Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Indonesia
Sul melontarkan isu pembatasan kelahiran, sekalipun muncul penolakan dari masyarakat, bahkan pemimpin republik ini.
DI antara desing peluru, dentum meriam, pekik kemerdekaan, dan jerit parau para pejuang yang terluka, seorang dokter muda dengan cekatan menolong para pejuang yang terluka di front terdepan.
Dia mengorganisasi dapur umum untuk memenuhi kebutuhan gerilyawan yang masuk kota. Tanpa kenal takut, dia terjun di front Tambun (Jawa Barat), Gresik, Demak, dan Yogyakarta. Karena keberaniannya, ia sempat ditahan oleh pemerintah kolonial Belanda selama dua bulan di Yogyakarta.
“Sul,” sapaan akrab dokter muda itu. Lahir 10 Mei 1917 di Karangasem, Bali, dengan nama lengkap Julie Sulianti. Setelah menamatkan studi di Gymnasium Bandung, dia melanjutkan jejak sang ayah, dr Sulaiman, dengan mendaftar ke Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge School) di Batavia. Lulus pada 1942, Sul bekerja di bagian penyakit dalam Centrale Burgelijke Ziekenhuis –kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)– lalu bekerja di bidang penyakit anak Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
Sul aktivis perempuan sadar politik. Mentor politiknya adalah Soebadio Sastrosatomo, anggota Badan Pekerja KNIP –kelak menjadi Ketua Fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI) di parlemen hasil Pemilihan Umum 1955. Sul juga pernah duduk di Badan Konggres Pemuda Republik Indonesia sebagai wakil Pemuda Putri Indonesia (PPI). Bersama teman-temannya, dia membentuk Laskar Wanita yang diberi nama WAPP (Wanita Pembantu Perjuangan).
Pada November 1947, bersama Sunarjo Mangunpuspito dan Utami Suriadarma, dia menjadi delegasi mewakili Kongres Wanita Indonesia (Kowani) –lembaga yang terbentuk pada 22 Desember 1928– untuk mengikuti Inter Asian Women Conference di India.
Selepas revolusi, Sul kembali memfokuskan diri pada dunia kedokteran. Dia bekeja di Kementerian Kesehatan. Prestasinya mengesankan. Kecerdasan dan kecakapannya membuat dia mendapat beasiswa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mempelajari sistem kesehatan ibu dan anak di negara-negara Eropa. Sekembalinya ke tanah air pada 1952, Sul membawa banyak ide mengenai kesehatan ibu dan anak, khususnya pengendalian angka kelahiran melalui pendidikan seks dan gerakan keluarga berencana.
“Dengan penuh semangat dia meminta pemerintah untuk membuat keputusan-keputusan yang mendukung penggunaan kontrasepsi melalui sistem kesehatan masyarakat,” tulis Terence H. Hull dalam People, Population, and Policy in Indonesia.
Sul mulai bergerak. Melalui RRI Yogyakarta, dia menyampaikan pidato untuk menggalang dukungan pemerintah. Mendengar siaran itu, Wakil Presiden Muhammad Hatta marah.
“Walaupun gagasan-gagasan ekonominya sangat maju, Bung Hatta menganggap diskusi mengenai hal itu kurang tepat dan kurang wajar untuk digunakan dalam komunikasi massa dan merupakan urusan kehidupan keluarga masyarakat Indonesia,” tulis Hull.
Bung Hatta meminta Sulianti berhenti membicarakan keluarga berencana dan menahan diri dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak pada Kementerian Kesehatan di Yogya.
Sul terkejut. Baginya, perintah itu merupakan kontradiksi yang kejam. Sementara bagi Hatta, perintah ini masuk akal dari sisi moralitas akal sehat.
Reaksi juga muncul dari organisasi perempuan lokal. Terlebih muncul berita di Kedaulatan Rakyat pada 16 Agustus 1952, yang merupakan hasil wawancara dengan Sulianti. Judulnya, “Bivolkingspolitiek Perlu di Indonesia, Beranikah Kaum Ibu Lakukan Pembatasan Kelahiran?”
Berita itu menyebutkan, dua bulan sebelumnya dua utusan dari markas besar badan PBB untuk urusan anak (UNICEF) di Bangkok, Dr Sam Keeny dan Hayward, berkunjung ke Indonesia untuk membicarakan rencana peningkatan kesejahteraan ibu dan anak yang diajukan kepada UNICEF. Rencana itu diterima UNICEF.
Menurut Sulianti, Indonesia kekurangan tenaga bidan, sehingga masyarakat menggunakan tenaga dukun. Angka kematian bayi pun tinggi. Di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia meningkat. “Sebaiknya para ibu harus berani dan mau melakukan pembatasan kelahiran,” ujar Sulianti, sebagaimana dikutip Kedaulatan Rakyat.
Reaksi datang dari Gabungan Organisasi Wanita Yogyakarta (GOWY) yang kemudian menggelar pertemuan –juga para pemuka agama, dokter, dan bidan. Mereka menolak pandangan Sulianti tentang pembatasan kelahiran, yang mereka anggap melanggar hak azasi manusia, mengakibatkan pembunuhan bibit-bibit bayi, dan bahkan bisa memperluas pelacuran dan merusak moral masyarakat.
Pada Oktober 1952, organisasi perempuan lokal menggelar seminar tentang keluarga berencana dan kehamilan berencana, yang dihadiri petugas pelayanan kesehatan, kelompok sekuler, dan organisasi keagamaan Katolik dan Islam. Keputusan seminar itu: “penggunaan kontrasepsi ditolak dalam bentuk apapun dan alasan apapun”.
Karena muncul banyak reaksi, Sulianti dipanggil Menteri Kesehatan dan diperingatkan agar tak lagi menyinggung masalah sensitif itu. Menurut Sulianti, sebagaimana dikutip Sejarah Perkembangan Keluarga Berencana dan Program Kependudukan, peringatan itu diberikan oleh menteri kesehatan karena sebelumnya sang menteri mendapat teguran dari Presiden Sukarno. Dalam sebuah pidato yang diucapkan di Palembang setelah “Peristiwa Yogya” itu, presiden menyatakan tak setuju dengan pembatasan kelahiran.
Sukarno bukan tak mendukung keluarga berencana. Menurut Hull, Sukarno cenderung hati-hati di tengah ketegangan politik yang tinggi dan pertentangan masyarakat terhadap “pelanggaran moral” atas keluarga berencana. Beberapa orang kepercayaan Sukarno berada pada garis depan untuk mempromosikan kesehatan reproduksi.
Sul pun mulai bekerja dengan hati-hati. Sejumlah tokoh perempuan kemudian mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) pada 12 November 1952, yang membuka akses terhadap pengaturan kehamilan serta kesehatan ibu dan anak. Mereka tak lagi memakai istilah pembatasan kelahiran melainkan pengaturan kehamilan dan lebih menekankan pada alasan kesehatan. Di Jakarta, Sul memberi tahu di klinik praktiknya bahwa layanan pengendalian kelahiran tersedia di sektor swasta.
Sul juga menggerakkan usaha kesehatan masyarakat. Pada 1956, dia memimpin Unit Kesehatan Masyarakat Desa dan Pendidikan Kesehatan Rakyat (KMD/PKR). Dia membuat “Proyek Bekasi” di Lemah Abang, proyek percontohan atau model pelayanan bagi pengembangan kesehatan masyarakat dan pusat pelatihan, yang memadukan pelayanan kesehatan pedesaan dan pelayanan medis.
Ketika menjabat Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) pada 1967, Sul meyakinkan komisi internasional WHO bidang pemberantasan penyakit cacar bahwa Indonesia terbebas dari penyakit menular itu, yang kala itu melanda dunia.
Apa yang dipelopori Sul kemudian mendapat tempat di masa Orde Baru melalui Program Keluarga Berencana.
Dedikasi dan konsistensi Sul di bidang kedokteran membuat namanya harum hingga ke luar Indonesia. Oleh WHO dia diangkat menjadi anggota badan eksekutif dan bahkan pernah menjadi ketua Health Assembly atau Majelis Kesehatan, yang berhak menetapkan dirjen WHO.
“Selama 25 tahun pertama WHO, hanya dua perempuan terpilih sebagai Presiden Majelis Kesehatan Dunia…. Rajkumari Amrit Kaur dari India (1950) dan Julie Sulianti Saroso dari Indonesia (1973),” tulis www.searo.who.int.
Sul bukan dokter biasa. Kecemerlangannya berhasil mengangkat dunia kedokteran Indonesia ke tingkat dunia. Sul meninggal dunia pada 29 April 1991. Namanya diabadikan menjadi nama sebuah rumah sakit: Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso.
Sumber: http://www.majalah-historia.com
Artikel Lainnya:
No Response to "Julie Sulianti Saroso: Bukan Dokter Biasa"
Posting Komentar