Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,
Pelabuhan Sydney 1946. Sebuah kapal motor kecil menyusuri celah di antara kapal-kapal besar.

Seorang lelaki kulit putih, berjas putih, melalui pengeras suara mengajak boikot kepada para buruh yang bekerja di kapal-kapal besar itu.

“Brother, stop working. Brother, stop working,” teriaknya.

Sementara itu di darat, berkumpul beberapa lelaki legam, kurus, berpeci, mengenakan setelan jas necis lengkap dengan dasi. Dari wajahnya bisa ditebak: mereka orang Indonesia. Mereka membacakan pernyataan: “Saudara-saudara, kita tidak mundur dengan kebenaran.” Lalu mereka berbaris. Dari sudut lain muncul berduyun-duyun pelaut asing mengikuti arakan rombongan itu.

Demikian petikan film dokumenter Indonesia Calling (Indonesia Memanggil) karya Joris Ivens. Sineas dokumenter asal Belanda itu mengabadikan momen pemogokan para buruh pelabuhan Australia terhadap kapal-kapal Belanda sebagai bentuk solidaritas mereka untuk kemerdekaan Indonesia.

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, pemerintahan Kolonial Belanda membentuk pemerintah pengasingan di Australia. Sebagai bagian dari Sekutu, Pemerintah Belanda di pengasingan mendapatkan kekuasaan ekstra teritorial yang didukung oleh Pemerintah Australia.

Karena adanya penjajahan Jepang tersebut, banyak pengungsi Indonesia yang berkumpul di Australia. Di antara pengungsi itu terdapat pelaut dan pramugara bangsa Indonesia yang bekerja di kapal-kapal Belanda dan sebagian bekerja untuk angkatan bersenjata Belanda, serta petugas dan pegawai kesehatan.

Pada tahun 1943 Belanda mengangkut 500 orang lebih ke Australia, baik pria, wanita dan anak-anak, dari perkampungan tawanan di Tanah Merah. Belanda juga bermaksud mengasingkan para tawanan ini di Australia.

Para tawanan tersebut berhasil menyampaikan surat kepada seorang Australia pekerja pelabuhan dan kemudian juga kepada seorang pegawai kereta api. Surat-surat ini berisi penjelasan mengenai maksud Belanda tersebut di atas dan mereka meminta bantuan kepada masyarakat Australia. Tanggapan terhadap surat itu sangat cepat. Serikat Buruh Australia melakukan kampanye secara bersemangat dan berhasil membebaskan para tawanan.

Mereka juga membantu orang-orang Indonesia yang terdampar di Australia akibat Perang Dunia Kedua. Sesudah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, kampanye yang dilakukan oleh Serikat Buruh di Australia semakin marak. Mereka menekan Pemerintah Australia agar mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Australia merupakan salah satu dari negara-negara yang pertama mengakui hak Indonesia untuk merdeka.

Usaha-usaha Pemerintah Belanda untuk meneguhkan kembali kendali kolonialnya di Indonesia di antara tahun 1945 dan 1949 benar-benar dihalangi oleh Serikat Buruh dan oleh Pemerintah Australia yang waktu itu dikuasai Partai Buruh. Kapal-kapal Belanda tidak diberi bahan bakar, dan para pekerja pelabuhan tidak mau menaikkan muatan bahan persediaan ke atas kapal Belanda.

Pada Oktober 1945, seusai menaklukan armada Jepang di Pasifik, kapal perang Belanda bergerak dari Australia, bermaksud merebut kemerdekaan Indonesia. Para pelaut Indonesia di Sydney menggalang bala bantuan pelaut-pelaut Australia untuk melakukan aksi boikot.

Ivens mendengar kabar itu. Ia nekat, dengan sembunyi-sembunyi menghindari kejaran polisi melakukan shoot. Ia akhirnya berhasil merekam bagaimana polisi berpatroli mengawasi situasi yang genting itu. Bagaimana pelaut Australia dengan motor kecil meyakinkan pelaut Cina, Malaysia, India, untuk mogok. Sampai akhirnya mereka turun dari kapal, tak mau bekerja. Hasilnya, selama 18 bulan, 20 kapal perang Belanda ngendon di pelabuhan. Tak bisa ke Indonesia.

Narasi film dibacakan oleh Peter Finch dan diproduksi Serikat Buruh Pelabuhan Australia. Oleh serikat ini, film itu disebarluaskan sehingga kemerdekaan Indonesia menjadi dikenal luas. Ivens sendiri, yang waktu itu bekerja untuk pemerintah Belanda karena ia orang Belanda, dianggap seorang pengkhianat. Ivens tidak bisa masuk ke Belanda. Paspor Belandanya disita. Ia lantas tinggal di Eropa Timur dan sejak 1947 ia membentuk beberapa serikat pekerja film.

Ivens mencatat dalam bukunya, Camera and I, meski filmnya itu dibuat dengan kamera kinamo yang rusak dan diambil di bawah pencahayaan minim, ia menganggap film berdurasi 22 menit itu sebagai karya terbaik dan puncak dari proses kreatifnya. Narasi film itu sendiri kemudian dibuat versi Indonesia dan diselundupkan ke Jakarta. Ivens memulai membuat film pada tahun 1910, dan film terakhirnya pada 1988, Une histoire de vent (A Tale of the Wind).

Tahun 1955, Ivens menerima World Peace Prize. Dua tahun kemudian ia tinggal di Paris serta memenangkan Golden Palm di Cannes dan Gate Award di San Fransisco. Pada 1967 ia mendapat penghargaan The Lenin Peace Prize.

Setelah memenangkan berbagai penghargaan di berbagai belahan dunia, tepat di usianya ke-90, pada 18 November 1988 akhirnya Ivens menjadi warga kehormatan kota kelahirannya, Nijmegen, Gelderland, Belanda. Sebelum meninggal, ia menerima anugerah Knighthood in the Order of the Dutch Lion. Ia tutup usia di Paris, 28 Juni 1989 dalam usia 91 tahun.

Sumber: http://www.majalah-historia.com
Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Dari Buruh Australia Untuk Indonesia Merdeka"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments