Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Asia
Pendekar pedang zaman modern awal kebanyakan merupakan orang berilmu tinggi yang hidup mengasingkan diri dari dunia fana, agak bernuansa ala orang kebatinan.
Terkadang mereka berhubungan dengan kaum cendekiawan, itulah mengapa mereka dikagumi oleh generasi penerus, terutama yang berasal dari masa akhir Dinasti Manchu/Qing – awal Republik China, jiwa kependekaran telah terbangkitkan,
Banyak orang ternama terkadang menyebut dirinya sebagai pendekar pedang, seperti Qiu Jin, perempuan revolusioner terkenal pada masa akhir Dinasti Qing. Ia menamakan dirinya “Pendekar perempuan dari danau Jian”. Lu Xun, sastrawan besar China, juga pernah menggunakan julukan “Sastrawan pedang tangguh”, yang meniru julukan seorang tokoh pendekar pedang di dalam cerita silat.
Dari kalimat di atas bisa diketahui, masa kejayaan pedang sebagai senjata adalah pada kurun waktu panjang antara periode Musim Semi-Gugur dan Negeri Saling Berperang (Chunqiu Zhanguo, abad-16 – 3 SM) sampai Dinasti Qin serta Han (206 SM – 220 Masehi).
Orang pada zaman itu begitu membahas ilmu bela diri, pada umumnya tak bisa lepas dari pedang. Maka dalam situasi di mana pedang mendominasi, selain telah memunculkan sekelompok ahli ilmu pedang yang canggih, juga telah mengakumulasi sejumlah teori dan pengalaman wawasan tentang pedang dan penggunaannya.
Negara Yue pada akhir periode Chunqiu merupakan kiblat pembuatan pedang. Ketika itu lahir seorang ahli ilmu pedang perempuan tersohor bernama Yue Nu. Meski ia masih muda belia, tapi telah berhasil mengalahkan Yuan Gong, si pendekar pedang senior yang telah memiliki nama besar.
Pasukan Negara Yue juga pernah mengundangnya menjadi pelatih ilmu seni bela diri. Yue Nu acap kali berdiskusi membahas pedang dengan Gou Jian, sang raja Yue. Dalam kitab kuno Wu Yue Chun Qiu (Periode Musim Semi-Gugur Raja Wu dan Raja Yue) tercatat sejumlah kisah tentang pendefinisian pedang oleh Yue Nu.
Ia beranggapan jalan (Tao) menggunakan pedang harus, “Spirit di dalam mantap, dari luar terlihat tenang”. Diibaratkan sebelum pedang dihunus bagaikan seorang perempuan cantik dengan sikap anggun, setelah pedang dihunus, bagaikan harimau ganas turun dari gunung.
Di dalam duel ilmu pedang gerakan dan ritme serta langkah kaki harus selaras dengan batin, ini yang dinamakan spirit dan tubuh saling mengisi, inilah tingkatan tertinggi di dalam ilmu pedang. Teori Yue Nu tersebut banyak ditiru oleh generasi penerus, terutama yang berhubungan dengan jiwa dan raga, brillian dan teliti.
Yue Nu telah mengutarakan sebuah kunci mengenai teknik bertarung (dengan pedang), seratus cendekiawan tersohor pada periode Musim Semi-Gugur (Chunqiu) dan generasi setelah Yue Nu, banyak berpolemik mengenai teknik pertarungan pedang, namun kebanyakan hanya menjadikan pedang sebagai perumpamaan, tapi sebenarnya menjelaskan prinsip-prinsip bagaimana menjadi manusia seutuhnya dan bagaimana mengatur pemerintahan.
Sima Qian ahli sejarah zaman Han Barat (206 SM – 25 Masehi) sewaktu menulis kitab Shi Ji (Catatan Sejarah), ia khusus membuat serial tentang “Kisah Pendekar” dan “Kisah Pembunuh Raja” untuk melukiskan para pendekar sejak zaman Chunqiu. Sima Qian menyebutkan bahwa leluhurnya sendiri pernah dengan “teori pewarisan pedang” terkenal pada zamannya.
Ia juga memiliki pemahaman canggih terhadap teknik ilmu pedang dan berpendapat manusia yang tidak “berbudi”, jangan diwarisi ilmu pedang dan kemiliteran. Teknik ilmu pedang sama dengan “Dao (Taoisme)”, “Ke dalam dapat mengendalikan kesehatan, ke luar dapat menjaga hal yang tak terduga”.
Ini jelas, Sima Qian kala itu telah mengangkat teori ilmu pedang ke suatu taraf tinggi yang terbaru, dengan pedoman kepribadian luhur seorang pendekar yang digunakan pada generasi sesudahnya adalah persis sama, kemanunggalan antara jiwa dan raga, antara manusia dengan Tuhannya, serta dengan batin menggerakkan pedang.
Filsuf Zhuangzi dengan teori 3 pedangnya yakni:
“Ke satu: pedang putera Langit, kedua: pedang Adipati, ketiga: pedang Rakyat Jelata.” Ia membuat raja Yue sangat menyesal dan malu telah menewaskan dan melukai banyak orang lantaran siang-malam menggandrungi bertarung dengan pedang hingga akhirnya tidak mau lagi bicara tentang pedang.
Zhuangzi dengan pedang putera Langit mengusulkan kepada raja Yue, juga mengandung makna menyanjung raja Yue dan mengindikasikan raja Yue seharusnya memiliki tekad besar menyatukan seluruh negeri.
Pedang adipati digunakan untuk meme-rintah sebuah negara-adipati, memerintah negara-adipati terutama terletak pada mampu mendaya-gunakan manusia, meski auranya tidak bisa menandingi pedang putera Langit, namun Zhuangzi tidak sampai memandang rendah pedang adipati, pedang itu juga tanpa tanding, karena raja Yue sendiri (sebelumnya) juga seorang adipati.
Pedang Rakyat Jelata menunjuk para manusia yang tak memiliki tujuan besar. “3 pedang” Zhuangzi juga telah menyampaikan sebuah tujuan utama, yakni orang dalam posisinya mengerjakan sesuatu hal, dengan predikat adipati atau raja tidak sepatutnya memiliki ketrampilan bermain pedang, memerintah dengan kepemimpinan yang baik barulah pekerjaan yang semestinya dilakukan.
“Teori pedang Zhuangzi” agak bernuansa fabel, namun bagi manusia zaman sekarang, masih saja bermakna mendalam. (Chen Shicong/The Epoch Times/whs)
Sumber: http://www.epochtimes.co.id
Artikel Lainnya:
No Response to "Pendekar Perempuan dan Ilmu Pedang"
Posting Komentar