Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
Perang Dunia II tak ayal menjadi palagan khusus dan terhebat sepanjang masa, khususnya bagi AS. Perang akbar ini mengantar Amerika sebagai negara dengan kemampuan militer terbesar dan terbaik di dunia. Dalam selang waktu paling tidak lima tahun, negara ini mampu menangani dan memenangkan dua perang besar sekaligus, yakni Perang Eropa dan Perang Pasifik, – sebuah prestasi langka yang diidamidamkan banyak negara namun hampir tak mungkin dicapai.
Kemenangannya dalam PD II juga menyuguhkan fakta bahwa AS dikendalikan oleh politisi, teknokrat, dan petinggi militer yang cerdas, cerdik, dan bisa saling bekerjasama untuk mencapai tujuan yang besifat global. Perjalanan PD II memang tak hanya ditentukan oleh kekuatan AS. Di dalamnya juga terlibat cukup dominan Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan Jepang. Namun, lewat editorial kali ini, menarik kiranya jika kita menyoroti ten-tang “kepemimpinan, sportivitas dan fairness” AS yang rasa-rasanya sudah tidak muncul lagi dalam perang-perang selanjutnya. Kemenangan itu dicapai lewat adu strategi dari jenderal-jenderal yang lebih kurang se-level, dan praktis bukan oleh adu senjata yang tidak imbang.
Kemenangan Sekutu atas Jerman dalam Perang Eropa sangat ditentukan oleh keberhasilan melancarkan serangan yang terencana dan terukur dengan Operasi Overlord sebagai langkah pembuka. Serangan yang dimulai dengan pendaratan 165.000 pasukan di Pantai Normandia itu sebenarnya bisa dipatahkan dengan mudah oleh Jerman. Hanya keyakinan seorang Eisenhower dan keberuntungan AS lah yang bisa membuat serangan itu berhasil. Keberuntungan, belakangan kerap dikedepankan, karena Adolf Hitler, pemimpin Jerman, telah mengubah susunan panglima perang dan hirarki kewenangan pengerahan senjata hingga tidak kondusif untuk mematahkan serbuan Sekutu.
Panglima Sekutu Jenderal Dwight D. Eisenhower sebenarnya lebih mewaspadai langkah yang akan diambil Erwin Rommel, panglima tempur Jerman yang pernah bertempur melawan Sekutu di Afrika Utara. “Beruntung” Erwin telah disingkirkan, sementara Field Marshal Gerd von Rundstedt, penggantinya, tak leluasa menyerang karena terbelit masalah birokrasi pengerahan kekuatan.
Beberapa waktu sebelum serangan Jepang ke Pearl Harbor terjadi, Presiden Franklin D. Roosevelt dan petinggi militer AS pernah bersepakat dengan Inggris soal bagaimana menundukan Jerman dan mitra aksisnya: Jepang. Sekutu hams mengalahkan Jerman terlebih dulu sebelum melebur Jepang, karena Jerman merupakan negara yang paling kuat dan paling berbahaya.
Demikianlah, “keberuntungan” AS di palagan Eropa pun membuka peluang untuk menuntaskan dominasi Jepang di Pasifik.
Dalam buku Perang Pasifik II ini Anda akan kami ajak mengikuti langkah catur AS menundukkan Jepang. Untuk menutup dominasi Jepang, secara cerdik Jenderal Douglas MacArthur, Laksamana Raymond Spruance dan Laksamana Richmond Turner sepakat untuk lebih dulu menguasai Okinawa dan Iwo Jima. Keberhasilan menguasai dua gerbang utama itu akan melapangkan jalan Sekutu ke daratan Jepang.
Tak ayal, Perang Dunia II pun menjadi buku pelajaran tentang taktik dan strategi perang yang talc lekang oleh zaman. Khususnya tentang bagaimana cara memenangkan perang (dan mengatasi konflik) di dua tempat sekaligus — jargon yang kerap dilontarkan panglima militer berbagai negara. Selain itu, kita khususnya juga bisa mempelajari gaya dan teknik manajerial jenderal-jenderal besar dunia.
Kemenangan tersebut toh tidak diraih secara mudah. Franklin D. Roosevelt sempat menghadapi kerepotan dalam menentramkan persaingan antar kesatuan (AD dan Marinir) dan menengahi para jenderalnya agar tetap fokus pada upaya memenangkan perang. Kemenangan pada kenyataannya hanya bisa dicapai lewat kerjasama.
“Kompetisi hanya bagus untuk mengerjakan sebuah tugas sampai titik tertentu, tidak lebih. Tetapi, lewat kerjasama, yang sejatinya harus kita perjuangkan setiap hari, untuk bidang pekerjaan apa pun, hanya bisa dimulai setelah kita menanggalkan kompetisi.” Begitu lah sari pati kemenangan yang ditinggalkan Franklin D. Roosevelt.
Kemenangannya dalam PD II juga menyuguhkan fakta bahwa AS dikendalikan oleh politisi, teknokrat, dan petinggi militer yang cerdas, cerdik, dan bisa saling bekerjasama untuk mencapai tujuan yang besifat global. Perjalanan PD II memang tak hanya ditentukan oleh kekuatan AS. Di dalamnya juga terlibat cukup dominan Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan Jepang. Namun, lewat editorial kali ini, menarik kiranya jika kita menyoroti ten-tang “kepemimpinan, sportivitas dan fairness” AS yang rasa-rasanya sudah tidak muncul lagi dalam perang-perang selanjutnya. Kemenangan itu dicapai lewat adu strategi dari jenderal-jenderal yang lebih kurang se-level, dan praktis bukan oleh adu senjata yang tidak imbang.
Kemenangan Sekutu atas Jerman dalam Perang Eropa sangat ditentukan oleh keberhasilan melancarkan serangan yang terencana dan terukur dengan Operasi Overlord sebagai langkah pembuka. Serangan yang dimulai dengan pendaratan 165.000 pasukan di Pantai Normandia itu sebenarnya bisa dipatahkan dengan mudah oleh Jerman. Hanya keyakinan seorang Eisenhower dan keberuntungan AS lah yang bisa membuat serangan itu berhasil. Keberuntungan, belakangan kerap dikedepankan, karena Adolf Hitler, pemimpin Jerman, telah mengubah susunan panglima perang dan hirarki kewenangan pengerahan senjata hingga tidak kondusif untuk mematahkan serbuan Sekutu.
Panglima Sekutu Jenderal Dwight D. Eisenhower sebenarnya lebih mewaspadai langkah yang akan diambil Erwin Rommel, panglima tempur Jerman yang pernah bertempur melawan Sekutu di Afrika Utara. “Beruntung” Erwin telah disingkirkan, sementara Field Marshal Gerd von Rundstedt, penggantinya, tak leluasa menyerang karena terbelit masalah birokrasi pengerahan kekuatan.
Beberapa waktu sebelum serangan Jepang ke Pearl Harbor terjadi, Presiden Franklin D. Roosevelt dan petinggi militer AS pernah bersepakat dengan Inggris soal bagaimana menundukan Jerman dan mitra aksisnya: Jepang. Sekutu hams mengalahkan Jerman terlebih dulu sebelum melebur Jepang, karena Jerman merupakan negara yang paling kuat dan paling berbahaya.
Demikianlah, “keberuntungan” AS di palagan Eropa pun membuka peluang untuk menuntaskan dominasi Jepang di Pasifik.
Dalam buku Perang Pasifik II ini Anda akan kami ajak mengikuti langkah catur AS menundukkan Jepang. Untuk menutup dominasi Jepang, secara cerdik Jenderal Douglas MacArthur, Laksamana Raymond Spruance dan Laksamana Richmond Turner sepakat untuk lebih dulu menguasai Okinawa dan Iwo Jima. Keberhasilan menguasai dua gerbang utama itu akan melapangkan jalan Sekutu ke daratan Jepang.
Tak ayal, Perang Dunia II pun menjadi buku pelajaran tentang taktik dan strategi perang yang talc lekang oleh zaman. Khususnya tentang bagaimana cara memenangkan perang (dan mengatasi konflik) di dua tempat sekaligus — jargon yang kerap dilontarkan panglima militer berbagai negara. Selain itu, kita khususnya juga bisa mempelajari gaya dan teknik manajerial jenderal-jenderal besar dunia.
Kemenangan tersebut toh tidak diraih secara mudah. Franklin D. Roosevelt sempat menghadapi kerepotan dalam menentramkan persaingan antar kesatuan (AD dan Marinir) dan menengahi para jenderalnya agar tetap fokus pada upaya memenangkan perang. Kemenangan pada kenyataannya hanya bisa dicapai lewat kerjasama.
“Kompetisi hanya bagus untuk mengerjakan sebuah tugas sampai titik tertentu, tidak lebih. Tetapi, lewat kerjasama, yang sejatinya harus kita perjuangkan setiap hari, untuk bidang pekerjaan apa pun, hanya bisa dimulai setelah kita menanggalkan kompetisi.” Begitu lah sari pati kemenangan yang ditinggalkan Franklin D. Roosevelt.
Artikel Lainnya:
No Response to "Kepemimpinan Yang Memenangkan Perang"
Posting Komentar