Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Afrika
Presiden Obama dan para pejabat Gedung Putih sangat sibuk menghadapi krisis di Timur Tengah, khususnya yang terjadi di Mesir. Presiden Obama telah membentuk ‘task force’ Timur Tengah, dan membentuk ‘contingency plan’, yang tujuannya menjamin peralihan kekuasaan di Mesir, tidak menimbulkan konplikasi yang luas, dan berdampak burukk bagi kepentigan AS di Timur Tengah. Ketakutan Obama dan para pejabat di Gedung Putih, jika aksi protes yang terjadi di Mesir sekarang berubah menjadi sebuah revolusi, yang tidak terkendali serta diluar diprediksi akibat-akibatnya. Amerika tidak ingin aksi protes yang berlangsung di jalan-jalan kota Mesir itu, mengubah seluruh tatanan yang ada sekarang ini, termasuk berdampak bagi hubungan antara Amerika dan Mesir.
Amerika telah kehilangan sekutu utamanya Iran, bersamaan dengan jatuhnya Reza Pahlevi, akibat terjadinya revolusi, yang digalang para mullah, di tahun 1979. Kemudian, lahir rezim mullah, yang sangat tidak bersahabat dengan Amerika. Amerika mengalami trauma, saat para pasdaran menduduki kedutaan Amerika di Teheran, dan menyandera para diplomat Amerika. Presiden Jimmy Carter, berusaha melakukan pembebasan, dan mengerahkan misi pembebasan sandera di kedutaan AS, dipimpin Kolonel Olver North, tetapi gagal. Ekses revolusi Iran, menyebabkan Jimmy Carter, dikalahkan Ronald Reagan dalam pemilihan presiden.
Presiden Amerika Barack Obama mengkonsolidasikan tokoh-tokoh utama Gedung Putih, mencari solusi bagi penyelesaian di Mesir. Sejumlah utusan Amerika sekarang telah berada di Cairo, membawa proposal dari Gedung Putih, sebuah transisi pemerintahan, dan yang melibatkan semua kelompok oposisi. Proposal yang dibawa pejabat Gedung Putih itu, sedang dibahas dengan Wakil Presiden Omar Sulaiman, Perdana Menteri Ahmed Shafiq, dan Menteri Pertahanan Mohamed Thantowi, yang mendorong agar Mubarak segera mengundurkan diri, serta terbentuknya pemerintahan transisi.
Jendral Mc, Mullen telah berbicara dengan Menteri Pertahanan Mesir Jenderal Muhamad Thantawi, mendorong terjadinya perubahan, dan Mubarak tidak melakukan kekerasan, karena akan menyulut revolusi, yang akan merugikan kepentingan AS di Timur Tengah. Hal ini, seperti juga disampaikan juru bicara Dewan Keamanan Nasional (NSC), Tomy Vietor, yang mendorong Mubarak segera mengundurkan diri. Berlarut-larutnya situasi di Mesir, justru akan membuat terjadinya revolusi di negeri Spinx. Apabila terjadinya revolusi, yang diuntungkan hanyalah kelompok-kelompok fundamentalis, ujarnya.
Senator John Kerry, Demokrat dari Massucheset dan John Mc Cain, Senator dari Arizona, memiliki pandangan yang sama, agar Mubarak segera mengundurkan diri dan meninggalkan Mesir, serta memberikan kesempatan kepada kelompok oposisi bersama dengan pemerintah sekarang mmbentuk pemerintahan transisi. Amerika menekan Mubarak, hanya karena tidak ingin Mesir mennjadi seperti Iran, di mana rezim yang berkuasa dijatuhkan oleh sebuah revolusi, yang dimotori para mullah, dan kemudian membentuk pemerintahan baru, yang lebih bercorak agama.
Karena itu, sekarang pemerintahan Presiden Obama bekerja ekstra keras, bersama dengan Menlu Hallary Clinton, dan Kepala Staf Gabungan Jenderal Mc.Mullen, serta NSC, yang didukung CIA membentuk ‘task force’ Timur Tengah, mencegah agar Mesir tidak seperti Iran. Jika terjadi revolusi yang sangat tidak menguntungkan bagi kepentingan Amerika, dan efek dominonya akan menjalan ke seluruh Timur Tengah, yang sekarang ikut bergolak akibat krisis di Mesir. Amerika sangat berpentingan untuk segera menurunkan Mubarak dari kekuasaannya, dan melakukan dialog dengan kekuatan oposisi utama di Mesir, dan mencari konsensus baru bagi kepentingan politik masa depan Amerika di Timur Tengah. mn.
Sumber: http://www.eramuslim.com/
Artikel Lainnya:
No Response to "Amerika Tidak Ingin Mesir Seperti Iran"
Posting Komentar