaisaran. Perang berawal dari rasa tidak puas kalangan bangsawan dan samurai muda usia atas lunaknya kebijakan keshogunan terhadap orang asing. Aliansi samurai dari Jepang bagian selatan (Domain Choshu dan Satsuma) dan pejabat istana berhasil mengamankan istana kaisar dan memengaruhi Kaisar Meiji yang waktu itu masih belia. Shogun berkuasa, Tokugawa Yoshinobu menyadari posisinya yang lemah, dan menyerahkan kekuasaan politik ke tangan kaisar. Dengan demikian, Yoshinobu berharap kelangsungan klan Tokugawa dapat dipertahankan, dan berharap kelak bisa kembali ke pemerintahan. Pergerakan militer tentara kekaisaran membuat shogun Yoshinobu merasa terdesak.

Samurai klan Satsuma, bertempur di pihak kekaisaran semasa Perang Boshin. Foto: Felice Beato.

Ditambah kerusuhan yang dibuat simpatisan kekaisaran di Edo, serta perintah kaisar yang dipengaruhi faksi Domain Satsuma dan Choshu untuk membubarkan klan Tokugawa, operasi militer dilancarkan keshogunan untuk merebut istana kaisar di Kyoto. Pasukan faksi kekaisaran jauh lebih unggul dari pasukan keshogunan. Walaupun jumlahnya lebih sedikit, pasukan kekaisaran relatif modern. Setelah kalah dalam serangkaian pertempuran yang berakhir dengan jatuhnya Edo, Yoshinobu secara pribadi menyerah. Pasukan yang loyal kepada Tokugawa mundur ke bagian utara Pulau Honshu sebelum menyeberang ke Hokkaido dan membentuk Republik Ezo. Pendukung Tokugawa kehilangan benteng terakhir mereka setelah kalah dalam Pertempuran Hakodate. Kekuasaan atas seluruh Jepang kembali di tangan pihak kekaisaran, dan sekaligus menandai berakhirnya fase militer Restorasi Meiji.

Peta kampanye militer Perang Boshin (1868–1869). Aliansi
Selatan yang terdiri dari Domain Satsuma, Chōshū, dan Tosa
(merah) mengalahkan tentara keshogunan di Toba-Fushimi,
dan berlanjut mengambil alih seluruh Jepang hingga
pertempuran terakhir di Hokkaido.
Sekitar 12.000 orang terlibat dalam perang, dan 3.500 di antaranya tewas. Faksi kekaisaran yang menang memutuskan untuk tidak mengusir orang asing dari Jepang, melainkan mengadopsi kebijakan modernisasi dengan tujuan akhir negosiasi ulang Perjanjian Tidak Adil dengan pihak Barat. Berkat kegigihan Saigō Takamori yang memimpin faksi kekaisaran, pendukung Tokugawa diberi grasi, dan sejumlah mantan pemimpin keshogunan diberi jabatan baru dalam pemerintahan baru.

Perang Boshin menjadi bukti kemajuan modernisasi Jepang yang ketika itu baru saja selama 14 tahun membuka diri terhadap orang Barat. Keterlibatan pihak Barat, khususnya Britania Raya dan Perancis sangat memengaruhi situasi politik dalam negeri. Di kemudian hari, perang ini sering didramatisasi, termasuk film produksi Amerika The Last Samurai.

Latar Belakang Politik

Kekecewaan Terhadap Keshogunan
Selama dua abad hingga 1854, Jepang menjalankan politik isolasi (sakoku) dan hanya berhubungan secara terbatas dengan negara asing, kecuali dengan Korea di Tsushima, Dinasti Qing di Kepulauan Ryukyu, dan Belanda di pos perdagangan Dejima. Pada 1854, kedatangan Komodor Perry memaksa Jepang membuka pintu terhadap perdagangan dengan negara-negara asing. Dibukanya isolasi Jepang memicu pesatnya perkembangan perdagangan luar negeri dan westernisasi. Akibat perjanjian tidak adil yang dibuat Jepang dengan Komodor Perry, Keshogunan Tokugawa mendapat tantangan dari berbagai kalangan di dalam negeri. Gerakan radikal anti-Barat timbul dalam bentuk slogan sonnō jōi ("dukung kaisar, usir orang barbar").

Kapal Keshogunan Kanrin Maru,
kapal perang pertama Jepang,
bertenaga uap dan dilengkapi propeler.

Kaisar Kōmei setuju dengan sentimen anti-Barat, dan mulai berperan aktif dalam urusan negara. Bagaikan mendapat kesempatan untuk lepas dari keshogunan, kaisar mengkritik keras berbagai perjanjian Jepang dengan dunia Barat dan ikut campur dalam urusan suksesi shogun. Usaha Kaisar Kōmei berpuncak dengan dikeluarkannya Dekrit Pengusiran Orang Barbar. Walaupun tidak berkeinginan melaksanakan dekrit tersebut, keshogunan menjadi sasaran kekerasan. Orang asing di Jepang juga menjadi sasaran kemarahan, termasuk insiden berdarah dengan berakhir dengan tewasnya pedagang Inggris bernama Charles Lennox Richardson. Kematian Richardson membuat keshogunan harus membayar ganti rugi sebesar 100 ribu poundsterling Inggris. Insiden lainnya termasuk ditembakinya kapal-kapal asing di Shimonoseki.

Tentara keshogunan pada tahun 1864, lukisan
di majalah Illustrated London News
Sepanjang tahun 1864, kekuatan asing menanggapinya dengan pembalasan bersenjata, termasuk Bombardemen Kagoshima oleh tentara Inggris dan Bombardemen Shimonoseki oleh kekuatan multinasional. Pada bersamaan, tentara Domain Chōshū didukung ronin yang benci orang asing mengobarkan Pemberontakan Hamaguri untuk menguasai ibu kota kekaisaran di Kyoto. Namun pemberontakan berhasil dipadamkan pasukan yang dikirim Tokugawa Yoshinobu. Ketika itu, sikap istana dan pemimpin Domain Chōshū mulai melunak. Walaupun demikian, tahun berikutnya Keshogunan Tokugawa tidak dapat mengendalikan para daimyo yang melawan pemerintah pusat di Edo.

Bantuan Militer Asing
Walaupun Inggris sudah membombardir Kagoshima, Domain Satsuma tetap mendekati pihak Inggris, dan menerima bantuan untuk memodernisasi angkatan darat dan angkatan laut Domain Satsuma. Pedagang senjata asal Skotlandia, Thomas Blake Glover menjual kapal perang dan senjata kepada pihak domain yang berada di Jepang selatan. Penasihat militer Amerika dan Inggris yang umumnya terdiri dari mantan perwira, kemungkinan besar terlibat secara langsung dalam usaha militerisasi tersebut. Duta Besar Inggris Harry Smith Parkes mendukung kekuatan antikeshogunan dalam usahanya untuk mendirikan kekuasaan kaisar yang sah dan bersatu di Jepang, sekaligus menghentikan pengaruh Perancis di dalam keshogunan. Pada periode yang sama, pemimpin Jepang selatan seperti Saigō Takamori dari Satsuma, atau Itō Hirobumi dan Inoue Kaoru dari Chōshū menjalin hubungan pribadi dengan diplomat Inggris, khususnya Ernest Mason Satow.

Pihak keshogunan juga bersiap menghadapi konflik bersenjata dengan memodernisasi kekuatan militer. Sejalan kebijakan duta besar Parkes, Inggris sebagai mitra militer utama, tidak mau memberi bantuan lebih lanjut kepada keshogunan. Oleh karena itu, kekuatan militer Tokugawa hanya mengandalkan penasihat militer dari Perancis. Keshogunan merasa puas atas prestise tentara Napoleon III yang telah berjaya di Perang Krimea dan Perang Kemerdekaan Italia II. Keshogunan mengambil langkah-langkah penting menuju pembangunan militer yang modern dan kuat, termasuk angkatan laut yang berintikan delapan kapal perang bertenaga uap yang telah dibangun sejak beberapa tahun, dan menjadikan angkatan laut Jepang terkuat di Asia. Pada 1865, Jepang membangun arsenal angkatan laut yang pertama di Yokosuka. Perancangnya adalah insinyur Perancis bernama Léonce Verny. Misi Militer Perancis untuk Jepang tiba di Jepang, Januari 1867 untuk melakukan reorganisasi tentara keshogunan dan membentuk pasukan elit. Jepang memesan kapal bekas Amerika Serikat, kapal perang berlambung besi buatan Perancis, CSS Stonewall yang pernah dipakai dalam Perang Saudara Amerika. Amerika Serikat mulanya menolak untuk menyerahkan kapal CSS Stonewall karena pihak Barat sudah menyatakan sikap netralnya. Pihak militer kekaisaran berhasil memperoleh CSS Stonewall setelah sikap netral Barat dicabut. Kapal tersebut dipakai dalam pertempuran di Hakodate dengan nama Kōtetsu.

Kudeta (1866-1868)
Setelah terjadi kudeta di Chōshū dan kekuasaan kembali ke tangan faksi radikal antikeshogunan, keshogunan mengumumkan niat untuk memulai ekspedisi menaklukkan Domain Chōshū yang dianggap membangkang. Ancaman ini berakibat pada dijalinnya aliansi rahasia antara Domain Chōshū dan Domain Satsuma. Pada akhir tahun 1866 terjadi perubahan besar dalam peta politik setelah wafatnya shogun Tokugawa Iemochi yang disusul mangkatnya Kaisar Kōmei. Sebagai pengganti, Tokugawa Yoshinobu diangkat sebagai shogun, dan Kaisar Meiji naik tahta. Perkembangan baru tersebut membuat "gencatan senjata tidak dapat dihindari." Pada 9 November 1867, perintah rahasia dikeluarkan oleh Domain Satsuma dan Chōshū atas nama Kaisar Meiji untuk membunuh shogun Yoshinobu. Atas usulan daimyo Tosa, Yoshinobu sudah lebih dulu mengundurkan diri dan mengembalikan kekuasaan kepada kaisar, dan setuju dirinya dijadikan "sarana untuk melaksanakan" perintah kaisar. Peristiwa ini menandai berakhirnya Keshogunan Tokugawa.

Tokugawa Yoshinobu
dalam seragam militer
Perancis, foto tahun 1867
Walaupun Yoshinobu sudah mengundurkan diri dan jabatan tingkat atas dalam pemerintahan menjadi kosong, anak buahnya tetap menjalankan tugas seperti biasa. Pemerintah keshogunan, khususnya keluarga Tokugawa, tetap merupakan kekuatan utama dalam sistem politik, dan masih memegang kekuasaan eksekutif. Keadaan ini tidak dapat ditolerir kalangan garis keras dari Satsuma dan Chōshū. Peristiwa penting terjadi pada 3 Januari 1868 ketika faksi garis keras mengambil alih istana kaisar di Kyoto. Pada hari berikutnya, Kaisar Meiji yang waktu itu berusia 15 tahun mengumumkan kembalinya kekuasaan di tangan kaisar. Walaupun mayoritas dewan penasihat setuju dengan proklamasi resmi kekuasaan langsung di tangan istana, mereka cenderung mendukung kerja sama dengan keluarga Tokugawa di bawah konsep pemerintahan bersama. Saigō Takamori mengancam dewan agar menghapus jabatan shogun dan mengeluarkan perintah penyitaan tanah-tanah yang dimiliki Yoshinobu.

Walaupun awalnya setuju dengan permintaan-permintaan tersebut, Yoshinobu menyatakan bahwa "dirinya tidak akan terikat oleh proklamasi tentang Restorasi dan meminta pengadilan untuk membatalkannya." Pada 24 Januari, Yoshinobu menyatakan serangan terbuka atas Kyoto yang dikuasai tentara Satsuma dan Chōshū. Keputusan Yoshinobu dibalas dengan pembakaran bagian luar Istana Edo yang menjadi kediaman keluarga Tokugawa. Ronin asal Satsuma dituduhnya sebagai pelaku di balik peristiwa pembakaran karena pada hari itu mereka juga menyerang kantor-kantor pemerintah. Keesokan harinya tentara keshogunan membalas dengan menyerang rumah kediaman daimyo Satsuma di Edo. Dalam rumah kediaman tersebut berlindung sejumlah besar musuh keshogunan yang atas perintah Takamori membuat kerusuhan di Edo. Rumah kediaman daimyo Satsuma di Edo dibakar habis. Musuh keshogunan banyak yang terbunuh atau dieksekusi.

Awal Konflik Terbuka

Pada 27 Januari 1868 terjadi bentrokan antara pasukan keshogunan dan pasukan Chōshū di Toba dan Fushimi yang merupakan gerbang pintu masuk selatan ke Kyoto. Sebagian dari 15.000 tentara keshogunan dilatih oleh penasihat militer Perancis, namun sebagian besar di antaranya masih samurai tradisional. Pasukan Chōshū dan Satsuma kalah dalam jumlah dengan perbandingan 1 lawan 3, namun membawa senjata modern seperti howitzer merek Armstrong, senapan Minié, dan beberapa senapan Gatling. Setelah awal pertempuran tidak bisa menentukan pihak yang unggul, panji-panji kekaisaran pada hari kedua diserahkan ke pasukan pembela istana. Salah seorang saudara kaisar yang bernama Ninnajinomiya Yoshiaki ditunjuk sebagai penjabat panglima tertinggi sehingga tentara Chōshū dan Satsuma secara resmi menjadi tentara kekaisaran (kan-gun). Selain itu, beberapa daimyo lokal yang hingga saat itu masih setia terhadap shogun mulai berada di pihak istana setelah dibujuk oleh para pejabat istana. Di antara daimyo yang membelot terdapat daimyo dari Domain Yodo (5 Februari), daimyo dari Domain Tsu (6 Februari). Hasilnya berupa kekuatan militer pihak istana menjadi lebih kuat.

Pada 7 Februari, Tokugawa Yoshinobu melarikan diri dari Osaka setelah tersudut dengan adanya persetujuan istana atas tindakan pihak Domain Satsuma dan Chōshū. Yoshinobu mundur ke Edo menumpang kapal Kaiyō Maru. Demoralisasi pasukan akibat larinya Yoshinobu dan membelotnya pasukan Domain Yodo dan Domain Tsu membuat pihak keshogunan mundur. Pertempuran Toba-Fushimi dinyatakan sebagai kemenangan pihak kekaisaran. Walaupun demikian, keunggulan pihak kekaisaran sering diperdebatkan, sebagian di antara sejarawan menganggap pihak keshogunan justru lebih unggul. Istana Osaka segera dikuasai pihak kekaisaran pada 8 Februari (1 Maret menurut kalender Gregorian). Pertempuran Toba-Fushimi secara resmi berakhir.

Pada 28 Januari 1868, pertempuran laut terjadi di Awa antara Angkatan Laut Keshogunan dan unsur-unsur Angkatan Laut Satsuma. Pertempuran Laut Awa merupakan pertempuran laut pertama yang memakai angkatan laut modern dalam sejarah Jepang. Pertempuran Awa berakhir dengan keunggulan Angkatan Laut Keshogunan.

Pembunuhan pelaut Perancis dalam
Peristiwa Sakai. Le Monde Illustré.
Di meja diplomasi berlangsung pertemuan antarmenteri negara-negara asing pada awal Februari 1868 di pelabuhan Hyōgo (sekarang disebut Kobe). Mereka membicarakan nasib keshogunan sebagai pemerintah yang sah di Jepang. Selain itu, mereka berharap Tokugawa Yoshinobu yang didukung pemerintah asing (khususnya Perancis) mau menerima campur tangan mereka. Beberapa hari kemudian, utusan dari kekaisaran menemui para menteri dan menyatakan keshogunan sudah dibubarkan, pelabuhan-pelabuhan di Jepang terbuka sesuai perjanjian internasional, dan semua orang asing dilindungi. Para menteri akhirnya memutuskan untuk mengakui pemerintahan yang baru.

Bangkitnya sentimen antiasing menimbulkan tindakan kekerasan terhadap orang asing pada bulan-bulan berikutnya. Sebelas pelaut Perancis dari korvet Dupleix tewas oleh samurai Domain Tosa dalam Peristiwa Sakai 8 Maret 1868. Lima belas hari kemudian, Duta Besar Inggris Sir Harry Parkes diserang sekelompok samurai di Kyoto.

Pelarian ke Utara

Mulai bulan Februari, Duta Besar Perancis Léon Roches membantu penyusunan rencana menghentikan laju pasukan kekaisaran di Odawara yang merupakan gerbang masuk ke Edo. Rencana tersebut ditentang oleh Yoshinobu sehingga Léon Roches marah dan mengundurkan diri dari jabatannya. Pada awal Maret, di bawah usulan Harry Parkes seorang menteri Britania, negara-negara asing menandatangani perjanjian netralitas yang ketat. Negara-negara asing tidak dapat turut campur atau memberikan pasokan militer kepada pihak-pihak yang bertikai hingga konflik selesai.

Saigō Takamori memimpin pasukan kekaisaran di utara dan timur Jepang, dan menghancurkan kekuatan pasukan keshogunan di Pertempuran Kōshū-Katsunuma. Takamori akhirnya menyerah di Edo pada Mei 1868 setelah berunding tentang syarat-syarat penyerahan diri dengan Menteri Angkatan Darat Katsu Kaishu dari pihak keshogunan. Sejumlah kelompok pengikutnya terus bertahan setelah Takamori menyerahkan diri, namun mereka dikalahkan dalam Pertempuran Ueno.

Sementara itu, panglima Angkatan Laut Keshogunan, Enomoto Takeaki menolak untuk menyerahkan semua kapal-kapalnya. Ia hanya menyerahkan empat buah kapal (di antaranya Fujisan) sebelum melarikan diri ke utara bersama armada Angkatan Laut Keshogunan. Sejumlah 2.000 perwira dan pelaut ikut melarikan diri bersama armada kapal perang yang terdiri dari Kaiten, Banryū, Chiyodagata, Chōgei, Kaiyō Maru, Kanrin Maru, Mikaho, dan Shinsoku. Mereka berencana untuk melakukan serangan balasan dibantu daimyo asal Jepang utara. Takeaki ditemani oleh sejumlah penasihat militer Perancis, terutama Jules Brunet yang secara formal mengundurkan diri dari Dinas Ketentaraan Perancis untuk bergabung dengan para pemberontak.

Perlawanan Aliansi Utara

Setelah Shogun Yoshinobu menyerah, seluruh wilayah Jepang menerima kekuasaan kaisar, kecuali beberapa domain di Jepang Utara pendukung klan Aizu yang tetap membangkang. Pada bulan Mei, beberapa daimyo utara membentuk Aliansi Utara (Ouetsu Reppan Domei) yang berintikan kekuatan militer Domain Sendai, Domain Yonezawa, Domain Aizu, Domain Shonai, dan Domain Nagaoka. Aliansi Utara berkekuatan total sekitar 50.000 prajurit. Pangeran Kitashirakawa Yoshihisa ikut melarikan diri ke utara bersama pendukung Keshogunan Tokugawa. Pangeran Yoshihisa ditunjuk sebagai Kepala Aliansi Utara dengan maksud mengangkatnya di kemudian hari sebagai "Kaisar Tobu".

Armada Enomoto bergabung di Pelabuhan Sendai pada 26 Agustus. Walaupun pasukan Aliansi Utara cukup banyak, mereka kurang peralatan dan masih bergantung pada teknik berperang tradisional. Sedikitnya peralatan modern memaksa mereka membuat meriam kayu yang diperkuat lilitan tali dengan batu sebagai proyektil. Meriam kayu hanya bisa menembak empat hingga lima kali sebelum pecah berantakan. Daimyo dari Nagaoka beruntung bisa memperoleh dua dari tiga senapan Gatling yang ada di Jepang, dan 2.000 pucuk senapan Perancis dari pedagang senjata Jerman bernama Henry Schnell.

Meriam kayu yang dipakai pasukan Domain
Sendai selama Perang Boshin (Museum
Kota Sendai)
Pada bulan Mei 1868, pasukan daimyo Nagaoka menyebabkan kerugian besar bagi pasukan kekaisaran dalam Pertempuran Hokuetsu, namun istana Nagaoka akhirnya jatuh pada 19 Mei 1868. Pasukan kekaisaran terus maju ke utara, mengalahkan Shinsengumi di Pertempuran Puncak Bonari. Kekalahan Shinsengumi dan membuka jalan bagi pasukan kekaisaran untuk menyerang kastil Aizu-Wakamatsu dalam Pertempuran Aizu pada bulan Oktober 1868, dan Sendai tidak dapat dipertahankan lagi.

Aliansi Utara tercerai-berai, dan armada Aliansi Utara melarikan diri ke Hokkaido pada 12 Oktober 1868. Dua kapal perang (Oe dan Hōō yang dipinjam Sendai dari keshogunan) ikut dibawa ke Hokkaido beserta tambahan 1.000 pasukan yang terdiri dari sisa-sisa tentara keshogunan di bawah pimpinan Otori Keisuke, pasukan Shinsengumi yang dipimpin Hijikata Toshizo, korps gerilya (yugekitai) pimpinan Hitomi Katsutarō, dan sejumlah penasihat militer Perancis (Fortant, Garde, Marlin, dan Bouffier).

Pada 26 Oktober 1868, Edo berganti nama menjadi Tokyo, dan zaman Meiji secara resmi dimulai. Aizu sudah dalam keadaan terkepung sejak bulan Oktober, dan menyebabkan bunuh diri massal samurai muda usia yang bergabung dalam Byakkotai. Setelah pertempuran berkepanjangan selama sebulan, Aizu jatuh pada 6 November 1868.

Perlawanan dari Hokkaido

Pembentukkan Republik Ezo
Enomoto Takeaki melarikan diri ke Hokkaido bersama angkatan laut keshogunan dan sejumlah penasihat militer Perancis. Di Hokkaido, mereka memproklamasikan pemerintah negara Hokkaido yang merdeka. Secara resmi Republik Ezo didirikan pada 25 Desember 1868 dengan mengikuti Amerika Serikat sebagai model. Enomoto dilantik sebagai presiden berdasarkan suara mayoritas. Republik Ezo berusaha meyakinkan perwakilan negara-negara asing di Hakodate, seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Kekaisaran Rusia, namun tidak ada pengakuan atau dukungan internasional. Enomoto mengajukan usul untuk memberikan wilayahnya kepada Keshogunan Tokugawa di bawah kekuasaan kaisar, namun usulannya ditolak oleh Dewan Pemerintahan Kekaisaran.

Sepanjang musim dingin, mereka memperkuat pertahanan di sekeliling semenanjung selatan Hakodate. Benteng baru di Goryokaku merupakan pusat pertahanan Republik Ezo. Pasukan berada di bawah komando Perancis-Jepang. Panglima Otori Keisuke dibantu oleh kapten Perancis bernama Jules Brunet. Tentara Republik Ezo terdiri dari 4 brigade, dan masing-masing brigade dipimpin oleh opsir Perancis: Fortant, Marlin, Cazeneuve, dan Bouffier.

Perlawanan Terakhir
Angkatan Laut Kekaisaran tiba di Pelabuhan Miyako pada 20 Maret 1869, namun kedatangan mereka sudah dinanti-nanti oleh tentara Republik Ezo. Para pemberontak menyusun strategi untuk merampas kapal tempur Jepang Kotetsu. Di bawah pimpinan komandan Shinsengumi bernama Hijikata Toshizo, tiga kapal perang dikirim untuk melakukan serangan mendadak. Peristiwa ini disebut Pertempuran Laut Miyako yang berakhir dengan kegagalan pihak pemberontak. Cuaca buruk, kerusakan mesin, dan penggunaan senapan Gatling oleh pasukan kekaisaran sangat menyulitkan pihak penyerang yang terdiri dari para samurai.

Kapal tempur Jepang Kotetsu milik
Angkatan Laut Kekaisaran
Pihak kekaisaran pada bulan April 1869 mengirimkan armada angkatan laut dan 7000 prajurit infanteri ke Ezo, dan memulai Pertempuran Hakodate. Pasukan kekaisaran maju dengan lancar dan memenangi Pertempuran Laut Teluk Hakodate. Pertempuran laut di Teluk Hakodate merupakan pertempuran laut pertama dalam skala besar di Jepang yang melibatkan angkatan laut modern. Benteng di Goryokaku yang dipertahankan hanya oleh 800 prajurit dalam keadaan terkepung. Setelah situasi makin memburuk, para penasihat militer Perancis melarikan diri dengan kapal Coëtlogon yang telah siap sedia di Teluk Hakodate. Di bawah komando Dupetit-Thouars, mereka pulang ke Perancis setelah sebelumnya singgah di Yokohama. Pemerintah Jepang meminta penasihat militer Perancis untuk diadili di Perancis. Namun ternyata jasa-jasa mereka diakui di Perancis sehingga mereka bebas dari hukum.

Enomoto berniat untuk bertempur hingga mati. Barang-barang berharga diberikannya kepada musuh untuk disimpan. namun Otori berhasil meyakinkan Enomoto untuk menyerah. Menurut Otori, tetap hidup dalam kekalahan adalah cara yang paling berani, "Kalau mau mati, kamu kapan saja bisa." Enomoto menyerah pada tanggal 18 Mei 1869, dan mengakui kekuasaan Kaisar Meiji. Republik Ezo berakhir pada 27 Juni 1869.

Seusai Perang

Kediaman kaisar dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo pada akhir 1868. Sistem prefektur menggantikan sistem domain pada tahun 1871. Prefektur dipimpin oleh gubernur yang diangkat oleh kaisar. Kelas samurai dihapus dan para mantan samurai dipekerjakan sebagai pegawai administrasi atau pengusaha, namun sebagian di antaranya menjadi orang miskin. Pejabat dari Domain Satsuma, Chōshū, dan Tosa diberi kedudukan tinggi dalam pemerintahan karena dianggap berjasa. Mereka menjadi bagian dari kelas penguasa baru yang disebut oligarki Meiji dan diformalisasikan dalam bentuk genrō.

Sejumlah pendukung mantan shogun dipenjara, namun tidak dihukum mati. Pemberian grasi kepada mereka merupakan hasil dari kerja keras Saigō Takamori dan Iwakura Tomomi, serta saran Harry Smith Parkes. Menurut Ernest Satow, Parkes berkata kepada Saigō, "soal kerasnya tindakan terhadap Keiki [Yoshinobu] dan pendukungnya, khususnya dalam cara hukuman, dapat merugikan reputasi pemerintah baru dalam opini negara-negara Eropa." Setelah dua hingga tiga tahun dipenjara, sebagian dari mereka diundang untuk bekerja dalam pemerintahan yang baru. Beberapa di antaranya menjadi pejabat tinggi. Enomoto Takeaki misalnya, di kumudian hari bertugas sebagai duta Jepang untuk Rusia dan Cina, serta menteri pendidikan.

Pihak kekaisaran tidak jadi mengusir orang asing dari Jepang, melainan beralih ke modernisasi negeri dan melakukan negosiasi ulang perjanjian tidak adil dengan kekuatan asing. Perubahan kebijakan terhadap orang asing terjadi pada awal Perang Boshin. Pada 8 April 1868, papan-papan pengumuman baru dipasang di Kyoto (dan kemudian di seluruh negeri) yang secara khusus melarang kekerasan terhadap orang asing. Semasa Perang Boshin, Kaisar Meiji secara pribadi menerima delegasi dari Europa, pertama di Kyoto, dan kemudian di Osaka dan Tokyo. Kaisar Meiji juga secara tidak diduga-duga di Tokyo menerima kunjungan Alfred, Duke dari Edinburgh.

Pada zaman Meiji, selain dengan Perancis, hubungan luar negeri Jepang dengan negara-negara asing mulai membaik. Misi militer kedua Perancis diundang ke Jepang pada tahun 1873, dan misi militer ketiga pada tahun 1884. Hubungan tingkat tinggi dengan Perancis pulih pada tahun 1886 ditandai dengan ikut sertanya insinyur angkatan laut Louis-Émile Bertin dalam membangun armada Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.

Setelah bertahta, Kaisar Meiji mengeluarkan Sumpah Tertulis Lima Pasal yang isinya berupa seruan pembentukan dewan musyawarah, kesempatan untuk berusaha bagi rakyat, penghapusan semua kebijakan lama yang buruk, dan mencari ilmu hingga ke ujung dunia untuk memperkuat kekuasaan kaisar. Pembaruan selama reformasi Meiji berpuncak dengan dikeluarkannya Konstitusi Meiji pada tahun 1889. Walaupun sudah diberi kemudahan oleh istana, sebagian dari mantan samurai menganggap reformasi Meiji hanya merugikan kepentingan mereka, termasuk akibat dibentuknya tentara dari prajurit orang biasa, kehilangan prestise yang sudah turun-temurun, dan penghasilan. Ketidakpuasan mantan samurai berpuncak pada Pemberontakan Saga 1874 dan pemberontakan Chōshū tahun 1876. Mantan samurai Satsuma di bawah pimpinan Saigō Takamori memulai Pemberontakan Satsuma pada tahun 1877. Sebelumnya Saigō mundur dari pemerintahan akibat perbedaan pendapat. Pemberontakan Satsuma menuntut dikembalikannya kelas samurai dan pemerintahan yang lebih bermoral. Slogan mereka, "pemerintah baru, moral tinggi" (新政厚徳, shinsei kōtoku?). Pemberontakan Satsuma berakhir dengan kekalahan total pihak pemberontak dalam Pertempuran Shiroyama.

Dramatisasi

Restorasi Meiji sering disebut-sebut sebagai "revolusi tidak berdarah" yang mengawali modernisasi Jepang. Walaupun demikian, sekitar 120.000 prajurit terlibat dalam Perang Boshin, dan 3.500 prajurit tewas. Perang ini dikemudian hari cenderung didramatisasi, pihak keshogunan berperang dengan senjata tradisional melawan pihak kekaisaran yang bersenjata modern. Walaupun senjata tradisional dan senjata modern digunakan secara bersama-sama, kedua belah pihak sebenarnya menggunakan teknik berperang dan senjata termodern pada zamannya, termasuk kapal perang berlambung besi, senapan Gatling, dan teknik berperang yang diajarkan penasihat militer dari Barat.

Di antara dramatisasi Perang Boshin terdapat novel 4 jilid karya Jirō Asada, Mibu Gishi-den. Sutradara Yojiro Takita mengangkat karya Asada menjadi sebuah film berjudul When the Last Sword Is Drawn. Novel yang sama diangkat menjadi jidaigeki yang dibintangi Ken Watanabe. Pada tahun 2001 kembali dibuat jidaigeki mengenai pemberontakan di Hokkaido dengan judul Goryokaku. Sebagian dari serial anime Bakumatsu Kikansetsu Irohanihoheto mendramatisasi Perang Boshin, sementara cerita Rurouni Kenshin terjadi 10 tahun sesudah Perang Boshin. Film Hollywood The Last Samurai yang diproduksi tahun 2003 menggambarkan Perang Boshin dan Pemberontakan Satsuma.

Sumber: http://id.wikipedia.org/
Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

1 Response to Perang Boshin

Anonim
21 Januari 2015 pukul 18.55

Gan Nt tau judul buku yang menceritakan tentang perang boshin?

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments