Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,
Revolusi Tiongkok Pertama tahun 1925-1927 adalah sebuah revolusi proletarian yang otentik. Tetapi revolusi tersebut gugur sebelum waktunya karena kebijakan-kebijakan keliru yang diinstruksikan oleh Stalin dan Bukharin, yang menempatkan klas pekerja Tiongkok di bawah borjuasi yang konon demokratis pimpinan Chiang Kai-shek. Partai Komunis Tiongkok (PKT) melebur ke dalam Kuomintang (KMT). Bahkan, Stalin mengundang Chiang Kai-shek untuk menjadi anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional (Komintern).

Kebijakan pembawa malapetaka ini menyebabkan kekalahan yang katastrofik pada tahun 1927 ketika sang “borjuis-demokrat” Chiang Kai-shek mengorganisir pembantaian terhadap kaum Komunis di Shanghai. Penghancuran klas pekerja Tiongkok menentukan watak Revolusi Tiongkok selanjutnya. Sisa-sisa Partai Komunis melarikan diri ke pedesaan. Di sana mereka mulai mengorganisir perang gerilya berbasis kaum tani. Secara fundamental ini mengubah jalannya Revolusi.

Kebusukan Borjuasi

Revolusi 1949 berhasil karena kebuntuan feodalisme dan kapitalisme di Tiongkok. Nasionalis-borjuis Chiang Kai-shek, yang merebut kekuasaan pada tahun 1927 di atas mayat-mayat para pekerja Shanghai yang tercabik-cabik, mempunyai dua dekade untuk menunjukkan apa yang dapat diperbuatnya. Tetapi, pada akhirnya Tiongkok semakin bergantung pada imperialisme, persoalan agraria tetap tidak terselesaikan, dan Tiongkok masih merupakan sebuah negeri yang terbelakang, semi-feodal, dan semi-kolonial. Borjuasi Tiongkok, bersama dengan semua klas ber-properti lainnya, bertali-temali dengan imperialisme dan membentuk sebuah blok reaksioner untuk menentang perubahan.

Kebusukan borjuasi Tiongkok tersingkap manakala kaum imperialis Jepang menyerang Manchuria pada tahun 1931. Semasa perjuangan untuk mengalahkan para penyerbu Jepang, kaum Komunis Tiongkok menawarkan sebuah front-persatuan kepada kaum borjuis-nasionalis Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek. Tapi, dalam kenyataannya level kerjasama antara pasukan-pasukan Mao dan KMT semasa Perang Dunia Kedua minim adanya. Aliansi PKT dan KMT adalah front-persatuan dalam namanya saja.

Perjuangan Tiongkok melawan Jepang terjadi seiring dengan berkobar dan meluasnya Perang Dunia Kedua (PD II). Kaum Komunis memiliki andil terbesar dalam perjuangan melawan Jepang. Di lain pihak pasukan-pasukan KMT lebih mengkonsentrasikan diri untuk memerangi kaum Merah. Pada Desember 1940, Chiang Kai-shek menuntut agar Tentara Baru Keempat PKT angkat kaki dari Provinsi Anhui dan Provinsi Jiangsu. Ini menyebabkan bentrokan besar antara Tentara Pembebasan Rakyat (TPR atau PLA, People’s Liberation Army) dan pasukan-pasukan Chiang. Beberapa ribu orang tewas. Ini menandai berakhirnya apa yang disebut-sebut sebagai front-persatuan.

PD II berakhir dengan semakin menguatnya imperialisme AS dan Rusia-nya Stalin. Konflik yang tak terelakkan di antara mereka sudah terlihat jelas sebelum akhir Perang tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1945, pasukan-pasukan Soviet meluncurkan Operasi Ofensif Strategis Manchuria (Manchurian Strategic Offensive Operation) untuk menyerang Jepang di Manchuria dan di sepanjang perbatasan Tiongkok-Mongolia. Dalam sebuah serangan kilat, tentara Soviet menghancurkan tentara Jepang dan menduduki Manchuria. 700 ribu pasukan Jepang yang ditempatkan di wilayah itu menyerah. Tentara Merah menaklukkan Manchukuo, Mengjiang (pedalaman Mongolia), bagian utara Korea, bagian selatan Sakhalin, dan Kepulauan Kuril

Kekalahan kilat yang dialami Tentara Kwantung-nya Jepang oleh Tentara Merah tidak disebut-sebut oleh siapapun sekarang ini. Tapi ini merupakan faktor yang signifikan dalam menyerahnya Jepang dan berakhirnya PD II. Ini juga merupakan unsur yang signifikan dalam perhitungan Washington di Asia. Kaum imperialis AS takut jangan-jangan Tentara Merah Soviet akan langsung bergerak melalui Tiongkok dan memasuki Jepang, sebagaimana Tentara Merah Soviet telah mencapai Eropa Timur. Jepang akhirnya menyerah kepada AS setelah Angkatan Udara AS menjatuhkan bom-bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tujuan utama dari penghancuran kota-kota Jepang ini adalah untuk memperlihatkan kepada Stalin bahwa sekarang AS telah memiliki senjata baru yang mengerikan dalam gudang senjatanya.

Di bawah kondisi “menyerah tanpa syarat”-nya Jepang yang didiktekan oleh Amerika Serikat, pasukan Jepang diperintahkan untuk menyerah kepada pasukan Chiang, dan bukan kepada kaum Komunis di wilayah-wilayah Tiongkok yang diduduki. Sebab-musabab pasukan Jepang menyerah kepada Uni Soviet semata-mata karena KMT tidak mempunyai pasukan di sana. Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan Jepang agar tetap berada di pos mereka untuk menerima KMT dan tidak menyerahkan senjata mereka kepada kaum Komunis.

Setelah Jepang menyerah, Presiden AS Truman sangat jelas berkenaan dengan apa yang dimaksudnya dengan “menggunakan Jepang untuk membendung kaum Komunis.” Dalam memoarnya ia menulis, “Sepenuhnya jelas bagi kita bahwa bila kita memerintahkan Jepang untuk segera meletakkan senjata mereka dan berangkat ke daerah pesisir, segenap negeri akan diambilalih oleh kaum Komunis. Karena itu kami harus mengambil langkah yang tidak biasa, yakni menggunakan lawan sebagai sebuah garnisun sampai kita dapat mengangkut pasukan Nasional Tiongkok ke Tiongkok Selatan dan mengirim Angkatan Laut untuk menjaga kota-kota pelabuhan laut.”

Stalin dan Revolusi Tiongkok

Posisi apa yang diambil Moskow dalam semua perkara ini? Mula-mula Tentara Merah mengizinkan TPR untuk memperkuat posisinya di Manchuria. Tapi, pada November 1945 Tentara Merah berbalik dari posisi semula. Chiang Kai-shek dan imperialis AS merasa ngeri terhadap prospek pengambilalihan Komunis atas Manchuria setelah kepergian Soviet. Karena itu Chiang membuat kesepakatan dengan Moskow untuk menunda penarikan-mundur mereka sampai ia selesai menempatkan cukup anak buah yang paling terlatih serta perlengkapan modernnya ke wilayah tersebut. Pasukan KMT kemudian diangkut ke wilayah itu dengan pesawat udara Amerika Serikat. Lalu pihak Rusia mengizinkan mereka untuk menduduki kota-kota kunci di Tiongkok Utara. Sementara itu pedesaan tetap di bawah kontrol PKT.

Kenyataannya, Stalin tidak mempercayai pemimpin-pemimpin PKT. Ia tidak yakin bahwa mereka akan berhasil merebut kekuasaan. Birokrasi Moskow lebih tertarik untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan pemerintahan Chiang Kai-shek daripada mendukung Revolusi Tiongkok. Setelah Revolusi, dengan getir Mao mengeluhkan bahwa duta besar asing terakhir yang meninggalkan Chiang Kai-shek adalah duta besar Soviet. Stalin mendesak Mao untuk bergabung dalam pemerintahan koalisi dengan Kuomintang, sebuah gagasan yang mula-mula diterima Mao:

“Sementara perang berlanjut, Mao Tse-tung telah menuntut agar kaum Nasionalis setuju untuk mendirikan sebuah pemerintahan koalisi guna menggantikan pemerintahan satu-partai mereka, dan Stalin dan Molotov telah mengatakan bahwa kedua pihak Tiongkok harus bertemu. Pada 14 Agustus 1945, Uni Soviet bergerak selangkah lebih jauh. Ia merundingkan dengan pemerintahan Chiang Kai-shek sebuah Perjanjian Persahabatan dan Aliansi Tiongkok-Soviet (Sino-Soviet Treaty of Friendship and Alliance). Selanjutnya Stalin menasihati kaum Komunis Tiongkok bahwa pemberontakan mereka “tidak memiliki prospek” dan bahwa mereka harus bergabung dengan pemerintahan Chiang serta membubarkan tentara mereka.”

“Pada hari yang sama, kaum Nasionalis menandatangani Perjanjian mereka dengan Uni Soviet, Chiang Kai-shek – atas desakan Jenderal Hurley – mengundang Mao Tse-tung agar mengunjungi Chungking untuk ikut dalam diskusi.” (Edward E. Rice, Mao’s Way, p.114, penekanan saya, AW)

Pada akhirnya, karena tak terelakkan, perundingan-perundingan gagal dan perang sipil dimulai lagi. Uni Soviet memberikan bantuan yang sangat terbatas kepada TPR, sementara AS membantu kaum Nasionalis dengan pasukan dan perlengkapan militer senilai ratusan juta dollar. Jenderal Marshall mengaku bahwa tidak ada bukti apapun bahwa Uni Soviet memasok TPR. Faktanya, TPR merebut senjata-senjata yang ditinggalkan Jepang, termasuk beberapa tank. Belakangan, sejumlah besar pasukan KMT yang terlatih dengan baik menyerah dan bergabung dengan TPR dengan membawa persenjataan mereka. Senjata-senjata tersebut hampir semuanya dibikin di AS.

Pasukan-pasukan Soviet secara sistematis membongkar basis industrial Manchuria (senilai sampai 2 milyar dollar), memuat ke kapal seluruh pabrik-pabrik ke USSR. Faktanya, sebagaimana telah kita lihat, Stalin skeptis tentang prospek keberhasilan Mao, dan berusaha untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan Chiang Kai-shek, sebagaimana ditunjukkan oleh Schram: “Polanya terus dibikin kabur baik oleh kesibukan Stalin dengan keamanan negara Soviet, maupun oleh tidak adanya antusiasmenya terhadap sebuah gerakan revolusioner yang dinamis yang mungkin tidak dapat dikendalikannya.” (Stuart Schram, Mao Tse-Tung, hlm. 239.)

Jadi, benih-benih konflik Sino-Soviet sudah ada sejak awal: bukan sebuah konflik ideologis, seperti yang seringkali dikemukakan, tetapi sekadar sebuah konflik kepentingan antara dua birokrasi yang saling bersaing, yang masing-masing dengan penuh kewaspadaan membela kepentingan-kepentingan nasional sempit, wilayah, sumber daya, kuasa, dan hak-hak istimewa mereka. Nasionalisme yang sempit ini sepenuhnya kontras dengan internasionalisme proletariannya Lenin dan Trotsky. Lenin menyatakan dalam lebih dari satu kali kesempatan bahwa ia akan bersedia untuk mengorbankan Revolusi Rusia bila itu diperlukan untuk mencapai kemenangan revolusi sosialis di Jerman.

Bila Stalin dan Mao berdiri di atas program Leninisme, sudah seharusnya mereka akan segera mengedepankan penciptaan sebuah Federasi Sosialis Uni Soviet dan Tiongkok, yang akan memberikaan faedah yang luar biasa besar bagi seluruh rakyat. Akan tetapi hubungan-hubungan mereka malah didasarkan pada kepentingan-kepentingan nasional yang sempit dan kalkulasi-kalkulasi yang sinis. Pada akhirnya ini mengakibatkan situasi yang sangat-sangat buruk, di mana para “kamerad” Rusia dan Tiongkok menggelar “perdebatan” dengan menggunakan bahasa roket dan selongsong artileri mengenai perbatasan yang dibuat pada abad ke-19 oleh seorang Tsar Rusia dan Kaisar Tiongkok.

AS Membantu Chiang Kai-shek

Pihak Amerika berambisi untuk membuat Tiongkok menjadi wilayah pengaruh AS (yang dalam praktik, sebuah negeri semi-koloni) setelah PD II. Tetapi, setelah semua pengalaman kelam PD II, rakyat Amerika tidak bakalan siap untuk mendukung sebuah peperangan baru dalam rangka menaklukkan Tiongkok. Yang lebih penting, tentara-tentara Amerika pun tidak akan siap untuk bertempur dalam peperangan seperti itu. Karena itu, ketidakmampuan imperialisme AS untuk mengintervensi Revolusi Tiongkok adalah sebuah unsur penting dalam rumusan politik.

Dalam kondisi begini, kaum imperialis AS terpaksa melancarkan manuver dan intrik. Washington mengutus Jenderal George C. Marshall ke Tiongkok pada 1946, yang katanya bertujuan untuk menyusun perundingan-perundingan antara TPR-nya Mao dan Chiang Kai-shek. Tetapi, dalam prakteknya, ternyata tujuannya adalah untuk memperkuat Chiang dengan menyediakan senjata, uang, dan perlengkapan dalam rangka membangun pasukan Nasionalis sebagai persiapan untuk melancarkan sebuah opensif yang baru. Manuver ini tidak memperdaya Mao begitu saja. Mao setuju untuk berpartisipasi dalam perundingan-perundingan, tetapi terus mempersiapkan diri untuk menghadapi bangkitnya permusuhan.

Kendati imperialisme AS tidak mampu berintervensi dalam perang sipil 1946-9, Washington memberikan uang, senjata, dan pasokan dalam jumlah yang sangat besar kepada kubu Nasionalis. Amerika Serikat membantu KMT dengan pasokan-pasokan militer baru senilai ratusan juta dollar. Tapi, banyak senjata yang dikirimkan Washington di kemudian hari justru digunakan oleh orang-orang Vietnam untuk melawan tentara AS, sebab hampir semua perangkat keras militer itu direbut oleh pasukan-pasukan Mao.

Sejak Konferensi Menteri-menteri Luar Negeri Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Inggris di Moskow pada Desember 1945, Amerika Serikat telah menganut “kebijakan non-intervensi dalam masalah internal Tiongkok”. Tentu saja ini sebuah sandiwara belaka, sama saja dengan kebijakan “non-intervensi” di Spanyol semasa Perang Sipil, ketika “negara-negara demokrasi” memboikot Republik Spanyol, sementara Hitler dan Mussolini mengirim senjata dan anak buah mereka untuk mendukung Franco

Imperialisme AS memasok Kuomintang dengan pesawat pengebom, pesawat tempur, senapan, tank, peluncur roket, pistol otomatis, bom bensin, proyektil gas, dan senjata-senjata lainnya untuk tujuan tersebut. Sebagai imbalan, Kuomintang memindahtangankan kepada imperialisme AS hak-hak berdaulat Tiongkok atas wilayahnya sendiri, perairan, dan kawasan udara, mengizinkannya untuk mendapatkan hak-hak pelayaran dalam negeri dan privilese-privilese komersial khusus, serta memperoleh privilese-privilese khusus dalam urusan-urusan domestik dan luar negeri Tiongkok. Pasukan-pasukan AS bersalah atas banyak kekejaman terhadap rakyat Tiongkok: membunuh rakyat, memukuli mereka, melindas mereka dengan mobil, dan memperkosa kaum perempuan, semuanya dengan kekebalan hukum.

Revolusi Agraria

Pada Juli 1946, dengan dukungan aktif imperialisme AS, Kuomintang menjerumuskan Tiongkok ke dalam perang sipil besar-besaran dengan kebrutalan yang tiada taranya dalam sejarah Tiongkok. Chiang Kai-shek meluncurkan sebuah ofensif kontra-revolusioner melawan TPR. Ia telah melakukan persiapan seksama, dan pada waktu itu KMT mempunyai pasukan sebanyak hampir tiga setengah kali lipat daripada TPR. Sumber-sumber materialnya pun jauh lebih unggul. Ia mempunyai akses ke industri-industri modern dan sarana-sarana komunikasi modern, yang justru tidak dimiliki oleh TPR. Secara teoritis, seyogyanya Chiang dapat meraih kemenangan dengan mudah.

Pada tahun pertama perang sipil (Juli 1946-Juni 1947), Kuomintang berada pada posisi ofensif dan TPR terpaksa berada dalam posisi defensif. Mula-mula pasukan-pasukan Chiang bergerak maju dengan cepat, menduduki banyak kota dan daerah yang dikontrol oleh TPR. Pasukan-pasukan KMT mencapai sesuatu yang nampak sebagai sebuah kemenangan yang menentukan tatkala mereka merebut ibukota TPR, Yenan. Banyak pengamat menganggap hal ini sebagai pertanda kekalahan yang menentukan bagi TPR. Tapi anggapan ini tidak tepat. Berhadapan dengan rintangan yang sama sekali tidak menguntungkan, Mao memutuskan untuk melakukan penarikan-mundur yang strategis. Mao mengambil keputusan untuk tidak berupaya mempertahankan kota-kota besar dengan pasukan-pasukan yang kurang unggul. Alih-alih ia berkonsentrasi pada daerah-daerah pedesaan, di mana ia mempunyai basis yang solid di kalangan kaum tani; dari sana ia dapat mengumpulkan-kembali dan mengkonsentrasikan pasukan-pasukannya untuk melancarkan serangan balik.

Apa yang gagal disadari kaum imperialis AS dan Chiang Kai-shek adalah bahwa senjata paling efektif yang ada di tangan TPR bukanlah senapan atau tank, tetapi propaganda. TPR menjanjikan kepada kaum tak bertanah dan kaum tani yang kelaparan bahwa dengan berjuang untuk TPR mereka akan bisa merebut tanah pertanian dari para tuan-tanah. Dalam hampir semua kasus, daerah pedesaan sekitar dan kota-kota kecil telah berada di bawah kontrol TPR jauh sebelum kota-kota besarnya. Inilah asal-muasal teori Mao, “Desa Mengepung Kota”.

Ketika Stalin mengubah garis Komintern dari kebijakan-kebijakan ultra-kiri “Periode Ketiga” (1928-34) menjadi kebijakan-kebijakan oportunis frontisme-popular, Mao merevisi program agrarianya. Ia meninggalkan kebijakan sebelumnya yang radikal, yakni “tanah bagi penggarap”, dan menggantikannya dengan kebijakan yang lebih moderat, yakni penurunan harga sewa tanah. Ia mempunyai gagasan untuk memenangkan dukungan dari “para tuan-tanah yang progresif” (!). Tapi, setelah 1946 ia mengubah lagi kebijakannya:

“Kebijakan agraria yang selanjutnya adalah lebih radikal daripada kebijakan agraria dalam periode 1937-45, yang melibatkan penurunan bunga pinjaman dan harga sewa daripada reformasi agraria yang menyeluruh; tetapi taktik-taktik baru ini dimaksudkan bersifat gradual dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi setempat. Mao masih bermaksud mengikutsertakan kaum menengah-kaya yang patriotik dalam ‘front-persatuan yang sangat luas’ yang ingin dia pertahankan. Baru setelah beberapa tahun kaum Komunis mengontrol daerah tersebut, semua tanah didistribusikan ulang; untuk sementara reforma tidak boleh mempengaruhi lebih dari sepersepuluh penduduk. Mao juga menyebabkan pemberlakuan kembali ‘tiga aturan disiplin’ dan ‘delapan pokok perhatian’; dalam satu atau lain bentuk, ini telah mengekspresikan selama hampir dua puluh tahun penghormatan terhadap penduduk sipil dan pencegahan terhadap penjarahan, yang membedakan Tentara Merah dari semua tentara yang pernah dilihat kaum tani Tiongkok pada masa silam, dan sangat berkontribusi dalam memenangkan dukungan penduduk.” (Stuart Schram, Mao Tse-Tung, p.242.)

Di setiap desa, TPR mendistribusikan tanah kepada kaum tani. Tetapi mereka selalu menyisakan sejumlah kapling – untuk prajurit-prajurit dari tentara Chiang Kai-shek. Para prajurit KMT yang tertangkap tidak dibunuh atau diperlakukan buruk, sebaliknya mereka diberi makan dan diberi perawatan medis, dan kemudian diberi pidato-pidato politik yang mengutuk rezim Chiang Kai-shek yang korup dan reaksioner. Kemudian para tawanan dikirim pulang untuk menyebarkan pesan di kalangan kaum tani dan prajurit-prajurit lainnya bahwa TPR bermaksud mendistribusikan tanah para tuan-tanah kepada kaum tani.

Dengan menjanjikan tanah kepada kaum tani, TPR berhasil memobilisir kaum tani dalam jumlah yang sangat besar agar dapat digunakan untuk bertempur dan menyediakan dukungan logistik. Ini terbukti sangat efektif. Tentara Chiang barangkali mengalami tingkat desersi tertinggi dari tentara manapun dalam sejarah. Artinya, kendati banyak jatuh korban, TPR sanggup untuk terus bertempur dengan pasokan rekrutmen baru yang konstan. Semasa Kampanye Huaihai saja mereka mampu memobilisir 5.430.000 kaum tani untuk bertempur melawan pasukan-pasukan KMT. Stuart Schram menunjukkan bahwa TPR bertambah besar secara dramatis:

“Semasa 1945 pasukan-pasukan militer yang berada di bawah komando Tentara Rute VIII dan Tentara Baru IV telah meluas dari jumlah sekitar setengah juta menjadi sekitar satu juta orang. Pasukan Kuomintang kira-kira empat kali lebih banyak dari jumlah tersebut. Pada pertengahan 1947, setelah setahun perang sipil berskala besar, perbandingannya bergeser dari satu banding empat menjadi satu banding dua.” (Stuart Schram, Mao Tse-Tung, hlm. 242.)

Ofensif Terakhir

Clausewitz mengutarakan bahwa perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain. Politik memainkan peran yang sangat penting dalam setiap perang, terutama dalam perang sipil. Kendati pihak Amerika (seperti biasanya) mempertahankan fiksi bahwa ini merupakan perang antara “Komunisme dan Demokrasi”, faktanya boneka Tiongkok mereka, Chiang Kai-shek, adalah seorang diktator yang brutal. Akan tetapi, barangkali di bawah tekanan Washington, Chiang berpura-pura memperkenalkan sejumlah “reforma demokratis” dalam rangka membungkam para pengkritiknya di dalam dan di luar negeri.

Ia mengumumkan sebuah konstitusi baru dan Majelis Nasional yang baru, yang tentu saja menyisihkan kaum Komunis. Mao segera mengutuk “reforma-reforma” tersebur sebagai sebuah penipuan. Massa-penduduk lebih menaruh perhatian pada korupsi yang merajalela dalam pemerintahan, serta kekacauan politik dan ekonomi: khususnya hiperinflasi yang masif, yang mengakibatkan jatuhnya standar-standar hidup. Ada protes-protes mahasiswa yang besar di seluruh negeri terhadap imperialisme.

Di daerah-daerah yang dikontrol oleh pasukan-pasukan Nasionalis, rezim Teror Putih berkuasa. Chiang mengadopsi taktik yang persis sama dengan para penyerang Jepang: membakar, menjarah, memperkosa, dan membunuh. Jutaan pria dan wanita, muda dan tua, dibantai. Ini memberikan kepada mereka kebencian penduduk dan justru makin memperkuat dukungan bagi TPR.

Secara teori, pihak Nasionalis masih memiliki satu keunggulan yang besar daripada TPR. Di atas kertas, mereka menikmati keunggulan yang nyata baik dalam jumlah personel maupun senjata. Mereka mengontrol wilayah dan penduduk yang jauh lebih besar daripada seteru mereka. Mereka juga menikmati dukungan internasional yang sangat besar dari AS dan Eropa Barat. Tapi itu hanya teori saja. Realitas di lapangan sangat berbeda. Pasukan-pasukan Nasionalis menderita karena tidakadanya semangat juang dan merajalelanya korupsi – yang sangat mengurangi kemampuan mereka untuk bertempur; dan dukungan sipil terhadap mereka telah runtuh.

Pasukan-pasukan Nasionalis yang mengalami demoraliasasi dan tidak berdisiplin meleleh di hadapan derap-laju yang tak terbendung dari Tentara Pembebasan Rakyat. Mereka menyerah atau melarikan diri, meninggalkan begitu saja persenjataan mereka. Penawanan atas sejumlah besar pasukan KMT memberikan kepada TPR tank, artileri berat, dan aset-aset persenjataan-gabungan lainnya yang dibutuhkan untuk meneruskan operasi-operasi ofensif di sebelah selatan Tembok Besar. TPR bukan hanya mampu merebut kota-kota Kuomintang yang memiliki pertahanan yang sangat kuat, tapi juga mengepung dan menghancurkan formasi-formasi pasukan gerak-cepat Kuomintang, seratus ribu atau beberapa ratus ribu pada saat yang bersamaan. Pada April 1948 mereka merebut kota Luoyang, yang memutus pasokan bagi tentara KMT dari Xi'an.

TPR mampu meneruskan kontra-ofensif, yang memaksa Kuomintang meninggalkan rencananya untuk melakukan serangan umum. Setelah merebut senjata dalam jumlah yang sangat besar, TPR mampu memperbaiki kemampuan militernya, membentuk artileri dan kesatuan teknis-nya sendiri, serta menguasai taktik untuk menyerang titik-titik sasaran yang memiliki pertahanan yang kuat. Sebelum ini, TPR tidak mempunyai pesawat tempur atau tank, tapi segera sesudah ia membentuk artileri dan kesatuan teknis yang lebih unggul daripada yang dimiliki tentara Kuomintang, ia sanggup melancarkan bukan hanya pertempuran gerak cepat (mobile warfare) tetapi juga pertempuran posisional (positional warfare). Menurut perkiraan Mao sendiri:

“[…] setiap bulan [TPR] menghancurkan rata-rata sekitar 8 brigade dari pasukan reguler Kuomintang (sama dengan delapan divisi pada masa kini).” (“Carry the Revolution through to the end”, December 30, 1948, Mao, SW, volume IV, hlm. 299)

Perubahana situasi militer ini benar-benar sukar dipercaya. TPR, yang selama bertahun-tahun kalah dalam jumlah, pada Juli-Desember 1948 akhirnya beroleh keunggulan atas pasukan Kuomintang dalam jumlah tentara. Ini adalah jumlah yang diberikan Mao pada waktu itu:

“Pada tahun pertama, 97 brigade, termasuk 46 brigade yang sama sekali dihancurkan; dalam tahun kedua, 94 brigade, termasuk 50 yang sama sekali dihancurkan; dan dalam paroh pertama tahun ketiga, menurut perhitungan yang tidak lengkap, 147 divisi, termasuk 111 divisi yang sama sekali dihancurkan. Dalam enam bulan ini, jumlah divisi musuh yang sama sekali dihancurkan adalah 15 lebih banyak dari jumlah keseluruhan dalam dua tahun sebelumnya. Front musuh secara keseluruhan runtuh sama sekali. Pasukan lawan di Timur Laut telah sepenuhnya dihancurkan, mereka yang di sebelah utara Tiongkok akan segera dihancurkan, dan di sebelah timur Tiongkok dan Dataran Tengah hanya ada beberapa pasukan musuh yang tersisa. Pemusnahan pasukan utama Kuomintang di sebelah utara Sungai Yangtse sangat memudahkan penyeberangan yang akan dilakukan oleh Tentara Pembebasan Rakyat dan perjalanannya ke selatan untuk membebaskan seluruh Tiongkok. Seiring dengan kemenangan pada front militer, rakyat Tiongkok telah mencetak kemenangan-kemenangan menakjubkan pada front politik dan front ekonomi. Karena alasan ini, opini publik dunia luar, termasuk seluruh pers imperialis, tidak lagi memperdebatkan kepastian kemenangan di seantero negeri dari Perang Pembebasan Rakyat Tiongkok.” (Carry the Revolution through to the end, December 30, 1948, Mao, SW, volume IV, p. 299)

Tidak ada alasan untuk tidak mempercayai bahwa secara substansial perkiraan ini akurat. Semua sejarahwan borjuis menerima bahwa pada periode tersebut pasukan-pasukan Chiang sedang terpukul mundur dalam kondisi yang kacau-berantakan dan bahwa TPR dengan cepat kian bertambah besar dan kuat.

Kejatuhan Beiping

Pada akhir tahun 1948 gelombang pasang telah berbalik. TPR merebut kota-kota Shenyang dan Changchun dan mengambilalih kendali atas kawasan Timur Laut setelah melakukan kampanye yang sukar. Setelah pengepungan yang brutal selama enam bulan atas Changchun yang mengakibatkan kematian lebih dari 300 ribu warga sipil karena kelaparan, mereka memaksa pasukan-pasukan KMT yang terlatih untuk menyerah. Rencana-rencana Chiang untuk melancarkan kontra-ofensif sekarang tinggal menjadi puing reruntuhan semata. TPR tidak hanya memulihkan hampir semua teritori yang pernah lepas di Tiongkok timur-laut, tapi juga memperluas front pertempuran ke wilayah-wilayah Kuomintang di sebelah utara Sungai Yangtze dan Sungai Weishui. Mereka merebut Shihchiachuang, Yuncheng, Szepingkai, Loyang, Yichuan, Paoki, Weihsien, Linfen, dan Kaifeng.

Pada tahun 1949 TPR mencapai sebelah selatan Sungai Yangtze dan akhir peperangan sudah nampak di depan mata. Beberapa orang yang dikenal sebagai kaum Trotskyis bersikukuh menyangkal apa yang nyata-nyata sudah jelas. Di Amerika, Max Shachtman menertawakan argumen Cannon [James Cannon, pemimpin Socialist Workers Party] yang mengatakan bahwa Mao sedang bergerak untuk berkapitulasi dengan Chiang Kai-shek. Katanya, “Ya, Mao ingin berkapitulasi dengan Chiang, tetapi ia mempunyai suatu persoalan: ia tidak bisa mengejarnya!”

Pada akhir tahun 1948 posisi Nasionalis sudah tidak dapat diharapkan. Sekarang tatkala punggung Chiang telah membentur tembok, ia mulai menawarkan perdamaian. Padahal tiga tahun sebelumnya Chiang sesumbar bahwa ia sedang bergerak terus untuk memusnahkan kaum Komunis. Pasukannya sedang mengikuti kebijakannya, “jarah, bakar, dan bunuh”, dengan penuh semangat. Sekarang tatkala kekalahan sudah nampak di depan wajahnya, ia mulai menyanyikan puja-puji perdamaian. Sebuah tranformasi yang sangat mengejutkan!

Di balik strategi “perdamaian”-nya Chiang adalah Washington, yang didukung oleh para imperialis Inggris dan Prancis – semuanya sadar bahwa perang ini telah berakhir dengan kekalahan Kuomintang. Setelah gagal menghancurkan TPR dengan kekerasan, mereka berharap dapat menyelamatkan sesuatu dari reruntuhan dengan intrik-intrik politik. Tapi manuver-manuver seperti itu tidak berhasil memperdaya siapapun, dan terutama Mao Tse-tung.

Dalam hampir semua kasus, desa-desa dan kota-kota kecil sekitar telah berada di bawah pengaruh TPR jauh sebelum kota-kota besar – bagian dari strategi perang rakyat. Pada Januari 1949 Beiping direbut oleh TPR tanpa pertempuran, dan namanya dikembalikan menjadi Beijing. Antara April dan November, kota-kota besar lainnya juga jatuh dengan perlawanan minimal. Pada tanggal 21 April, pasukan-pasukan Mao menyeberangi Sungai Yangtze dan merebut Nanjing, ibukota KMT. Dalam tempo singkat mereka menghalau sisa-sisa pasukan KMT yang mengalami disorganisasi dan demoralisasi ke selatan di Tiongkok Selatan.

Pada akhirnya, Chiang Kai-shek dan kira-kira dua juta orang Tiongkok Nasionalis – terutama dari kalangan mantan birokrat dan pengusaha – mundur dari Tiongkok-daratan ke Pulau Taiwan (yang pada waktu itu dikenal sebagai Formosa). Chiang memproklamirkan Taipei sebagai ibukota sementara Tiongkok. Sebelum melarikan diri, Chiang mengambil langkah merampok perbendaharaan nasional sekitar US$300 juta untuk mengisi pundi-pundinya sendiri dan kroni-kroninya.

Semua ini mencapai puncaknya pada tanggal 1 Oktober 1949, dengan Mao Tse-tung memproklamirkan Republik Rakyat Tiongkok. Sebuah lembaran baru telah dibuka dalam sejarah dunia.

Tentara Merah dan Kaum Pekerja

Sebelum Perang, Trotsky telah memperingatkan bahwa pertanyaan yang menentukan adalah apa yang akan terjadi manakala Tentara Merah memasuki desa-desa dan kota-kota. Sebuah negara buruh yang sejati akan mendasarkan dirinya pada klas-pekerja dan organ-organ kekuasaannya: soviet-soviet. Negara buruh yang sejati akan memperkuat organisasi kaum pekerja, dengan serikat-serikat buruh yang sejati, yang mandiri dari negara.

Tapi, Revolusi 1949 di Tiongkok dilaksanakan dalam gaya Bonapartis dari atas. Daripada mendasarkan diri mereka pada klas pekerja untuk menggulingkan negara borjuis, mereka membentuk sebuah pemerintahan koalisi yang terdiri dari berbagai faksi dari eks pemerintahan Kuomitang. Jauh dari memperkuat gerakan massa-rakyat yang mandiri, setiap manifestasi dari aksi mandiri kaum pekerja direpresi.

Mao pada awalnya memulai dengan sebuah program yang tidak melampaui batas-batas kapitalisme. Pada satu titik bahkan ia mempunyai ilusi-ilusi dalam berurusan dengan pemerintah Amerika, sebagaimana digarisbawahi oleh Stuart Schramm:

“Sebuah editorial dari Liberation Daily (Harian Pembebasan) terbitan 4 Juli 1944 menumpuk puja-puji terhadap tradisi demokratis Amerika, dan membandingkan perjuangan Amerika untuk demokrasi dan kemerdekaan nasional pada Abad XVIII dengan perjuangan Tiongkok pada Abad XX:

“ ‘Amerika yang demokratis telah mendapatkan teman, dan perjuangan Sun Yat-sen sesosok penerus, dalam Partai Komunis Tiongkok dan kekuatan-kekuatan demokratis lainnya … Pekerjaan yang kami kaum Komunis lakukan sekarang ini adalah pekerjaan yang sangat sama dengan yang dilakukan lebih awal di Amerika oleh Washington, Jefferson, dan Lincoln; pekerjaan ini pasti akan memperoleh, dan sesungguhnya telah memperoleh, simpati dari Amerika yang demokratis.’ ” (Dikutip dari Stuart Schram, Mao Tse-tung, hlm.225-6.)

Bahasanya adalah bahasa demokrasi-borjuis, dan itu mengalir dari konsepsi Mao tentang Revolusi Tiongkok. Mao menyeimbangkan antara kaum borjuasi dan kaum pekerja dan kaum tani dalam rangka mengkonsolidasi negara yang baru dan mengkonsentrasikan kekuasaan di dalam tangannya. Dalam tahapan-tahapan pertama, ia melakukan segala sesuatu untuk mencegah kaum pekerja dari pengambilan kekuasaan, dan menghancurkan unsur-unsur apapun dari gerakan kaum pekerja mandiri yang muncul. Sebagaimana di Spanyol pada tahun 1936, Mao tidak membentuk koalisi dengan borjuasi, tetapi dengan bayangan burjuasi. Tapi bila di Spanyol, bayangan itu diizinkan untuk mengenakan substansi, di Tiongkok ia sudah habis. Ketika Tentara Merah memasuki kota-kota, mereka menyerukan kaum pekerja untuk tidak melakukan pemogokan atau berdemonstrasi. Delapan butir berikut ini membentuk basis propaganda mereka:

“1) Kehidupan dan properti rakyat akan dilindungi. Jagalah ketertiban dan jangan mendengarkan desas-desus. Penjarahan dan pembunuhan sama-sekali dilarang.

“2) Properti komersial individual dan industrial orang Tiongkok akan dilindungi. Pabrik-pabrik swasta, bank-bank, gudang-gudang, dsb., tidak akan disentuh dan dapat terus beroperasi.

“3) Kapital birokratik, termasuk pabrik-pabrik, toko-toko, bank-bank, gudang-gudang, jalan kereta api, kantor-kantor pos, instalasi-instalasi telepon dan telegraf, pembangkit-pembangkit enerji, dsb., akan diambilalih oleh Tentara Pembebasan, kendati saham-saham swasta akan dihormati. Mereka yang bekerja pada organisasi-organisasi ini harus bekerja dengan damai dan menantikan pengambilalihan. Gaji masih akan diberikan kepada mereka yang melindungi properti dan dokumen-dokumen; mereka yang melakukan pemogokan atau yang merusak akan dihukum. Mereka yang ingin terus melayani akan dipekerjakan.

“4) Sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, dan lembaga-lembaga publik akan dilindungi. Para siswa, guru-guru, dan semua pekerja harus melindungi catatan-catatan mereka. Siapapun yang cakap bekerja akan dipekerjakan.

“5) Kecuali untuk beberapa penjahat perang besar dan reaksioner yang tersohor, semua pejabat Kuomintang, polisi, dan para pekerja Pao-Chia dari Pemerintahan-pemerintahan Provinsi, Kota, dan Hsien akan diampuni, bila mereka tidak melakukan perlawanan bersenjata. Mereka harus melindungi catatan-catatan mereka. Siapapun yang cakap bekerja akan dipekerjakan.

“6) Segera sesudah sebuah kota dibebaskan, para prajurit yang tertawan harus segera melapor kepada markas-markas garnisun yang baru, kantor polisi, atau otoritas-otoritas militer. Siapapun yang menyerahkan senjatanya tidak akan ditolak. Mereka yang bersembunyi akan dihukum.

“7) Hidup dan properti semua orang asing akan dilindungi. Mereka harus mematuhi hukum-hukum Tentara Pembebasan dan Pemerintahan Demokratik. Spionase atau tindakan-tindakan illegal tidak diizinkan. Tidak ada penjahat perang yang boleh dilindungi. Mereka akan menjadi subyek pengadilan militer atau sipil atas pelanggaran-pelanggaran yang telah diperbuat.

“8) Rakyat secara umum harus melindungi semua properti publik dan menjaga ketertiban.” (A. Doak Barnett, China on the Eve of Communist takeover, hlm. 327-8.)

Menjiplak model Stalinis di Rusia, kaum Stalinis Tiongkok mengubah serikat-serikat buruh menjadi “sebuah sekolah produksi yang memperkuat karakter produktif dan positif proletariat.” Mereka menghapuskan hak untuk melakukan pemogokan dan melembagakan arbitrase paksa. Semua pemogokan dan aksi-aksi lain yang ditujukan untuk membela kepentingan-kepentingan kaum pekerja dihukum sebagai “avonturisme kiri.”

Mula-mula mereka tidak menyentuh perusahaan-perusahaan swasta para kapitalis. Hanya eks properti dari “kapital-birokratik” yang dinasionalisasi. Tapi dalam perusahaan-perusahaan ini kekuasaan ada di tangan komite kontrol, dengan manajer pabrik yang bertindak sebagai presiden, dan terdiri dari wakil-wakil para mantan pemilik, wakil-wakil superviser, dan wakil-wakil kaum pekerja. Kaum pekerja hanya mempunyai hak-hak konsultatif, direkturlah yang memegang kata akhir dalam semua keputusan.

Mao semula mempunyai perspektif tentang lima puluh atau seratus tahun kapitalisme. Ia menegaskan bahwa ia hanya akan mengekspropriasi “kapital-birokratik”. Tapi setelah mengambilalih kekuasaan, Mao dengan sangat segera menyadari bahwa kaum borjuasi Tiongkok yang membusuk dan korup tidak cakap memainkan peran progresif apapun. Maka, bersandar pada klas pekerja, ia mulai menasionalisasi bank-bank dan industri berskala-besar serta mengekspropriasi tuan-tuan tanah dan para kapitalis. Ini tidak begitu sulit. Sebagaimana ditandaskan Trotsky, untuk membunuh seekor harimau seseorang membutuhkan sepucuk senapan berburu, tapi untuk membunuh seekor kutu, sebilah kuku tangan sudah cukup.

Bayangan Borjuasi

Awalnya, ide Mao adalah untuk membentuk suatu pemerintahan koalisi dengan wakil-wakil kaum pekerja, tani, intelektual, borjuasi nasional, dan bahkan para tuan tanah progresif. Namun, ada sedikit persoalan. Kaum borjuasi telah melarikan diri ke Formosa (Taiwan) bersama Chiang Kai-shek. Berbicara secara formal, ini merupakan sebuah pemerintahan front popular. Tapi ada perbedaan yang fundamental antara pemerintahan ini dan front popular di Spanyol pada tahun 1936.

Satu-satunya angkatan bersenjata di Tiongkok adalah TRP, tentara tani yang dikontrol oleh kaum Stalinis Tiongkok. Lenin menjelaskan bahwa negara, dalam analisa terakhir, adalah badan-badan manusia bersenjata. Pada tahun 1949 PKT mengklaim keanggotaan 4,5 juta, yang 90% di antaranya kaum tani. Mao adalah Ketua Partai dan benar-benar memegang kendali kekuasaan di tangannya, meskipun pemerintahan secara formal dikepalai oleh tangan-kanannya, Zhou En-lai. Tentara, polisi, dan polisi rahasia semuanya ada di tangan mereka. Ini adalah cara lain untuk mengatakan: mereka memegang kekuasaan negara. Ini merupakan basis kekuasaan riil mereka, dan ini merupakan unsur yang menentukan dalam persamaan.

Dalam teori, pemerintahan Republik Rakyat Cina adalah suatu koalisi dari partai-partai yang berbeda. Tapi, dengan pengecualian PKT, partai-partai yang lain adalah sekte-sekte yang tidak penting, beberapa di antaranya malah hanya ada di atas kertas. Pada tanggal 1 Mei, Partai Komunis Tiongkok mengeluarkan seruan umum untuk membentuk sebuah front persatuan yang luas guna menghadapi kaum Nasionalis:

“Rakyat pekerja di seluruh negeri, bersatulah; bersekutulah dengan kaum intelegensia, borjuasi-liberal, semua partai dan kelompok demokratik, figur-figur di masyarakat dan unsur-unsur patriotik lainnya; berkonsolidasilah dan perluaslah front persatuan untuk melawan kekuatan-kekuatan imperialis, feodal, dan birokratik; bertempurlah bersama-sama untuk menghancurkan kaum reaksioner Kuomintang dan bangunlah sebuah Tiongkok yang baru. Semua partai dan kelompok demokratik, organisasi-organisasi rakyat, dan figur-figur di masyarakat, dengan cepat himpunlah sebuah Konferensi Konsultasi Politik, berdiskusilah dan laksanakanlah Majelis Perwakilan Rakyat untuk mendirikan sebuah Pemerintahan Koalisi Demokratik!”

Apa tanggapannya? Sekelompok kecil pelarian politik Tiongkok di Hongkong menerima tawaran itu. Telegram mereka kepada Mao Tse-tung pada 5 Mei secara muluk memproklamirkan: “Kami melalui surat ini mengekspresikan tanggapan dan dukungan kami terhadap seruan Anda, dan berharap bahwa dengan terrealisasinya ini maka akan terpenuhilah kebangkitan nasional kita.”

