Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Afrika
,
Perang di Asia
Paragraf Introduksi: Mengatakan bahwa sebuah revolusi telah dimulai bukan berarti bahwa revolusi tersebut telah selesai, apalagi mengatakan bahwa kemenangan terjamin. Ini adalah sebuah pertarungan kekuatan-kekuatan yang hidup. Revolusi bukanlah drama satu babak. Ia merupakan sebuah proses yang rumit dengan berbagai arus pasang surut. Penggulingan Mubarak, Ben Ali dan Gannouchi menandai berakhirnya babak pertama, tetapi Revolusi belum sepenuhnya berhasil menggulingkan rezim lama, sementara rejim lama ini belum berhasil mengambil kembali kontrol.
Di Rusia pada tahun 1917 Revolusi berlangsung selama sembilan bulan, dari bulan Februari sampai Oktober, ketika kaum buruh akhirnya mengambil alih kekuasaan di bawah kepemimpinan Partai Bolshevik. Namun, Revolusi Rusia bukanlah sebuah garis lurus dan berproses melalui segala macam perubahan-perubahan dan kontradiksi-kontradiksi. Terdapat periode reaksi terbuka di bulan Juli dan Agustus. Lenin harus mengungsi ke Finlandia dan Partai Bolshevik nyaris bubar. Tetapi ini hanya menyiapkan jalan bagi kemajuan baru dalam revolusi tersebut, yang berpuncak pada insureksi bulan Oktober.
Di Spanyol kita melihat sebuah proses yang serupa, dimulai dengan jatuhnya monarki pada tahun 1931, diikuti oleh kebangkitan besar dari perjuangan kelas. Tetapi kekalahan Komune Asturian pada bulan Oktober 1934 menyebabkan periode reaksi, Negro Biennio, atau dua tahun kegelapan pada tahun 1935-6. Tetapi ini terbukti hanya sebagai pendahuluan untuk sebuah gejolak baru Revolusi, dimulai dengan kemenangan Front Populer dalam pemilu tahun 1936, yang mendorong ke arah Perang Saudara dan berakhir dengan kekalahan dan fasisme.
Setelah jatuhnya Mubarak, Revolusi Mesir seperti sebuah karnival besar. Tetapi massa yang berjuang untuk hal-hal yang tidak dapat diberikan oleh pemerintahan borjuis. Seperti kaum pekerja Rusia pada bulan Februari 1917, kaum pekerja Mesir telah berhasil menumbangkan seorang tiran, tetapi mereka belum memenangkan tujuan utama mereka. Perjuangan yang sesungguhnya masih panjang. Apa yang telah diselesaikan dengan tumbangnya Mubarak? Apa yang dicapai dengan larinya Ben Ali ke Arab Saudi? Tidak ada sesuatu yang fundamental yang telah dipecahkan. Kaum pekerja berjuang untuk roti, pekerjaan dan rumah, bukan untuk berbagai macam sandiwara demokrasi borjuis formal di mana segala sesuatu berubah agar bisa tetap sama.
Melalui pengalaman yang menyakitkan massa sedang belajar beberapa pelajaran yang serius. Cepat atau lambat mereka akan menarik kesimpulan bahwa kelas pekerja harus mengambil kekuasaan. Akan terdapat proses pembelajaran yang panjang, proses diferensiasi internal. Ini sudah dimulai. Dalam komite-komite revolusioner, elemen-elemen yang lebih moderat yang memimpin gerakan pada awalnya, dan yang memiliki ilusi-ilusi pada angkatan bersenjata, sedang ditantang oleh lapisan baru dari kaum pekerja dan pemuda yang menentang kompromi. Mereka takut bahwa apa yang sudah mereka taklukkan dengan darah bisa diambil dari mereka dengan dalih. Kecurigaan ini cukup beralasan.
Dengan tumbangnya Mubarak Revolusi Mesir meraih kemenangan besarnya yang pertama. Tetapi tak satu pun masalah fundamental dari masyarakat Mesir telah dipecahkan. Harga terus meningkat, para gelandangan tidur di kuburan dan, menurut data statistik resmi, sekitar 10 persen dari angkatan kerja menganggur, meskipun angka yang sebenarnya jauh lebih tinggi.
Ada sebuah kemarahan membara terhadap ketimpangan dan korupsi yang merupakan ciri utama dari rezim lama. Miliaran dolar uang publik telah hilang. Jumlah yang dijarah oleh keluarga Mubarak saja diperkirakan mencapai antara $40 miliar dan $80 miliar. Hal ini telah menimbulkan kemarahan dan rasa jijik, di negara di mana 40 persen rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan.
Tidak mungkin untuk mengatakan dengan pasti apa yang akan terjadi. Namun, kita dapat mengatakan bahwa Revolusi akan berkepanjangan dan akan mengalami segala macam pasang surut. Pada saat ini, massa dimabukkan dengan ide demokrasi. Rasa euforia mempengaruhi bahkan elemen-elemen termaju dan revolusioner. Periode ilusi demokratis dan konstitusional ini merupakan fase tak terelakkan tetapi tidak akan berlangsung selamanya. Revolusi mengaduk-aduk masyarakat sampai ke bawah. Revolusi menyadarkan lapisan-lapisan baru, yang sebelumnya acuh dan “terbelakang” dalam kehidupan politik. Mereka menuntut hak-haknya. Ketika mereka mengatakan "thawra hatta'l nasr" (revolusi sampai menang), mereka serius.
Seluruh upaya untuk mengembalikan keseimbangan politik akan sia-sia karena krisis kapitalisme tidak mengijinkan solusi apapun untuk kebutuhan paling dasar dari penduduk. Akan ada serangkaian rejim-rejim borjuis yang tidak stabil. Kabinet-kabinet yang tidak stabil akan jatuh satu per satu. Ini menyajikan suatu bahaya. Ketika perjuangan kelas mencapai titik kebuntuan, Negara cenderung naik ke atas masyarakat dan memperoleh kemandirian yang relatif. Hasilnya adalah sebuah rezim militer yang tidak stabil, atau, untuk memberikan nama yang tepat, sebuah rezim Bonapartis. Kenyataan bahwa sekarang rejim seperti ini eksis adalah indikasi bahwa Revolusi yang dimulai pada tanggal 25 Januari belumlah selesai. Revolusi ini akan mengalami banyak tikungan-tikungan baru sebelum kesimpulan akhirnya dapat ditulis.
Kendati semua seruan untuk “persatuan nasional”, rakyat Mesir secara tajam sedang terpolarisasi. Revolusi masih memiliki cadangan dukungan cukup banyak dalam populasi. Mahasiswa sedang beragitasi di kampus. Kaum pekerja sedang melakukan pemogokan-pemogokan dan pendudukan pabrik-pabrik, mengusir para manajer yang dibenci dan para pemimpin serikat buruh yang korup. Pemogokan kaum pekerja minyak Mesir memenangkan semua tuntutan mereka, termasuk pengunduran diri menteri perminyakan, hanya dalam waktu tiga hari. Ini menunjukkan dimana letak kekuasaan yang sesungguhnya.
Rezim militer di Mesir tidak akan bisa mempertahankan dirinya dalam waktu yang lama. Segala upaya untuk memulihkan “ketertiban” (yaitu, tatatertib kaum kaya dan berkuasa) telah gagal. Militer telah berusaha untuk menghentikan pemogokan, tetapi pemogokan terus berlanjut. Jauh dari mereda, gerakan pekerja tengah meningkat. Apa yang bisa dilakukan para jenderal? Jika mereka tidak mampu menggunakan tank-tanknya untuk menghancurkan insureksi, apalagin menggunakannya untuk menghancurkan pemogokan di dalam apa yang seharusnya menjadi sebuah rezim demokratis.
Para jenderal akan harus menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil (yakni, pemerintahan borjuis). Ini akan menjadi kontrarevolusi dengan kedok demokratis. Tetapi tidaklah mudah bagi kontrarevolusi untuk merestorasi stabilitas. Bagi kaum pekerja, demokrasi bukanlah kata kosong. Jika tidak membawa kepada perbaikan dalam standar hidup, pekerjaan dan rumah, apa gunanya bertarung?
Jika semua ini terjadi sepuluh tahun yang lalu, mereka mungkin akan mampu mengkonsolidasikan semacam bentuk rezim demokratik borjuis. Boom ekonomi kapitalis dunia akan memberikannya sejumlah ruang untuk bermanuver. Tapi sekarang sedang terjadi krisis besar pada skala dunia. Ini merupakan alasan terjadinya gejolak revolusioner dan mengapa hal ini tidak mudah diakhiri. Sistem kapitalis tidak mampu memberikan apa pun kepada massa. Ia bahkan tidak bisa memberikan pekerjaan dan standar kehidupan yang layak di Amerika Serikat dan Eropa. Bagaimana mereka berharap bisa melakukannya di Mesir?
Aksi-aksi mogok kaum pekerja, menduduki pabrik-pabrik dan menendang keluar para manajer merupakan sesuatu yang luar biasa. Mereka berarti bahwa Revolusi sedang memasuki pabrik-pabrik dan tempat-tempat kerja. Mereka memaknai bahwa kaum pekerja Mesir sedang berproses dari perjuangan demokrasi di dalam masyarakat ke perjuangan demokrasi ekonomi di tempat kerja. Ini berarti bahwa kelas pekerja Mesir mulai berpartisipasi dalam Revolusi di bawah benderanya sendiri, berjuang untuk kebutuhan kelasnya sendiri. Ini adalah faktor yang menentukan bagi masa depan Revolusi.
Para pekerja memprotes tindakan korupsi dan gaji yang rendah. Mereka memberontak terhadap para direksi yang ditunjuk negara dan mendirikan komite revolusioner untuk menjalankan pabrik-pabrik dan tempat-tempat kerja. Itu merupakan garis yang benar untuk diambil.
Para pengamat borjuis telah menekankan bahwa pemogokan-pemogokan ini bersifat ekonomik. Tentu! Kelas pekerja sedang mengajukan tuntutan-tuntutannya secara langsung. Artinya, mereka melihat Revolusi sebagai alat perjuangan yang bukan sekedar untuk demokrasi formal, tetapi untuk upah yang lebih baik, untuk kondisi kerja yang lebih baik – untuk kehidupan yang lebih baik. Mereka berjuang untuk tuntutan kelas mereka sendiri. Dan perjuangan ini tidak bisa berhenti hanya karena Husni Mubarak tidak lagi duduk di Istana Presiden.
Untuk Demokrasi Kaum Pekerja!
Di Suez, sebuah negara lumpuh total selama empat atau lima hari. Seperti di Tunisia sebelumnya, komite-komite revolusioner dan pos-pos pemeriksaan bersenjata didirikan untuk menjaga rakyat. Fakta-fakta ini tentu saja menunjukkan soviet-soviet (yakni dewan-dewan pekerja) bukan dibentuk oleh kaum Marxis dengan sembarangan tetapi muncul secara spontan dalam setiap revolusi yang sejati.
Hal ini mengedepankan sebuah pertanyaan penting, yakni mengenai negara. Kekuasaan negara yang lama telah ditundukkan oleh Revolusi. Ini harus diganti dengan suatu kekuatan yang baru. Ada kekuatan di dalam masyarakat yang lebih kuat dibanding negara manapun. Kekuatan ini adalah rakyat revolusioner. Tetapi ini harus diorganisir. Di Mesir dan Tunisia terdapat elemen-elemen kekuasaan ganda dalam komite-komite revolusioner. Seluruh kota dan daerah diambil alih oleh komite-komite ini.
Di Tunisia, organisasi revolusioner rakyat bergerak lebih jauh daripada di Mesir. Badan-badan ini, dalam banyak kasus mengororganisir di sekitar struktur local dari serikat-serikat buruh UGTT, mengambil alih berjalannya seluruh aspek masyarakat di kota-kota besar dan kecil dan bahkan di seluruh daerah-daerah, setelah mengusir otoritas-otoritas lama dari rejim RCD. Mengenai semua desas-desus yang disebarkan oleh kelas penguasan mengenai “kekacauan” dan "tidak adanya keamanan”, faktanya adalah bahwa rakyat pekerja telah mengorganisir dirinya sendiri untuk menjamin ketertiban dan keamanan, tetapi ini adalah jenis ketertiban yang berbeda, suatu tatatertib revolusioner.
Di Mesir, setelah lumpuhnya kepolisian pada tanggal 28 Januari, rakyat bergerak untuk melindungi lingkungan mereka. Mereka mendirikan pos-pos pemeriksaan, dipersenjatai dengan pisau, pedang, parang dan tongkat untuk memeriksa mobil yang masuk dan keluar. Di beberapa daerah, komite-komite popular benar-benar mengambil alih jalannya kota, bahkan mengatur arus lalu lintas. Di sini kita memiliki embrio milisi rakyat – dari kekuatan negara alternatif.
