Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
Aksi buka-bukaan WikiLeaks atas dokumen rahasia negara-negara menghebohkan dunia. Apakah pengungkapan ini bisa disebut lumrah atau malah salah?
Dokumen kabel milik Amerika Serikat itu menjadi perdebatan di kalangan diplomat. Beberapa menyatakan, rilis publik akan merusak kebebasan berekspresi dan diplomasi internasional. Sebaliknya, ada yang berpendapat masyarakat layak mengetahuinya.
Anggota parlemen Inggris dan mantan Menteri Luar Negeri Malcolm Rifkind mengatakan, pengungkapan WikiLeaks merupakan pukulan besar bagi dunia diplomasi. Menurutnya, ini bukan upaya pemerintah untuk mencegah diri mereka dipermalukan.
“Terkadang resolusi masalah internasional yang sulit bisa terbantu jika bisa berada pada tahap pertama negosiasi diplomasi sangat pribadi, sebelum dipaparkan pada masyarakat,” ujarnya.
Namun seorang aktivis organisasi yang memperjuangkan kebebasan berbicara Index of Cencorship, Jo Glanville mengatakan, dokumen kabel itu sudah selayaknya dipublikasikan. “Informasinya berdampak pada kita,” ujarnya.
Glanville merujuk pada kesepakatan antar negara pada 10 tahun terakhir, pascaserangan teroris 11 September 2001 di AS. Masa itu, menurutnya, merupakan saat kritis dimana Amerika kemudian memutuskan perang ke Irak dan Afghanistan. Demikian pula masalah pelanggaran HAM yang terjadi.
Ucapannya ini disetujui oleh Simon Davies, direktur lembaga pengawas HAM, Privacy International. Menurutnya, dokumen ini membuat seseorang mengerti bagaimana dunia berjalan dan menjadi semacam uji realitas. “Sehingga kita bisa menyesuaikan ekspektasi dan pemerintah bisa dipaksa menyesuaikan.”
Mantan diplomat Kanada Scott Gilmore menyatakan, menutupi adalah sikap yang salah. “Memang lebih banyak dan sulit, bukan hanya untuk diplomat Amerika. Tapi secara umum, tugas kami adalah berbicara dengan orang lain dan mendapat informasi jujur mengenai isu penting seperti HAM dan demokrasi.”
Namun demikian, Gilmore berkata, beberapa nyawa memang berada di ujung tanduk dengan keterbukaan macam ini. Hal ini mengacu pada pengalaman pribadinya di Timor Leste dan Indonesia, dimana banyak orang tewas karena berani berbicara kepada diplomat Barat mengenai penyiksaan yang terjadi.
“Jika WikiLeaks sudah ada sejak akhir 1990-an, maka makin banyak orang yang terluka atau terbunuh oleh pemerintah mereka sendiri,” paparnya.
Sebaliknya, Davies merasa hal ini tak benar dan tak percaya ada resikonya bagi nyawa. Ia juga tak yakin akan ada masalah diplomasi antar negara pascarilis WikiLeaks. Sementara Glanville merasa tak ada salahnya mengambil tindakan preventif dan melindungi diri.
“Sebaiknya semua menghadapi hal ini dengan bertanggung jawab,” katanya. Ia merasa, kebocoran menjadi satu-satunya cara agar pemerintah atau bisnis bisa terbuka kepada masyarakatnya.
Sebagai jurnalis, Gianville menggantungkan harapannya pada bocoran-bocoran tersebut. “Jadi ini menjadi hal yang penting, bahwa di suatu tempat di dunia, ada seseorang yang meniupkan peluit dan mempublikasikannya.
Davies juga menyatakan, rilis WikiLeaks menawarkan sebuah kesempatan. Sehingga pada suatu masa, dunia akan kompak melihat ke belakang dan menyaksikan betapa besar dampak keterbukaan dan kerahasiaan. Hal ini, lanjutnya, akan menimbulkan sebuah perdebatan.
“Bagaimana caranya menyeimbangkan antara hak untuk mengetahui sesuai dan hak untuk merahasiakan?” ujarnya. Kini, setelah dunia politik terguncang, sebaiknya dunia ekonomi bersiap. Sebab, menurut WikiLeaks, data selanjutnya juga ada yang memuat rahasia bank-bank besar.
Sumber: http://www.kaskus.us/
Dokumen kabel milik Amerika Serikat itu menjadi perdebatan di kalangan diplomat. Beberapa menyatakan, rilis publik akan merusak kebebasan berekspresi dan diplomasi internasional. Sebaliknya, ada yang berpendapat masyarakat layak mengetahuinya.
Anggota parlemen Inggris dan mantan Menteri Luar Negeri Malcolm Rifkind mengatakan, pengungkapan WikiLeaks merupakan pukulan besar bagi dunia diplomasi. Menurutnya, ini bukan upaya pemerintah untuk mencegah diri mereka dipermalukan.
“Terkadang resolusi masalah internasional yang sulit bisa terbantu jika bisa berada pada tahap pertama negosiasi diplomasi sangat pribadi, sebelum dipaparkan pada masyarakat,” ujarnya.
Namun seorang aktivis organisasi yang memperjuangkan kebebasan berbicara Index of Cencorship, Jo Glanville mengatakan, dokumen kabel itu sudah selayaknya dipublikasikan. “Informasinya berdampak pada kita,” ujarnya.
Glanville merujuk pada kesepakatan antar negara pada 10 tahun terakhir, pascaserangan teroris 11 September 2001 di AS. Masa itu, menurutnya, merupakan saat kritis dimana Amerika kemudian memutuskan perang ke Irak dan Afghanistan. Demikian pula masalah pelanggaran HAM yang terjadi.
Ucapannya ini disetujui oleh Simon Davies, direktur lembaga pengawas HAM, Privacy International. Menurutnya, dokumen ini membuat seseorang mengerti bagaimana dunia berjalan dan menjadi semacam uji realitas. “Sehingga kita bisa menyesuaikan ekspektasi dan pemerintah bisa dipaksa menyesuaikan.”
Mantan diplomat Kanada Scott Gilmore menyatakan, menutupi adalah sikap yang salah. “Memang lebih banyak dan sulit, bukan hanya untuk diplomat Amerika. Tapi secara umum, tugas kami adalah berbicara dengan orang lain dan mendapat informasi jujur mengenai isu penting seperti HAM dan demokrasi.”
Namun demikian, Gilmore berkata, beberapa nyawa memang berada di ujung tanduk dengan keterbukaan macam ini. Hal ini mengacu pada pengalaman pribadinya di Timor Leste dan Indonesia, dimana banyak orang tewas karena berani berbicara kepada diplomat Barat mengenai penyiksaan yang terjadi.
“Jika WikiLeaks sudah ada sejak akhir 1990-an, maka makin banyak orang yang terluka atau terbunuh oleh pemerintah mereka sendiri,” paparnya.
Sebaliknya, Davies merasa hal ini tak benar dan tak percaya ada resikonya bagi nyawa. Ia juga tak yakin akan ada masalah diplomasi antar negara pascarilis WikiLeaks. Sementara Glanville merasa tak ada salahnya mengambil tindakan preventif dan melindungi diri.
“Sebaiknya semua menghadapi hal ini dengan bertanggung jawab,” katanya. Ia merasa, kebocoran menjadi satu-satunya cara agar pemerintah atau bisnis bisa terbuka kepada masyarakatnya.
Sebagai jurnalis, Gianville menggantungkan harapannya pada bocoran-bocoran tersebut. “Jadi ini menjadi hal yang penting, bahwa di suatu tempat di dunia, ada seseorang yang meniupkan peluit dan mempublikasikannya.
Davies juga menyatakan, rilis WikiLeaks menawarkan sebuah kesempatan. Sehingga pada suatu masa, dunia akan kompak melihat ke belakang dan menyaksikan betapa besar dampak keterbukaan dan kerahasiaan. Hal ini, lanjutnya, akan menimbulkan sebuah perdebatan.
“Bagaimana caranya menyeimbangkan antara hak untuk mengetahui sesuai dan hak untuk merahasiakan?” ujarnya. Kini, setelah dunia politik terguncang, sebaiknya dunia ekonomi bersiap. Sebab, menurut WikiLeaks, data selanjutnya juga ada yang memuat rahasia bank-bank besar.
Sumber: http://www.kaskus.us/
Artikel Lainnya:
No Response to "WikiLeaks: Betul Atau Salah?"
Posting Komentar