Telegaram itu ditandatangani oleh para pemimpin Komite Revolusioner Kuomintang (Kuomintang Revolutionary Committee, KMTRC), Liga Demokratik, Partai Demokratik Tani dan Pekerja (Democratic League, Peasants’ and Workers’ Democratic Party, PWDP), Masyarakat Keselamatan Nasional (National Salvation Society, NSS), Masyarakat Promosi Demokratik Tiongkok (China Democratic Promotion Society, CDPS), Perhimpunan Kamerad-kamerad San Min Chu I (San Min Chu I Comrades Association), Masyarakat Promosi Demokratik Kuomintang (Kuomintang Democratic Promotion Society, KMTDPS), dan Chih Kung Tang.

Doak Barnett berkomentar: “Sangat banyak dari orang-orang ini semula merupakan anggota-anggota terhormat dari Kuomintang, dan banyak yang menduduki posisi tinggi di dalamnya, tapi sekarang semuanya berpaling karena alasan-alasan pribadi atau alasan-alasan ideologis.” (A. Doak Barnett, China on the Eve of Communist takeover, hlm. 85-6.)

Maka, Partai Komunis Tiongkok yang perkasa itu membentuk suatu aliansi, tidak dengan borjuasi Tiongkok tapi hanya dengan bayangannya. “Partai-partai” ini hanyalah kelompok-kelompok sempalan di Hong Kong. Nama-nama para pemimpin kelompok-kelompok tersebut diangkat dari ketidakjelasan ke posisi tinggi dengan izin kaum Stalinis. Langkah ini mengakibatkan demam spekulasi. Bahkan ada satu desas-desus bahwa para pemimpin puncak KMTRC, Li Chi-shen dan Feng Yü-hsiang (sebelum kematiannya), akan menjadi ketua politik dan militer, dengan pemimpin Komunis Mao Tse-tung dan Chu Teh dalam posisi nomor dua!

Tentu saja desas-desus fantastis seperti itu tidak berdasarkan fakta. Mao telah merebut kekuasaan, untuk mengutip frasa-nya yang terkenal “melalui laras senjata”. Ia tidak bermaksud memberikan kekuasaan riil kepada borjuasi Tiongkok – dan terutama tidak kepada orang-orang yang tidak mewakili siapapun kecuali diri mereka sendiri.

“Pada saat itu, wakil-wakil dari kelompok-kelompok Hong Kong, bertemu dengan para Komunis di Harbin, membantu merencanakan Konferensi Konsultasi Politik-yang disponsori Komunis yang dijadwalkan untuk awal tahun yang akan datang – ‘barangkali di Peiping, bila situasi militer mengizinkan,’ Li Chi-shen berkata kepadaku baru-baru ini – untuk mempersiapkan sebuah ‘Majelis Perwakilan Rakyat untuk mendirikan sebuah Pemerintahan Koalisi Demokratik’. Yang paling terkemuka dari wakil-wakil ini adalah Jenderal Ts’ai T’ing-k’ai (dari KMTRC), Shen Chün-ju, Chang Po-chün (masing-masing pemimpin-pemimpin NSS dan PWDP, tapi keduanya mewakili Liga Demokratik di Harbin). ‘Figur-figur pro-Komunis dari banyak ragam, termasuk Madame Feng Yü-hsiang, telah berhimpun di Harbin selagi pertemuan-pertemuan ini berlangsung, dan wakil-wakil dari kelompok-kelompok Hong Kong lain sekarang sedang dalam perjalanan, barangkali dengan kapal laut melalui Korea Utara.” (A. Doak Barnett, China on the Eve of Communist takeover, hlm. 83-4.)

Situasi sesungguhnya diekspresikan dengan baik oleh A. Doak Barnett, yang adalah seorang jurnalis Amerika yang ada di Tiongkok pada waktu itu:

“Sebelum menggambarkan setiap kelompok yang sekarang beroperasi di Hong Kong ini, beberapa generalisasi dapat dibuat tentang mereka, karena mereka memiliki banyak kemiripan. Pertama-tama, tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar merupakan partai politik pada saat itu, kendati beberapa berkeinginan begitu. Mereka sekadar kelompok-kelompok politik kecil, masing-masing dengan beberapa ratus sampai beberapa ribu anggota. Tidak ada di antara mereka yang mempunyai pengikut massa atau sebuah organisasi politik yang kuat. Dan mereka tidak mempunyai tentara – suatu syarat kekuasaan politik di Tiongkok dalam dekade-dekade terakhir. Pendeknya, mereka sama sekali tidak memiliki kualifikasi untuk melakukan aksi mandiri dalam situasi politik kontemporer di Tiongkok yang keras. Berkenaan dengan kekuasaan yang nyata, mereka tidak dapat menunjukkannya.”

“Semua kelompok Hong Kong menyebut diri mereka sendiri ‘kaum liberal’, dan sering mereka dilabeli sekadar sebagai ‘kelompok-kelompok demokratik Tiongkok’. Tanpa ragu, beberapa di antara mereka dapat dengan tepat mengklaim sebagai kaum liberal (kendati kata itu sulit didefinisikan), tapi yang lainnya benar-benar adalah oportunis politik. Sejauh menyangkut beberapa pemimpin puncak mereka, sukar untuk menemukan perbedaan yang mendasar yang membedakan mereka dari para pemimpin Pemerintahan Sentral, kecuali bahwa sekarang mereka ada pada sisi pagar yang berseberangan dalam perang sipil.” (A. Doak Barnett, China on the Eve of Communist takeover, hlm. 85. Penekanan saya, AW.)

Negara Baru

Mao mengonsolidasikan sebuah negara baru, bukan sebagai ekspresi langsung dari klas pekerja, tapi dengan menyeimbangkan klas-klas, dan melalui negara inilah ia mengeksproriasi para tuan-tanah dan kaum kapitalis. Walaupun metodenya terdistorsi, berdirinya sebuah perekonomian terencana yang ternasionalisasi merupakan suatu langkah progresif dan sebuah langkah ke depan yang besar bagi Tiongkok. Tetapi, ini bukanlah sebuah revolusi proletarian dalam pengertian yang dipahami Marx dan Lenin. Kaum Stalinis Tiongkok, yang bertindak atas nama proletariat, melaksanakan tugas-tugas ekonomi mendasar dari revolusi sosialis, tapi kaum pekerja di Tiongkok telah menjadi pasif di sepanjang perang sipil dan tidak memainkan peran yang mandiri dalam seluruh proses.

Alhasil, Revolusi Tiongkok dilakukan dalam cara yang Bonapartis, dari atas, tanpa partisipasi dan kontrol demokratik para pekerja. Birokrasi mengembangkan sebuah kediktaturan satu partai yang totaliter, yang dimodel menurut Rusianya Stalin. Sehubungan dengan cara revolusi ini dilakukan, dan keberadaan sebuah rezim Stalinis yang perkasa yang berbatasan dengan Tiongkok, hasil ini sepenuhnya terprediksi.

Mao menggunakan tentara tani sebagai seekor kambing-penanduk untuk menghantam negara yang lama. Tetapi kaum tani adalah sebuah klas yang paling kurang cakap dalam mempelajari kesadaran sosialis. Tentu, dalam bangsa-bangsa kolonial dan semi-kolonial yang terbelakang, kaum tani harus memainkan suatu peran yang sangat penting – tapi peran itu hanya bisa merupakan suatu peran tambahan, yang tersubordinasi pada gerakan revolusioner kaum pekerja di kota-kota.

Kita harus ingat bahwa sampai dengan Revolusi Rusia bahkan Lenin pun menyangkali kemungkinan “kemenangan revolusi proletarian di sebuah negeri yang terbelakang”. Hanya Trotsky yang sebelumnya telah mencapai perspektif bahwa klas pekerja Rusia dapat merebut kekuasaan sebelum proletariat Eropa Barat. Pada tahun 1917 justru itulah yang terjadi. Partai Bolshevik, di bawah pimpinan Lenin dan Trotsky, memimpin para pekerja untuk berkuasa di Rusia, yang, seperti Tiongkok pada tahun 1949, merupakan negeri yang sangat-sangat terbelakang dan semi-feodal. Klas pekerja Rusia, yang merupakan minoritas kecil dalam masyarakat (mayoritasnya adalah kaum tani), menempatkan diri di pucuk masyarakat dan melakukan revolusi sosialis klasik pada Oktober 1917.

Di bawah pimpinan Lenin dan Trotsky, kaum proletariat segera melaksanakan tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik, dan kemudian bergerak mengekspropriasi para kapitalis dan mendirikan sebuah rezim demokrasi pekerja. Sebenarnya mungkin bagi Revolusi Tiongkok untuk berkembang pada garis yang sama dengan Revolusi Oktober di Rusia. Apa yang tidak ada ialah faktor subyektif: Partai Bolsheviknya Lenin dan Trotsky.

Rezim yang didirikan di Tiongkok merepresentasikan suatu penyimpangan dari norma klasik, tapi dalam kehidupan nyata, proses-proses tidaklah selalu sesuai dengan norma-norma yang ideal. Segala macam distorsi dan varian partikular dapat terjadi. Ted Grant adalah satu-satunya teoritikus Marxis yang menjelaskan peran Bonapartisme proletarian sebagai sebuah varian dari Teori Revolusi Permanen-nya Trotsky. Ketika perspektif Mao masihlah perspektif mengenai sebuah periode kapitalisme yang panjang, Ted menjelaskan ketidakterelakan kemenangan Mao dan berdirinya sebuah negara-pekerja yang cacat. Ia juga memprediksi bahwa birokrasi Tiongkok akan berkonflik dengan Moskow. (Baca Reply to David James, Musim Semi 1949).

Sebuah Langkah Raksasa ke Depan

Revolusi Tiongkok adalah sebuah langkah raksasa ke depan. Bila Revolusi ini gagal, tak pelak lagi negeri itu bakal ditransformasi menjadi sebuah negeri semi-koloni dari imperialisme AS di bawah kediktaturan Chiang Kai-shek. Justru, pada tahun 1949 rakyat Tiongkok untuk pertama kalinya mencapai pembebasan yang penuh dari kekuasaan asing. Revolusi Tiongkok adalah suatu pukulan terhadap imperialisme dalam skala dunia. Ia memberikan sebuah daya dorong yang sangat hebat kepada pemberontakan rakyat-rakyat kolonial yang diperbudak. Ini pada dirinya sendiri merupakan alasan yang cukup untuk menyambut dan mendukung Revolusi Tiongkok.

Tapi itu bukan segalanya. Revolusi Tiongkok berakhir dengan penggulingan kekuasaan para tuan-tanah dan kapitalisme. Penghapusan tuan-tanah membebaskan Tiongkok dari beban hubungan semi-feodal, dan pelikuidasian kepemilikan swasta atas industri dan pengimplementasian monopoli negara atas perdagangan luar negeri memberikan suatu daya dorong yang perkasa kepada perkembangan industri Tiongkok. Tapi, nasionalisasi alat-alat produksi belumlah merupakan sosialisme, kendati itu merupakan syarat awal untuk sosialisme.

Gerakan menuju sosialisme membutuhkan kontrol, panduan, dan partisipasi proletariat. Kekuasaan elit yang tak terkontrol tidak sesuai dengan sosialisme yang sejati. Ini akan menghasilkan segala macam kontradiksi baru. Kontrol birokratik berarti korupsi, nepotisme, kemubaziran, mismanajemen dan kekacauan, yang pada akhirnya merusak hasil-hasil dari perekonomian terencana yang ternasionalisasi. Pengalaman dari Rusia dan Tiongkok membuktikan ini.

Alasan yang sesungguhnya bagi varian-varian ganjil dan kecacatan dari revolusi di negeri-negeri eks-kolonial dalam suatu keseluruhan kurun waktu adalah karena penundaan revolusi sosialis di negeri-negeri kapitalis maju. Namun situasi itu sedang berubah dengan cepat. Semua kondisi objektif untuk sebuah revolusi sosialis sekarang sudah matang dalam skala dunia. Hanya kelemahan dari kekuatan-kekuatan Marxisme sejati berarti bahwa proses itu akan berkepanjangan.

Tanpa Revolusi Tiongkok 1949, Tiongkok tidak akan mampu membuat kemajuan luar biasa sebagaimana yang telah dicapainya. Kaum pekerja dunia dapat menunjuk pada prestasi-prestasi kolosal yang dibuat Tiongkok setelah revolusi sebagai bukti dari potensi sebuah perekonomian yang terencana secara nasional. Sekarang ini, telah menjadi mode untuk mencela nasionalisasi dan perekonomian terencana. Tapi argumen-argumen tentang superioritas “perekonomian pasar” telah terekspos sebagai sesuatu yang sama sekali palsu bila kita melihat krisis ekonomi sekarang ini, sebuah krisis kapitalisme dunia yang paling dalam sejak 1929.

Prestasi-prestasi dari perekonomian yang terencana secara nasional adalah basis dari kemunculan Tiongkok sebagai sebuah bangsa terindustrialiasi yang perkasa. Cukuplah membandingkan Tiongkok dengan India untuk melihat perbedaannya. Keduanya beranjak dari level yang serupa pada akhir 1940-an, tapi Tiongkok berkembang dengan tingkat kecepatan yang jauh lebih tinggi.

Namun, 60 tahun setelah penggulingan kapitalisme dan feodalisme di Tiongkok, lapisan penguasa telah menempuh jalan kembali ke kapitalisme. Kemungkinan ini implisit dalam suatu situasi di mana birokrasi telah menaruh dirinya di atas masyarakat. Beranjak mula-mula sebagai langkah-langkah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi di dalam perekonomian terencana, birokrasi telah mengadopsi metode-metode kapitalis. Tapi, alih-alih pertumbuhan, imposisi “perekonomian pasar” di Tiongkok tidak melayani kepentingan-kepentingan kaum pekerja dan tani Tiongkok. Ia sedang menciptakan kontradiksi-kontradiksi yang baru dan sangat buruk baik di perkotaan maupun di pedesaan, yang, pada titik tertentu, harus bermuara pada kebangkitan revolusioner.

Berdasarkan pengalaman mereka, kaum pekerja, tani, mahasiswa, dan intelegensia Tiongkok akan menemukan tradisi-tradisi revolusioner agung masa lalu. Generasi baru akan memeluk ide-ide Marx, Engels, Lenin, Trotsky, dan Chen Duxiu, pendiri Komunisme Tiongkok dan ahli warisnya yang sejati. Napoleon pernah berkata tentang Tiongkok: “Tatkala raksasa ini bangkit, dunia akan gemetar.” Kita menggemakan kata-kata ini, dengan sebuah perbaikan: sang raksasa yang ditakdirkan untuk mengguncangkan dunia tidak lain adalah kaum proletariat Tiongkok yang perkasa. Kita memandang ke depan dengan tak sabar pada saat kebangkitan itu.

Oleh: Alan Woods

Diterjemahkan oleh Pandu Jakasurya dari “The Chinese Revolution of 1949", Alan Woods, 1 Oktober 2009
Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Revolusi Tiongkok 1949"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments