Posted by Rifan Syambodo Categories: Label: ,
Penghujung bulan Mei 1945, Presiden Pemerintahan Sementara Nazi Jerman, Laksamana Karl Doenitz, menyatakan kapitulasi Nazi Jerman secara resmi kepada pihak sekutu. Sebagai penerus 'der Fuehrer' Adolf Hitler, yang telah bunuh diri beberapa minggu sebelumnya, Doenitz sadar bahwa Jerman tak mungkin menang perang. 'Wehrmacht' (angkatan bersenjata Jerman) sudah lumpuh total, dan petinggi SS, yaitu Heinrich Himmler, telah berkhianat ke pihak sekutu.

Namun, apakah deklarasi kapitulasi Nazi Jerman kepada pihak sekutu oleh Doenitz secara otomatis mengakhiri eksistensi ideologi Nazi? Ternyata jawabannya adalah tidak. Mengapa demikian? Mari kita diskusikan!

Selayang pandang Fasisme: Mimpi Mussolini membangkitkan kembali imperium Romawi dan Pergerakan di bawah tanah.

Fasisme merupakan sebuah paham politik yang menjunjung kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara. Pada awalnya, Mussolini mengembangkan ideologi ini dalam rangka merestorasi kembali kekaisaran Romawi. Sebenarnya, fasisme sama sekali tidak ada hubungannya dengan anti-semitisme. Hanya saja, Adolf Hitler lah yang memasukkan unsur anti-semit pada fasisme. Kebencian Hitler terhadap Yahudi dan Freemasonry dapat dibaca di buku karangan dia: 'Mein Kampf' (Perang/Perjuangan saya)

Satu hal yang harus dicatat, dalam puncak kejayaan Nazi Jerman, ideologi fasisme memiliki pengikut diseluruh dunia. Selain Jepang dan Italia (Yang adalah sekutu Nazi Jerman), negara-negara Eropa dibawah pendudukan Nazi Jerman pun juga memiliki banyak sekali pengikut. Rezim-rezim boneka Nazi Jerman di Eropa timur, contohnya di Hungaria, yang dipimpin Ferenc Szálasi dari partai salib panah, dan di Rumania, yang dipimpin oleh Ion Antonescu, adalah pengikut fanatik dari ideologi Nazi. Laksamana Petit Petain dari Perancis, yang memimpin Rezim Vichy boneka Nazi, juga adalah kolaborator Nazi Jerman. Jendral Fransisco Franco dari Spanyol pun juga bekerja sama dengan Nazi Jerman. Di saat itu pula, di Amerika Latin (Argentina contohnya), ideologi fasis juga memperoleh tempat berkembang. Setelah keruntuhan Nazi Jerman, maka Nazi menjadi partai terlarang di Jerman. Namun, mereka tetap bergerak dibawah tanah.

Pada tahun 1960-an, secara mengejutkan beberapa mantan anggota Nazi berhasil memperoleh posisi di pemerintahan Jerman (barat). Kanselir Jerman (barat) saat itu, Kurt Georg Kiesinger, adalah mantan anggota Nazi. Partai Nasionalis Demokratis Jerman (NPD), yang merupakan 'inkarnasi' dari Nazi, itupun dibentuk di saat yang sama. Dua hal itu, dan berbagai faktor lain, menyebabkan meletusnya demonstrasi mahasiswa, yang sering dinamakan '68er-Bewegung'(gerakan tahun 1968). Ini adalah bukti bahwa Nazi sama sekali tidak mati, dan masih hidup. Hanya, bagaimana dia hidup, itu yang akan dikaji selanjutnya.

Nazi di Jerman dan Eropa jaman sekarang: Dibonsai di Jerman, namun memperoleh banyak pengikut di luar Jerman.

Adapun, walaupun NPD memperoleh pengikut dalam jumlah signifikan di Jerman, dan bahkan memperoleh kursi di parlemen beberapa negara bagian, tapi NPD tidak pernah menjadi partai besar. Ada semacam konsensus informal diantara partai-partai lain (CDU/CSU, SPD, FDP, Gruene, Linke), bahwa NPD adalah partai yang harus diisolasi dan dibonsai. Konsensus itu adalah, apapun inisiatif yang dibawa NPD ke Parlemen negara bagian (atau di forum politik apapun), inisiatif itu harus diblok oleh partai-partai lain. Demonstrasi xenofobia yang sesekali suka diadakan NPD pun selalu diblok oleh massa yang jauh lebih besar dari partai-partai lain. Kondisi ini menyebabkan ideologi Nazi harus mencari tempat dan kondisi lain untuk berkembang. Adapun, walaupun jaringan kerjanya belum sepenuhnya diketahui, mereka berhasil 'menancapkan' kukunya kembali diluar Jerman.

Akhir-akhir ini (2009 dan 2010), ada tiga event sangat penting bagi indikator kebangkitan kembali ideologi Nazi. Walaupun tiga indikator ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu kepastian mutlak bahwa Nazi akan berkuasa kembali, namun mereka patut dicermati. Pertama, Di akhir November 2009, Rakyat Swiss memutuskan dalam referendum, bahwa pembangunan Minaret dilarang. Inisiator referendum ini adalah partai rakyat swiss yang berhalauan fasis. Kedua, adalah diterbitkannya buku Thilo Sarrazin (Gambar 1) , anggota dewan direktur bundesbank (Bank Sentral Jerman), yang mengkritisi kaum muslimin dan yahudi . Ketiga, dan ini yang sangat menghebohkan seluruh dunia, adalah keberhasilan Geert Wilders (Gambar 2) dan partai fasisnya, yaitu PVV ('Partij Voor de Vrijheid'/Partai untuk Kebebasan), dalam memperoleh posisi ketiga dalam pemilu Belanda. Keberhasilan Wilders adalah kejutan, sebab dia terkenal dengan statemen anti-Islam dan anti-imigran timur tengahnya yang penuh kebencian.

Adapun, ketiga event ini disikapi sangat berbeda oleh ketiga negara tersebut. Thilo Sarrazin dicela, dihujat dan dikritisi habis-habisan di Jerman oleh publik ataupun oleh politisi, walaupun bukunya menjadi best seller. Sementara, tanggapan rakyat/pemerintah Swiss dan Belanda terhadap kebangkitan ideologi Nazi tersebut (Yang jelas lebih nyata manifestasinya daripada sekedar buku best seller) cenderung dingin dan membiarkan.

Ironis memang. Di Jerman, yang dulu negerinya Nazi dan Hitler, Thilo Sarrazin akhirnya dicopot dari jabatannya di dewan direktur bundesbank, dan akan di pecat dari partainya (SPD). Itu hanya gara-gara dia menulis buku 'Deutschland schaff sich ab' (Membubarkan Jerman), yang secara sangat halus mengkritisi kaum muslim (juga yahudi). Dalam bukunya, Sarrazin mengeluhkan kegagalan imigran Turki dalam berintegrasi dengan masyarakat Jerman, dan menyajikan teori bahwa 'Orang Yahudi memiliki Gen tertentu'. Selain kecaman dari komunitas Turki dan Arab, Sarrazin pun juga dikecam oleh kongregasi Yahudi Jerman atas pendapat 'nyeleneh'nya itu.

Hal ini berbeda dengan Wilders dan rekan-rekannya dari Negara Eropa lain, yang justru makin populer. Sementara publik Swiss juga terkesan acuh tak acuh dengan soal pelarangan minaret. Adapun, partai 'populis kanan' berhalauan fasis di Swedia, dibawah pimpinan Jimmie Aekesson, dan Perancis dibawah pimpinan Marine Le Pen juga semakin populer. Di negara eropa lain, seperti Italia dan Hungaria, bahkan sekarang ini partai populis kanan sudah bergabung dalam pemerintahan.

Geert Wilders: Retorika Membela Demokrasi, namun mengkhawatirkan 'ancaman Islam'

Di Belanda, 'rekan' Sarrazin, yaitu Wilders, yang lebih blak-blakan daripada Sarrazin, justru makin berkibar. Wilders bahkan sudah secara terbuka menyatakan dalam sebuah wawancara, yang direkam oleh situs web 'Radio Nederland Wereldomroep', bahwa orang Indonesia sebaiknya dilarang tinggal di Belanda, karena Indonesia adalah negara muslim.

Wilders selalu konsisten dalam setiap pidatonya, dengan retorika 'Membela kebebasan' dan 'Hentikan Islam'. Wilders juga selalu menyatakan, bahwa ideologi yang dibawakan partainya sama sekali bukan fasisme, walaupun klaim ini selalu diragukan musuh politiknya di sayap kiri. Wilders selalu menyatakan, bahwa dia selalu membedakan apa yang disebut sebagai 'muslim' dan 'fundamentalisme Islam'. Menurut dia, sasaran 'tembak' partai dia adalah 'fundamentalisme Islam' dan bukan Islam moderat. Namun, retorika pemisahan Islam moderat dan fundamentalis ala Wilders ini juga patut dipertanyakan. Retorika ini tidak jauh berbeda dengan Hitler, yang pada tahun 1939 menandatangani perjanjian 'tidak saling menyerang' dengan Uni Soviet dan bahkan pernah mengunjungi Stalin, namun dua tahun kemudian (1941), Uni Soviet diinvasi dengan kekuatan penuh oleh Nazi Jerman. Hal ini membuktikan bahwa seorang fasis dapat dengan mudah membalik perkataannya sendiri.

Sewaktu Nazi berkuasa, tidak hanya apa yang disebut 'yahudi fundamentalis' saja yang dimasukkan ke kamp konsentrasi, namun juga yahudi-yahudi moderat/sekuler, yang sudah sangat berintegrasi dengan masyarakat Jerman. Menilik kasus pembantaian yahudi moderat/sekuler di jaman Nazi, maka tidak ada jaminan kalau Wilders berkuasa, bahwa muslim moderat akan dia akomodasi juga aspirasinya. 'Final solution' jelas merupakan hal yang terlalu jauh, namun juga tidak ada jaminan jika Wilders berkuasa, maka kaum muslimin tidak akan menjadi warga negara kelas dua di Belanda (ataupun di Eropa, jika kolega populis kanan dia di negara lain berkuasa juga).

Duta Besar Indonesia untuk Belanda, J.E Habibie, dalam wawancara dengan detik.com sangat mengkhawatirkan popularitas Geert Wilders, yang terang-terangan menurut dia sangat mengganggu hubungan antara Indonesia dan Belanda. Wilders sendiri adalah seorang orator ulung, dan seperti layaknya kaum terdidik Belanda, Bahasa Inggris dia sangatlah bagus. Hal itu juga membuat dia menjadi sangat terkenal di luar Belanda. Dalam acara 'BBC Hardtalk', yang merupakan forum debat sangat bergensi, Wilders berhasil menangkis 'serangan-serangan' dari Stephen Sackur, sang Anchor dan mendapat banyak simpati atas kepiawaiannya berdebat. Selain kefasihan Bahasa Inggris, Wilders juga pandai menggunakan retorika yang biasa digunakan kelompok kiri, seperti 'kebebasan beragama', dan 'hak-hak kaum gay', untuk membungkus ideologi fasisnya. Tidak heran banyak pihak yang tidak menyadari agenda tersembunyinya, karena semua terbungkus oleh retorika kiri.

Kabar terakhir, mantan politisi CDU, René Stadtkewitz (Gambar 3), yang mendirikan partai populis kanan baru 'Die Freiheit' (Nama partainya sama dengan PVVnya Wilders), mengundang Geert Wilders ke sebuah pertemuan rahasia di Berlin. Tema pertemuan tersebut adalah 'ancaman Islam'. Manuver Stadtkewitz ini adalah bukti bahwa Nazi memang belum mati di Jerman, walau kerahasiaan pertemuan itu menandakan bahwa mereka bergerak dengan sangat hati-hati di Jerman, untuk hindari ancaman kelompok kiri yang jauh lebih kuat.

Benarkah Jerman lebih toleran daripada negara Eropa lain ?

Menurut der Spiegel, ada dua faktor yang menyebabkan Jerman itu 'tampak' lebih toleran dan menjaga jarak dengan ideologi Nazi.

Pertama , perang dunia II. Karena trauma jaman Nazi, semua anak dari usia sekolah sudah diajarkan bahwa nazi itu buruk. Karena itu, sebenci-bencinya orang Jerman dengan islam dan yahudi/freemasonry, 'melangkah' ke ideologi nazi adalah tabu.

Kedua , Partai yang berkuasa (Kristen Demokrat/CDU) mengakomodasi politisi sayap kanan, dalam rangka ' menjinakkan' mereka. Karena politik domestifikasi itu, para politisi sayap kanan tidak berminat lagi gabung ke NPD/nazi, karena kepentingan mereka sudah diakomodasi. Keputusan pemerintah sekarang yg tetap menolak Turki gabung ke Uni Eropa, disinyalir karena 'ulah' mereka. Namun, penolakan tersebut sama sekali tidak mempengaruhi hubungan baik Jerman-Turki secara umum.

Ada dugaan (walau belum ada bukti), karena Sarrazin dan pengikutnya diblok oleh partai dan sistim yg berkuasa, mereka mengekspor ideologi nazi keluar jerman. Sama seperti partai komunis, yang dulu punya komintern, sebagai wadah unt menyebarkan ideologi komunis ke seluruh dunia, fasisme pun (diduga) juga memiliki wadah yg serupa komintern. Nazi memang tidak pernah mati di Jerman, karena bagaimanapun org Jerman terkenal sangat nasionalis.

Namun, mengapa Jerman terkesan lebih toleran, atau paling tidak membiarkan keberadaan kaum muslimin di negerinya?

Faktor ketiga yang juga berpengaruh, menurut informasi dari Bung Ario Laksamana (Frankfurt), hal itu tidak jauh-jauh dari kerjasama Turki-Jerman, yang sudah berlangsung dari jaman kerajaan Prusia dan Kesultanan Turki Usmani. Sebuah kerja sama yang berlangsung selama ratusan tahun sebagai partner yang setara/sejajar. Turki dan Jerman punya sejarah kerja sama yg panjang. Sewaktu Turki menang dalam pertempuran Gallipoli (PD I) melawan Inggris, instruktur militer Jerman yang banyak membantu Turki. Jerman pula yang membantu membangun jaringan rel kereta api pertama di Turki (membuat hub bagi jalur orient express), dan membantu modernisasi angkatan perang Turki menjadi setara negara-negara eropa lain. Sewaktu Jerman hancur lebur pasca PD II, para pekerja dari Turki yang bekerja keras untuk membantu membangun Jerman kembali. Interaksi setara dengan Turki inilah yang lebih memperkenalkan ke Jerman, Islam itu bagaimana.

Faktor trauma di perang dunia II, domestifikasi ideologi Nazi, dan kerja sama setara dengan negara Islam itulah yang jelas absen pada kasus Swiss, Swedia, Perancis dan Belanda. Namun sukar menjadikan tiga hal ini sebagai parameter untuk kebangkitan ideologi Nazi di luar Jerman, sebab Inggris (dan dominionnya seperti Kanada, Australia, dan Selandia baru) misalnya, yang juga absen dengan tiga faktor itu, ternyata ideologi Nazi tetaplah kurang populer disana. Demikian juga di Amerika Serikat, yang tiga faktor itu sama-sama absen. Mengapa di negara-negara Anglo-Saxon (English-speaking) ideologi Nazi kurang populer, memang harus dikaji lebih lanjut.

Namun, kebangkitan ideologi Nazi di luar Jerman ini bukan berarti bahwa negara-negara tersebut menjadi kurang aman bagi orang Indonesia. Sejauh ini, kondisi pelajar dan pekerja warga kita di Swiss, Belanda, atau negara Eropa lain pada umumnya baik-baik saja. Menurut Bhayu Prasetya Turker (Eindhoven), kondisi mahasiswa kita di Belanda dalam keadaan baik, dan tidak terlalu mengkhawatirkan retorika Wilders, sebab ketergantungan Belanda-Indonesia sudah terlalu kuat dalam segala bidang. Orang Belanda yang simpatisan Indonesia jumlahnya sangat banyak, dan mereka kekuatan politik yang harus diperhitungkan juga.

Menghadang Fasisme Eropa di Masa Depan: Integrasi dan Harapan pada Kelompok Kiri

Ada tiga hal yang perlu dicatat dalam kajian kali ini, untuk refleksi kedepan. 

Pertama, Walaupun Jerman terkesan lebih toleran dan lebih anti fasis dibanding negara-negara eropa (daratan) lain, toleransi itu pun juga memiliki syarat yang (cukup) mutlak. Penguasaan Bahasa (dan juga budaya) Jerman adalah kewajiban mutlak supaya kita bisa adaptif dan eksis dikehidupan sehari-hari. Memahami 'Weltanschaung' (Philosophy of life) Bangsa Jerman adalah kewajiban absolut untuk 'menghirup' toleransi dari mereka. Sangat berbeda dengan Belanda, misalnya, yang justru sangat menghargai pendatang yang bisa berbahasa Inggris dengan baik, dan tidak 'memaksa' orang asing untuk memahami adat istiadat mereka. Jika membaca kisah hidup Muhammad Iqbal, filusuf Pakistan yang pernah studi di Jerman (Di Muenchen dan Heidelberg) dan lama tinggal disana, dia bisa bertahan hidup di negara itu, karena pemahaman dia yang luar biasa atas 'weltanscahung' tersebut. 'Integration' atau integrasi, adalah istilah yang sering digunakan orang Jerman dalam rangka mengintegrasikan pendatang kedalam masyarakatnya. Penolakan untuk berintegrasi, tak sering bisa berakibat fatal bagi karir dan kehidupan seorang 'auslander' (orang asing). Tak terhitung sekian banyak imigran Turki, yang akhirnya kembali lagi ke negaranya, karena masalah 'integration' ini. Bagaimanapun, 'gap' antara kultur Jerman dan asia (Indonesia dalam contoh ini), memang sangatlah lebar pemisahnya.

Kedua, Bagaimanapun, walaupun ideologi Nazi berasal dari Jerman, namun filusuf sosial yang paling terkenal di dunia, yaitu Karl Marx, juga berasal dari Jerman. Sepanjang sejarah, Marxisme selalu memperoleh pengikut di Jerman dan merupakan ideologi yang sangat konsisten dalam melawan fasisme. Walaupun Marxisme jaman sekarang sudah meninggalkan ideologi 'kaku' dan represif ala Soviet-Stalinis, namun partai-partai sayap kiri di Jerman masih memiliki faksi sosialis-komunis. 'Die Linke' adalah partai yang banyak mengakomodasi faksi komunis, dan ini adalah partai besar di Jerman. Jangan lupa juga, bahwa Jerman (Timur) selama 40 tahun berada dalam pendudukan Soviet, dan sedikit banyak hal ini masih berpengaruh pada penduduknya. Dalam wawancara terakhirnya, Angela Merkel (Yang berasal dari Timur) mengakui bahwa pola hidup ala Timur masih mempengaruhi dirinya. Di partai berhalauan kiri yang besar, seperti Gruene dan Linke, banyak imigran Turki atau muslim yang menjadi anggotanya dan bahkan ada yang menjadi anggota parlemen (Bundestag).

Contohnya, Cem Özdemir adalah orang Jerman-Turki pertama yang menjadi ketua umum Partai Hijau, dan pernah menjadi anggota parlemen Jerman (bundestag) dan parlemen Eropa. Bahkan di CDU yang konservatifpun, ada juga imigran Turki yang menjadi politisi disana, yaitu Aygül Özkan yang sekarang menjabat Menteri Sosial negara bagian Niedersachsen (Lower Saxony). Karena kuatnya lobi kelompok kiri, yang didukung oleh imigran Turki/muslim, maka fasisme menjadi dipersulit dalam berkembang di Jerman. Faktor historis, bahwa Karl Marx adalah warisan filsafat Jerman yang menjadi filsafat dunia, memang menjadi salah satu faktor kunci dalam menghadang fasisme. Marxisme adalah antitesis dari fasisme, dan menjadi 'kiri' selalu identik dengan 'gute ausbildung' (terdidik dengan baik). Partai berhalauan kiri pun juga memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan di Perancis, Belanda, ataupun negara Eropa lain.

Ketiga, sangat berbeda dengan Marxisme, Islam, dan Kapitalis-Liberalisme, Fasisme sama sekali tidak memiliki landasan teoritis yang kokoh untuk mempertahankan 'episteme'nya. Sepanjang sejarah, Marxisme, Islam, dan Kapitalis-Liberalisme memiliki intelektual dan filosof yang mampu menyajikan ideologi mereka secara rasional dan ilmiah, namun tidak demikian dengan fasisme. Tulisan-tulisan Karl Marx mengenai filsafat sosial, tidak pernah bisa ditandingi oleh seorang pemikir fasis. Demikian juga tulisan-tulisan Muhammand Iqbal mengenai revitalisasi Islam, kedalaman puitisnya pun tidak bisa diikuti oleh penulis fasis. Apalagi jika sudah melangkah lebih jauh kepada 'American Entrepreneurship', yang di industri IT dipioniri oleh Apple ataupun Microsoft, para pengusaha fasis pun tidak punya konsepsi entrepreneurship sama sekali (Itupun kalau pengusaha fasis bener-bener eksis).

Fasisme adalah ideologi tanpa 'episteme', sebab ini adalah murni ideologi yang berdasarkan kebencian. Dahulu, Hitler dengan Nazinya menjadikan Yahudi/Freemasonry sebagai 'kambing hitam' atas segala persoalan yang dihadapi oleh Jerman/Eropa, dan membangun sebuah 'teori konspirasi', dimana kelompok Yahudi ingin menguasai dunia. Wilders dengan PVVnya pun setali tiga uang, namun ia mengganti 'Yahudi/Freemasonry' dengan 'Islam'. Ketakutan Fasisme modern yang dipimpin Wilders dan kawan kawan akan 'ancaman Islam' adalah setali tiga uang dengan ketakutan Hitler dan Nazi dengan 'Konspirasi Yahudi'. Target kebencian bisa berbeda, namun rasa benci yang dipupuk adalah sama. Suatu manifestasi kebencian tidaklah pernah bisa ilmiah. Ketidak ilmiahan sebuah ideologi, jelas membuatnya sangat 'error prone'.

Terima kasih kepada Ario Laksamana (Frankfurt) dan Bhayu Prasetya Turker (Eindhoven) atas korespondensinya.

Share to Lintas BeritaShare to infoGueKaskus

No Response to "Fasisme di Eropa Zaman Sekarang: Jerman vis a vis Eropa"

Posting Komentar

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Promote Your Blog

Recent Posts

Recent Comments