Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
Mungkin kalau keadaan berbeda, Zine al-Abedine Ben Ali, 74 tahun, akan sangat senang mendengar bahwa namanya telah mencapai puncak tren di Twitter pada hari Jumat lalu. Presiden Tunisia yang digulingkan itu sangat berhati-hati mengenai image-nya di dalam dan luar negeri. Kedutaannya di luar negeri bahkan reka menghabiskan dana dengan boros hanya untuk pencitraan diri dan politiknya. Dia adalah presiden Arab kedua yang dijatuhkan oleh sebuah revolusi rakyat dalam empat dekade terakhir, dan yang pertama sejak tahun 1985, ketika rakyat Sudan menggulingkan rezim militer Gafar al-Numeiri.
Ben Ali berkuasa pada 7 November, 1987 setelah menyingkirkan presiden pertama republik Tunisia, al-Habib Bourguiba. Kemudian menyusul perdana menteri, ia mengumumkan dalam sebuah pernyataan publik bahwa Bourguiba 84 tahun telah disingkirkan karena tidak kompeten dalam memerintah. Hari suksesi itu telah menjadi hari libur nasional, dengan perayaan yang diselenggarakan di dalam Tunisia dan pemerintah menerbitkan iklan mahal untuk Ben Ali yang diumumkan di surat kabar di seluruh kawasan Arab.
Selama 23 tahun berkuasa, Ben Ali berhasil mendorong perekonomian negaranya, sehingga menjadi tempat favorit bagi investasi asing. Sebuah negara kecil yang dikelilingi oleh tetangga besar seperti Libya dan Aljazair, PDB Tunisia per kapita datang melebihi negara-negara seperti Brazil, Rusia, India dan Cina, sehingga menjadikannya salah satu dari "Singa" Afrika dalam hal ekonomi.
Ini adalah salah satu faktor yang membuat rezimnya bertahan dan jauh dari ketidakpuasan kronis sosial dan politik rakyat yang menembus masyarakat Arab lainnya seperti Maroko, Aljazair dan Mesir. Selain itu, Tunisia adalah contoh langka sebuah negara Arab yang tidak mengalami gelombang besar kekerasan politik oleh kelompok Islam 'militan', meskipun Aljazair tetangga mereka melihat Tunisia memiliki saham dalam hal itu.
Pada sambutannya di Hari Nasional tahun 2008, Ben Ali menyatakan untuk bangsanya, "Kami telah berdasarkan kebijakan kami pada [keutuhan] antara pembangunan, demokrasi dan hak asasi manusia. Kami bersikeras melibatkan semua partai politik, organisasi, dan komponen masyarakat sipil dalam semua masalah yang menjadi perhatian masyarakat kami dan negara kami. "
Meskipun pembangunan ekonomi Tunisia menyelamarkan dirinya dari kritik masyarakat internasional, tetapi di belakang "warisan ekonomi"-nya terletak sebuah warisan yang sama yang konsisten terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Menurut sebuah tahunan laporan oleh Amnesty International, yang telah secara teratur mendokumentasikan pelanggaran HAM rezim Tunisia yang berkuasa menyatakant, "Kebebasan berekspresi, berkumpul sangat terbatas. Kritikan terhadap pemerintah, termasuk dari wartawan, pembela hak asasi manusia dan aktivis mahasiswa, diganggu, diancam dan dituntut ... Penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya terus dilaporkan, dan tahanan berada dalam kondisi penjara yang keras. "
Pada tanggal 25 Oktober 2009, Ben Ali terpilih untuk masa jabatan kelima dengan penghitungan resmi 89,6 persen suara mendukungnya. Setelah pemilihan, ia mengancam bahwa dia tidak akan mentolerir setiap seruan yang mempertanyakan "sifat demokratis pemungutan suara yang telah berlangsung."
Sejarawan terkemuka Tunisia, Muhammad Talbi bahkan membandingkan Ben Ali Tunisia dengan negara itu selama pendudukan Perancis. "Selain dari banyak penghinaan yang dijatuhkan pada Tunisia, saya setuju bahwa di bawah protektorat Perancis, yang dimulai dengan Habib Bourguiba, masih ada hak untuk berbicara dan berserikat. Ada banyak klub, partai politik, serikat pekerja dan koran. Saya tidak akan memikirkan untuk memuji kolonialisme, tapi saya harus mengatakan dan mengakui bahwa saat ini kami tak memiliki satupun dari hal-hal tersebut."
Ben Ali adalah sekutu favorit bagi kekuatan Barat. Selama gelombang tekanan yang diberikan oleh mantan pemerintahan Amerika di negara-negara Arab untuk membuka rezim mereka dalam reformasi politik, Ben Ali tidak ditargetkan. Bagi AS setelah serangan 11 September 2001, dia adalah contoh dari penguasa moderat yang mengaktifkan diri dalam "perang terhadap terorisme" Amerika, terutama setelah pemboman April 2002 terhadap sebuah sinagoga Tunisia yang menewaskan 21 orang.
Ben Ali melarang partai-partai keagamaan dan menjadi aktif terlibat di inisiatif AS Trans-Sahara Counterterrorism untuk memerangi terorisme di Afrika. AS menanggapi hal itu dengan menyediakan Tunisia dengan bantuan strategis untuk perusahaan "layanan intelijen yang sangat terorganisir." Perancis, yang menjadi tuan rumah mayoritas 600.000 Tunisia yang tinggal di Uni Eropa, juga merupakan pendukung utama Ben Ali.
Hubungan diplomatik tersebut diaktifkan oleh Ben Ali untuk menantang setiap kritik terhadap rezim otoriter pemerintahannya. Meskipun Tunisia menjaga penjara penuh dengan tahanan, namun pada November 2005 rezimnya bisa menjadi tuan rumah KTT Dunia tentang Masyarakat Informasi (WSIS), sebuah konferensi yang disponsori PBB yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan digital antara selatan dan belahan utara.
Ketika ketidakpuasan rakyat Tunisia mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan demonstran memenuhi jalan-jalan dan untuk pertama kalinya meneriakkan kata-kata: "Ben Ali, keluar!" dan "Ben Ali, pembunuh!", Perancis membela dirinya. Daripada turut campur, saya percaya tugas kami adalah untuk membuat analisa yang objektif dari situasi yang ada," kata Menteri Luar Negeri Perancis Michèle Alliot Marie di parlemen pekan lalu. Namun kemudian, Menteri Pertanian Perancis Bruno Le Maire membuat semakin jelas dengan menyatakan bahwa "Presiden Ben Ali adalah seseorang yang sering dinilai buruk." Dia menambahkan, "Ini sebenarnya bukan wewenang saya untuk menilai rezim Tunisia."
Suara paling signifikan yang terdengar baru-baru ini terdapat dalam kabel diplomatik yang bocor. Mantan Duta Besar AS untuk Tunisia Robert Godec (yang menjabat 2006-2009) menulis memo pada bulan Juli 2009 tentang sifat kesewenang-wenangan rezim Ben Ali. "Mereka tidak mentolerir saran atau kritik, baik domestik maupun internasional. Mereka semakin bergantung pada polisi untuk melakukan kontrol dan fokus pada kekuatan melestarikan rezim berkuasa," ujar memo tersebut. "Korupsi di lingkaran dalam pemerintah semakin tumbuh. Bahkan warga unisia rata-rata sekarang sangat menyadari hal itu. Dan paduan suara pengaduan semakin meningkat. Sementara itu, kemarahan tumbuh di Tunisia akibat tingginya pengangguran dan ketidakadilan di daerah. Sebagai akibatnya, resiko perlawanan terhadap stabilitas rezim jangka panjang yang justru semakin meningkat."
Namun sekarang, Ben Ali tidak ada manfaatnya lagi dari menjadi sekutu Barat. Washington meninggalkan dirinya ketika Presiden Barack Obama memuji "keberanian dan martabat rakyat Tunisia." Bahkan Perancis menolak untuk membiarkan bandaranya di darati oleh pesawatnya. Meskipun ia mendapatkan brand awareness internasional pada saat dirinya menjadi puncak tren di Twitter, Ben Ali telah kehilangan statusnya sebagai diktator tanpa penghukuman Barat. Sarjana politik terkemuka AS, Steven Heydemann mengutip seorang analis politik Suriah yang mengatakan pada Mei 2006: "Tunisia adalah model kita. Lihat saja mereka! Mereka represif jauh lebih daripada kita, namun Barat mengasihi mereka. Kita perlu mencari tahu bagaimana mereka melakukannya."(fq/almasryalyoum)
Sumber: http://www.eramuslim.com/
Artikel Lainnya:
No Response to "Ben Ali: Sebuah Kisah Seorang Diktator yang Tergulingkan"
Posting Komentar