Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Asia
,
Perang Saudara
Siapa pun akan melawan jika tersudut. Tak terkecuali Korea Utara, negeri yang selalu bikin situasi di Semenanjung Korea tak menentu. Gara-gara perseteruannya dengan AS dan Korea Selatan sejak Perang Korea pecah, negeri ini kerap berbuat ulah dan bikin resah AS dan Korea Selatan. Sejak negeri ini berhasil menguji coba senjata nuklirnya pada 2006, sejak itu pula negara-negara Asia di sekitarnya – termasuk Jepang – ikut dibuat waspada.
Bagi negara-negara di sekitarnya, kekuatan nuklir tersebut merupakan alat bagi Korea Utara untuk menyatakan pengaruh dan kekuatan tawar. Perekonomian negeri ini tidaklah bagus, terlebih karena Barat masih terus menekan mereka dengan serangkaian embargo ekonomi. Namun, dengan segala keterbatasannya, negeri ini mampu berdiri sendiri dan membangun kekuatan nuklir yang sangat menakutkan. Dengan rudal balistik Taepodong – wahana pelontar bom nuklir paling dahsyat yang sudah bisa dibuat di dalam negeri, mereka bisa melontarkan bom nuklir ke benua lain. Itu artinya, nuklir Korea Utara sudah menebar horor hingga nyaris ke seantero dunia. Di sinilah letak kekuatan yang membuat dunia internasional kagum sekaligus mencemaskannya.
Begitu kira-kira wajah seram yang telah dibangun media Barat dan otoritas keamanan AS. Gambaran tersebut semakin mengerikan setelah ditambahi informasi bahwa kekuatan nuklir Korea Utara dibangun dari pasokan pasar gelap, yang mana para ahlinya juga ditengarai ikut membangun kekuatan nuklir Iran – negeri yang sama-sama dicap sebagai musuh Barat.
Di bawah Taepo-dong 2B masih ada Taepo-dong 1, buatan 1994, yang mampu menjangkau jarak 2.500 km, dan No-dong A yang “hanya” mampu menjangkau Korea Selatan dan Jepang. Jajaran kekuatan persenjataan ini berikut bala tentaranya selalu dipertontonkan pada hari-hari penting kenegaraan dan disiarkan ke berbagai negara. Sehingga lengkaplah sudah profil “kesangaran wajah” Korea Utara yang selalu mengedepankan senjata sebagai alat diplomasi.
Untuk Menghadapi AS
Pahitnya trauma pasca dijajah Jepang telah membuat mereka sangat sensitif dan selalu curiga terhadap setiap gelagat negeri asing yang ingin “mengusik”. Terlebih setelah Kim Il Sung tahu bahwa Rusia (atau Uni Soviet) bisa tiba-tiba meninggalkan sekutunya sendiri berhadapan dengan AS. Hal ini tampak jelas ketika pecah krisis rudal nuklir di Kuba pada Oktober 1962. Kala itu, setelah kalah berdiplomasi dengan Presiden AS John F. Kennedy, pemimpin Uni Soviet Nikita Khruschev tiba-tiba meninggalkan Fidel Castro seorang diri berhadapan dengan AS, tanpa posisi tawar yang imbang.
TaK mau hal itu terjadi pada Korea Utara, Kim II Sung pun bertekad dan gigih membangun sendiri kekuatan nuklir Korea Utara dari awal. Ia tahu dengan kekuatan nuklir di tangan, posisi tawar Korea Utara di mata dunia akan sangat tinggi. Kondisi seperti inilah yang kemudian melatarbelakangi pembangunan kekuatan, nuklir di Korea Utara. Mereka telah menguji kehandalan senjata nuklirnya sejak 2006.
Badan Tenaga Atom International (IAEA) bukannya tidak mewaspadai persenjataan nuklir Korea Utara yang mampu melecut lomba pembuatan senjata di kawasan Asia Timur. Mereka bahkan sudah mengusut aliran pasokan dari pasar gelap tidak saja ke Korea Utara, melainkan juga ke Lybia dan Iran. Namun tekanan untuk pelucutan senjata nuklir seolah tak berarti apa-apa, karena kelima negara nuklir (AS, Rusia, China, Perancis dan Inggris) juga belum sepenuhnya mau mematuhi traktat NPT (Non Proliferasi Nuklir).
Dunia tahu bahwa AS ada di samping Korea Selatan ketika negeri ini berperang melawan Korea Utara antara 1950 hingga 1953. Dunia juga mengetahui bahwa AS ada di belakang skenario genjatan senjata yang tak pernah jelas ujungnya hingga kini. Pengamat masalah pertahanan dari CSIS, Faustinus Andrea, mengatakan menggantungnya status perdamaian di Semenanjung Korea ditengarai merupakan “permainan” dari pihak ketiga. Dan, keterlibatan AS tampak amat nyata di sini.
“Kita pun harus tahu, masalah keamanan di Asia Timur begitu kompleks, jauh lebih kompleks di banding yang ada di Pasifik Selatan atau Asia Tenggara. Itu karena di sana ada pertarungan kekuasaan yang amat besar. Sindrom Perang Dunia juga ada di sana. Jepang, Korea, China mewarisi perilaku politik lama, dan itu masih membekas,” katanya.
Memilih Unifikasi
Tentang “permainan” di kawasan Semenanjung Korea, diungkap bahwa hal itu terkait soal tarik-ulur ketergantungan suplai nuklir, suplai energi, suplai persenjataan, dan lain-lain. AS tak ingin “melepas” Korea Utara, demikian pula dengan Rusia dan China terhadap Korea Utara. Jika kedua negara berdamai dan melakukan reunifikasi, itu akan sama saja dengan memutus ketergantungan bernilai jutaan dollar. Sebab, kepada China saja, Korea Utara masih menggantungkan 90 persen kebutuhan energi, 80% barang konsumsi, 45% pangan kepada negeri itu.
Itu sebabnya, tak sedikit pemerhati masalah Semenanjung menyimpulkan sepihak, bahwa Rusia, China dan AS sama-sama memiliki kecenderungan untuk mengaburkan segala kemungkinan rujuk di Semenajung. Apalagi karena pada dasarnya warga kedua Korea punya keinginan untuk bersatu kembali. Keinginan untuk unifikasi didorong oleh rasa persaudaraan yang masih kuat, kebudayaan yang sama, dan emosional di antara warga kedua negara.
Jadi bagaimana dengan sikap keras Korea Utara? Seperti kerap dikatakan media Barat, benarkah mereka seolah ingin “menelan” Korea Selatan? Bagaimana pula dengan niat agresi di balik serangan artileri ke wilayah Korea Selatan, seperti dilakukan pada November 2010?
Niat untuk memerangi Korea Selatan pun sebenarnya masih perlu dipertanyakan kesungguhannya. Di mata sejumlah pihak, ini bisa dikatakan demikian karena niat untuk menyerang Korea Selatan sepertinya tak pernah benar-benar ada. Kedua Korea tetap menyadari bahwa perang adalah pilihan terburuk “Zaman sudah berubah, sudah modern. Sebengal-bengalnya Korea Utara, mereka tetap masih waras dan lebih suka memilih reunifikasi. Mereka tahu buruknya penderitaan akibat perang. Korea Utara tak bisa mengingkari penderitaan rakyat Hiroshima dan Nagasaki, sehingga akan berpikirulang jika ingin menggunakan kekuatan nuklir,” ujar Faustinus Andrea.
Kalau pun pihak Korea Utara beberapa kali melakukan serangan ke wilayah Korea Selatan, hal itu lebih pada sifat bengal mereka dan rasa frustasi akibat terus-menerus dizalimi pihak Barat. Secara kuantitatif mereka memang memiliki persenjataan dalam jumlah amat banyak, namun keunggulan numerik tidaklah mencerminkan kekuatan yang sesungguhnya. Secara kualitatif, persenjataan Korea Selatan masih lebih unggul.
“Kalau pun ada inisiatif perang, itu justru ada di tangan AS!” kata seorang pengamat. Akan tetapi AS pun tak pernah benar-benar berani melakukannya, karena posisi China yang amat kuat berdiri di belakang Korea Utara. Jadi, tampaknya keadaan di Semenanjung memang akan terns menggantung. Menggantung tak menentu….
Sumber: http://sejarahperang.wordpress.com
Artikel Lainnya:
No Response to "Negeri yang Tersudut"
Posting Komentar