Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,
Pada masa jayanya, Romawi adalah kekuatan superpower. Tentaranya banyak, berdisiplin, terlatih, memiliki teknologi dan strategi bertempur paling hebat. Kekuasaannya membentang dari Eropa sampai ke Afrika. Namun demikian, ada peristiwa sejarah di mana tentara Romawi yang perkasa itu kalah telak dalam satu pertempuran.

Di hutan Teutoburg (dekat dengan Detmold, Jerman sekarang) pada 9 M, lebih dari 20.000 tentara Romawi terbantai oleh pemberontak Germania. Di hari ketiga peperangan, panglima Publius Quinctilius Varus bunuh diri dengan menghujamkan diri ke pedangnya, diikuti oleh para komandannya, setelah merasa tidak ada sedikitpun harapan untuk menang atau mundur. Di hutan yang lebat, berlumpur dan ditimpa hujan angin, tentaranya menjadi tidak berdaya. Persenjataan berat yang dibawa justru menyulitkan manuver. Formasi-formasi kolom yang menjadi andalan, tidak dapat dilakukan. Keunggulan strategi dan persenjataan di medan datar dan lapang menjadi kelemahan besar ketika dipakai di medan berhutan. Tiga legiun, 6 cohorts infanteri, dan 3 skuadron kavaleri Romawi habis terbabat. Kaisar Agustus menjerit histeris mendapati kepala sang panglima beserta kabar musnahnya legiun XVII, XVIII, XIX yang menjadi andalannya. Ekspansi ke Eropa Utara pun terhenti untuk selamanya.

Peristiwa kekalahan Romawi di hutan Teutoburg adalah contoh perang asimetris, yaitu perang yang tidak mengandalkan kekuatan yang berimbang dan aturan main yang sama. Menghadapi Romawi yang lebih kuat, orang-orang Germania tidak melawan secara frontal di medan yang mereka kuasai. Mereka menanti untuk menyerang di medan yang tidak dikuasai lawan, sehingga segala kekuatan lawan menjadi tidak relevan. Dalam sejarah, kejadian seperti itu berulang. History repeats for those who don’t learn. Pihak yang lemah selalu melancarkan strategi perang asimetris untuk menghadapi lawan yang lebih kuat. Perang gerilya, misalnya, adalah satu contoh. Dalam perang gerilya, serangan dilakukan ketika musuh lengah. Strateginya: serang dan lari (hit and run). Ketika tidak menyerang, mereka tidak terlihat. Ukuran menang-kalah pun diubah. Dalam perang gerilya, apabila pihak yang lemah tidak tertumpas habis, berarti dia menang.

Mahatma Gandhi adalah contoh lain penggerak perang asimetris. Perang dia adalah perang moral, tanpa kekerasan. Tujuannya adalah mengekspos ke dunia luar mengenai kekejaman dan kejelekan moral penjajah Inggris. Semakin kekerasan dilakukan, semakin terekspos kejelekan penjajah Inggris. Namun, membiarkan Gandhi bergerak dengan massanya untuk melakukan aksi-aksi diam juga melemahkan legitimasi Inggris. Situasinya serba sulit bagi Inggris. Tentaranya yang besar dan terlatih tiba-tiba menjadi tidak relevan menghadapi pemberontakan ala Gandhi. Kemerdekaan India yang merupakan mahkota (crown jewel) daerah jajahan Inggris kemudian menjadi titik awal habisnya imperium Inggris.

Intifadha adalah bentuk lain perang asimetris. Menghadapi Israel yang sangat kuat secara militer, Palestina tidak memiliki peluang untuk menang dalam perang konvensional. Gerakan intifadha adalah gerakan moral. Batu dan ketapel tidak akan pernah menang melawan peluru dan tank. Namun, kekejaman dan kebrutalan Israel dalam menghadapi intifadha membuka wajah buruk pendudukan Israel ke seluruh dunia. Israel menang secara fisik, namun kalah secara moral.

Terorisme global adalah bentuk perang asimetris yang sekarang menjadi perhatian dunia. Hanya dengan belasan orang terlatih dan persiapan matang, negara sekuat Amerika Serikat dapat dipermalukan melalui peristiwa 9/11. Ribuan pesawat tempur, satelit, radar mutakhir, tank dan lainnya menjadi tidak ada manfaatnya untuk membendung serangan teroris. Yang dibutuhkan adalah strategi kontra-terorisme, sel melawan sel. Perangnya tersembunyi, jauh dari gambaran perang konvensional dengan segala taktik gelar pasukannya.

Dalam bisnis, strategi bersaing asimetris juga seringkali diterapkan. Terhadap penguasa pasar yang memiliki dana besar, outlet banyak dan produk beragam, pemain-pemain baru tidak menghadapinya secara frontal. Mereka melakukan penggerogotan pasar melalui cara-cara baru yang tidak konvensional. Penguasa pasar, yang merasa unggul dengan segala ”persenjataannya”, seringkali lengah dan menyepelekan. Ukuran-ukuran keberhasilan menurut kacamata penguasa pasar seringkali juga membutakan mereka.

Salah satu strategi umum dalam perang asimetris di bisnis adalah niche marketing. Penantang pasar yang lemah tidak langsung berusaha merebut pasar yang sudah dikuasai pemain-pemain besar, tapi mereka mengolah ceruk pasar unik yang tidak terpuaskan oleh layanan pemain-pemain besar. Aturan-aturan mengenai pelayanan, penentuan harga dan cara-cara pemasaran pun seringkali dirumus ulang menjadi sama sekali baru. Dalam beberapa kasus, keberhasilan mereka dalam merebut kue pasar juga dirahasiakan agar tidak merangsang minat pemain besar untuk masuk ke ceruk pasar mereka. Bagi mereka, kemenangan persaingan tidak berarti harus membuat pemain besar jatuh. Kalau bisa eksis secara nyaman tanpa terganggu, berarti mereka menang.

Sumber: http://hendroprasetyo.blogsome.com
Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Perang Asimetris, Perang yang Membuat Tentara Romawi Kalah Telak"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments