Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: , ,
Selama Perang Dunia II, AS membagi kekuatan daratnya untuk menghadapi dua front pertempuran yaitu di Eropa dan Pasifik. Para Petinggi Militer di Washington memutuskan untuk menggelar kekuatan AS di Front Eropa dan Marinir berkonsentrasi di Pasifik.

Adu kekuatan di Pasifik dalam Perang Dunia II bukanlah hanya sejak Pearl Harbor dibom oleh Jepang, Desember 1941. Jauh sebelum itu, AS dan Jepang telah menyiapkan rencana dan siasat masing-masing, apabila bisul per­musuhan mereka pecah menjadi peperangan. Begitu Perang Dunia I berakhir, para perancang strategi kemiliteran di Washington, khususnya dari kalangan Angkatan Laut (AL) AS, telah membuat telaah dasar antisipasi perang dengan Jepang. Rancangan Perang bersandi “Orange” dari AL ini, didasari asumsi bahwa Jepang akan menyaingi dan menantang armada AS di Pasifik, dengan meman­faatkan Kepulauan Mikronesia sebagai pangkalan lautnya.

Rancangan “Orange” terlahir karena dengan berakhirnya Perang Dunia I, maka Jepang yang berada di pihak Sekutu, kebagian rezeki dengan mendapatkan gugusan Kepulauan Mikronesia di Pasifik Tengah, di utara garis khatulistiwa, yang sebe­lumnya dikuasai Jerman. Gugusan ini terdiri dari Kepulauan Marshall, Mariana, dan Karolina (Carolines), yang menguasai rute dari AS ke China dan Filipina. Keadaan ini langsung mengubah peta perimbangan kekuatan di Pasifik. Jepang yang telah menunjukkan ambisinya sebagai kekuatan dunia, tiba-tiba saja sudah hadir di Pasifik Tengah yang strategis. Penguasaan Jepang atas gugusan kepulauan tersebut dapat menjadi ancaman terhadap posisi/pos AS di Guam, Midway, dan Wake.

Perjanjian Washington tahun 1922 yang membatasi tonase kekuatan laut AS dan Inggris masing-masing 500.000 ton dan Jepang 300.000 ton, dilengkapi dengan ketentuan bahwa semua pihak dilarang membangun perbentengan permanen untuk pangkalan angkatan laut mereka di Pasifik bagian barat. Bagi AS ini berarti tidak boleh menjadikan Filipina atau Guam sebagai pang­kalannya yang besar, dan untuk AL AS hal ini merupakan pukulan besar sekali. Mereka hanya bisa berharap Jepang pun tidak akan mengembangkan Mikronesia un­tuk mendukung kekuatan lautnya karena itu tidaklah menghe­rankan apabila para perancang pertahanan AS, baik dari AD maupun AL, bergabung untuk menyusun rancangan kedaruratan yang isi pokoknya jika sampai pecah permusuhan, maka armada AS harus mampu menembus Pasifik bagian tengah terlebih dulu sebelum dapat menolong Filipina atau pun memblokade Jepang. Kampanye militer ini menuntut kekuatan sangat besar agar mampu merebut dan menguasai basis-basis Jepang, sekaligus mem­pertahankan pangkalan depan yang dibangun untuk mendukung operasi armada. Untuk itulah kekuatan Marinir selalu harus disiagakan untuk mendukung Rancangan Perang “Orange” dari AL.

Keelson Made

Suatu pasukan Marinir yang terdiri dari enam hingga delapan ribu personel disiapkan sebagai kekuatan ekspedisioner Pantai Barat. Mereka dalam tempo 48 jam harus sudah dapat diberangkatkan untuk kampanye terhadap Jepang di Kepulauan Mariana dan Karolina. Di Pantai Timur kekua­tan Marinir serupa juga disiapkan untuk keadaan genting di Atlantik dan Karibia. Namun Pasifiklah yang memperoleh prioritas utama.

Korps Marinir AS sendiri terus melakukan pembenahan dan peningkatan kemampuan, baik menyangkut konsep peperangan amfibi, latihan, persenjataan yang lebih sesuai, dan berbagai pendukung lainnya. Salah satu konsepnya yang terpenting adalah penolakan terhadap pendapat bahwa operasi amfibi merupakan taktik peperangan yang tak mung­kin dijalankan, atau setidaknya hanya akan berujung pada mimpi buruk, a tactical nightmare, se­bagaimana terbukti dari gagalnya kampanye pendaratan Sekutu (Inggris-Australia) di Galipoli tahun 1915 yang dipertahankan Turki dengan bantuan penasihat kiriman Jerman.

