Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Asia
Dalam perjuangan melawan militer Thailand, para pejuang Pattani menerapkan taktik gerilya. Salah satu panduannya adalah strategi gerilya yang pernah diterapkan di Indonesia.
Oleh Chairul Akhmad
Pergi ke Thailand —apalagi ke Pattani— bukanlah perjalanan mudah. Mumpung ada kesempatan saya tidak menyianyiakannya. Meski Ramadhan tak ada alasan untuk menunda. Pariwisata seorang muslim adalah berjihad fi sabilillah, itulah kalimat nabi saw yang memotivasi keberangkatan ke Thailand.
Terdapat beberapa elemen perjuangan rakyat Pattani yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Thailand. Diantaranya Pattani United Liberation Organisation (PULO), Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP), Gerakan Islam Pattani (GIP), Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP), dan Barisan Revolusi Nasional (BRN). BRN sendiri bertambah menjadi BRN Congress dan BRN Coordinate.
Meskipun semuanya menuntut kemerdekaan, tetapi masing-masing memiliki karakter dan identitas sendiri. Pernah ada upaya untuk menyatukan semua gerakan perlawanan ini dalam satu atap, dengan menggunakan istilah Bersatu, namun tak efektif.
Ketidakefektifan ini terjadi karena sejak awal didirikan, ideologi mereka berbeda. Akhirnya, mereka berjuang dengan cara masing-masing karena tidak mungkin disatukan dalam satu wadah.
Muhammad Abdur Rahman Abdus Samad, mantan Ketua Majelis Agama Islam Narathiwat yang juga tokoh masyarakat di Pattani, termasuk salah seorang ulama yang menyayangkan ketidakbersatuan gerakan-gerakan perjuangan ini. “Kalau semua unsur pejuang Pattani ini bersatu, bagus sekali. Perjuangan menjadi mudah, tidak terlalu berat. Tapi memang susah untuk bersatu dan menjadi satu ideologi,” ujarnya.
Pada tahun 2006, beberapa kelompok perlawanan menandatangani perjanjian nota rekonsiliasi Joint Peace and Development Plan for South Thailand (Perdamaian Bersama dan Rencana Pembangunan Thailand Selatan). Di antara mereka adalah PULO, BRN Congress, GMIP, dan Barisan Pembebasan Islam Pattani (BPIP). Namun, tidak menghasilkan hal-hal yang konkrit demi terciptanya perdamaian. Akhirnya, gerakan-gerakan perjuangan mengangkat senjata dan melakukan perlawanan. Hingga kini yang termasuk aktif melakukan serangan adalah BRN dan PULO, namun kedua kelompok tak pernah mau mengaku. Gerilya yang mereka terapkan dilakukan secara underground dan diam-diam.
Inilah yang membuat sebagian besar warga Pattani bingung. Ada serangan terhadap militer Thailand, namun tidak ada pihak yang bertanggung-jawab. Semua gerakan perjuangan tutup mulut. Kondisi ini tentu saja kian memperuncing keadaan, karena dengan demikian, militer Thailand dapat melakukan serangan-serangan agresif dan pembunuhan semaunya. Mumpung trennya begitu –tak ada pihak yang mengaku-, yang otomatis sasaran tudingan akan mengarah kepada kelompok-kelompok perlawanan. Ibaratnya, militer kerajaan dapat memancing di air keruh, di tengah ketidakpastian situasi yang mendera. Hal ini sebenarnya disayangkan oleh sejumlah ulama dan tokoh masyarakat Islam di wilayah selatan, karena yang kerap menjadi korban adalah warga sipil tak berdosa.
Seorang pejabat pemerintah di Provinsi Yala yang enggan disebutkan namanya mengatakan, terdapat banyak kelompok perlawanan di selatan Thailand, namun tidak ada yang mengaku kala terjadi serangan. “Di sini beda dengan negara-negara lain, di mana pelaku penyerangan atau pemboman biasanya mengaku dan menyebutkan diri. Di sini tak ada yang mengaku, padahal jelas-jelas mereka yang melakukan serangan terhadap askar (tentara) kerajaan,” katanya.
Berdasarkan informasi yang beredar secara terbatas, yang termasuk getol beraksi adalah kelompok BRN. Mereka pula yang kerap merepotkan tentara kerajaan dengan aksi-aksi “siluman” dengan menyerang secara hit and run. Pasukan kerajaan sendiri bingung bukan kepalang. Mereka mengibaratkan diri melawan hantu yang tak tampak, namun terasa benar efek serangannya. Telah banyak korban dari pihak tentara akibat serangan bom maupun tembakan sniper (penembak jitu). Namun, pemerintah Thailand tak pernah memublikasikannya.
Taktik gerilya negeri seberang
Taktik gerilya para pejuang BRN terkenal cermat, penuh perhitungan, terorganisir rapi dan matang. Tentara Kerajaan Thailand jarang sekali berhasil menangkap para pelaku. Ketika melakukan serangan, para gerilyawan selalu memperhitungkan kapan patroli kerajaan lewat di suatu wilayah, lalu melepaskan tembakan atau melempar bom dan melarikan diri. Senjata kemudian diletakkan di suatu tempat yang telah ditentukan lantas diambil oleh pejuang lain untuk disembunyikan. Pelaku tembakan segera bersembunyi ke arah lain, kemudian muncul laskar berbeda berpakaian sipil mendatangi tempat serangan semula untuk mengelabui militer Thailand.
Ketika tentara mengejar pelaku serangan, yang mereka dapatkan adalah pejuang berpakaian sipil yang lain. Tentu saja militer kerajaan ini tidak mendapatkan apa-apa ketika melakukan pemeriksaan. Mereka juga tidak berhasil mengejar pejuang yang melakukan serangan karena telah menghilang. Tak heran jika sebenarnya tentara kerajaan menderita stress dan paranoid karena berperang dengan musuh yang tak tampak.
Yang lebih mengagumkan, ternyata taktik dan siasat perjuangan gerilyawan Pattani didapatkan dari Indonesia. “Kami belajar taktik gerilya dari buku bapak Abdul Haris, seorang jendral Indonesia yang ternama,” ujar salah seorang pejuang BRN yang enggan disebutkan namanya. Maksudnya adalah Jendral AH Nasution, ahli perang gerilya dan penulis buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare.
Kelompok terkecil milisi terdiri dari lima orang yang disebut arkeke. Salah satunya menjadi ketua kelompok. Tiap komandan arkeke ini hanya kenal dengan komandan arkeke lain, tidak dengan anggotanya. Koordinasi hanya dilakukan lewat ketua saja. Pun, tiap ketua kelompok terkecil ini juga merupakan sebuah kelompok dari kelompok di atasnya. Mereka juga terdiri dari beberapa orang dan dikomandani oleh seorang ketua. Demikian seterusnya hingga puncuk pimpinan. Dengan sistem sel yang rapi dan terkoordinir ini, membuat gerak dan langkah perjuangan jarang bocor.
Masyarakat pun tak tahu siapa-siapa yang menjadi anggota maupun simpatisan pejuang. Padahal para pejuang ini hidup membaur dengan masyarakat. Mereka adalah warga kota dan kampung-kampung yang bekerja dan mencari nafkah sebagaimana layaknya anggota masyarakat lain. Ada yang bekerja sebagai petani, nelayan maupun pegawai pemerintah dan swasta. Kadang seorang pejuang tidak mengetahui kalau tetangga sebelah rumahnya adalah pejuang juga, yang terdaftar pada kelompok lain. Demikian pula sebaliknya.
Dalam struktur BRN terdapat beberapa divisi yang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, diantaranya divisi militer, politik, dan ekonomi. Divisi militer tugasnya adalah latihan perang dan melakukan serangan atau gerilya. Divisi politik bertugas memobilisasi massa, melakukan pemberdayaan, dan diplomasi. Sedangkan divisi ekonomi berkonsentrasi dalam hal pencarian dana untuk menunjang gerak dan langkah perjuangan. Pun demikian, tiap anggota antar divisi ini tak mengenal satu sama lain, kecuali di tingkat pimpinan tertentu saja.
Sebagai pasukan gerilya yang bergerak underground, awalnya para pejuang ini bermarkas di hutan-hutan yang terdapat di berbagai wilayah selatan. Namun, setelah tentara kerajaan Thailand melakukan serangan besar-besaran dengan menggunakan senjata dan peralatan tempur yang lebih modern, para pejuang akhirnya berpindah-pindah tempat. Kini, mereka tidak hanya bergerilya di bukit-bukit, tapi juga mulai masuk kota dan perkampungan. Melakukan serangan-serangan sporadis, meledakkan bom, melakukan penembakan, lalu menghilang.
Para pejuang ini tak kenal menyerah dan pantang mundur dari medan laga. Targetnya, merdeka atau mati syahid. “Tak ada istilah kalah dalam perjuangan Islam. Kalau menang kita berjaya, kalau mati kita syahid,” kata seorang gerilyawan di Pattani. Pejuang yang pernah berjihad di Afghanistan bersama Imam Samudera ini, menyebutkan adanya keterkaitan antara pejuang Pattani dan mujahidin Indonesia.
Hal ini memang sempat disinggung oleh Imam Samudera ketika bertemu Sabili di Lapas Batu Nusakambangan beberapa hari menjelang Ramadhan 1429H lalu. Imam bahkan memberikan beberapa kontak di Pattani. “Mereka adalah mujahidin alumni Afghanistan. Kalau antum (Anda) bertemu mereka, sampaikan salam saya,” pesan Imam. Sayang, keterbatasan waktu dan kondisi yang tak memungkinkan kontak-kontak tersebut tak sempat ditemukan.
Namun, laskar Islam itu berjanji akan mengantarkan Sabili bertemu nama-nama yang disebutkan Imam jika berkunjung lagi ke Pattani. “Kami belum bisa membawa Anda ke markas sebelum kami yakin betul Anda adalah orang yang diamanahi akhi (saudara) Imam,” kata pemuda yang sehari-hari mencari nafkah dengan menyadap karet ini.
Bertemu dengan para pejuang Pattani memang tidak mudah, walau mereka tersebar di tiap kampung dan kota. Selain melalui jalur dan kontak yang rumit, kita harus bisa mendapatkan kepercayaan mereka dan punya penjamin orang lokal. Maksudnya, harus ada tokoh agama atau tokoh masyarakat setempat yang kita kenal dan bisa menjamin bahwa kita adalah orang yang bisa dipercaya. Walau sebenarnya, beberapa orang yang sempat ditemui adalah para pejuang, namun mereka tidak mengaku dan enggan membuka diri. “Mereka memang tidak mudah ditemui, apalagi terhadap orang asing yang baru dikenal,” kata Abdul, warga Pattani yang mengaku simpatisan pejuang.
Sayang, di tengah menggebunya semangat membebaskan diri dari belenggu penjajahan, masih ada saja sebagian warga Pattani yang berkhianat. Mereka rela menjadi mata-mata kerajaan demi lembaran-lembaran baht (mata uang Thailand). Pihak kerajaan memberi mereka uang sebesar 4000-5000 baht untuk mencari informasi tentang gerilyawan. Kebanyakan mereka adalah orang-orang tak punya, yang memang sengaja dijadikan SB (special brain) atau mata-mata. Selain orang-orang tak mampu, banyak juga para pejabat Muslim yang ikutan-ikutan menjadi SB. Tak heran, jika orang-orang seperti ini kerap menjadi sasaran penembakan para gerilyawan.
Berharap dukungan
Kendala yang dialami para pejuang Pattani dalam melakukan perlawanan adalah tidak adanya dukungan dari negara-negara Islam lainnya, termasuk Malaysia dan Indonesia. Berbeda dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Indonesia, yang banyak menuai simpati dari luar kala mengangkat senjata dulu. Para pejuang Pattani ini miskin bantuan, baik dalam hal dana maupun persenjataan. Senjata yang mereka pakai kebanyakan hasil rampasan dari militer Thailand. Hal ini sangat disayangkan oleh kaum muslimin di sana.
Menurut Abdur Rahman, hanya ada satu negara yang menyokong perjuangan Muslim-Pattani, yaitu Syria. “Mereka banyak memberikan bantuan dana, perlindungan, suaka politik, dan lainnya. Dulu ada Libya dan Iran, namun sekarang sudah hilang. Bahkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) pun tak bisa bersuara dalam menyelesaikan masalah Pattani ini,” kata tokoh agama yang juga mantan anggota National Reconciliation Commission (NRC) Komisi Rekonsiliasi Nasional. Sebuah komisi yang dibentuk pemerintah Thailand dengan tujuan menyelesaikan konflik namun tanpa hasil, karena pemerintah tidak pernah mau melaksanakan butir-butir rekomendasi yang dihasilkan NRC.
Tuan Guru Haji Ismail Hari, Kadi Syar’i Majelis Agama Islam Yala, mewakili seluruh kaum muslimin di Pattani berharap umat Islam di Indonesia mau memberikan perhatian dan dukungan terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam di Thailand Selatan. “Karena bagaimanapun, bagi umat Islam di sini, Indonesia itu adalah sebagai bapak dan Malaysia itu sebagai kakak. Kita di sini tidak ada tempat meminta tolong dan perlindungan. Kalau bukan saudara-saudara di Indonesia dan Malaysia, kepada siapa lagi? Paling tidak, bantulah kami dengan doa,” katanya lirih.
Sebagai umat Islam terbesar di dunia, yang dianggap bapak oleh saudara sesama Muslim yang tengah tertindas di Thailand Selatan, hendaknya kita tergugah memberikan bantuan. Apa pun bentuknya, sekuat dan semampu kita. Kalau tak ada jua, cukuplah dengan doa. Sebuah pinta yang sangat sederhana. Masihkah kita enggan memberi dan berbagi?
Sumber: http://www.nadinews.com
Pergi ke Thailand —apalagi ke Pattani— bukanlah perjalanan mudah. Mumpung ada kesempatan saya tidak menyianyiakannya. Meski Ramadhan tak ada alasan untuk menunda. Pariwisata seorang muslim adalah berjihad fi sabilillah, itulah kalimat nabi saw yang memotivasi keberangkatan ke Thailand.
Terdapat beberapa elemen perjuangan rakyat Pattani yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Thailand. Diantaranya Pattani United Liberation Organisation (PULO), Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP), Gerakan Islam Pattani (GIP), Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP), dan Barisan Revolusi Nasional (BRN). BRN sendiri bertambah menjadi BRN Congress dan BRN Coordinate.
Meskipun semuanya menuntut kemerdekaan, tetapi masing-masing memiliki karakter dan identitas sendiri. Pernah ada upaya untuk menyatukan semua gerakan perlawanan ini dalam satu atap, dengan menggunakan istilah Bersatu, namun tak efektif.
Ketidakefektifan ini terjadi karena sejak awal didirikan, ideologi mereka berbeda. Akhirnya, mereka berjuang dengan cara masing-masing karena tidak mungkin disatukan dalam satu wadah.
Muhammad Abdur Rahman Abdus Samad, mantan Ketua Majelis Agama Islam Narathiwat yang juga tokoh masyarakat di Pattani, termasuk salah seorang ulama yang menyayangkan ketidakbersatuan gerakan-gerakan perjuangan ini. “Kalau semua unsur pejuang Pattani ini bersatu, bagus sekali. Perjuangan menjadi mudah, tidak terlalu berat. Tapi memang susah untuk bersatu dan menjadi satu ideologi,” ujarnya.
Pada tahun 2006, beberapa kelompok perlawanan menandatangani perjanjian nota rekonsiliasi Joint Peace and Development Plan for South Thailand (Perdamaian Bersama dan Rencana Pembangunan Thailand Selatan). Di antara mereka adalah PULO, BRN Congress, GMIP, dan Barisan Pembebasan Islam Pattani (BPIP). Namun, tidak menghasilkan hal-hal yang konkrit demi terciptanya perdamaian. Akhirnya, gerakan-gerakan perjuangan mengangkat senjata dan melakukan perlawanan. Hingga kini yang termasuk aktif melakukan serangan adalah BRN dan PULO, namun kedua kelompok tak pernah mau mengaku. Gerilya yang mereka terapkan dilakukan secara underground dan diam-diam.
Inilah yang membuat sebagian besar warga Pattani bingung. Ada serangan terhadap militer Thailand, namun tidak ada pihak yang bertanggung-jawab. Semua gerakan perjuangan tutup mulut. Kondisi ini tentu saja kian memperuncing keadaan, karena dengan demikian, militer Thailand dapat melakukan serangan-serangan agresif dan pembunuhan semaunya. Mumpung trennya begitu –tak ada pihak yang mengaku-, yang otomatis sasaran tudingan akan mengarah kepada kelompok-kelompok perlawanan. Ibaratnya, militer kerajaan dapat memancing di air keruh, di tengah ketidakpastian situasi yang mendera. Hal ini sebenarnya disayangkan oleh sejumlah ulama dan tokoh masyarakat Islam di wilayah selatan, karena yang kerap menjadi korban adalah warga sipil tak berdosa.
Seorang pejabat pemerintah di Provinsi Yala yang enggan disebutkan namanya mengatakan, terdapat banyak kelompok perlawanan di selatan Thailand, namun tidak ada yang mengaku kala terjadi serangan. “Di sini beda dengan negara-negara lain, di mana pelaku penyerangan atau pemboman biasanya mengaku dan menyebutkan diri. Di sini tak ada yang mengaku, padahal jelas-jelas mereka yang melakukan serangan terhadap askar (tentara) kerajaan,” katanya.
Berdasarkan informasi yang beredar secara terbatas, yang termasuk getol beraksi adalah kelompok BRN. Mereka pula yang kerap merepotkan tentara kerajaan dengan aksi-aksi “siluman” dengan menyerang secara hit and run. Pasukan kerajaan sendiri bingung bukan kepalang. Mereka mengibaratkan diri melawan hantu yang tak tampak, namun terasa benar efek serangannya. Telah banyak korban dari pihak tentara akibat serangan bom maupun tembakan sniper (penembak jitu). Namun, pemerintah Thailand tak pernah memublikasikannya.
Taktik gerilya negeri seberang
Taktik gerilya para pejuang BRN terkenal cermat, penuh perhitungan, terorganisir rapi dan matang. Tentara Kerajaan Thailand jarang sekali berhasil menangkap para pelaku. Ketika melakukan serangan, para gerilyawan selalu memperhitungkan kapan patroli kerajaan lewat di suatu wilayah, lalu melepaskan tembakan atau melempar bom dan melarikan diri. Senjata kemudian diletakkan di suatu tempat yang telah ditentukan lantas diambil oleh pejuang lain untuk disembunyikan. Pelaku tembakan segera bersembunyi ke arah lain, kemudian muncul laskar berbeda berpakaian sipil mendatangi tempat serangan semula untuk mengelabui militer Thailand.
Ketika tentara mengejar pelaku serangan, yang mereka dapatkan adalah pejuang berpakaian sipil yang lain. Tentu saja militer kerajaan ini tidak mendapatkan apa-apa ketika melakukan pemeriksaan. Mereka juga tidak berhasil mengejar pejuang yang melakukan serangan karena telah menghilang. Tak heran jika sebenarnya tentara kerajaan menderita stress dan paranoid karena berperang dengan musuh yang tak tampak.
Yang lebih mengagumkan, ternyata taktik dan siasat perjuangan gerilyawan Pattani didapatkan dari Indonesia. “Kami belajar taktik gerilya dari buku bapak Abdul Haris, seorang jendral Indonesia yang ternama,” ujar salah seorang pejuang BRN yang enggan disebutkan namanya. Maksudnya adalah Jendral AH Nasution, ahli perang gerilya dan penulis buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare.
Kelompok terkecil milisi terdiri dari lima orang yang disebut arkeke. Salah satunya menjadi ketua kelompok. Tiap komandan arkeke ini hanya kenal dengan komandan arkeke lain, tidak dengan anggotanya. Koordinasi hanya dilakukan lewat ketua saja. Pun, tiap ketua kelompok terkecil ini juga merupakan sebuah kelompok dari kelompok di atasnya. Mereka juga terdiri dari beberapa orang dan dikomandani oleh seorang ketua. Demikian seterusnya hingga puncuk pimpinan. Dengan sistem sel yang rapi dan terkoordinir ini, membuat gerak dan langkah perjuangan jarang bocor.
Masyarakat pun tak tahu siapa-siapa yang menjadi anggota maupun simpatisan pejuang. Padahal para pejuang ini hidup membaur dengan masyarakat. Mereka adalah warga kota dan kampung-kampung yang bekerja dan mencari nafkah sebagaimana layaknya anggota masyarakat lain. Ada yang bekerja sebagai petani, nelayan maupun pegawai pemerintah dan swasta. Kadang seorang pejuang tidak mengetahui kalau tetangga sebelah rumahnya adalah pejuang juga, yang terdaftar pada kelompok lain. Demikian pula sebaliknya.
Dalam struktur BRN terdapat beberapa divisi yang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, diantaranya divisi militer, politik, dan ekonomi. Divisi militer tugasnya adalah latihan perang dan melakukan serangan atau gerilya. Divisi politik bertugas memobilisasi massa, melakukan pemberdayaan, dan diplomasi. Sedangkan divisi ekonomi berkonsentrasi dalam hal pencarian dana untuk menunjang gerak dan langkah perjuangan. Pun demikian, tiap anggota antar divisi ini tak mengenal satu sama lain, kecuali di tingkat pimpinan tertentu saja.
Sebagai pasukan gerilya yang bergerak underground, awalnya para pejuang ini bermarkas di hutan-hutan yang terdapat di berbagai wilayah selatan. Namun, setelah tentara kerajaan Thailand melakukan serangan besar-besaran dengan menggunakan senjata dan peralatan tempur yang lebih modern, para pejuang akhirnya berpindah-pindah tempat. Kini, mereka tidak hanya bergerilya di bukit-bukit, tapi juga mulai masuk kota dan perkampungan. Melakukan serangan-serangan sporadis, meledakkan bom, melakukan penembakan, lalu menghilang.
Para pejuang ini tak kenal menyerah dan pantang mundur dari medan laga. Targetnya, merdeka atau mati syahid. “Tak ada istilah kalah dalam perjuangan Islam. Kalau menang kita berjaya, kalau mati kita syahid,” kata seorang gerilyawan di Pattani. Pejuang yang pernah berjihad di Afghanistan bersama Imam Samudera ini, menyebutkan adanya keterkaitan antara pejuang Pattani dan mujahidin Indonesia.
Hal ini memang sempat disinggung oleh Imam Samudera ketika bertemu Sabili di Lapas Batu Nusakambangan beberapa hari menjelang Ramadhan 1429H lalu. Imam bahkan memberikan beberapa kontak di Pattani. “Mereka adalah mujahidin alumni Afghanistan. Kalau antum (Anda) bertemu mereka, sampaikan salam saya,” pesan Imam. Sayang, keterbatasan waktu dan kondisi yang tak memungkinkan kontak-kontak tersebut tak sempat ditemukan.
Namun, laskar Islam itu berjanji akan mengantarkan Sabili bertemu nama-nama yang disebutkan Imam jika berkunjung lagi ke Pattani. “Kami belum bisa membawa Anda ke markas sebelum kami yakin betul Anda adalah orang yang diamanahi akhi (saudara) Imam,” kata pemuda yang sehari-hari mencari nafkah dengan menyadap karet ini.
Bertemu dengan para pejuang Pattani memang tidak mudah, walau mereka tersebar di tiap kampung dan kota. Selain melalui jalur dan kontak yang rumit, kita harus bisa mendapatkan kepercayaan mereka dan punya penjamin orang lokal. Maksudnya, harus ada tokoh agama atau tokoh masyarakat setempat yang kita kenal dan bisa menjamin bahwa kita adalah orang yang bisa dipercaya. Walau sebenarnya, beberapa orang yang sempat ditemui adalah para pejuang, namun mereka tidak mengaku dan enggan membuka diri. “Mereka memang tidak mudah ditemui, apalagi terhadap orang asing yang baru dikenal,” kata Abdul, warga Pattani yang mengaku simpatisan pejuang.
Sayang, di tengah menggebunya semangat membebaskan diri dari belenggu penjajahan, masih ada saja sebagian warga Pattani yang berkhianat. Mereka rela menjadi mata-mata kerajaan demi lembaran-lembaran baht (mata uang Thailand). Pihak kerajaan memberi mereka uang sebesar 4000-5000 baht untuk mencari informasi tentang gerilyawan. Kebanyakan mereka adalah orang-orang tak punya, yang memang sengaja dijadikan SB (special brain) atau mata-mata. Selain orang-orang tak mampu, banyak juga para pejabat Muslim yang ikutan-ikutan menjadi SB. Tak heran, jika orang-orang seperti ini kerap menjadi sasaran penembakan para gerilyawan.
Berharap dukungan
Kendala yang dialami para pejuang Pattani dalam melakukan perlawanan adalah tidak adanya dukungan dari negara-negara Islam lainnya, termasuk Malaysia dan Indonesia. Berbeda dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Indonesia, yang banyak menuai simpati dari luar kala mengangkat senjata dulu. Para pejuang Pattani ini miskin bantuan, baik dalam hal dana maupun persenjataan. Senjata yang mereka pakai kebanyakan hasil rampasan dari militer Thailand. Hal ini sangat disayangkan oleh kaum muslimin di sana.
Menurut Abdur Rahman, hanya ada satu negara yang menyokong perjuangan Muslim-Pattani, yaitu Syria. “Mereka banyak memberikan bantuan dana, perlindungan, suaka politik, dan lainnya. Dulu ada Libya dan Iran, namun sekarang sudah hilang. Bahkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) pun tak bisa bersuara dalam menyelesaikan masalah Pattani ini,” kata tokoh agama yang juga mantan anggota National Reconciliation Commission (NRC) Komisi Rekonsiliasi Nasional. Sebuah komisi yang dibentuk pemerintah Thailand dengan tujuan menyelesaikan konflik namun tanpa hasil, karena pemerintah tidak pernah mau melaksanakan butir-butir rekomendasi yang dihasilkan NRC.
Tuan Guru Haji Ismail Hari, Kadi Syar’i Majelis Agama Islam Yala, mewakili seluruh kaum muslimin di Pattani berharap umat Islam di Indonesia mau memberikan perhatian dan dukungan terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam di Thailand Selatan. “Karena bagaimanapun, bagi umat Islam di sini, Indonesia itu adalah sebagai bapak dan Malaysia itu sebagai kakak. Kita di sini tidak ada tempat meminta tolong dan perlindungan. Kalau bukan saudara-saudara di Indonesia dan Malaysia, kepada siapa lagi? Paling tidak, bantulah kami dengan doa,” katanya lirih.
Sebagai umat Islam terbesar di dunia, yang dianggap bapak oleh saudara sesama Muslim yang tengah tertindas di Thailand Selatan, hendaknya kita tergugah memberikan bantuan. Apa pun bentuknya, sekuat dan semampu kita. Kalau tak ada jua, cukuplah dengan doa. Sebuah pinta yang sangat sederhana. Masihkah kita enggan memberi dan berbagi?
Sumber: http://www.nadinews.com
Artikel Lainnya:
1 Response to Mengintip Gerilya Mujahidin Thailand Selatan
Gerilya adalah model peperangan yang sangat baik jika diterapkan di pegunungan yang rindang. seperti yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar. more info http://transparan.id
Posting Komentar