Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Perang di Afrika
,
Perang di Asia
Perang Enam Hari (bahasa Ibrani: מלחמת ששת הימים Milkhemet Sheshet HaYamim, bahasa Arab: حرب الأيام الستة ħarb al-'ayyam as-sittah), juga dikenali sebagai Perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah, dan ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari enam hari), hanya di front Suriah saja perang berlangsung enam hari penuh.
Tentara Angkatan Pertahanan Israel di
Tembok Barat Yerusalem tidak lama setelah
merebutnya.
Pada bulan Mei tahun 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai; ketika itu UNEF telah berpatroli disana sejak tahun 1957 (yang disebabkan oleh invasi atas Semenanjung Sinai oleh Israel tahun 1956). Mesir mempersiapkan 1.000 tank dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (pintu masuk menuju Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya. Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil dari perang ini mempengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari ini.
Latar Belakang
Akibat Perang Arab-Israel Tahun 1948 Dan 1956
Perang ini disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupun Mesir kalah, namun mereka menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir setuju atas keberadaan pasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas tentara dan juga menghalangi gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara Mesir dan Israel terwujud untuk sesaat.
Perang tahun 1956 menyebabkan kembalinya keseimbangan yang tidak pasti, karena tidak ada penyelesaian atau resolusi tetap mengenai masalah-masalah di wilayah itu. Pada masa itu, tidak ada negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan ke Israel pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari "perang pembebasan rakyat", dalam rangka untuk mencegah perlawanan domestik terhadap partai Ba'ath. Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.
Pengangkut Air Nasional Israel
Pada tahun 1964, Israel telah mulai mengalihkan air dari Sungai Yordan untuk Pengangkut Air Nasional Israelnya. Pada tahun berikutnya, negara-negara Arab mulai membuat "Rencana Pengalihan Air". Apabila rencana tersebut selesai, maka akan mengalihkan air dari Sungai Banias agar tidak memasuki Israel dan Danau Galilea melainkan mengalir ke dalam suatu bendungan di Mukhaiba untuk Yordania dan Suriah, serta mengalihkan air dari Hasbani ke dalam Sungai Litani di Lebanon. Hal ini akan mengurangi kapasitas air yang masuk ke Pengangkut Air Nasional Israel sebanyak 35%, dan persediaan air Israel sekitar 11%.
Angkatan Bersenjata Israel menyerang pekerjaan pengalihan tersebut di Suriah pada bulan Maret, Mei, dan Agustus tahun 1965, sebuah rangkaian kekerasan yang berlanjut di sepanjang perbatasan, yang berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang nantinya akan memulai perang.
Israel Dan Yordania: Peristiwa Samu
Pada tanggal 12 November 1966, seorang Polisi Perbatasan Israel menginjak ranjau yang menyebabkan terbunuhnya 3 tentara dan melukai 6 orang lainnya. Pihak Israel percaya bahwa ranjau tersebut telah ditanam oleh teroris Es Samu di Tepi Barat. Pada pagi tanggal 13 November 1966, Raja Hussein, yang sudah tiga tahun mengadakan pertemuan rahasia dengan Abba Eban dan Golda Meir untuk membahas keamanan perbatasan dan perdamaian, menerima pesan yang tidak diminta dari Israel yang menyatakan bahwa Israel tidak mempunyai niat untuk menyerang Yordania.
Walaupun begitu, pada pukul 5:30 pagi, Hussein menyatakan bahwa "dengan alasan 'balas dendam terhadap aktivitas teroris dari P.L.O.', Pasukan Israel menyerang Es Samu, sebuah desa Yordania yang mempunyai 4.000 penduduk, seluruhnya merupakan pengungsi dari Palestina, yang dituduh Israel menyembunyikan teroris dari Suriah".
Dalam "Operasi Shredder", operasi tentara Israel terbesar sejak tahun 1956 sampai terjadinya Invasi Lebanon 2006, pasukan sekitar 3.000-4.000 tentara yang didukung tank dan pesawat tempur ini dibagi kedalam pasukan cadangan, yang tetap tinggal di bagian perbatasan Israel, dan dua pasukan penyerang, yang menyebrang ke Tepi Barat yang dikuasai Yordania.
Israel Dan Suriah
Selain mendukung serangan-serangan kepada Israel (yang sering memasuki wilayah Yordania, sehingga mengesalkan Raja Hussein), Suriah pun mulai menembaki komunitas rakyat Israel di timur Danau Galilea dari posisinya di Dataran Tinggi Golan, sebagai bagian dari perselisihan atas penguasaan Zona Demiliterisasi, yaitu tanah kecil yang diklaim oleh Israel dan Suriah.
Pada tahun 1966, Mesir dan Suriah menandatangani persekutuan militer, yang mana mereka akan saling membantu bila salah satunya diserang pihak lain. Menurut Indar Jit Rikhye (penasihat militer PBB), Menteri Luar Negeri Mesir Mahmoud Riad mengatakan bahwa Mesir telah dibujuk oleh Uni Soviet untuk menjalin pakta pertahanan tersebut berdasarkan 2 alasan: untuk mengurangi peluang terjadinya serangan penghukuman terhadap Suriah oleh Israel, dan untuk membawa Suriah ke dalam pengaruh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang lebih moderat.
Mundurnya Pasukan Keamanan PBB
U Thant, Sekretaris Jendral PBB, mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18 Mei 1967, Menteri Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa misi UNEF di Mesir dan Jalur Gaza telah dibatalkan dan mereka harus pergi segera. Tentara Mesir juga menghalangi tentara UNEF yang hendak memasuki pos mereka. India dan Yugoslavia memutuskan untuk menarik semua tentara mereka dari UNEF, tanpa mengira keputusan U Thant. Ketika semua ini berlangsung, U Thant memberi usulan bahwa UNEF pindah ke perbatasan Israel, namun Israel menolak usulan ini. Wakil Mesir kemudian memberitahu U Thant bahwa Mesir telah memutuskan untuk menghilangkan kehadiran UNEF di Sinai dan Jalur Gaza, dan meminta agar diambil langkah untuk semua pasukan darurat mundur dengan segera. Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima perintah untuk mundur. Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir, kemudian memulai demiliterisasi Sinai, dan mempersiapkan tank dan tentara di perbatasan antara Mesir dan Israel.
Selat Tiran
Pada tanggal 22 Mei 1967, Mesir mengumumkan bahwa mulai dari tanggal 23 Mei 1967, Selat Tiran akan ditutup untuk "semua kapal yang mengibarkan bendera Israel atau membawa bahan-bahan strategik". Nasser juga menyatakan, "Tidak akan membiarkan bendera Israel melalui Teluk Aqaba dengan alasan apapun." Kebanyakan perdagangan Israel menggunakan pelabuhan-pelabuhan di kawasan Laut Tengah, dan menurut John Quigley, walaupun kapal-kapal dengan bendera Israel tidak pernah menggunakan pelabuhan Eilat sejak dua tahun sebelum bulan Juni tahun 1967, minyak yang dibawa oleh kapal-kapal dengan bendera yang bukan bendera Israel merupakan impor yang sangat penting bagi Israel. Terdapat ketidakjelasan tentang tingkat keketatan blokade tersebut, khususnya mengenai apakah hal itu juga berlaku terhadap kapal-kapal yang bukan berbendera Israel.
Mesir Dan Yordania
Ideologi Nasser yang berbentuk pan-Arabisme telah mendapat banyak dukungan di Yordania, sehingga pada tanggal 30 Mei 1967, Yordania menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir, oleh sebab itu, ia bergabung dengan persekutuan militer antara Mesir dan Yordania. Presiden Nasser, dimana telah menyebut Raja Hussein sebagai seorang "pesuruh imperialis". Israel telah meminta Yordania beberapa kali agar tidak menyerang Israel. Namun, Hussein berada di ujung tanduk, dan berada di dalam dilema, ia harus memilih apakah Yordania harus ikut dalam peperangan dan menerima risiko dari balasan Israel, atau agar tetap netral dan mendapat risiko akan terjadinya revolusi di Yordania. Jendral Sharif Zaid Ben Shaker juga memperingati dalam konferensi pers bahwa "Jika Yordania tidak ikut dalam perang ini, perang saudara akan menghancurkan Yordania".
Aliran Menuju Peperangan
Sebuah tulisan ditulis pada tahun 2002 oleh jurnalis Mike Shuster yang mengekspresikan pandangannya bahwa hal itu adalah hal yang lazim di Israel sebelum perang tersebut karena Israel "dikepung oleh negara Arab. Mesir dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, nasionalis yang pasukannya merupakan pasukan terkuat di Timur Tengah. Suriah dipimpin oleh Partai Ba'ath yang radikal, yang membahas permasalahan untuk mendorong Israel ke laut." Hal ini dilihat oleh Israel sebagai aksi provokasi oleh Nasser, termasuk penutupan selat Tiran dan mobilisasi pasukan di Sinai, yang membuat rantai teanan ekonomi dan militer, dan Amerika Serikat menunggu kesempatan baik karena permasalahannya dalam Perang Vietnam, tokoh militer dan politik Israel merasa bahwa dengan "melakukan tindakan militer sebelum diserang" bukan hanya lebih disukai, tetapi transformatif.
Diplomasi Dan Taksiran Intelijen
Kabinet Israel melakukan sidang pada tanggal 23 Mei 1967 dan membuat keputusan untuk melancarkan serangan lebih dahulu jika Selat Tiran tidak dibuka sampai tanggal 25 Mei 1967. Setelah suatu pendekatan US Undersecretary of State Eugene Rostow untuk melakukan perundingan sebagai penyelesaian masalah tanpa peperangan, dan Israel setuju untuk menunda serangannya.
Pada tanggal 26 Mei 1967, Menteri Luar Israel Abba Eban mendarat di Washington D.C. untuk memastikan Amerika tentang keputusannya dalam peristiwa ini. Segera setelah Eban tiba, ia mendapat telegram dari pemerintah Israel. Telegram itu menyatakan bahwa Israel telah mempelajari rencana Mesir dan Suriah untuk melancarkan suatu peperangan pemusnahan atas Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Eban bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean Rusk, Menteri Pertahanan Robert McNamara, dan akhirnya dengan Presiden Johnson. Pihak Amerika menyatakan bahwa sumber intelijen mereka tidak dapat mendukung tuduhan tersebut, kedudukan Mesir di Sinai masih dalam posisi bertahan. Eban meninggalkan Gedung Putih dengan bingung.
Tentara Yang Bertempur
Terdapat sekitar 100.000 dari 160.000 pasukan Mesir di Sinai, termasuk semua dari 7 divisi (4 infantri, 2 lapis baja dan 1 dimaknisasikan), juga 4 infantri indenpenden dan 4 brigadir lapis baja indenpenden. Tidak kurang 3 dari mereka adalah veteran Mesir yang melakukan intervensi di Yaman pada saat Perang Saudara Yaman dan 3 lainnya adalah cadangan. Pasukan ini memiliki 950 tank, 1.100 APC dan lebih dari 1.000 artileri. Pada waktu yang sama beberapa tentara Mesir (15.000 - 20.000) masih bertempur di Yemen. 2 perasaan Nasser yang bertentangan tentang keinginannya digambarkan dalam perintahnya terhadap militer. Pegawai jenderal mengganti rencana operasional 4 kali pada bulan Mei tahun 1967, yang tiap perubahan harus dilakukan kembali distribusi pasukan, dengan korban yangtidak dapat dihindarkan baik tentara maupun peralatan. Pada saat menuju akhir Mei, Nasser akhirnya melarang pegawai jendral untuk melanjutkan rencana Qahir ("kemenangan"), dimana memanggil layar infantri ringan dalam fortifikasi selanjutnya dengan bagian terbesar pasukan menahan balik untuk menahan serangan balik besar-besaran dan melawan pasukan utama Israel ketika diidentifikasi, dan memerintahkan pertahanan lebih lanjut atas Sinai. Ia melanjutkan mengambil aksi untuk meningkatkan jumlah mobilisasi Mesir, Suriah dan Yordania, untuk membuat tekanan terhadap Israel.
Pasukan Yordania berjumlah 55.000, sedangkan pasukan Suriah memiliki 75.000 pasukan.
Pasukan Israel memiliki pasukan, termasuk pasukan cadangan, yang berjumlah 264.000, walaupun begitu jumlah ini tidak dapat ditopang, apalagi pasukan cadangan sangat vital untuk keselamatan rakyat sipil. James Reston menulis di koran New York Times pada tanggal 23 Mei 1967 mencatat, "Dalam kedisiplinan, pelatihan, moral, peralatan dan kemampuan jendral Mesir dan pasukan lainnya, tanpa bantuan langsung dari Uni Soviet, tidak ada apa-apanya dibanding Israel... Meskipun dengan 50.000 pasukan dan dengan jendral terbaiknya dan pasukan udaranya di Yaman, dia tidak akan bisa untuk melakukan jalannya di negara kecil dan primitif itu, dan usahanya untuk menolong pemberontak Kongo adalah sebuah kegagalan."
Pada sore hari tanggal 1 Juni 1967, Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan memanggil jendral Yitzhak Rabin dan Jendral Brigadir Komando Selatan Yeshayahu Gavish untuk menghadiri rencana melawan Mesir. Rabin telah mencampur rencana dimana komando selatan akan bertempur dalam perjalanannya menuju Jalur Gaza dan lalu menahan teritori dan orang-orangnya sebagai sandra hingga Mesir setuju untuk membuka kembali Selat Tiran, dimana Gavish memiliki rencana luas untuk memusnahkan pasukan Mesir di Sinai. Rabin lebih menyukai rencana Gavish, dimana disetujui oleh Dayan dengan hati-hati bahwa serangan serempak melawan Suriah harus dihindari.
Sumber: http://id.wikipedia.org/
Tentara Angkatan Pertahanan Israel di
Tembok Barat Yerusalem tidak lama setelah
merebutnya.
Pada bulan Mei tahun 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai; ketika itu UNEF telah berpatroli disana sejak tahun 1957 (yang disebabkan oleh invasi atas Semenanjung Sinai oleh Israel tahun 1956). Mesir mempersiapkan 1.000 tank dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (pintu masuk menuju Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya. Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil dari perang ini mempengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari ini.
Latar Belakang
Akibat Perang Arab-Israel Tahun 1948 Dan 1956
Perang ini disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupun Mesir kalah, namun mereka menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir setuju atas keberadaan pasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas tentara dan juga menghalangi gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara Mesir dan Israel terwujud untuk sesaat.
Perang tahun 1956 menyebabkan kembalinya keseimbangan yang tidak pasti, karena tidak ada penyelesaian atau resolusi tetap mengenai masalah-masalah di wilayah itu. Pada masa itu, tidak ada negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan ke Israel pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari "perang pembebasan rakyat", dalam rangka untuk mencegah perlawanan domestik terhadap partai Ba'ath. Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.
Pengangkut Air Nasional Israel
Pada tahun 1964, Israel telah mulai mengalihkan air dari Sungai Yordan untuk Pengangkut Air Nasional Israelnya. Pada tahun berikutnya, negara-negara Arab mulai membuat "Rencana Pengalihan Air". Apabila rencana tersebut selesai, maka akan mengalihkan air dari Sungai Banias agar tidak memasuki Israel dan Danau Galilea melainkan mengalir ke dalam suatu bendungan di Mukhaiba untuk Yordania dan Suriah, serta mengalihkan air dari Hasbani ke dalam Sungai Litani di Lebanon. Hal ini akan mengurangi kapasitas air yang masuk ke Pengangkut Air Nasional Israel sebanyak 35%, dan persediaan air Israel sekitar 11%.
Angkatan Bersenjata Israel menyerang pekerjaan pengalihan tersebut di Suriah pada bulan Maret, Mei, dan Agustus tahun 1965, sebuah rangkaian kekerasan yang berlanjut di sepanjang perbatasan, yang berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang nantinya akan memulai perang.
Israel Dan Yordania: Peristiwa Samu
Pada tanggal 12 November 1966, seorang Polisi Perbatasan Israel menginjak ranjau yang menyebabkan terbunuhnya 3 tentara dan melukai 6 orang lainnya. Pihak Israel percaya bahwa ranjau tersebut telah ditanam oleh teroris Es Samu di Tepi Barat. Pada pagi tanggal 13 November 1966, Raja Hussein, yang sudah tiga tahun mengadakan pertemuan rahasia dengan Abba Eban dan Golda Meir untuk membahas keamanan perbatasan dan perdamaian, menerima pesan yang tidak diminta dari Israel yang menyatakan bahwa Israel tidak mempunyai niat untuk menyerang Yordania.
Walaupun begitu, pada pukul 5:30 pagi, Hussein menyatakan bahwa "dengan alasan 'balas dendam terhadap aktivitas teroris dari P.L.O.', Pasukan Israel menyerang Es Samu, sebuah desa Yordania yang mempunyai 4.000 penduduk, seluruhnya merupakan pengungsi dari Palestina, yang dituduh Israel menyembunyikan teroris dari Suriah".
Sebuah Tank Centurion Israel.
Dalam "Operasi Shredder", operasi tentara Israel terbesar sejak tahun 1956 sampai terjadinya Invasi Lebanon 2006, pasukan sekitar 3.000-4.000 tentara yang didukung tank dan pesawat tempur ini dibagi kedalam pasukan cadangan, yang tetap tinggal di bagian perbatasan Israel, dan dua pasukan penyerang, yang menyebrang ke Tepi Barat yang dikuasai Yordania.
Israel Dan Suriah
Selain mendukung serangan-serangan kepada Israel (yang sering memasuki wilayah Yordania, sehingga mengesalkan Raja Hussein), Suriah pun mulai menembaki komunitas rakyat Israel di timur Danau Galilea dari posisinya di Dataran Tinggi Golan, sebagai bagian dari perselisihan atas penguasaan Zona Demiliterisasi, yaitu tanah kecil yang diklaim oleh Israel dan Suriah.
Pada tahun 1966, Mesir dan Suriah menandatangani persekutuan militer, yang mana mereka akan saling membantu bila salah satunya diserang pihak lain. Menurut Indar Jit Rikhye (penasihat militer PBB), Menteri Luar Negeri Mesir Mahmoud Riad mengatakan bahwa Mesir telah dibujuk oleh Uni Soviet untuk menjalin pakta pertahanan tersebut berdasarkan 2 alasan: untuk mengurangi peluang terjadinya serangan penghukuman terhadap Suriah oleh Israel, dan untuk membawa Suriah ke dalam pengaruh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang lebih moderat.
Mundurnya Pasukan Keamanan PBB
U Thant, Sekretaris Jendral PBB, mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18 Mei 1967, Menteri Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa misi UNEF di Mesir dan Jalur Gaza telah dibatalkan dan mereka harus pergi segera. Tentara Mesir juga menghalangi tentara UNEF yang hendak memasuki pos mereka. India dan Yugoslavia memutuskan untuk menarik semua tentara mereka dari UNEF, tanpa mengira keputusan U Thant. Ketika semua ini berlangsung, U Thant memberi usulan bahwa UNEF pindah ke perbatasan Israel, namun Israel menolak usulan ini. Wakil Mesir kemudian memberitahu U Thant bahwa Mesir telah memutuskan untuk menghilangkan kehadiran UNEF di Sinai dan Jalur Gaza, dan meminta agar diambil langkah untuk semua pasukan darurat mundur dengan segera. Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima perintah untuk mundur. Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir, kemudian memulai demiliterisasi Sinai, dan mempersiapkan tank dan tentara di perbatasan antara Mesir dan Israel.
Selat Tiran
Pada tanggal 22 Mei 1967, Mesir mengumumkan bahwa mulai dari tanggal 23 Mei 1967, Selat Tiran akan ditutup untuk "semua kapal yang mengibarkan bendera Israel atau membawa bahan-bahan strategik". Nasser juga menyatakan, "Tidak akan membiarkan bendera Israel melalui Teluk Aqaba dengan alasan apapun." Kebanyakan perdagangan Israel menggunakan pelabuhan-pelabuhan di kawasan Laut Tengah, dan menurut John Quigley, walaupun kapal-kapal dengan bendera Israel tidak pernah menggunakan pelabuhan Eilat sejak dua tahun sebelum bulan Juni tahun 1967, minyak yang dibawa oleh kapal-kapal dengan bendera yang bukan bendera Israel merupakan impor yang sangat penting bagi Israel. Terdapat ketidakjelasan tentang tingkat keketatan blokade tersebut, khususnya mengenai apakah hal itu juga berlaku terhadap kapal-kapal yang bukan berbendera Israel.
Mesir Dan Yordania
Ideologi Nasser yang berbentuk pan-Arabisme telah mendapat banyak dukungan di Yordania, sehingga pada tanggal 30 Mei 1967, Yordania menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir, oleh sebab itu, ia bergabung dengan persekutuan militer antara Mesir dan Yordania. Presiden Nasser, dimana telah menyebut Raja Hussein sebagai seorang "pesuruh imperialis". Israel telah meminta Yordania beberapa kali agar tidak menyerang Israel. Namun, Hussein berada di ujung tanduk, dan berada di dalam dilema, ia harus memilih apakah Yordania harus ikut dalam peperangan dan menerima risiko dari balasan Israel, atau agar tetap netral dan mendapat risiko akan terjadinya revolusi di Yordania. Jendral Sharif Zaid Ben Shaker juga memperingati dalam konferensi pers bahwa "Jika Yordania tidak ikut dalam perang ini, perang saudara akan menghancurkan Yordania".
Aliran Menuju Peperangan
Sebuah tulisan ditulis pada tahun 2002 oleh jurnalis Mike Shuster yang mengekspresikan pandangannya bahwa hal itu adalah hal yang lazim di Israel sebelum perang tersebut karena Israel "dikepung oleh negara Arab. Mesir dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, nasionalis yang pasukannya merupakan pasukan terkuat di Timur Tengah. Suriah dipimpin oleh Partai Ba'ath yang radikal, yang membahas permasalahan untuk mendorong Israel ke laut." Hal ini dilihat oleh Israel sebagai aksi provokasi oleh Nasser, termasuk penutupan selat Tiran dan mobilisasi pasukan di Sinai, yang membuat rantai teanan ekonomi dan militer, dan Amerika Serikat menunggu kesempatan baik karena permasalahannya dalam Perang Vietnam, tokoh militer dan politik Israel merasa bahwa dengan "melakukan tindakan militer sebelum diserang" bukan hanya lebih disukai, tetapi transformatif.
Diplomasi Dan Taksiran Intelijen
Kabinet Israel melakukan sidang pada tanggal 23 Mei 1967 dan membuat keputusan untuk melancarkan serangan lebih dahulu jika Selat Tiran tidak dibuka sampai tanggal 25 Mei 1967. Setelah suatu pendekatan US Undersecretary of State Eugene Rostow untuk melakukan perundingan sebagai penyelesaian masalah tanpa peperangan, dan Israel setuju untuk menunda serangannya.
Pada tanggal 26 Mei 1967, Menteri Luar Israel Abba Eban mendarat di Washington D.C. untuk memastikan Amerika tentang keputusannya dalam peristiwa ini. Segera setelah Eban tiba, ia mendapat telegram dari pemerintah Israel. Telegram itu menyatakan bahwa Israel telah mempelajari rencana Mesir dan Suriah untuk melancarkan suatu peperangan pemusnahan atas Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Eban bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean Rusk, Menteri Pertahanan Robert McNamara, dan akhirnya dengan Presiden Johnson. Pihak Amerika menyatakan bahwa sumber intelijen mereka tidak dapat mendukung tuduhan tersebut, kedudukan Mesir di Sinai masih dalam posisi bertahan. Eban meninggalkan Gedung Putih dengan bingung.
Tentara Yang Bertempur
Terdapat sekitar 100.000 dari 160.000 pasukan Mesir di Sinai, termasuk semua dari 7 divisi (4 infantri, 2 lapis baja dan 1 dimaknisasikan), juga 4 infantri indenpenden dan 4 brigadir lapis baja indenpenden. Tidak kurang 3 dari mereka adalah veteran Mesir yang melakukan intervensi di Yaman pada saat Perang Saudara Yaman dan 3 lainnya adalah cadangan. Pasukan ini memiliki 950 tank, 1.100 APC dan lebih dari 1.000 artileri. Pada waktu yang sama beberapa tentara Mesir (15.000 - 20.000) masih bertempur di Yemen. 2 perasaan Nasser yang bertentangan tentang keinginannya digambarkan dalam perintahnya terhadap militer. Pegawai jenderal mengganti rencana operasional 4 kali pada bulan Mei tahun 1967, yang tiap perubahan harus dilakukan kembali distribusi pasukan, dengan korban yangtidak dapat dihindarkan baik tentara maupun peralatan. Pada saat menuju akhir Mei, Nasser akhirnya melarang pegawai jendral untuk melanjutkan rencana Qahir ("kemenangan"), dimana memanggil layar infantri ringan dalam fortifikasi selanjutnya dengan bagian terbesar pasukan menahan balik untuk menahan serangan balik besar-besaran dan melawan pasukan utama Israel ketika diidentifikasi, dan memerintahkan pertahanan lebih lanjut atas Sinai. Ia melanjutkan mengambil aksi untuk meningkatkan jumlah mobilisasi Mesir, Suriah dan Yordania, untuk membuat tekanan terhadap Israel.
Pasukan Yordania berjumlah 55.000, sedangkan pasukan Suriah memiliki 75.000 pasukan.
Pasukan Israel memiliki pasukan, termasuk pasukan cadangan, yang berjumlah 264.000, walaupun begitu jumlah ini tidak dapat ditopang, apalagi pasukan cadangan sangat vital untuk keselamatan rakyat sipil. James Reston menulis di koran New York Times pada tanggal 23 Mei 1967 mencatat, "Dalam kedisiplinan, pelatihan, moral, peralatan dan kemampuan jendral Mesir dan pasukan lainnya, tanpa bantuan langsung dari Uni Soviet, tidak ada apa-apanya dibanding Israel... Meskipun dengan 50.000 pasukan dan dengan jendral terbaiknya dan pasukan udaranya di Yaman, dia tidak akan bisa untuk melakukan jalannya di negara kecil dan primitif itu, dan usahanya untuk menolong pemberontak Kongo adalah sebuah kegagalan."
Pada sore hari tanggal 1 Juni 1967, Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan memanggil jendral Yitzhak Rabin dan Jendral Brigadir Komando Selatan Yeshayahu Gavish untuk menghadiri rencana melawan Mesir. Rabin telah mencampur rencana dimana komando selatan akan bertempur dalam perjalanannya menuju Jalur Gaza dan lalu menahan teritori dan orang-orangnya sebagai sandra hingga Mesir setuju untuk membuka kembali Selat Tiran, dimana Gavish memiliki rencana luas untuk memusnahkan pasukan Mesir di Sinai. Rabin lebih menyukai rencana Gavish, dimana disetujui oleh Dayan dengan hati-hati bahwa serangan serempak melawan Suriah harus dihindari.
Sumber: http://id.wikipedia.org/
Artikel Lainnya:
No Response to "Perang Enam Hari: Latar Belakang"
Posting Komentar