Dan sebagaimana rakyat membentuk komite-komite untuk melindungi wilayahnya dari unsur-unsur kriminal ketika polisi menarik diri dari jalanan agar timbul kekacauan dan gangguan, sekarang guna mengorganisasi Revolusi dalam cara yang paling efektif, gagasan yang sama harus diambil dan digeneralisir. Dalam rangka mempertahankan dan memperluas revolusi, kita harus membentuk komite-komite pertahanan di mana-mana!
Komite-Komite Pertahanan Revolusi yang dipilih, yang telah ada di beberapa daerah, harus didirikan di setiap pabrik, jalan dan desa. Komite-komite revolusioner harus terhubung di tingkat lokal, regional dan nasional. Ini akan menjadi titik awal bagi pemerintahan demokratis buruh dan tani masa depan dan – sebuah alternatif nyata untuk rezim diktator busuk.
IMT menuntut:
- Pembersihan total dan demokratisasi tentara
- Membentuk komite-komite tentara dan komite-komite perwira rendah revolusioner
- Memecat para jenderal korup dan reaksioner
- Pembubaran segera seluruh badan represif
- Semua yang bersalah atas tindakan teror terhadap rakyat harus diadili dan dihukum
- Persenjatai rakyat umum
- Bentuk milisi rakyat
- Dirikan pemerintahan buruh dan tani!
Revolusi Tidak Mengenal Batas
Karakter internasional dari revolusi ini telah jelas sejak dari awal. Negara-negara Arab lainnya menghadapi masalah yang serupa dengan Tunisia dan Mesir: naiknya harga makanan, kondisi ekonomi yang memburuk tajam, pengangguran dan korupsi pejabat yang merajalela. Jutaan rakyat berjuang untuk hidup. Dan dalam masyarakat sebagaimana pada umumnya, kondisi yang sama menghasilkan hasil yang sama pula. Apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir bisa terjadi di banyak negara lain, dan tidak hanya di dunia Arab.
Kaum imperialis telah mencoba untuk menghibur diri dengan pikiran bahwa tidak ada efek domino. Tetapi domino-domino tersebut sudah mulai berjatuhan: Libya, Maroko, Sudan, Irak, Djibouti, Yaman, Bahrain dan Oman – semuanya sedang memasuki pusaran revolusioner. Seperti di Tunisia dan Mesir, orang-orang Aljazair, Yordania dan Yaman hidup dalam kemiskinan di bawah elit penguasa diktator yang hidup mewah dengan merampok bangsa.
Dalam kasus Irak, Revolusi terkait dengan perjuangan melawan imperialisme dan dominasi asing serta hak-hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Kurdi. Pada saat yang sama, salah satu karakteristik dari gerakan protes di Irak adalah bahwa hal tersebut telah memotong sektarianisme antara Syiah dan Sunni, antara Arab, Kurdi dan Turki, yang menjadi pijakan bagi dominasi dari para politisi reaksioner.
Di antara isu-isu utama yang diangkat oleh pengunjuk rasa adalah meningkatnya biaya hidup, yang sebagian disebabkan oleh ditariknya subsidi pemerintah untuk bensin dan gula – sebuah isu yang meledak di seluruh dunia Arab. Para pemimpin Yordania, Aljazair dan Libya mereduksi seluruh pajak untuk makanan impor atau menurunkan harga kebutuhan pokok dalam upaya untuk menghindari kerusuhan. Di Aljazair rezim telah membuat konsesi dalam upaya untuk mencegah ledakan yang akan lebih besar daripada pemberontakan di wilayah Berber pada tahun 2001.
Bahkan para monarki kaya-minyak Teluk khawatir. Kuwait telah mendistribusikan US$ 4600 kepada semua warga untuk menjaga ketenangan penduduk. Tapi langkah seperti itu paling-paling hanya bisa menunda pemberontakan revolusioner yang tak terelakkan.
Media Barat dengan tanpa rasa malu menggambarkan gerakan di Bahrain sebagai sebuah perjuangan sektarian agama antara mayoritas Syiah dan Sunni. Ini merupakan kebohongan. Rakyat Bahrain sedang berjuang melawan korupsi, untuk pemilihan umum yang bebas, melawan diskriminasi dan hak-hak untuk para imigran dan perempuan, untuk distribusi kekayaan yang adil dan berjuang melawan pengangguran. Di mana-mana kita melihat keberanian yang sama dari massa dalam menghadapi penembakan. Di Bahrain tentara terpaksa menarik diri dari Pearl Square. Sekali lagi, peran kelas pekerja sangat penting, karena ancaman pemogokan umum dari serikat-serikat buruh Bahrain memaksa rezim untuk membuat beberapa konsesi.
Di semua negara-negara Teluk terdapat eksploitasi buruh yang brutal, terutama terhadap buruh imigran. Di Arab Saudi saja terdapat 1,1 juta pekerja Pakistan. Situasi serupa berlaku di seluruh Teluk. Ada banyak pemogokan dan pemberontakan di masa lalu yang belum dilaporkan, seperti pemogokan 8.000 pekerja bangunan di Dubai.
Rezim Saudi sendiri, benteng reaksi di Timur Tengah, adalah seperti sebuah pressure-cooker (panci tekanan uap) tanpa katup pengaman. Dalam rezim seperti itu, ketika ledakan itu datang, maka tanpa peringatan akan terjadi dan dengan kekerasan yang ekstrim. Keluarga kerajaan Saudi sangat korup, bermoral rendah dan busuk. Kerajaan Saudi terpecah karena masalah suksesi takhta dan menumbuhkan kebencian serta ketidakpuasan dalam populasi. Ketika saat itu tiba, seluruh minyak yang ada di kerajaan tidak akan menyelamatkan mereka. Sangat signifikan bahwa sekarang ulama Wahabi berubah melawan mereka.
Revolusi Arab telah menghidupkan kembali gerakan revolusioner di Iran, di mana para perwira Revolutionary Guard mengatakan mereka tidak siap menembaki rakyat dan memperingatkan Basij untuk meninggalkan tongkat-tongkat mereka di rumah. Perpecahan dalam aparatus negara mengungkapkan krisis dalam rezim yang telah retak dari atas ke bawah.
Karena setiap kasus sedikit banyak berbeda, sulit untuk mengatakan apa jenis rezim yang akan muncul dalam setiap kasus. Tendensi-tendensi politik dan rezim-rezim macam apa yang akan muncul bergantung pada banyak faktor dan akan berbeda dari satu negara ke negara lain. Proses di Tunisia dan Mesir hampir identik. Tapi di Libya situasinya berbeda. Rezim Libya lebih memiliki basis, khususnya di sekitar Tripoli. Pemberontakan sebagian besar terbatas pada bagian timur dan Revolusi telah berubah menjadi perang sipil, hasilnya masih belum pasti.
Gaddafi tidak peduli jika seluruh negeri terkubur bersamanya. Setelah kehilangan kontrol di seluruh timur termasuk kota terbesar kedua, Benghazi, ia memutuskan untuk melawan sampai akhir, menceburkan Libya ke dalam konflik berdarah. Ada pembelotan yang meluas di dalam tentara Libya, bahkan pada jajaran atas. Tetapi ini tidak memiliki efek yang sama seperti di Mesir karena sifat dari tentara dan rezimnya berbeda.
Satu hal yang jelas: segala sesuatunya telah terlempar ke belanga peleburan. Tidak satupun dari rezim ini akan bertahan sampai akhir. Ada banyak kemungkinan yang berbeda, tergantung pada perimbangan kekuatan-kekuatan kelas dan serangkaian faktor-faktor internal dan eksternal yang tidak mungkin untuk diramalkan. Tetapi satu hal yang jelas: seperti apapun yang rejim yang muncul, ini tidak akan mampu memenuhi bahkan tuntutan paling minimal dari massa.
Impotensi Imperialisme
Kaum imperialis khawatir ke mana semua ini akan menuju, dan seberapa jauh ini akan menyebar. Mereka tidak mengharapkan peristiwa ini dan tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Obama tidak berani meminta Mubarak untuk mundur di depan umum karena ini akan berpengaruh ke negara-negara lain. Dia terpaksa berbicara dengan bahasa kode yang diperhitungkan dengan hati-hati. Kata "demokrasi" dan "hak asasi manusia" di mulut Obama dan teman-teman Eropanya berbau kemunafikan.
Sinisme dari pemerintah Barat terekspos dengan telanjang. Setelah puluhan tahun mendukung kediktatoran kejam di Tunisia, tiba-tiba mereka semua mendukung demokrasi dan hak asasi manusia. Sarkozy sebelumnya telah memuji Ben Ali sebagai sahabat demokrasi dan hak asasi manusia bahkan ketika ia sedang menyiksa lawan-lawannya di penjara. Dan Washington menutupi tindakan biadab dari semua diktator pro-Barat lainnya. Sekarang mereka sedang mendapatkan pahala yang setimpal.
Politik mempengaruhi ekonomi dan sebaliknya. Harga minyak naik di tengah ketakutan akan menyebarnya kerusuhan ke negara-negara Arab lainnya termasuk raja minyak Arab Saudi atau mengganggu pasokan minyak dari Laut Merah ke Mediterania melalui Terusan Suez. Minyak mentah Brent melampaui angka $120 per barel dan masih berada di atas angka $110. Ini mengancam pemulihan yang lemah dan rapuh dari ekonomi dunia.
Untuk alasan ekonomi, politik dan militer kaum imperialis membutuhkan kestabilan di Timur Tengah. Tapi bagaimana mereka mendapatkannya? Itulah pertanyaannya! Sejak awal AS tengah bersusah payah untuk menemukan respon yang koheren untuk peristiwa-peristiwa yang sedang berubah dari hari ke hari, bahkan jam ke jam. Dalam kenyataannya kekuatan terkuat di dunia telah direduksi menjadi peran seorang penonton yang tak berdaya. Sebuah artikel di The Independent oleh korespondennya di Washington, Rupert Cornwell, mengangkat judul yang menarik: Kata-kata keras Washington menandai impotensi AS. Itu mengekspresikan posisi yang sebenarnya.
Akan tetapi beberapa orang “pintar” berpikir bahwa Revolusi Arab adalah bagian dari konspirasi imperialis. Ini benar-benar keliru. Borjuasi benar-benar terkejut dengan semua ini. Revolusi ini benar-benar mengacaukan salah satu wilayah mereka yang paling penting. Ini sama sekali tidak disambut baik oleh mereka. Dan ini memiliki dampak yang jauh melampaui dunia Arab.
Timur Tengah merupakan kawasan kunci bagi kaum imperialis. Amerika telah menghabiskan waktu empat dekade untuk menancapkan posisinya di sana. Mesir adalah bagian kunci dalam hitungan mereka. Hari ini semuanya hanyut di depan mata mereka dalam beberapa minggu. Negara terkaya dan terkuat di bumi benar-benar lumpuh. Obama tidak bisa campur tangan, dan bahkan merasa sulit untuk berkata apa-apa karena takut menyinggung sekutunya di Saudi.
Delapan persen dari perdagangan dunia melewati Terusan Suez, dan Amerika takut akan ditutup, tapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Satu-satunya yang bisa dikatakan oleh Obama adalah bahwa ini adalah pilihan rakyat Mesir. Amerika tidak mengatakan itu ketika datang ke Irak atau Afghanistan, di mana imperialisme AS tidak berpikir dua kali untuk menyerang.
Kapal perang AS sebenarnya dikirim ke Suez, tapi tidak melakukan apapun. Ini dimaksudkan untuk membuka tinju yang disembunyikan di dalam sarung tangan beludru "demokrasi" Obama. Namun dalam kenyataannya ini merupakan ancaman hampa. AS membakar jari-jarinya di Irak. Sebuah petualangan militer baru di Mesir akan menyulut badai di Amerika Serikat dan pada skala dunia. Tidak akan ada satupun Kedutaan Besar AS yang akan tersisa berdiri di Timur Tengah dan semua rezim Arab pro-AS lainnya akan dihadapkan dengan penggulingan.
Amerika Serikat memiliki kepentingan khusus di Bahrain karena posisi strategisnya yang bersebelahan dengan Arab Saudi dan Iran. Ini adalah pangkalan dari Armada Kelima, pangkalan angkatan laut Amerika Serikat yang paling penting di seluruh wilayah. Namun mereka tidak berdaya untuk mengintervensi gerakan revolusioner di Bahrain. Jika semua ini merupakan bagian dari rencana imperialis, tak ada seorangpun yang memberitahu Obama mengenai ini!
Dalam kasus Libya mereka tidak ragu-ragu untuk mengecam Gaddafi dan menyerukan penggulingannya – yang mana mereka terbukti gagal melakukannya dalam kasus Mubarak. Ini adalah contoh lain dari kepalsuan, sinisme dan standar ganda mereka. Tetapi meskipun mereka mengisyaratkan bahwa tindakan militer tidak dikesampingkan, mereka ragu-ragu untuk bertindak. Hilary Clinton mengatakan bahwa zona larangan terbang harus disetujui oleh PBB. Ini adalah kontras yang menyolok dengan tindakan Amerika Serikat di Irak ketika mereka melangkahi PBB.
Pada akhirnya, di bawah tekanan dari Prancis dan Inggris, AS setuju dengan zona larangan terbang. Sekarang kita menyaksikan sebuah agresi imperialis terbuka terhadap Libya. Ini tidak ada hubungannya dengan membela rakyat Libya, atau membela revolusi. Justru sebaliknya. Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan pijakan di wilayah tersebut guna mencekik revolusi-revolusi yang telah dimulai.\
Kami menentang agresi imperialis ini. Tugas menumbangkan Gaddafi adalah tugas rakyat Libya. Kenyataannya adalah bahwa momentum revolusi yang awalnya dimulai di bagian timur Libya telah terbajak dan diambil alih oleh elemen-elemen konter-revolusioner yang duduk di Dewan Interim, yang sekarang telah menyerahkan nasib rakyat Libya ke tangan imperialisme Barat.
IMT mengatakan:
Tolak intervensi asing!
Akhiri pendudukan Irak dan Afghanistan!
Hentikan Pemboman Libya!
Ganyang imperialisme!
Hands off Revolusi Arab!
Israel dan Palestina
Tidak ada kepanikan yang timbul lebih besar karena Revolusi Arab daripada di Israel. Kekuatan militer terkuat di kawasan ini lumpuh dalam menghadapi peristiwa di Mesir. Klik penguasa Israel bahkan harus berhati-hati dengan apa yang mereka katakan mengenai situasi di Mesir. Binyamin Netanyahu memerintahkan para menteri untuk tidak membicarakan hal ini di depan umum. Israel meminta Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa untuk mengurangi kritiknya terhadap Presiden Hosni Mubarak. Yerusalem berusaha keras untuk meyakinkan sekutu-sekutunya bahwa kepentingan Barat adalah mengembalikan Mubarak demi mempertahankan stabilitas rezim Mesir. Hal ini bertentangan dengan upaya Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk menyingkirkannya sehingga mereka bisa menjamin suatu “transisi yang tertib” dan menghindari penggulingan revolusioner.
Marx pernah mengatakan bahwa tidak ada orang pernah bisa bebas jika ia memperbudak orang lain. Israel berkuasa atas populasi Palestina yang besar dan tidak puas, yang sedang belajar di televisi bagaimana cara untuk menggulingkan tirani. Di West Bank rakyat Palestina ditekan dengan bantuan polisi Otoritas Palestina. Tetapi ini membuka pertanyaan apakah unit polisi Palestina, atau pasukan keamanan Israel, akan mampu menghancurkan gerakan demokrasi massa, setelah tentara kuat Mesir menolak untuk menembaki rakyat.
Perdamaian sepihak yang ditandatangani oleh Israel dan Mesir pada tahun 1979 merupakan pengkhianatan bagi Palestina dan sangat tidak populer di sebagian besar dunia Arab. Dukungan dari Mesir telah menjadi unsur penting dalam membantu pendudukan Israel terus-menerus di wilayah Palestina yang ditaklukkan pada tahun 1967.
Perjanjian Oslo antara Israel dan Palestina pada tahun 1993 adalah pengkhianatan baru. Yang disebut teritori Palestina tidak lebih dari sebuah versi dari Bantustan Afrika Selatan (Bantustan adalah wilayah yang diberikan kepada penduduk hitam Afrika Selatan). Itu merupakan ejekan menyakitkan terhadap tanah air rakyat Palestina dan tak satupun tuntutan-tuntutan mendasar dari rakyat Palestina yang dipenuhi. Israel terus berkuasa. Sejak itu, situasi semakin memburuk.
Sekarang jatuhnya sekutu regional Israel yang paling kuat secara radikal telah mengubah seluruh persamaan. Ini mengguncang pemerintah Israel dan menyangsikan sebuah keyakinan mendalam bahwa pendudukan wilayah Palestina bisa bertahan selamanya. Dalam waktu semalam rencana-rencana imperialis yang telah disiapkan dengan teliti hancur berantakan.
Puluhan tahun perjuangan bersenjata dan negosiasi tidak menuju ke mana pun. Namun gerakan revolusioner yang kita saksikan sekarang mengubah semuanya. Klik penguasa di Israel sama sekali tidak khawatir dengan roket-roket Hamas dan pembom bunuh diri. Sebaliknya, setiap roket yang jatuh pada sebuah desa Israel justru mendorong opini publik Israel untuk berada di belakang pemerintah. Tapi sebuah Intifada Palestina (intifada berarti insureksi massa), bersamaan dengan Revolusi Arab di Mesir dan Yordania, adalah persoalan yang sama sekali berbeda.
Dalam hal kekuatan militer, Israel mungkin tak terkalahkan. Bila terjadi perang dengan Mesir, Israel mungkin akan menang lagi. Tapi bisakah Israel menang melawan massa pengunjuk rasa di alun-alun kota di West Bank, Gaza dan juga di Israel, yang menuntut hak-hak politik bagi warga Palestina? Ini adalah pertanyaan yang membuat para jenderal dan politisi Israel terjaga tiap malam.
Jatuhnya Mubarak berimplikasi sangat serius bagi Israel. Dalam kasus terbaik, anggaran pertahanan Israel harus naik lebih besar lagi karena para pemimpin Israel merenungkan ancaman perang di selatan. Hal ini akan menciptakan ketegangan lebih lanjut pada perekonomian yang sudah berada dalam krisis. Berbagai pemotongan dan serangan baru terhadap standar hidup akan terjadi, dan ini akan menyebabkan intensifikasi perjuangan kelas di Israel.
Netanyahu membayangkan bahwa negaranya merupakan sebuah pulau dengan stabilitas dan demokrasi yang tidak dapat dipengaruhi oleh revolusi. Tetapi pada dasarnya, Israel hanyalah salah satu dari sekian negara Timur Tengah yang terancam oleh gelombang revolusioner yang memancar dari Tunisia dan Mesir. Ada kontradiksi baru di Israel. Kenaikan bahan bakar dan air telah membuat Israel menjadi salah satu negara di dunia yang paling mahal biaya hidupnya. Kepemimpinan Histadrut (serikat pekerja Israel) sedang mendiskusikan ide mogok nasional.
Peristiwa di Tunisia dan Mesir akan memiliki konsekuensi besar bagi Palestina. Orang-orang Palestina yang telah dikhianati oleh semua orang yang mereka percayai, dimulai dengan rezim-rezim Arab mereka kira bersahabat dan pengkhianatan dari para pemimpin mereka sendiri. Bocoran-bocoran terakhir dari Wikileaks telah mengekspos skandal kolusi Abbas dengan Israel dan Amerika. Ini akan memiliki efek besar pada psikologi massa Palestina.
Selama empat puluh tahun, kepemimpinan PLO telah mengkhianati Palestina. PLO bisa saja mengambil alih kekuasaan di Yordania pada tahun 1970. Kemudian seluruh sejarah wilayah tersebut akan berbeda. Tetapi kepemimpinan nasionalis borjuis kecil ini menolak untuk menyerang “saudara-saudara Arab”nya. Sehingga raja Yordania memobilisasi orang-orang Badui yang (dengan bantuan Angkatan Darat Pakistan) menyembelih ribuan rakyat Palestina. Adalah sebuah kenyataan bahwa lebih banyak warga Palestina yang tewas di tangan “saudara-saudara” Arabnya selain Israel.
Orang-orang Badui yang dulu menyerang Palestina pada tahun 1970 sekarang sedang melakukan protes terhadap sang Raja. Para mantan perwira tentara sedang memperingatkan rejim Yordania bahwa jika ia tidak membuat beberapa konsesi ia akan menghadapi nasib yang sama seperti yang Ben Ali dan Mubarak. Hal ini menunjukkan bahwa monarki Hashemite dengan cepat kehilangan basisnya dan tergantung pada seutas benang. Gerakan ini telah menyebar dari daerah Badui ke Amman dan ke orang Palestina, yang merupakan mayoritas populasi Yordania.
Ini adalah waktunya untuk memikirkan kembali taktik dan strategi perjuangan Palestina. Wikileaks telah mengekspos para pemimpin Palestina sebagai kaki tangan Israel. Suasana hati rakyat Palestina sedang marah dan pahit. Ada sejumlah upaya untuk mengorganisir demo-demo baik terhadap Abbas di West Bank dan terhadap Hamas di Jalur Gaza, yang telah direspon dengan represi berat. Bahkan sejumlah demonstrasi dalam rangka solidaritas dengan revolusi Mesir dan Tunisia telah dilarang oleh Hamas dan Otoritas Palestina.
Sekarang sebuah gerakan persatuan untuk melawan kepemimpinan dalam gerakan Palestina saat ini, menentang pendudukan Israel dan menyatukan perjuangan rakyat Palestina telah dibentuk, menarik dukungan dari puluhan ribu pengguna Facebook dan menyerukan demonstrasi dan protes. Bagi rakyat Palestina, Intifada di Mesir adalah bagian dari mimpi mereka selama puluhan tahun. Sekarang ini sudah menjadi kenyataan. Penggulingan rezim-rezim reaksioner Arab oleh massa akan memberi pukulan serius terhadap imperialisme Israel dan Amerika Serikat dan mengubah seluruh situasi. Sekarang untuk pertama kalinya rakyat Palestina bisa melihat siapa sahabat sejati mereka: kaum buruh dan tani dari seluruh dunia Arab.
Ini merupakan titik balik yang fundamental. Rakyat Palestina telah melihat bahwa mereka dapat melawan kaum penindas, tidak dengan bom dan roket, tetapi dengan aksi massa revolusioner. Suasana secara keseluruhan akan berbeda sekarang. Akan ada gejolak baru di antara kaum muda; akan muncul gerakan-gerakan melawan Hamas di Gaza, dan melawan para pemimpin PLO di West Bank. Ada tekanan yang meningkat untuk sesuatu yang berbeda dari apa yang telah ada sampai sekarang. Gagasan tentang Intifada baru akan cepat memperoleh dukungan di antara rakyat Palestina. Hal ini akan mengubah segalanya.
Untuk sebuah Federasi Sosialis!
Setelah Perang Dunia Pertama negara-negara yang disebut bangsa Arab diciptakan secara artifisial oleh imperialisme. Divisi ini tidak didasarkan pada kriteria alam atau sejarah, tetapi murni untuk kepentingan imperialisme. Perjanjian Sykes-Picot membagi Irak, Lebanon, Suriah dan Yordania antara Inggris dan Perancis. Berdasarkan Deklarasi Balfour pada tahun 1918, Inggris memberikan izin untuk pembentukan sebuah tanah air Yahudi di Palestina.
Di Teluk, negara-negara kecil dengan cadangan minyak bumi yan besar didirikan sehingga mereka dengan mudah bisa dikendalikan oleh imperialisme, untuk mengakses sumber daya minyak tersebut. Monarki Saudi terdiri dari para bandit gurun, yang diangkat derajatnya oleh agen Inggris Wilson Cox. Imperialisme telah memecah belah Bangsa Besar Arab.
Revolusi Arab tidak pernah bisa berhasil hingga ia mengakhiri Balkanisasi memalukan atas dunia Arab. Satu-satunya cara untuk memutus rantai yang ditempa oleh imperialisme adalah dengan menempatkan pada panji kita sebuah slogan Federasi Sosialis dunia Arab. Ini akan menciptakan sebuah Persemakmuran Sosialis yang kuat, yang membentang dari Samudera Atlantik ke Efrat.
Di atas dasar ekonomi nasional yang terencana, pengangguran akan segera dihapus. Sebuah gudang besar tenaga kerja yang tak terpakai akan dimobilisasi untuk memecahkan masalah perumahan, kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Dengan menyatukan sumber daya yang besar dari seluruh negara ini berdasarkan produksi terencana bersama, gurun pasir bisa ditanami bunga-bunga dan sebuah revolusi kebudayaan baru akan membuat pencapaian-pencapaian masa lalu tampak kecil.
Sebuah Federasi Sosialis, dengan otonomi penuh bagi seluruh bangsa, adalah satu-satunya cara untuk memecahkan perselisihan nasional dan agama yang telah meracuni kehidupan rakyat selama puluhan tahun, yang mengarah dari perang satu ke perang yang lain. Kaum Muslim dan Koptik, Sunni dan Syiah, Palestina dan Yahudi, Arab, Amazigh (Berber), Maronit, Kurdi, Turkmens, Armenia, Druzes – semuanya akan menemukan tempat dalam sebuah Federasi berdasarkan prinsip kesetaraan mutlak.
IMT mengatakan:
- Bela hak-hak rakyat Palestina dan semua negara yang tertindas untuk menentukan nasibnya sendiri!
- Hancurkan imperialis dan agresor Israel! Akhiri pendudukan Irak, Afghanistan dan Palestina!
- Usir kaum kolaborator! Untuk penggulingan revolusioner semua boneka-boneka imperialisme Arab!
- Ambil alih kepemilikan kaum imperialis dan antek-antek Arabnya! Kekayaan tanah Arab harus dikembalikan kepada rakyat!
- Untuk persatuan revolusioner semua rakyat Arab! Bentuk Federasi Sosialis Timur Tengah dan Afrika Utara, di atas dasar perserikatan yang bebas, setara dan bersaudara, dengan otonomi penuh untuk setiap negara!
Lompatan dalam Kesadaran
Revolusi Mesir adalah jawaban akhir untuk semua orang yang skeptis dan sok intelektual yang terus-menerus mencemooh “rendahnya tingkat kesadaran” massa. Para “pakar” barat itu yang meremehkan rakyat Mesir sebagai orang “apatis” dan “pasif” dan “acuh tak acuh terhadap politik” terpaksa memakan kata-kata mereka sendiri.
Kaum Marxis memahami bahwa kesadaran manusia secara umum tidak progresif atau revolusioner, tetapi sangat konservatif. Resistensi terhadap perubahan berakar kuat dalam pikiran manusia sebagai bagian dari mekanisme bertahan hidup yang berasal dari masa lalu spesies kita sejak dulu. Oleh karenanya, sebagai kaidah umumnya, kesadaran biasanya terlambat di belakang perisitiwa-peristiwan. Kesadaran tidak berubah secara bertahap, hari ini lebih revolusioner dari kemarin dan hari esok lebih dari hari ini, seperti halnya air yang didinginkan dari 100 derajat ke 0 derajat tidak menjadi pasta, selanjutnya menjadi jelly dan akhirnya memadat jadi es.
Pandangan mengenai kesadaran seperti ini bersifat metafisis dan mekanis, tidak materialis dan dialektik. Dialektika mengajarkan kita bahwa sesuatu berubah di dalam keberlawanannya sendiri, dan bahwa sesuatu yang kecil, perubahan-perubahan yang nampaknya tidak signifikan pada titik tertentu, yang dalam ilmu fisika dikenal sebagai titik kritis, bisa menghasilkan transformasi dalam skala raksasa. Perubahan dalam kesadaran akan terjadi dengan tiba-tiba, ketika ini dipaksa oleh peristiwa-peristiwa besar untuk berubah. Ketika hal ini terjadi, kesadaran secara cepat menjadi sesuai dengan realitas. Lompatan kesadaran secara cepat inilah yang disebut revolusi.
Massa, baik di Mesir, Iran, Inggris atau Amerika Serikat, tidak belajar dari buku tapi dari pengalaman. Dalam revolusi, mereka belajar jauh lebih cepat daripada keadaan biasa. Kaum pekerja dan pemuda Mesir telah belajar banyak dalam beberapa hari perjuangan dibanding dengan tiga puluh tahun keberadaan “normal”. Di jalan-jalan massa meningkatkan rasa percaya dirinya. Mereka kehilangan rasa takut mati di hadapan polisi yang berseragam anti huru-hara dengan perlengkapan meriam air dan ribuan polisi berbaju preman, yang mereka pukul mundur dan dikalahkan.
Dalam revolusi proses pembelajaran menjadi sangatlah cepat. Kita melihat proses yang sama persis di Mesir dan Tunisia. Ini merupakan laboratorium yang sangat luas di mana tendensi-tendensi yang beraneka ragam, daftar tuntutan yang tumpangtindih yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi yang berbeda-beda teruji. Di jalan-jalan massa memilih mana slogan-slogan yang sesuai dan mana yang tidak. Kita akan melihat proses yang sama terulang dan terulang lagi, dan bukan hanya di Timur Tengah dan Afrika Utara, tetapi di mana-mana.
Dari Kairo ke Madison
Pada tahun 1917 butuh waktu sekitar seminggu bagi rakyat di India untuk belajar bahwa telah terjadi Revolusi di Rusia. Sekarang semua orang dapat melihat revolusi secara langsung pada layar televisi mereka. Situasi di Timur Tengah memiliki efek yang luar biasa di seluruh dunia. Di India, untuk pertama kalinya dalam 32 tahun, serikat pekerja dan partai-partai kiri baru-baru ini mengadakan pemogokan umum mengenai upah dan harga barang. Terjadi demonstrasi yang berjumlah 200.000 orang di jalanan New Delhi, menyoal kenaikan harga-harga makanan. Meskipun India tumbuh sembilan persen per tahun, ini meningkatkan kesenjangan dengan mengkonsentrasikan kekayaan di lapisan atas.
Di Tunisia dan Mesir, sistem kapitalis mulai putus di rantai yang paling lemah. Kaum Borjuis akan memberitahu kita bahwa hal-hal seperti itu tidak bisa terjadi di negara-negara kapitalis maju, bahwa situasi berbeda dan seterusnya dan sebagainya. Ya, situasi memang berbeda, tetapi hanya pada tingkatannya. Di mana-mana kelas buruh dan pemuda akan dihadapkan dengan alternatif yang sama: entah kita menerima penghancuran standar hidup dan hak-hak kita secara sistemik – atau kita akan melawan.
Argumen “itu tidak akan terjadi di sini” merupakan argumentasi tanpa dasar ilmiah atau rasional. Dalam beberapa bulan yang lalu hal yang sama telah dikatakan mengenai Tunisia, ketika negara tersebut dianggap paling stabil di Afrika Utara. Dan argumentasi yang sama diulang kembali dalam kaitannya dengan Mesir bahkan setelah Ben Ali digulingkan. Beberapa minggu saja sudah cukup untuk mengekspos hampanya kata-kata tersebut. Begitu cepatnya peristiwa-peristiwa terjadi di zaman kita. Cepat atau lambat pertanyaan yang sama akan diajukan di setiap negara di Eropa, Jepang, Kanada, dan juga Amerika Serikat.
Inflasi meningkat. Harga-harga makanan naik. Ini akan memiliki dampak yang paling serius di mana-mana, terutama di negara-negara miskin. Menurut Bank Dunia, 44 juta orang lagi akan terdorong masuk ke dalam kemiskinan yang ekstrim di masa mendatang, jumlahnya membengkak lebih dari satu milyar di seluruh dunia. Jutaan orang sedang berjuang untuk pangan, pekerjaan dan perumahan – yaitu, untuk kondisi paling dasar bagi kehidupan semi-beradab. Kondisi ini seharusnya secara gratis tersedia bagi setiap orang pada dekade pertama abad kedua puluh satu. Namun sistem bobrok kapitalis tidak lagi mampu menjamin hal-hal ini bahkan di Eropa dan Amerika Utara. Inilah mengapa ada kerusuhan dan pemberontakan. Ini masalah hidup dan mati.
Krisis yang terjadi saat ini bukanlah siklus normal krisis kapitalisme. Pemulihannya juga tidak normal. Kaum kapitalis sedang berusaha memeras kaum pekerja lebih dari sebelumnya dalam upaya untuk menegakkan kembali keseimbangan ekonomi: untuk melunasi utang mereka, mengurangi biaya tenaga kerja, dll. Tetapi dengan begitu, mereka mengacaukan seluruh situasi. Ini sebagian dapat menjelaskan kedua revolusi Arab tersebut dan munculnya perjuangan kelas di Eropa
Setiap negara di dunia telah terpengaruh. Bukan kebetulan bahwa Cina menambahkan suaranya pada paduan suara yang menyerukan pemulihan “ketertiban” di Mesir. Ini masalah kepentingan ekonomi. Rezim Cina tertarik pada stabilitas ekonomi global karena ingin terus menghasilkan banyak uang dari ekspor. Tetapi di atas semuanya, Beijing takut dengan segala sesuatu yang bisa mendorong pemogokan dan protes di Cina itu sendiri. Mereka telah merepresi semua protes dan memblokir setiap referensi mengenai Mesir di Internet.
Sebaliknya, setiap pekerja di dunia yang sadar kelas akan bersukacita atas gerakan luar biasa dari kaum buruh dan muda di Tunisia dan Mesir. Efek psikologis ini tidak dapat diremehkan. Bagi banyak orang, terutama di negara-negara kapitalis maju, gagasan revolusi muncul sebagai sesuatu yang abstrak dan jauh. Sekarang peristiwa yang terungkap di depan mata mereka di televisi mengatakan bahwa revolusi tidak hanya mungkin tapi perlu.
Di Eropa dan Amerika Serikat ada kebencian yang mendidih terhadap para bankir dan kucing-kucing gemuk yang memberikan bonus-bonus besar pada diri mereka sendiri sementara masyarakat menderita serangan yang terus menerus terhadap standar hidup mereka. Fakta mencolok ini tercermin dalam beberapa peristiwa dramatis di Wisconsin. Bukan kebetulan bahwa pekerja Madison, Wisconsin meneriakkan hal-hal seperti "berjuang seperti rakyat Mesir". Ini adalah efek dari kebijakan kejam yang dibebankan pada kelas pekerja selama pemulihan ekonomi di AS.
Tiba-tiba dunia telah dibangunkan oleh fakta bahwa telah terjadi ledakan perjuangan kelas di Wisconsin, dengan 100.000 orang berada di jalanan. Kita melihat gambar-gambar para pekerja yang memegang plakat yang meneriaki gubernur Hosni Walker dan meneriakkan: "Diktator Wisconsin Harus Hengkang". pekerja Mesir bahkan mengirim pesan solidaritas untuk para pekerja Wisconsin. Terjadi pemogokan-pemogokan mahasiswa, pendudukan dan unjukrasa spontan di negara bagian Capitol. Polisi yang dikirim untuk membubarkan para demonstran melebur dengan rakyat, bergabung dengan orang-orang yang mengenakan jaket pendudukan yang membawa slogan-slogan seperti “polisi untuk kaum pekerja”. Ini merupakan perkembangan yang sangat penting.
Di Eropa kita telah melihat gerakan besar kaum pekerja dan pemuda: delapan pemogokan umum di Yunani dalam dua belas bulan terakhir; gerakan pemogokan besar di Perancis yang membawa tiga setengah juta pekerja keluar ke jalan-jalan, pergerakan mahasiswa Inggris, sebuah pemogokan umum di Spanyol, di Italia gerakan buruh logam. Baru-baru ini ada pemogokan umum terbesar di Portugal sejak jatuhnya kediktatoran pada tahun 1974. Bahkan di Belanda ada sekitar 15.000 mahasiswa melakukan protes di Den Haag. Di Eropa Timur juga telah kita lihat gerakan besar di Albania dan Rumania. Di Bulgaria, bahkan polisi bergabung dalam pemogokan.
Dua puluh tahun yang lalu, borjuasi sangat gembira pada penggulingan "komunisme". Tetapi kegembiraan mereka prematur. Dalam retrospeksi kejatuhan Stalinisme akan terlihat hanya sebagai awal untuk pembangunan yang jauh lebih dramatis: penggulingan revolusioner atas kapitalisme. Di mana-mana, termasuk Amerika Serikat, sistem ini berada dalam krisis. Di mana-mana kelas penguasa sedang mencoba untuk menempatkan beban berat dari krisis sistem di pundak lapisan masyarakat termiskin.
Gerakan-gerakan ini punya kesamaan dengan gerakan-gerakan massa yang mengarah pada penggulingan rezim di Eropa Timur. Di atas kertas pemerintahan ini memiliki aparat negara yang kuat, tentara yang besar, polisi, dan polisi rahasia. Tapi itu tidak menyelamatkan mereka. Pun seluruh uang, polisi dan tentara di dunia yang mengamankan para penguasa Eropa dan Amerika Serikat setelah kaum pekerja bergerak untuk mengubah masyarakat.
Lagi-lagi massa telah menunjukkan tekad dan kemauan untuk berjuang. Untuk mencapai kemenangan mereka perlu dipersenjatai dengan program dan kepemimpinan yang jelas. Ide-ide Marxisme adalah satu-satunya yang dapat memberikan itu. Masa depan adalah milik kita.
Hidup Revolusi Arab!
Buruh sedunia bersatulah!
Hidup sosialisme, satu-satunya harapan bagi masa depan umat manusia!
Thawra Nasr hatta'l!
Oleh: Tendensi Marxis Internasional
Artikel Lainnya:
No Response to "Revolusi Arab: Revolusi Belum Selesai (3)"
Posting Komentar