Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,
Sebagai pengusung gagasan Islam moderat (liberal), Syafii Maarif percaya, bila Islam dipakai sebagai instrumen politik kekuasaan, agama ini akan berubah fungsinya dari kekuatan damai menjadi doktrin kekerasan. Dalam tulisan berjudul ‘Musharraf dan Dilema Republik Islam’, Syafii Maarif menganggap bahwa Era Pervez Musharraf (1999) adalah bukti terkini tentang betapa rumitnya mengurus sebuah negara modern yang diberi nama Republik Islam Pakistan itu. Dalam konstitusinya tercantum dasar filosofi mewah tentang kedaulatan Allah atas alam semesta dan syariah sebagai sumber hukum tertinggi. Dalam realitas, baik gagasan kedaulatan Allah maupun syariah ternyata tidak mampu menolong nasib Pakistan berhadapan dengan konflik suku dan sengketa politik yang sering berdarah itu.

Menghadapi sengketa politik di negara Islam itu, Syafii pun meradang. “Mengapa Islam yang dipeluk oleh 97 persen rakyat Pakistan tidak dapat menjadi perekat utama untuk sebuah perdamaian? Anda tidak perlu berandai-andai lagi. Islam bila sudah dipakai sebagai instrumen politik kekuasaan, agama ini akan berubah fungsinya dari kekuatan damai menjadi doktrin pembenar konflik atau bahkan perang saudara, dan untuk Pakistan bisa juga menjadi perang suku dengan perbedaan paham agama yang dibawanya masing-masing. Alquran yang menjadi Kitab Suci rakyat Pakistan tidak dapat berbuat apa-apa, sekali ia dipakai untuk tujuan politik kekuasaan. Oleh sebab itu, orang harus ekstra hati-hati untuk membawa agama ke dalam pusaran politik kekuasaan.” (Republika, 31 Juli 2007).

Dusta Sejarah

Nasib rakyat Pakistan, seperti nasib rakyat Indonesia. Dua negara yang sama-sama berpenduduk mayoritas Muslim, tetap saja sengsara dengan gejolak politik yang hampir tak pernah reda. Bedanya, yang pertama mengenakan label negara Islam, sedangkan Indonesia tidak jelas kelaminnya. Bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler, alias netral terhadap semua agama.

Lalu, apa untungnya mengenakan baju negara Islam, jika kenyataannya sama-sama bernasib buruk, malah dengan resiko dimusuhi Amerika dan negara-negara Barat? Bukankah lebih maslahat menempuh jalan tengah, seperti negara ‘waria’ Indonesia, dengan tidak memaksakan Islam sebagai dasar dan UU negara. Tetapi, sebagai institusi politik, negara dapat menjadikan syariah Islam sebagai hukum dan kebijakan publik, dengan syarat tunduk pada konstitusi fundamental atas alasan hak asasi manusia, pluralisme, dan demokrasi.

Memposisikan Republik Islam Pakistan sebagai contoh buruk tentang kegagalan Islam membangun negara modern, seperti yang dikesankan Syafii Maarif, jelas tidak tepat. Memang benar, dalam konstisusi Negara Pakistan tercantum rumusan tentang kedaulatan Allah, dan syariah sebagai sumber hukum tertinggi. Tapi, apalah artinya sebuah konstitusi yang tidak berdaya guna, ketika para jenderal sekuler negeri itu, seakan berlomba mengudeta konstitusi republik Islam itu.

Jenderal Ayub Khan, adalah penguasa jenderal militer pertama yang melakukan kudeta terhadap pemerintahan Islam Pakistan yang sah. Pada tahun 1959, Jenderal Ayub Khan yang condong pada sekularisme membekukan UUD dan menjalankan pemerintahan secara diktator berdasarkan dekrit. Salah seorang penasihat politiknya, tokoh antisyariah bernama Prof Fazlur Rahman, menjadi guru Syafii Maarif di Ohio University.

Fazlur Rahman, termasuk tokoh yang berperan dalam mengatur kehidupan politik sekuler dan menyingkirkan syariah. Dia juga memusuhi orang yang memperjuangkan syariah Islam dalam mengatur kekuasan politik dan negara, seperti Abul A’la Al Maududi.

Mula-mula Ayub Khan membubarkan parlemen dan membekukan UUD. Selanjutnya, membubarkan parpol Islam, dan melarang para ulama berkecimpung dalam ranah politik serta kenegaraan, termasuk mengancam Abul A’la Al Maududi dengan hukuman mati.

Setelah Ayub Khan, Jenderal Yahya Khan (1969-1971) menggantikan kedudukannya sebagai penguasa militer, tapi kemudian terguling akibat meletusnya pembrontakan Pakistan Timur yang sekarang menjadi Banglades. Kemudian muncul Perdana Menteri Ali Butho (1971-1980) yang memimpin Pakistan berdasarkan sosialisme dan anti-Islam.

Pada tahun 1988, Jenderal Ziaul Haq menggantikan Ali Butho sebagai perdana menteri atas dukungan para ulama dan gerakan Islam. Jenderal yang dikenal saleh ini, berupaya merintis kembali ke konstitusi Pakistan yang berjiwa Islam, tetapi digagalkan oleh konspirasi Amerika. Ia terbunuh dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang bersama sejumlah jenderal, dan dubes AS untuk Pakistan ketika itu.

Sesudah itu muncul pemerintahan yang lemah, Benazir Butho, perdana menteri wanita pertama di Republik Islam Pakistan yang berhaluan sekuler dan antisyariah Islam. Dalam sebuah pidato di hadapan rakyat Pakistan, Benazir Butho pernah mengatakan bahwa Islam tidak berhasil membawa Pakistan keluar dari krisis. Karena itu, dia ingin menerapkan sosialisme yang sebelumnya telah dirintis oleh bapaknya, Ali Butho.

Padahal, baik Ali Butho maupun putrinya Benazir, termasuk Soekarno dan Soeharto di Indonesia, belum pernah secara konsisten menerapkan syariah Islam dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Bagaimana mereka menuntut Islam bertanggung jawab atas kegagalan yang puluhan tahun dilakukan oleh kelompok sekuler dan antiagama?

Bangkitnya para ulama Pakistan dan mendukung Nawaz Syarif sebagai perdana menteri Pakistan, mendorong pihak militer berulah. Mereka menentang kebijakan Nawaz Syarif dengan menyulut pertentangan antara Muhajirin (Muslim pendatang dari India) dan pengikut Syiah. Dalam kemelut politik yang tak henti ini, peluang munculnya para petualang di panggung politik Pakistan terbuka lebar.

Tampilnya kader Ahmadiyah, Jenderal Perver Musharraf, yang ternyata lebih banyak bertindak sebagai kaki tangan Inggris, memorak porandakan Islam di Asia Selatan, dan jadi sekutu dekat Amerika. Kudeta militer yang berkali-kali menggoyang bahtera Republik Islam Pakistan, sama sekali bukan atas nama Islam, melainkan motivasi sekularisme yang dipaksakan oleh para jenderal sekuler. Semua ini melengkapi drama bersimbah darah di Pakistan, untuk menelikung Negara Islam Pakistan yang paling ditakuti Barat.

Maka, mempertanyakan mengapa Alquran dan atas nama kedaulatan Allah di bumi, gagal memperbaiki nasib rakyat Pakistan, tidak lah relevan. Sebab, Alquran bukan makhluk yang dapat bertindak sebagaimana manusia berakal, melainkan hudan linnas, kitab petunjuk bagi manusia untuk menempuh jalan hidup yang benar dan menjauhi kesesatan. Jika ajarannya tidak diamalkan, kemudian terjadi krisis di masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, korupsi, penyalahgunaan kekuasan, dan berbagai bencana alam, jangan salahkan negara atau syariah Islam. Menuntut tanggung jawab Islam, terhadap petaka yang ditimbulkan kaum antisyariah Islam, adalah beban di luar tanggung jawab Islam. Tidaklah adil, menyalahkan, apalagi menuntut peran Islam memperbaiki kondisi masyarakat, sementara hukum-hukumnya diposisikan sekadar bahan pertimbangan dalam hukum positif dan kebijakan publik pemerintah.

Oleh : Irfan S Awwas

Sumber: http://www.republika.co.id
Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Mengapa Pakistan Tidak Pernah Aman dan Damai?"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments