Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
KIRI: Sketsa Heinrich Heine saat sakit, pada 1851. KANAN: Lukisan Pierre-Joseph Proudhon, karya Gustave Courbet. (WIKIPEDIA) |
Semua Teman Dekatnya Pengikut Setan
Proudhon, seorang pemikir paham sosialis penting lainnya, di saat yang sama juga merupakan teman Marx, yang sama-sama memuja iblis. Model rambut dan jenggot Proudhon mirip dengan Marx, dan Proudhon juga menulis karya yang menghujat Tuhan dan memuja iblis.
Sastrawan terkenal Jerman, Heinrich Heine, adalah seorang teman dekat Marx lainnya. ia juga seorang pemuja iblis. Ia menulis: “Aku memanggil iblis, maka iblis pun datang, dengan terheran-heran, aku perhatikan wajahnya; si iblis tidak jelek, juga tidak ada yang cacat, ia seorang pria yang manis dan menarik.”
Marx sangat mengagumi Heinrich Heine. Hubungan mereka sangat erat. Mengapa Marx begitu memuja Heine? Mungkin juga karena pemikiran setannya sebagai berikut:
“Aku mempunyai suatu angan. Di depan rumahku ada sebuah pohon yang indah, jika Tuhan tercinta membuatku bahagia, maka Ia seharusnya memberiku kebahagiaan seperti ini: membuat saya dapat melihat beberapa musuh saya digantung mati di pohon itu. Dengan hati penuh belas kasihan, setelah mereka mati, aku akan mengampuni semua kesalahan yang pernah mereka perbuat padaku. Ya, kita memang harus mengampuni semua musuh kita, namun bukan sebelum mereka digantung mati.”
Seseorang yang baik dan lurus, akankan memilih orang seperti ini sebagai teman dekatnya? Namun semua orang yang ada di sekitar Marx adalah orang yang demikian. Lunatcharski, seorang filsuf Kementrian Pendidikan Uni Soviet, dalam tulisannya, ‘Paham Sosialis dan Kepercayaan’ pernah menuliskan: Marx telah membuang segala sesuatu yang ada hubungannya dengan Tuhan, dan telah menempatkan iblis di depan barisan proletariat yang sedang berjalan maju.”
Ingin Disejajarkan dengan Tuhan
Putri kesayangan Marx, Eleanor, atas persetujuan Marx menikahi Edward Eveling. Padahal Eveling pernah menulis naskah pidato berjudul “Kejahatan Tuhan”. (Tepatnya inilah yang dilakukan para pengikut iblis. Berbeda dengan penganut ateis, mereka tidak menyangkal keberadaan Tuhan. Selain menipu orang, mereka sendiri tahu persis bahwa Tuhan itu ada, hanya saja mereka mengatakan Tuhan itu jahat. Berikut kalimat dalam puisi mereka yang mengungkapkan niat mereka memuja iblis:
Kepadamu, kuberanikan diri mempersembahkan puisi ini. Oh, iblis, raja pesta yang akan segera naik tahta!
Oh, pendeta, kuhindari jauh percikan air dan ceramahmu, karena iblis selamanya tidak berada di belakangmu.
Ibarat angin yang bersayap, ia merampas para umat, oh, iblis yang agung!
Pujalah, demi sang pembela yang agung ini!
Bakar dupa, bersumpah, persembahkan padamu, kau seret turun Tuhan si pendeta dari tahta kerajaannya!
Informasi lainnya terdapat dalam surat yang ditulis putra Marx bernama Edgar pada 21 Maret 1854. Pembukaan surat itu saja sudah sangat mengejutkan: “Iblisku tercinta.” Bagaimana mungkin seorang putra menyebut ayahnya dengan panggilan kurang ajar seperti itu? Akan tetapi, begitulah para pengikut setan memanggil orang-orang yang mereka cintai. Apakah putranya sudah menjadi pengikut setan?
Fakta penting lainnya adalah, istri Marx pada Agustus 1844 pernah menulis padanya dengan mengatakan: “Surat terakhir pendetamu, pendeta tertinggi sekaligus pemilik arwah, berikanlah damai dan ketenangan pada gerombolan dombamu yang mengenaskan ini.”
Di dalam “Deklarasi Paham Komunis”, Marx secara jelas menyatakan bahwa dirinya hendak membasmi semua agama, namun istrinya justru menyebutnya sebagai pendeta tertinggi dan pemimpin aliran, pendeta dan pemimpin aliran yang mana yang dimaksud di sini? Mengapa harus menulis surat pendeta kepada seorang penganut paham ateis seperti ini? Dimana surat-surat itu? Kehidupan Marx dalam periode ini belum dieksplorasi.
Dalam puisinya berjudul Human Pride, Marx mengakui bahwa tujuannya bukanlah memperbaiki, memperbaiki kumpulan, atau memperbaharui dunia, akan tetapi adalah menghancurkan dunia, dan bergembira karenanya:
Dengan membawa cemooh, wajahku di dunia, melemparkan tangan besi ke segala penjuru, sambil melihat keruntuhan benda besar yang seperti orang kerdil itu, namun keruntuhan mereka tidak akan memadamkan emosi di dalam diriku.
Waktu itu, aku akan berlalu di tengah puing-puing reruntuhan dunia ibarat Tuhan yang berjalan dengan kemenangan.
Saat perkataanku mendapat kekuatan yang sangat besar, aku akan merasakan aku sederajat dengan Sang Pencipta.
Apakah hanya puisi ini yang menampakkan pikiran iblis Marx? Kita tidak tahu, karena para pelindung naskah karya-karya Marx masih menjaga rahasia dengan ketat terhadap semua karya Marx yang berjumlah besar.
Albert Camus dalam bukunya Revolusioner mengatakan:
Marx dan Friedrich Engles memiliki 30 jilid karya tulis yang belum diterbitkan, ungkapan pemikiran kelancangan di dalam karya tersebut, tidak seperti paham Marx yang diketahui khalayak ramai. Membaca karya tersebut, saya meminta agar sekretaris saya mengirim surat ke Institut Marx di Moskow, untuk mencari tahu kebenaran atas perkataan penulis Prancis ini. Saya pun mendapat balasan. Dalam surat tersebut wakil dekan Institut Marx bernama Profesor M. Mtchedlov berkata bahwa Camus salah. Karya Marx mencapai lebih dari 100 jilid, hanya 13 jilid di antaranya yang dicetak untuk umum. Ia mencari suatu alasan yang tidak masuk akal atas hal ini, yakni: PD II telah menghambat terbitnya buku-buku lain. Surat itu ditulis pada 1980, yakni 25 tahun setelah berakhirnya PD II, waktu itu di Uni Soviet bahkan bar dan pengalengan ikan milik negara pun memiliki uang berlimpah. (EpochTimes/lie)
Bersambung ...
Sumber: http://erabaru.net/
Artikel Lainnya:
No Response to "Jalan Karl Marx Menjadi Iblis (3)"
Posting Komentar