Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,
Sebuah museum yang tak sekadar membuat pengunjungnya terjebak dalam masa lalu, atau menangis, tapi memberi makna atas apa yang terjadi.


Chheu Chap. Dua kata dalam bahasa Khmer itu menggambarkan kepedihan dengan iringan sergapan kelumpuhan fisik dan spiritual; serupa rasa sakit akibat pengkhianatan kekasih bercampur frustasi akan ketiadaan cara mengatasi rasa sakit itu. Demikian penjelasan antropolog Judy Ledgerwood dalam “The Cambodian Tuol Sleng Museum of Genocidal Crimes”, Museum Anthropology, terhadap dua kata yang menjadi komentar sebagian masyarakat Kamboja dalam buku tamu usai mengunjungi museum genosida Tuol Sleng.


Tuol Sleng (atau S-21 pada masa rezim Khmer Merah), yang menempati sebuah kompleks gedung sekolah di Phnom Penh, adalah “tempat orang-orang masuk dan tak pernah keluar,” ujar seorang pekerja pabrik di sekitar gedung kepada sejarawan David Chandler dalam Voices from S-21: Terror and History in Pol Pot’s Secret Prison. S-21 diperkirakan gabungan dari kata Sala (gedung) dan angka 21 atau kode untuk santebal (pasukan keamanan).


Keberadaan S-21 sebagai pusat interogasi dan penyiksaan tahanan tertutup rapat, bahkan disangkal banyak petinggi Khmer Merah, termasuk Pol Pot. Kepada Nate Thayer, koresponden Far Eastern Economic Review pada Oktober 1997, Pol Pot menegaskan posisinya. “Saya hanya membuat keputusan-keputusan besar. Saya ingin sampaikan –Tuol Sleng adalah buatan Vietnam. Seorang wartawan menulisnya. Orang ramai bicara Tuol Sleng, Tuol Sleng. Saya tahu Tuol Sleng kali pertama melalui siaran Voice of America. Saya mendengarkannya dua kali,” ucapnya.


Sejarah revolusi komunis Kamboja, menurut versi pemerintah, tercoreng oleh segelintir kriminal Khmer Merah, yaitu Pol Pot, Ieng Sary, dan Khieu Sampan. Ketiganya berambisi menata ulang struktur masyarakat menjadi tanpa kelas dan berpusat pada pertanian desa lewat peradaban baru “Tahun Nol Kamboja.”


Setelah merebut Phnom Penh pada 17 April 1975, Khmer Merah mendirikan pemerintahan Democratic Kampuchea (DK) dengan Pol Pot sebagai perdana menteri dan memulai misinya. Penduduk kota diharuskan pindah ke desa untuk menjalani kerja paksa. Semua kepercayaan, tradisi, budaya, dan interaksi dengan dunia luar dihapus. Mata uang, harta milik, akses, serta fasilitas perdagangan, pendidikan, dan kesehatan lenyap. Dalam usia pemerintahan yang singkat, hingga Januari 1979, rezim Khmer Merah membunuh hampir dua juta penduduk Kamboja.


Peran Khmer Merah sebagai kekuatan politik menguat sejak Jenderal Lon Nol mengkudeta Pangeran Norodom Sihanouk pada Maret 1970. Lon Nol, yang pro-Amerika, mengangkat diri sebagai presiden dan mendirikan Republik Khmer pada 1970-1975.


Dalam pengasingan di Beijing, Sihanouk berupaya kembali berkuasa. Dia mengangkat diri sebagai Kepala Negara Gouvernement Royal d'Union Nationale du Kampuchéa (GRUNK) dan menunjuk petinggi Khmer Merah –Khieu Samphan, sebagai wakil perdana menteri sekaligus menteri pertahanan GRUNK di Kamboja. Pol Pot bertugas sebagai pemimpin militer di lapangan. Banyak simpatisan Khmer Merah saat itu mengira mereka berjuang untuk Sihanouk.


Sementara itu, Amerika dengan dalih Perang Vietnam, menggempur tentara Vietkong dan Vietnam Utara yang bergerilya hingga ke wilayah Kamboja. Intensitas pemboman terhadap Kamboja meningkat pada 1970 atas perintah Presiden Richard Nixon. Sejarawan Ben Kiernan dan Taylor Owen, dalam Bombs Over Cambodia, mengemukakan, “Kamboja mungkin adalah negara yang paling banyak mengalami pemboman sepanjang sejarah,” bahkan dibandingkan total bom yang dijatuhkan Sekutu selama Perang Dunia II.


Kiernan dan Owen menyimpulkan agresi Amerika, selain mendekatkan tentara Vietkong dan Vietnam Utara dengan Khmer Merah, juga mendorong penduduk sipil Kamboja bersimpati pada kelompok militan ini. Dukungan ini dianggap sebagai salah satu faktor kemenangan Khmer Merah mengambil-alih kekuasaan di Kamboja.


Seperti penjelasan Chhit Do, seorang pejuang Khmer Merah kepada jurnalis Bruce Palling, “….karena ketakutan dan setengah gila akibat serangan bom, penduduk mempercayai apa saja yang kami sampaikan. Kegetiran terhadap ledakan bom membuat mereka terus bekerja sama dengan Khmer Merah, .… sering bom meledak, menewaskan anak-anak, dan ini membuat para ayah mengabdikan seluruh hidup mereka bagi Khmer Merah.”


Pada akhir 1978, Vietnam menginvasi Kamboja untuk menyingkirkan Khmer Merah yang telah menyerang penduduk Vietnam di perbatasan wilayah. Pol Pot, bersama beberapa pengikutnya, melarikan diri dan bergerilya di wilayah-wilayah kecil di sebelah barat Kamboja.


Jurnalis Ho Van Thay beserta rekannya, yang ikut dalam rombongan militer Vietnam, menemukan Tuol Sleng pada Januari 1979 setelah mencium bau menyengat di sekitar lokasi. Dalam ruang-ruang kelas, mereka mendapati 14 jenazah tahanan di atas ranjang besi. Juga berbagai alat penyiksaan seperti borgol, rantai, cambuk. Van Thay melaporkan penemuan lokasi itu kepada pemerintah Vietnam. Tumpukan arsip, dokumen pengakuan, dan foto para tahanan ditemukan di sisi lain gedung beberapa hari kemudian.


Sebagian besar tahanan S-21 adalah mereka yang memiliki kedekatan politik dengan pemerintah pendahulu. Namun, tak sedikit anggota DK dan keluarganya yang dicurigai kontrarevolusi menjadi korban. Termasuk Hu Nim, menteri informasi dan propaganda DK, dan Chan Kim Srun, istri seorang pejabat DK beserta bayinya.


Jumlah tahanan S-21 sejak April 1975 hingga minggu pertama 1979 diperkirakan mencapai lebih dari 15.000 orang, termasuk perempuan dan anak-anak. Tujuh orang tahanan diketahui selamat dari kebrutalan S-21.


Pemerintah Vietnam kemudian membangun Museum Tuol Sleng dan menunjuk Mai Lam, seorang kolonel Vietnam, sebagai konsultan. Mai Lam juga telah berperan dalam pembangunan Museum Kejahatan Perang Amerika di Ho Chi Minh City. Salah satu rekan sejawat Mai Lam adalah Ung Pech, satu dari tujuh tahanan S-21 yang selamat dan menjabat sebagai direktur museum pada 1980.


“Bagi kebanyakan orang yang tak memahami apa yang terjadi, museum bisa membantu. …Penduduk Kamboja yang mengalami perang tak dapat memahaminya –dan generasi mendatang juga tak mampu memaknainya,” ujar Mai Lam dalam sebuah wawancara.


Pemerintah Kamboja sempat berpendapat lain. Tuol Sleng kali pertama dibuka pada Maret 1979 dan hanya untuk warga negara asing. Larangan bagi masyarakat Kamboja mengunjungi Museum Tuol Sleng dihapus Juli 1980. Hampir 32.000 pengunjung tercatat dalam minggu pertama pembukaan. Bagi masyarakat Kamboja, Tuol Sleng menjadi tempat mencari jawaban atas nasib para anggota keluarga yang hilang.


Pada 1989, Vietnam mundur dari Kamboja. Pol Pot terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah Kamboja, hingga meninggal dunia pada 1998.


Ingatan masyarakat Khmer terhadap masa terburuk dalam sejarah bangsa mereka terus hidup melalui museum Tuol Sleng. “Museum menyediakan sebuah penjelasan untuk sesuatu yang tak mampu dijelaskan, dan dari kematian menciptakan kembali identitas nasional,” tulis Ledgerwood. [MIRA RENATA/KONTRIBUTOR]


Sumber: http://www.majalah-historia.com Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Memaknai Kepedihan Saat Rezim Khmer Merah"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments