Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Perang di Asia
,
Perang di Eropa
LONDON – Upaya kaum Kristen dan Muslim untuk menarik paralel antara ketegangan hari ini dan perang salib hampir 1,000 tahun yang lalu adalah sebuah distorsi dan manipulasi sejarah, menurut sejarawan Tom Asbridge. Berbicara di festival Guardian Hay, Asbridge, penulis dua buku tentang perang salib, berpendapat bahwa keyakinan modern bahwa dunia Muslim dan Kristen telah diprediksikan ke arah konflik sejak tentara Islam mendapatkan Yerusalem di tahun 1099 tidak didasarkan pada realita sejarah.
“Ini adalah manipulasi sejarah, bukan sebuah realita. Saya yakin tidak ada divisi yang mengaitkan masa lalu abad pertengahan dan konflik perang salib dengan dunia modern,” ujarnya. “Ini adalah kesalahpahaman yang kembali ke abad 19 dan kemenangan Barat dalam munculnya kolonialisme, serta kecenderungan sejarawan Barat untuk mulai memuji-muji perang salib sebagai usaha awal kolonial, sebuah obsesi terhadap Richard Sang Pemberani dan sebuah ketertarikan pada Salahuddin (pemimpin Muslim) sebagai bangsawan.”
Sementara itu, sebagian dunia Muslim terpancing dengan komentar George Bush setelah serangan teroris 11 September bahwa “perang salib ini, perang melawan teror ini, akan cukup memakan waktu” untuk menunjukkan bahwa mereka hampir berharap akan terulangnya kembali perang suci.
“Jika kita lihat beberapa kelompok Muslim, seperti kelompoknya Osama bin Laden, kita menyaksikan penunjukan berulang kekuatan Barat sebagai aliansi salib. Itu ada pada inti pesan mereka,” ujar Asbridge. “Saddam Hussein sangat terobsesi dengan Salahuddin dalam banyak cara. Kita sering melihat gambar dirinya di samping Salahuddin di uang kertas dan perangko. Dia bahkan memerintahkan agar buku-buku pelajaran sekolah membicarakan dirinya sebagai Salahuddin kedua. Padahal Salahuddin bukan orang Arab, dia sebenarnya orang Kurdi, yang memperlihatkan bahwa rincian bisa disingkirkan.”
Perasaan bahwa sejarah perang salib mengulang dirinya sendiri, bahwa sebuah elemen konflik masih terbakar hari ini, mulai muncul menyusul “penciptaan” Israel pasca perang dunia II, ujarnya. Meski demikian, menurut Asbridge, setelah tahun 1291 tentara Kristen menjadi sangat tidak signifikan dalam tulisan-tulisan Muslim. “Islam telah mencapai kemenangan, titik. Selesai. Tidak ada referensi konstan ke tentara Kristen sebagai satu bentuk antagonisme,” ujarnya.
Dia meyakini bahwa sejarawan modern telah menyajikan sudut pandang terdistorsi mengenai Richard dan Salahuddin, disanjung karena merebut Yerusalem tanpa banyak darah yang tertumpah. “Sejarawan memberitahu kita bahwa inilah yang diinginkan Salahuddin, bahwa demi keuntungannyalah untuk menunjukkan betapa sejuk dan damainya Islam. Saya rasa ini kesalahpahaman yang benar-benar mendalam terhadap realita situasi,” ujar Asbridge. “Setelah membaca 70an surat lebih, menjadi jelas bahwa Salahuddin merasa sangat malu tidak menghabisi umat Kristen. Dia perlu menunjukkan dirinya berdedikasi pada jihad, dia membangun kerajaannya di atas janji bahwa dia akan mendatangkan jihad ke umat Kristen Barat, untuk mengalahkan mereka, untuk membalas kejahatan mereka. Dia hanya menahan diri dari pertempuran ketika pasukan di dalam kota mengancam akan menodai tempat-tempat ibadah.”
“Sementara itu, Richard telah diberi tekanan yang terlalu lembut oleh para sejarawan modern,” ujar Asbridge. “Dia mungkin seorang jenderal yang hebat tapi dia tahu bagaimana bertempur dalam perang di Eropa Barat. Dia tidak menghargai bahwa perang salib berbeda, memiliki karakter yang lincah, elemen pengabdian, yang memungkinkan tentara salib untuk melakukan hal-hal mengerikan,” ujarnya, “Richard tidak pernah berhasil untuk memanfaatkan kekuatan itu dan itulah salah satu alasan dia gagal untuk mengambil kota suci.”
“Ada distorsi dan simplifikasi dari kebenaran tentang perang salib,” ujar Asbridge menyimpulkan, “Dan kedua pihak perlu mengakui perang salib apa adanya. Perang itu hanya pantas berada di satu tempat, dan itu adalah masa lalu.”
Seorang Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab dari Universitas Einburgh, Carole Hillenbrand menulis sebuah buku berjudul The Crusade: Islamic Perspective yang dirilis pada tahun 1999.
Buku ini bisa dikatakan merupakan pengungkapan semua proses dan akibat Perang Salib dari sudut pandang Islam, mungkin bersifat kontroversial sebab dari sejak Abad Pertengahan para ilmuwan Barat banyak melakukan studi dan menelurkan karya tentang perang ini. Bagi kaum Muslim bisa dikatakan sejak dulu tidak menganggap Perang Salib sebagai sebuah visi atau tujuan, hanya menganggap sebagai sebuah kondisi defensif terhadap pernyataan perang kaum Nasrani di akhir abad ke-11.(suaramedia)
“Ini adalah manipulasi sejarah, bukan sebuah realita. Saya yakin tidak ada divisi yang mengaitkan masa lalu abad pertengahan dan konflik perang salib dengan dunia modern,” ujarnya. “Ini adalah kesalahpahaman yang kembali ke abad 19 dan kemenangan Barat dalam munculnya kolonialisme, serta kecenderungan sejarawan Barat untuk mulai memuji-muji perang salib sebagai usaha awal kolonial, sebuah obsesi terhadap Richard Sang Pemberani dan sebuah ketertarikan pada Salahuddin (pemimpin Muslim) sebagai bangsawan.”
Sementara itu, sebagian dunia Muslim terpancing dengan komentar George Bush setelah serangan teroris 11 September bahwa “perang salib ini, perang melawan teror ini, akan cukup memakan waktu” untuk menunjukkan bahwa mereka hampir berharap akan terulangnya kembali perang suci.
“Jika kita lihat beberapa kelompok Muslim, seperti kelompoknya Osama bin Laden, kita menyaksikan penunjukan berulang kekuatan Barat sebagai aliansi salib. Itu ada pada inti pesan mereka,” ujar Asbridge. “Saddam Hussein sangat terobsesi dengan Salahuddin dalam banyak cara. Kita sering melihat gambar dirinya di samping Salahuddin di uang kertas dan perangko. Dia bahkan memerintahkan agar buku-buku pelajaran sekolah membicarakan dirinya sebagai Salahuddin kedua. Padahal Salahuddin bukan orang Arab, dia sebenarnya orang Kurdi, yang memperlihatkan bahwa rincian bisa disingkirkan.”
Perasaan bahwa sejarah perang salib mengulang dirinya sendiri, bahwa sebuah elemen konflik masih terbakar hari ini, mulai muncul menyusul “penciptaan” Israel pasca perang dunia II, ujarnya. Meski demikian, menurut Asbridge, setelah tahun 1291 tentara Kristen menjadi sangat tidak signifikan dalam tulisan-tulisan Muslim. “Islam telah mencapai kemenangan, titik. Selesai. Tidak ada referensi konstan ke tentara Kristen sebagai satu bentuk antagonisme,” ujarnya.
Dia meyakini bahwa sejarawan modern telah menyajikan sudut pandang terdistorsi mengenai Richard dan Salahuddin, disanjung karena merebut Yerusalem tanpa banyak darah yang tertumpah. “Sejarawan memberitahu kita bahwa inilah yang diinginkan Salahuddin, bahwa demi keuntungannyalah untuk menunjukkan betapa sejuk dan damainya Islam. Saya rasa ini kesalahpahaman yang benar-benar mendalam terhadap realita situasi,” ujar Asbridge. “Setelah membaca 70an surat lebih, menjadi jelas bahwa Salahuddin merasa sangat malu tidak menghabisi umat Kristen. Dia perlu menunjukkan dirinya berdedikasi pada jihad, dia membangun kerajaannya di atas janji bahwa dia akan mendatangkan jihad ke umat Kristen Barat, untuk mengalahkan mereka, untuk membalas kejahatan mereka. Dia hanya menahan diri dari pertempuran ketika pasukan di dalam kota mengancam akan menodai tempat-tempat ibadah.”
“Sementara itu, Richard telah diberi tekanan yang terlalu lembut oleh para sejarawan modern,” ujar Asbridge. “Dia mungkin seorang jenderal yang hebat tapi dia tahu bagaimana bertempur dalam perang di Eropa Barat. Dia tidak menghargai bahwa perang salib berbeda, memiliki karakter yang lincah, elemen pengabdian, yang memungkinkan tentara salib untuk melakukan hal-hal mengerikan,” ujarnya, “Richard tidak pernah berhasil untuk memanfaatkan kekuatan itu dan itulah salah satu alasan dia gagal untuk mengambil kota suci.”
“Ada distorsi dan simplifikasi dari kebenaran tentang perang salib,” ujar Asbridge menyimpulkan, “Dan kedua pihak perlu mengakui perang salib apa adanya. Perang itu hanya pantas berada di satu tempat, dan itu adalah masa lalu.”
Seorang Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab dari Universitas Einburgh, Carole Hillenbrand menulis sebuah buku berjudul The Crusade: Islamic Perspective yang dirilis pada tahun 1999.
Buku ini bisa dikatakan merupakan pengungkapan semua proses dan akibat Perang Salib dari sudut pandang Islam, mungkin bersifat kontroversial sebab dari sejak Abad Pertengahan para ilmuwan Barat banyak melakukan studi dan menelurkan karya tentang perang ini. Bagi kaum Muslim bisa dikatakan sejak dulu tidak menganggap Perang Salib sebagai sebuah visi atau tujuan, hanya menganggap sebagai sebuah kondisi defensif terhadap pernyataan perang kaum Nasrani di akhir abad ke-11.(suaramedia)
Artikel Lainnya:
No Response to "Kristen Manipulasi Sejarah Perang Salib?"
Posting Komentar