Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Eropa
Hanna Reitsch sedang beraudisi dengan tokoh idolanya, Hitler |
Jerman Nazi semasa Perang Pasifik rupanya juga memiliki unit bunuh diri yang dinamakan Selbstopfereinsatz. Satuan bunuh diri dibentuk untuk menghentikan gerak maju pasukan Soviet, dengan tugas utama menghancurkan akses jalan. Sebanyak 35 pilot meregang nyawa, sebagai wujud kesetiaan mereka. Di luar Jepang dengan kamikaze-nya, di negara lain tak dijumpai taktik serangan bunuh diri dengan pesawat yang terorganisasi seperti kamikaze. Kalau pun ada, maka umumnya merupakan aksi individual para pilotnya sendiri. Dalam Perang Dunia II di Eropa, ketika Jerman Nazi melancarkan invasi terhadap Uni Soviet dengan Operasi Barbarossa-nya, maka berbagai laporan menyebutkan sejumlah pilot Rusia dengan sengaja menabrakkan pesawat mereka terhadap pesawat Luftwaffe yang menyerang dengan kekuatan besar. Namun aksi heroik tersebut tampaknya lebih dipicu oleh rasa putus asa bercampur kebencian terhadap agresor Nazi, dan bukannya karena perintah atau petunjuk resmi atasan atau lembaganya.
Patung pahlawan Yunani, Leonidas, yang kemudian menjadi nama Skadron Bunuh Diri Nazi. |
Begitu pula sewaktu Jerman Nazi dipukul mundur dan terdesak di front timur, dilaporkan para pilot Jerman acap menabrakkan pesawatnya ke pesawat pengebom Soviet, sehingga kedua-duanya jatuh. Kejadian seperti ini misalnya terjadi sekitar pertengahan April 1945, tatkala pasukan Soviet berhasil menyeberangi Sungai Oder dan mulai memasuki wilayah Jerman. Apabila laporan ini benar, maka sungguh ironis, sebab merupakan kebalikan dari apa yang terjadi sewaktu Barbarossa pertengahan 1941!
Tetapi selain laporan aksi individu para pilot Rusia maupun Jerman, ternyata di lingkungan AU Jerman atau Luftwaffe pun dilaporkan pernah ada kesatuan serangan bunuh diri yang terorganisasi, meskipun tidak melembaga hingga tingkat tinggi seperti kamikaze Jepang. Sesudah pasukan darat Soviet mendesak pasukan Jerman dari Sungai Oder, mereka pun lalu berusaha memasuki wilayah Jerman dengan menyeberangi sungai ini. Mereka membangun sejumlah jembatan darurat, baik yang di atas permukaan sungai maupun yang di bawah permukaan air.
Skuadron Leonidas
Untuk menghancurkan jembatan Soviet ini, maka salah satu Skadron Luftwaffe yang dikenal dengan nama Skadron Leonidas (Pemimpin Sparta yang pada 460 SM berhasil menahan pasukan Persia yang jauh lebih besar di celah Thermopylae di Yunani Tel gah. Leonidas dan 300 pasukannya bertempur sampai semuanya gugur termasuk dirinya sendiri). Skadron yang berpangkalan di Juterborg ini tampaknya bertindak sendiri dalam usaha menahan majunya Tentara Merah. Skadron pimpinan Letkol Heiner Lange ini menyebut kesatuan khususnya Selbstopfereinsatz, yang kira-kira berarti misi dengan kerelaaan mengorbankan dinsendiri, self-sacrifice mission.
Jenis pesawat Focke Wulf 190 yang menjadi andalan Leonidas Skadron. |
Mereka yang bergabung menandatangani pernyataan yang diakhiri dengan kalimat, “bahwa saya memahami dengan amat jelas, misi saya niscaya berakhir dengan kematian”. Skadron Leonidas pada 16 April 1945 mengadakan “dansa perpisahan”, yang diikuti para pilotnya serta mengundang sejumlah wanita muda anggota Luftwaffe yang bertugas di kesatuan sinyal pangkalan ini. Hadir pula Mayjen Fuchs, panglima pasukan Jerman di wilayah itu yang dikabarkan “menahan air matanya” dalam acara perpisahan tersebut.
Pada 17 April pagi, berbagai jenis pesawat yang tersisa seperti Focke-Wulf 190, Messerschmitt 109, dan Junkers 88 diterbangkan untuk menggempur 32 jembatan atas air dan bawah permukaan yang sedang dibangun pasukan zeni Soviet di Sungai Oder. Mereka yang terbang pagi itu tak ada yang pulang ke pangkalannya Esoknya sejumlah pesawat diterbangkan lagi. Salah satunya, sebuah FockeWulf yang dipiloti Ernst Beichl disarati dengan born 500 kg. Sasarannya adalah jembatan ponton di dekat Zellin.
Jenis pesawat Me-109 yang menjadi andalan Leonidas Skadron. |
Penerbangan intai kemudian melaporkan jembatan tersebut memang hancur. Begitu pula jembatan kereta api di Kustrin. Namun laporan yang menyebutkan 17 jembatan berhasil dihancurkan dalam tiga hari serangan Selbstopfereinsatz, dianggap terlalu dibesar-besarkan. Kritik menyebutkan 35 jiwa pilot dan pesawat yang hilang dalam taktik serangan seperti itu sungguh disayangkan, sebab tidak sebanding dengan keberhasilan serangan yang terbatas dan sifatnya pun cuma sementara. Padahal hari demi hari Luftwaffe semakin kekurangan pesawat maupun pilot, yang tidak mungkin tergantikan dalam situasi semakin keteter.
Sekalipun demikian Mayjen Fuchs tetap menyertakan nama para pilot tersebut dalam ucapan selamat ulang tahun untuk sang pemimpin, Adolf Hitler, yang jatuh pada 20 April. Hitler yang memperingati hari ulang tahunnya yang terakhir di dalam bungkernya itu, disebutkan amat menghargai “hadiah” tersebut, pengorbanan jiwa para pilotnya demi Jerman Nazi. Namun operasi ala kamikaze Jepang itu langsung dihentikan, karena pasukan tank Soviet pimpinan Marsekal Ivan Konev tak terduga menyerbu ke arah Berlin dari tenggara, sehingga pangkalan Luftwaffe di Juterborg terancam terlindas.
Usulan Hanna Reitsch
Sebelum taktik Selbstopfereinsatz itu dilancarkan pertengahan April 1945, maka gagasan serangan bunuh diri pernah diajukan kepada Hitler sendiri oleh perempuan penerbang legendaris Jerman Hanna Reitsch. Dalam pertemuan akhir Februari 1944 di Berghof, tempat peristirahatan Hitler di pegunungan Bavaria, Reitsch menyatakan roket V-1 yang dikembangkan untuk menghancurkan London, kurang akurat untuk mengenai sasarannya. Padahal Hitler menaruh harapan besar terhadap senjata rahasianya ini, yang disebutnya sebagai senjata pamungkas untuk mengalahkan Sekutu.
Roket tanpa awak ini dirancang mampu dimuati satu ton bahan peledak, untuk diluncurkan ke London atau kota-kota sasaran lainnya di Inggris. Roket V-1 yang mencapai kecepatan lebih dari 750 km/jam dengan ketinggian terbang 1,5 km ini, jarak jangkauannya dapat ditentukan dengan menyetel mesinnya terlebih dulu. Pada jarak yang diinginkan, mesinnya akan mati dan roket pun jatuh bersama peledaknya. Dengan muatan peledak yang begitu besar, setiap roket diharapkan dapat menghancurkan satu blok kota.
Hanna Reitsch mengusulkan agar roket secara tepat mengenai sasaran, maka haruslah diawaki. Pilot dapat mengarahkan roketnya ke sasaran strategis tertentu, sehingga tidak asal menjatuhi kota sasaran. Namun cara ini berarti si pilot akan tewas, meledak bersama roketnya. Untuk itu diperlukan relawan yang bersedia mati demi Hitler dan kemenangan Jerman Nazi. Terhadap usulan ini, Hitler semula bersikap skeptis. Tetapi Reitsch meyakinkan hal ini pasti bisa dilakukan. Akhirnya usulan ini disetujui dengan melalui uji coba. Roket diisi pasir sebagai pengganti bahan peledak.
Dalam uji coba terbang dan mendaratkan kembali roket, dua pilot ternyata gagal. Reitsch lalu membuktikan sendiri, dan berhasil. “Persoalannya cuma kedua pilot tadi tidak tahu bagaimana mendaratkan pesawat berkecepatan tinggi,” katanya. Walau Reitsch sudah membuktikan sendiri bagaimana mengendalikan V-1, tetapi proyek serangan bunuh dui dengan roket V-1 ini gagal dan dihentikan. Penyebabnya tak lain adalah tidak ada pilot Jerman yang mau menjadi relawan. Sehingga V-1 mulai menyerang London sejak 13 Juni 1944, atau satu minggu sesudah D-Day, tak pernah ada pilot Kamikaze Jerman yang berada di dalalamnya. (rb)
Sumber: http://sejarahperang.wordpress.com/
Artikel Lainnya:
No Response to "Selbstopfereinsatz dar Lufwaffe"
Posting Komentar