Marinir AS pada tahun 1921 menegaskan, kampanye Galipoli gagal karena tidak disertai doktrin maupun perencanaan yang benar untuk suatu operasi pendaratan terhadap pantai yang dipertahan­kan musuh. Mereka mengakui, dalam operasi amfibi, maka besarnya kekuatan masing-masing pihak dan doktrin taktis merupa­kan dasar dinamika keseimbangan antara pihak penyerang dengan yang bertahan. Namun bukanlah suatu kepastian bahwa keuntungan absolut mesti berada di pihak yang mempertahankan. Marinir yakin sekali bahwa serbuan amfibi (amphibious assaults) sangatlah dimungkinkan, termasuk dengan dukungan artileri dan kekuatan udara.

Dua perwira terkemukanya, Kolonel Robert H. Dunlap dan Mayor Alfred A. Cunningham yang dikenal sebagai bapak pener­bangan Marinir AS, mendesak pimpinan mereka agar meng­gariskan bahwa tugas utama Marinir adalah mempertahankan basis mereka, sekaligus merebut basis musuh sebagai bagian dari kampanye kekuatan laut di bawah kendali AL. Desakan mereka akhirnya diterima resmi tahun 1920, tatkala Dewan Bersama AD dan AL menyetujui misi Marinir tersebut, yaitu sebagai an advanced base force.

Serbuan Amfibi

Tahun 1920, Korps Marinir mendapat komandan baru, John A. Lejeune, yang dengan cepat melihat pentingnya peranan dan kemampuan korpsnya dalam serbuan amfibi. Ia berusaha keras meyakinkan semua pihak yang masih meragukan fungsi dan pera­nan Marinir, mulai dari Presiden, Kongres, AL, publik, serta para perwira Marinir sendiri yang ber­sikap konservatif. Lejeune tahun 1922 mendesak Kongres untuk meningkatkan kekuatan korpsnya, dari 16.000 personel menjadi lebih 20.000. Ia juga mengenalkan program reformasi pendidikan bagi seluruh anggota Marinir, baik menyangkut pendidikan dasar maupun kemiliteran.

Gelombang Marinir pertama menghantam pantai Saipan saat invasi marianas. Mereka berlindung di balik gundukan pasir, sementara menunggu tiga gelombang berikut berupa 700 Amtrac yang mendaratkan 5.000 Marinir dalam 20 menit pertama.
Selanjutnya ia membentuk Divisi Operasi dan Latihan, yang segera menjadi jantung Marinir dalam upaya memenuhi kemam­puan untuk melaksanakan seluruh fungsinya dalam masa perang. Se­cara kreatif ia juga meningkatkan citra korps dalam masyarakat, baik melalui publikasi maupun upaya hubungan kemasyarakatan lain­nya. Sekalipun Lejeune tidak meninggalkan misi tradisional Marinir, termasuk bertempur bersama AD di daratan. Namun ia menekankan bahwa misi utama masa perangnya adalah “menyertai Armada (AL) untuk beroperasi di darat dalam upaya mendukung Armada”.

Apa yang dikembangkannya bukanlah sekadar retorika, karena terbukti betapa tugas utama ‘Marinir semakin terarah pada misi serbuan amfibi. Dua perwira dekatnya, Mayor Holland M. Smith dan Kolonel Ben H. Fuller mengawal agar Lejeune selalu konsisten mengarahkan program operasi dan latihannya, sehingga Marinir siap untuk kampanye kekuatan laut, naval campaign, di kawasan Pasifik bagian tengah dan barat. Hal ini sesuai dengan Rancangan Perang “Orange” yang terus dirinci dan diperbarui oleh perencana strategi AL.

Untuk mendukung usahanya, Lejeune bahkan menugaskan perwiranya yang brilian, Earl H. Ellis untuk meneliti secara khusus masalah apa saja yang mungkin timbul dalam perang dengan Jepang. Ellis memprediksi bahwa perang di Pasifik akan ditentukan oleh pertahanan dan perebutan basis atau pangkalan. Ia melihat basis-basis yang memang diper­tahankan oleh musuh, akan sulit untuk direbut. Karena itu Korps Marinir harus siap mengatasi perlawanan terhadap pendaratan, serta menyerang posisi-posisi yang sulit…dengan kecepatan paling tinggi, with the greatest rapidity.”

Apa yang dihasilkan Ellis tahun 1921 dalam Advanced Base Force Operations in Micronesia itu, ternyata merupakan pan­dangan yang `profetis’ terhadap berbagai masalah yang muncul dalam penyerbuan terhadap Kepulauan Marshall dan Karolina di kemudian hari. Menyamar sebagai seorang pengusaha AS, ia tahun itu datang ke Marshall dan Karolina, dengan dalih bisnis. Na­mun sesungguhnya ia mendalami bagaimana Jepang mengembang­kan dan memperkuat kepulauan Pasifik Tengah tersebut. Namun Ellis dalam bulan Mei 1923 hilang secara misterius di gugusan Pulau Palau. Kematiannya membuat ia menjadi martir di mata Marinir masa Perang Dunia II, dan hasil studinya pun bernilai kepahlawanan dan ‘profetis’. John Lejeune memanfaatkan pandangan Ellis sebagai panduan Marinir dalam merencanakan perangnya, latihan di lapangan, pengembangan peralatan, dan pendidikan para perwiranya.

Latihan Pendaratan Amfibi

Meskipun Lejeune sudah menggariskan peperangan amfibi menjadi ciri utama Marinir, tetapi pengembangan ke arah itu berja­lan lambat. Latihan pendaratan yang sepenuhnya, baru dijalankan bersama dengan AL tahun 1924 dan 1925, guna menguji doktrin baru perang amfibi. Banyak kekeliruan timbul dalam latihan tersebut. Mulai dari kurangnya bombardemen laut, kacaunya suplai logistik, perahu pendarat yang tak lagi sesuai untuk pasukan maupun peralatan, hingga masalah ketepatan waktu yang tidak pernah dapat dicapai. Hasil latihan di Karibia ini kelak memaksa Marinir selama belasan tahun ke depan disibukkan dengan usaha pening­katan dini dan kinerjanya.

Tahun 1925 latihan besar diadakan di Hawaii. Pasukan pen­darat Marinir berhadapan dengan pasukan AD yang memperta­hankan Pulau Oahu. Hasilnya memperkuat tuntutan selain diperlukannya perahu pendarat yang lebih tepat, juga cara menu­runkan pasukan harus diubah. Ta­hun 1926 dilakukan latihan lebih kecil memakai perahu pendarat baru, namun ternyata perahu tidak dapat ditarik kembali dari pantai. Setelah itu latihan amfibi baru diadakan lagi tahun 1934 selama tiga bulan di Puerto Rico, dengan hasil sedikit lebih baik dibandingkan latihan 1920-an.

Sejak itu Marinir terus me­ningkatkan kemampuan dalam operasi pendaratan amfibi, dengan rangkaian latihan tahunan yang dinamakan Fleet Landing Exercise (FLEX) Hasilnya setiap kali menunjukkan peningkatan kemampuan maupun persenjataan dan peralatan. Korps merasakan paling berat adalah menemukan perahu yang sesuai dengan kebutuhan pendaratan. Berbagai rancangan diuji cobakan, tetapi hasilnya tidak juga memuaskan. Sebagai akibatnya Dewan Perleng­kapan Korps Marinir di Quan­tico terus melaksanakan uji coba hingga pecah perang di Pasifik 1941.

Dari berbagai jenis perahu, maka yang dianggap paling memberi harapan adalah perahu pendarat rancangan seorang sipil, Andrew Higgins dari New Orleans. Ia semula membuat perahu khusus untuk perairan paya-paya (bayou waters) yang banyak di sekitar daerah tinggal­nya. Higgins yakin perahu baru rancangannya yang dinamakan Eureka merupakan jawaban untuk perahu penyerbuan amfibi, antara lain karena lunasnya yang tidak dalam, berlantai lebar, pintu depan perahu yang rata, serta baling­-balingnya yang terlindung. Para peninjau AL dan Marinir terkesan dalam demo Eureka tahun 1938, dan Higgins diberi dana untuk menyempurnakan perahunya, khususnya pintu depan perahu agar lebih sesuai untuk debarkasi pasukan cepat. Sebagai acuan adalah rancangan kapal pendarat Jepang yang diteliti oleh Marinir tahun 1937.

Hasil dan modifikasi Eureka adalah Landing Craft Vehicle Personnel (LCVP), yang baru diuji tahun 1941 menjelang perang pecah, dan yang untuk masa 30 tahun ke depannya dipakai untuk mendaratkan Marinir di banyak pantai di dunia. Dari rancangan ini, Higgins diminta untuk mengembangkan kapal pendarat yang lebih besar, mampu mendaratkan tank, kendaraan, dan meriam hingga di pantai. Per­mintaan ini dikarenakan Marinir semakin yakin, pendaratan pasu­kan harus segera didukung tank guna melumpuhkan pertahanan musuh di pantai. Tetapi karena Marinir gagal merancang tank sendiri, maka mereka memakai tank AD, termasuk tank medium Sherman, 30 ton. Kapal pendarat yang mampu mendaratkan tank inilah yang kemudian dikenal sebagai LCM atau Landing Craft Mechanized, yang acap pula diju­luki “Mike”.

Menghadapi pantai yang dipertahankan musuh, maka Marinir juga menghendaki agar dari awal pendaratan, sudah ada sejenis tank yang mengangkut dan mendaratkan pasukan di pantai, sebagai partner dari LCVP. Tank berkemampuan amfibi akhirnya ditemukan ketika Mabes Marinir mendengar adanya traktor amfibi yang dipakai di rawa-rawa Ever­glades di Florida. Traktor buatan Donald Roebling yang dinamakan `Alligator’ tersebut ternyata dianggap rumit dan kurang dayanya buat keperluan militer. Karena itu para perancang dari Marinir dan Roebling tahun 1938 mulai melakukan modifikasi dan uji coba tanpa putus asa. Pimpinan AL maupun Korps Marinir amat antusias terhadap program tank amfibi ini, sehingga tak jarang mereka berbasah-ba­sah ikut dalam berbagai uji coba awal. Mereka begitu optimis, sehingga pengembangan tank amfibi pengangkut personel ini tidak pernah ada kendurnya. Dengan menggunakan rantai bersiripnya sebagai pengayuh di air serta untuk memanjat rintangan karang, Alligator ini akhirnya pada tahun 1941 diadopsi sebagai tank pengangkut dan pendarat pasukan sekaligus. Tank ini disebut Landing Vehicle Tracked (LVT) atau lebih sering disebut Amtrac, singkatan dari Amphibian Tractor. Dengan peralatan baru ini, maka ciri Korps Marinir sebagai pasukan penggem­pur amfibi semakin kuat diakui.

Persaingan Dengan Angkatan Darat

Sekalipun akhirnya Marinir memiliki postur serta misi utama yang jelas, namun proses yang ditempuhnya tidaklah selalu gampang. Karena dari awal hubungannya dengan Angka­tan Darat (US Army) tidaklah mendukung. Seusai Perang Dunia I, banyak kalangan petinggi AD menyatakan ketidaksukaan mereka terhadap Marinir. Di Front Eropa, Marinir ikut bertempur dan membuktikan kemampuan dan ketangguhan mereka, termasuk perebutan Bel­leau Wood. Namun di situlah fak­tor persaingan antara AD dengan Marinir muncul, mengakibatkan hubungan kurang harmonis yang berlarut-larut. Tetapi dalam Perang Dunia I inilah Marinir berhasil mengang­kat harkat diri dan kehormatan militernya, sekaligus pengakuan dari masyarakat.

Sehabis perang, keserasian dengan AD ternyata tak cepat pulih kembali. Kalangan petinggi AD menyangka Marinir akan berusaha dengan cara apa pun untuk mengecilkan reputasi tentara reguler AD. Di Washing­ton, Departemen Perang terasa lebih memihak pada AD. Bahkan sementara jenderal AD tetap meyakini bahwa Marinir (USMC) yang mereka ejek sebagai Useless Sons-of-bitches Made Comfortable, haruslah digabungkan dengan AD. Bahkan kemungkinan peng­gabungan itu pernah disampaikan dalam rancangan yang diajukan kepada Jenderal John J. Pershing, Panglima Pasukan Ekspedisioner AS di Eropa dalam Perang Dunia I.

Rivalitas antara AD dengan AL semakin kentara, misalnya tatkala Presiden Herbert Hoover meminta AD dan AL untuk mengurangi anggaran sehubungan ambruknya ekonomi waktu itu. Masing-ma­sing ternyata saling berupaya keras menjaga keutuhan jumlah perso­nel maupun pengadaan persen­jataannya. Termasuk usaha AD meminta agar penerbangan Korps Marinir dialihkan kepada Korps Udara AD (USAF belum ada), dan agar Marinir yang memegang seluruh tugas pertahanan pang­kalan dengan melepaskan tugas ekspedisionernya.

Karena adanya tekanan dari AD, Dewan AL tahun 1931 melakukan pemeriksaan terhadap Marinir secara teliti sekali, tidak lagi seperti biasanya. Pimpinan AL memang membela Marinir yang memperoleh tekanan dari AD. Tetapi AL meminta Korps juga mampu memberi pembenaran atau justifikasi terhadap berbagai tugas atau misinya, serta dapat mempertajam pilihan prioritas­nya. Dalam kaitan itulah Marinir menegaskan, tugas utamanya di masa perang adalah merebut dan mempertahankan bukan hanya pangkalan laut, namun juga pangkalan udara yang dapat mengancam Armada AL. Korps waktu itu masih berpendapat tidak memerlukan senjata seperti artileri berat untuk kampanye militernya di darat, karena serangan Marinir dimulai dan berakhir dalam batas jarak tembak meriam kapal perang.

Mobilisasi Korps Marinir

Sesudah Jerman Nazi menyulut Perang Dunia II, Presiden Franklin D. Roo­sevelt mengumumkan keadaan darurat terbatas, dan mengizinkan Marinir untuk menambah kekuatannya menjadi 25.000 personel. Jumlah ini adalah kekuatan resminya untuk masa perang.

Baik Presiden maupun Koman­dan Marinir Jenderal Thomas Holcomb, tidaklah membayang­kan bahwa izin tersebut ternyata menjadi langkah pertama ke arah peningkatan kekuatan Marinir hingga hampir 500.000 orang, serta dilakukannya perang amfibi luar biasa guna merebut kembali Pasifik dari kekuasaan Jepang. Apa yang dijalankannya waktu itu hanyalah pembentukan empat ba­talion pertahanan, guna menyiap­kan pertahanan anti-pesawat dan anti-kapal di pulau-pulau terdepan AS di Pasifik, yaitu Wake, Midway, Johnston, dan Palmyra.

Tahun 1940, AL mulai melakukan mobilisasi. Meskipun waktu itu AL belum menjadikan peperangan amfibi sebagai bagian dari prioritasnya, namun AL mulai meningkatkan anggaran bagi pengadaan 1.400 perahu pendarat baru, sementara sekitar 500 Am­trac juga sedang dalam pembuatan. Selain itu AL membentuk suatu kekuatan amfibi, yang terdiri dari 30 kapal transport besar dan 11 kapal suplai amfibi. Kekuatan ini mampu mengang­kut tiga divisi pasukan amfibi. Sekalipun kekuatan ini belum memenuhi kebutuhan apabila ada perang, setidaknya adanya kekuatan ini pada tahun 1941 makin mendorong latihan amfibi, serta secara riil menyiapkan ka­pabilitas untuk kampanye amfibi walau masih terbatas.

Dalam mobilisasi kekuatan ini, AL juga meminta otorisasi untuk mengoperasikan 15.000 pesawat sesuai perencanaan tahun 1940. Dan jumlah ini, sepersepuluhnya adalah jatah Marinir, padahal mereka akhir 1940 baru memi­liki 425 pilot dan 3.000 personel lainnya untuk sayap kekuatan udaranya. Karena mereka yang direkrut untuk pilot memerlukan kemampuan khusus, termasuk dari para perwira Marinir yang sudah ada, maka berarti Marinir akan semakin kekurangan perwira terampil.

Di lingkungan Marinir sendiri timbul kehendak kuat membentuk satuan-satuan elite berdasar penga­laman dari perang di Eropa sejak 1939, terutama untuk mengan­tisipasi pecahnya konflik dengan Jepang. Presiden Roosevelt sendiri juga mendorong adanya satuan khusus tersebut karena ia terkesan sekali dengan kinerja pasukan komando Inggris terhadap Jerman Nazi. Karena itu Komandan Korps Thomas Holcomb, meminta agar jumlah Marinir ditingkatkan lagi menjadi 50.000 personel. Namun sewaktu jumlah ini direalisasikan, ternyata masih kurang. Karena untuk dapat membentuk tiga divisi Marinir, setidaknya memerlukan 150.000 personel.


AD di Atlantik, Marinir di Pasifik

Tahun 1941, AS terus melaku­kan latihan amfibi yang intensif, tetapi juga kian rumit. Karena Inggris dan AS mengkhawatirkan Jerman akan melakukan terobosan untuk menguasai pulau-pulau pangkalan Sekutu di Atlantik, dari Eslandia, Azores, hingga Karibia, maka diusulkan pembentukan korps amfibi pada Armada At­lantik. Korps ini berupa kekuatan gabungan antara Marinir dan AD. Namun dalam prosesnya terjadi berbagai hambatan. Misalnya Marinir menganggap kekuatan ini sebagai organisasi taktis yang setiap saat dapat diterjunkan dalam perang. Sedangkan AD menganggapnya hanya sekadar sebagai organisasi pelatihan. Sikap ini mungkin merupakan sisa dari ketidakserasian hubungan antara US Army dengan USMC sejak Perang Dunia I dulu.

Karena itu Departemen Peperangan di Washington akhirnya memutuskan agar AD sejauh mungkin tidak berurusan lagi dengan kekuatan amfibi dari AL dan Marinir. Departemen lalu menentukan bahwa untuk operasi pendaratan amfibi di Atlantik, semuanya diserahkan kepada AD. Sedangkan Korps Marinir untuk seluruh operasi amfibi di Pasifik. Keputusan ini terpaksa dilakukan karena dari pengalaman latihan bersama 1941, maka penggunaan kekuatan amfibi gabungan AD dan Marinir dalam kerjasama dengan AL, hanyalah akan berujung pada mimpi buruk keorganisasian. Ke­luhan utama AD adalah, AL tidak mampu menyediakan kapal mau­pun perahu pendarat bagi operasi pendaratan dengan kekuatan satu divisi. Selain itu teknik pendaratan AL dinilai terlalu takut-takut, too timid. Sehingga AD memutuskan untuk latihan pendaratan amfibi sendiri, terrmasuk membentuk brigade zeni amfibi dan satuan-satuan khusus untuk mengawaki perahu pendaratnya.

Selain itu, sebetulnya ada alasan lain yakni ketidaksenangan AD apabila pasukannya ditempatkan di bawah pimpinan seorang Marinir atau gabungan Marinir AL. Misalnya, mereka enggan sekali karena satu divisinya dipimpin Mayjen (Mar) Holland M. Smith, yang walau ia sendiri lebih tidak menyukai AL, tetapi ia dikenal tak sabaran terhadap apa yang dianggapnya sebagai ketidake­fisienan AD. Karena itu dengan alasan operasi pendaratan amfibi Atlantik merupakan pembuka bagi pasukan AD untuk menguasai kembali Eropa, maka AD tahun 1942 mengusulkan agar semua unit Pasukan Marinir Armada (FMF) seluruhnya dialihkan ke Pasifik.

Rekomendasi ini tentu saja malah disambut gembira oleh Panglima Operasi AL, Laksamana Ernest J. King, yang memper­ingatkan bahwa perang meng­hadapi Jepang akan merupakan kampanye yang didommasi AL. Karena itu para perancang strategi AS menetapkan Marinir akan mendarat di Iwo Jima, tetapi tidak akan pernah di Normandia.

Gesekan antara kedua Korps juga diwarnai dengan keputusan Presiden Roosevelt tahun 1941, agar FMF yang dapat ditugaskan ke mana saja, memperoleh pri­oritas dalam distribusi persenjataan yang masih langka. Ini pun menimbulkan ketidaksukaan AD. Sampai Kastaf AD Jenderal George C. Marshall menyatakan, “Per­tempuran saya yang utama adalah melengkapi Marinir. Karena saya tak tabu, setelah mereka dan Ing­gris rampung dilengkapi (dengan senjata langka), apakah masih ada sisanya buat kami.”

Karena itu tidaklah meng­herankan apabila pemain utama perebutan pulau-pulau Pasifik dari tangan Jepang kemudian adalah Marinir. Walau ada pasukan AD yang dilibatkan, seperti pada invasi terhadap Pulau Makin di gugusan Kepulauan Gilbert. Tetapi di situ pula terjadi letupan antara kedua pihak, tatkala Jenderal (Mar) Hol­land Smith mendamprat Jenderal (AD) Ralph Smith, Panglima Divisi Ke-27 AD, yang dianggap terlalu lamban dalam merebut Makin. Ternyata penyebab utamanya me­mang perbedaan taktik bertempur antara Marinir dengan AD. Jika Marinir maju terus tanpa meng­hitung korban, maka doktrin AD adalah maju secara metodis dan meminimalkan korban di pihaknya sejauh mungkin. Kalau sudah begitu, apa mau dikata.
Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

1 Response to Mengapa Angkatan Darat di Atlantik, Marinir di Pasifik?

Anonim
1 Mei 2013 pukul 13.54

Numpang nyimk dulu.
nice info

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments