Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,
Berharap mendapat kehidupan yang lebih baik, mereka justru berhadapan dengan kematian. “Death Railway” menjadi saksi kekejaman Jepang semasa perang.

Banjarnegara, Jawa Tengah, 1943. Karja Wiredja meninggalkan desanya, Matukara. Bersama ribuan romusha lainnya, Karja menjadi tenaga kerja kasar di Thailand. Di sana dia menjadi mandor pada proyek pembangunan jalan kereta api Nong Pla Duk (Thailand)-Thanbyuzayet (Burma, kini Myanmar) sepanjang 415 km. Untuk hasil kerjanya, Karja mendapat dua sen per hari.

“Waktu itu lurah bilang kita boleh ikut Nippon,” ujar Karja, seperti dikutip dari Suara Independen, 1 Agustus 1995.

Sadin, pemuda asal Kuningan, Jawa Barat, tak pernah berpikir akan pergi sejauh itu. Dia pergi ke Cirebon untuk sebuah pekerjaan yang dijanjikan tapi ternyata dia dikirim ke Thailand. Belum sampai di tujuan, para romusha ini mendapat pelayanan tidak manusiawi. “Rombongan yang semula berjumlah 1.500 orang itu hanya sisa beberapa ratus orang setelah tiba di Singapura,” tulis Aiko Kurosawa dalam Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945.

“Aku tahu bahwa mereka diangkut dengan gerbong-gerbong yang tertutup rapat tanpa udara, dipadatkan seperti hewan dalam jumlah ribuan sekaligus,” tulis Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Tapi, “kondisi yang lebih menyedihkan justru menunggu mereka yang beruntung tetap hidup dalam perjalanan menuju tujuan mereka,” tulis Aiko.

Sejak Desember 1941, Thailand jatuh ke tangan Jepang. Dari Thailand, pasukan Jepang menginvasi Burma dan merebutnya dari kontrol Inggris. Untuk mempertahankan pasukannya di Burma, Jepang mengirimkan pasukan dan perbekalan ke Burma melalui laut. Tapi jalur laut rentan dari serangan Sekutu, sehingga Jepang memikirkan jalur alternatif.

Pada Juni 1942, Jepang memulai proyek pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Thailand-Burma dengan mendatangkan baja dan tenaga kerja (romusha) dari wilayah-wilayah yang didudukinya. Selain romusha dari Jawa, ada romusha dari China, Malaya, Vietnam, juga tentara Sekutu yang tertawan Jepang. Total ada lebih 100 ribu romusha Asia Tenggara dan 55 ribu tawanan Sekutu.

Para romusha mendapat bayaran setara pekerja kasar umumnya, meski tak semua sama. Diperkirakan, menurut Aiko, upah harian mereka f. 0,70-1,00. Jumlah ini sedikit lebih tinggi dari ketetapan dalam “Persetujuan Pemasokan Romusha Antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut”: f. 0,50 per hari dan harus disisihkan f. 3,00 untuk dikirim kepada keluarga mereka setiap bulan. Namun, seringkali upah mereka dipotong oleh mandor atau pejabat yang mengkoordinasikannya.

Nasib romusha dalam pembangunan jalan kereta api, yang dikenal dengan istilah “Death Railway”, amat memilukan. Mandor atau serdadu Jepang berlaku kejam. Medannya berat, menembus lembah dan hutan lebat. Mereka bekerja di bawah guyuran hujan, jalanan berlumpur, atau terik menyengat. Jatah makanan minim. Fasilitas dan tenaga medis tak memadai, sementara wabah kolera, disentri, dan sebagainya berjangkit. Bahkan, seperti kesaksian Sadin, romusha yang tidak bisa bekerja lagi lantaran sakit, dikubur hidup-hidup. “Seolah-olah ada perhitungan bahwa akan lebih murah untuk memasok romusha baru daripada mengambil risiko merawat atau memulihkan kembali mereka yang sakit,” tulis Aiko.

Tak heran jika banyak romusha dan tawanan Sekutu yang tewas. Commonwealth War Graves Commission, organisasi nirlaba yang bergerak menyantuni para keluarga tentara Sekutu yang jadi korban Perang Dunia II, melalui situsnya www.cwgc.org, mencatat, “Sepanjang pembangunan jalur itu, kira-kira 13.000 tawanan perang tewas dan dimakamkan di sepanjang lintasan. Diperkirakan 80.000-100.000 warga sipil juga tewas dalam proyek yang sama, terutama para buruh yang dibawa dari Malaya dan Hindia Belanda, atau wajib militer di Siam (Thailand) dan Burma.”

Tak ada angka pasti berapa jumlah romusha asal Jawa yang tewas. Dalam "Notes on the Thai-Burma Railway, Part II: Asian Romusha; The Silenced Voices of History" David Boggett menulis, dari 200.000-500.000 romusha asal Jawa yang dikerahkan, hanya sekitar 70 ribu yang masih hidup ketika perang berakhir.

Banyak romusha melarikan diri. Bagi mereka yang sial, bisa saja tewas di perjalanan atau di tangan Jepang. Sedangkan yang bernasib baik bisa kembali ke daerah asal atau tempat aman ketika perang berakhir. “Sadin dan yang masih sempat melarikan diri seperti dia berpencaran di Malaya dan Thailand,” tulis Aiko. Dia akhirnya berhasil kembali ke tanah air meski harus menunggu lebih dari 10 tahun.

Sedangkan Karja sempat nikah-cerai di Thailand. Karena itu pula dia tertinggal kapal Palang Merah Internasional yang membawa para romusha kembali ke daerah asal. Karja terpaksa menetap di tanah rantau dan baru bisa pulang ke desanya 52 tahun kemudian. [MF MUKTHI]

Sumber: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia
Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Romusha di Seberang Lautan"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments