Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,
Perang Pasifik menjadi ajang “pertempuran tersendiri” bagi Korps Marinir AS. Setelah bertahun-tahun diremehkan pasca kegagalan di Galipoli, mereka memperoleh kesempatan menunjukkan kemampuannya hingga sejajar dengan Korps Angkatan Darat.

Serangan mengejutkan AL Jepang terhadap pangkalan AS di Hawaii bisa disebut sebagai alasan mengapa AS begitu menggebu-gebu ingin menghentikan sepak terjang Jepang di Asia. Karena Jepang sudah terlebih dulu menduduki pulau-pulau di Pasifik, tidak ada pilihan bagi AS selain segera mengirim pasukan Marinir. Inilah debut Marinir AS di perang besar meski dilalui dengan berdarah-darah.
Ada satu prinsip yang dipe­gang di dunia intelijen: “Hari ini sudah diprediksikan beberapa waktu lalu, dan saat ini adalah konfirmasinya. Intelijen harus berusaha terus menerus mengikuti berbagai kejadian, menganalisa tren perkembangan, meramalkan, dan memprediksi apa yang akan terjadi besok, minggu depan, bulan depan, dan tahun depan dalam bentuk berbagai analisa, sintesis dan perkiraan keadaan.”

Prinsip intelijen yang dikemukakan Marsda TNI (Pur) Teddy Rusdi, mantan Direktur E, Badan Intelijen Strategis, Indonesia, dalam biografinya, Think Ahead (2009) itulah yang dianut perwira operasi AS dari Komite Perencana Gabungan AB AS pada dasa­warsa 1920-30-an. Mereka curiga terhadap Jepang, lalu berusaha memetakan apa yang mungkin mereka lakukan untuk mengganjal kepentingan AS di wilayah Pasifik. Ancaman terdekat adalah mengua­sai atau menduduki pangkalan AS di Guam, Midway dan Wake.

Dengan angkatan laut yang dikenal kuat, menurut para perwira itu, Jepang tak mungkin adem ayem setelah dipasrahi gugus Kepulauan Mikronesia di Pasifik Tengah. Di pengujung tahun 1940-an, tanda-tanda ke arah upaya serangan ke Pasifik Ician menguat. Hal ini terdeteksi dari perintah-­perintah rahasia dari Tokyo yang berhasil dicegat intelijen AS serta kesan ketidaksukaan mereka atas embargo bahan bakar pesawat terbang dan metal untuk industri senjata yang dilancarkan Washing­ton.

Tak bisa kami pungkiri bahwa edisi koleksi kali ini terinspirasi dari suksesnya film seri "The Pacific" yang ditayangkan jaringan televisi HBO. Mengambil basis cerita dari 1st Marine Division, penonton diajak menyelami setiap aksi Marinir, yang tidak hanya sebatas dar der dor.
Namun begitu, militer AS masih terus menahan diri karena Kongres AS telah sepakat meng­akomodir keinginan rakyat AS yang tak ingin negerinya ber­perang kembali seperti dilakukan di wilayah Eropa. Kala itu AS masih berusaha memegang teguh kebijakan luar negeri yang isolatif, anti-imperialis dan netral.

Gugus Kepulauan Mikronesia diserahkan Sekutu lewat Per­janjian Washington pada 1922. Posisi kepulauan yang ditinggalkan Jerman setelah kalah dalam Perang Dunia I itu amat strategis. Gugus kepu­lauan yang mencakup Kepulauan Marshall, Mariana dan Carolina itu memotong jalur yang meng­hubungkan AS dengan Filipina dan China. Berdasarkan perjanjian, baik AS, Inggris maupun Jepang sebenarnya tidak diperbolehkan membangun pangkalan atau kekuatan militer di Pasifik. Tetapi siapa bisa menjamin Jepang akan memegang teguh perjanjian itu?

Kecurigaan tersebut meletup setelah militer Jepang menguasai hampir seluruh lini dalam struktur kepemerintahan negeri ini. Menguatnya posisi Jerman dan Italia di wilayah Eropa dan berpalingnya muka militer Jepang dari Sekutu ke Pakta Axis juga menjadi faktor penentu keberanian mereka untuk mengambil inisiatif perang. Wake sendiri akhirnya benar-benar diserang dan dikuasai, hanya beberapa jam setelah ratusan pesawat torpedo menghajar pangkalan AS di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941.

Untuk mengantisipasi kemungkinan militer Jepang “ber­main api” di wilayah Pasifik itulah, Komite Perencana Gabungan (kini Joint Chief of Staff/Kastaf Gabungan) AS pun menyusun contingency plan untuk menangkal atau memukul balik serangan yang amat dikhawatirkan itu. Di antara yang direncanakan, AS akan mengaktifkan kekuatan militer di Filipina dan Armada Pasifik yang bermarkas di California. Dua kekuatan itu akan disiagakan di Filipina dan Guam.

Rencana Tinggal Rencana

Di atas kertas, contingency plan yang dikenal dengan Ren­cana Perang Oranye ini seolah sempurna, telah memperhatikan banyak hal, merujuk data intelijen, dan bisa digelar kapan saja. Sejumlah kalangan pun menga­mininya karena rencana perang ini merujuk pada Teori Mahan, sebuah teori perang peninggalan Laksamana Alfred Thayer Mahan yang merinci kekuatan laut untuk tujuan memenangkan perang.

Namun apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Rencana perang tinggal rencana perang. Serangan Jepang ternyata jauh lebih terencana dan lebih mematikan dari yang dibayang­kan sebelumnya. Mereka bisa mengerahkan lebih dan 300 pesawat terbang untuk menyerang secepat kilat kapal-kapal perang utama AS yang sedang berlabuh di Pearl Harbor. Dari situ, secepat kilat pula mereka berbelok dan menguasai Wake.

Serangan ke Pearl Harbor bak blitzkrieg ala Jerman. Jangankan mengaktifkan kekuatan militer di Filipina, AS bahkan tak mampu se­gera memukul balik serangan ini. Akibatnya, dalam waktu singkat militer Jepang mampu merangsek hingga ke dalam Filipina yang kemudian berbuntut terusirnya Panglima Sekutu wilayah Timur Jauh, Jenderal Douglas MacAr­thur, ke Australia.

Meski berdarah-darah, toh seperti moto USMC Semper Fidelis, mereka mampu melewati pulau demi pulau dengan pijakan awal di Guadalcanal.
Peristiwa tersebut tentu men­jadi aib tersendiri bagi militer AS yang pernah berkibar di palagan Eropa semasa Perang Dunia I. Namun, kerunyaman di Pasifik selanjutnya dimanfaatkan oleh Korps Marinir AS untuk membuk­tikan keandalan serangan amfibi yang gagal total di Galipoli. Bagi mereka wilayah Pasifik yang dido­minasi pulau-pulau dan perairan sangat tepat untuk dijadikan ajang pembuktian kedua menyangkut kompetensi khas dari kesatuan Marinir tersebut. Untuk itu me­reka memilih Guadalcanal sebagai tempat pertama untuk debut pendaratan amfibi.

Taktik pendaratan yang dila­kukan pada Agustus 1942 itu pun terbilang menarik dan tak henti dibahas hingga kini. Pasalnya, 16.000 pasukan Sekutu (sebagian besar dari Korps Marinir) yang didaratkan di pulau tersebut, harus langsung bertempur melawan ten­tara Jepang yang telah bercokol di tempat yang sama. Pertempuran di tempat ini memancarkan heroisme tersendiri sementara kapal-kapal perang kedua belah pihak saling kontak senjata di perairan Coral Sea dan Midway yang letaknya amat berjauhan.

Guadalcanal berhasil diambil ­alih pada Februari 1943. Per­tempuran ini memang berlumur darah, melelahkan dan makan waktu lama. Namun, setiap lang­kah maju yang dicapai Marinir lumayan menguras ketahanan mi­liter Jepang. Kekalahan selanjutnya yang menjadi pukulan telak dalam pertempuran darat adalah ketika Marinir berhasil merebut Rabaul, pangkalan utama Jepang di Pasifik Selatan. Jatuhnya Rabaul langsung dimanfaatkan Panglima Angkatan Laut AS Laksamana Chester W. Nimitz untuk melancarkan serangan yang lebih hebat ke arah daratan Jepang.

Menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada Sekutu memang bukan semata-mata akibat pukulan Marinir. Namun, perjuangan dan taktik yang dilancarkan Marinir meninggalkan catatan khusus bahwa serangan amfibi bisa digunakan untuk membongkar pertahanan lawan. Kesuksesan taktik tersebut bahkan masih terus dibicarakan oleh para pengamat militer dan para marinir sedunia hingga kini, terlebih setelah mereka berhasil merebut Iwo Jima — jalan masuk ke daratan Jepang.

Dalam Edisi Koleksi ini kami tuntun Anda untuk mencermati langkah demi langkah, taktik demi taktik, dan strategi demi strategi, yang mereka buat dan lancarkan. Masing-masing rupanya tak muncul begitu saja. Untuk mencapai hasil yang terbaik, militer AS ternyata masih harus belajar banyak dan melewati berbagai rintangan. Dan, rintangan itu tidak hanya berupa kurangnya peralatan dan persenjataan, tetapi juga beda pola pikir dari para panglimanya. Hal ini bisa disimak dari pertentangan yang cukup mendasar soal efektivitas taktik dan strategi angkatan darat dan marinir di antara Kastaf AD Jenderal Georg C. Marshall dan Panglima Operasi AL Laksamana Ernest J. King.

Persinggungan juga terjadi di antara Jenderal (Mar) Holland Smith dan Jenderal (AD) Ralph Smith, ketika kesatuan mereka sama-sama bertempur di Pulau Makin, Kepulauan Gilbert. Per­singgungan ini sampai menyeret Presiden AS Franklin D. Roosevelt untuk menengahi.

Apa pun itu, akhirnya kita bisa sama-sama melihat bahwa masing-masing ternyata memiliki kekhasannya sendiri-sendiri, yang mana sesungguhnya akan semakin hebat jika dipadukan. Di waktu mendatang debut Marinir AS di Pasifik membuka mata pimpinan yang baru dan berpikiran lebih modern, sehingga korps ini memperoleh kesempatan untuk bisa bertempur di mana saja. Untuk menunjang tugas-tugasnya, mereka bahkan diberikan pesawat tempur sendiri, seperti F/A-18 Hornet, AV-8B Harrier II, dan yang terbaru: F-35 Ligthning – tambahan alutsista yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Debut Pertempuran Marinir AS, Pasca Gagal di Galipoli"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments