Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
Para sejarawan tidak pernah melakukan penelitian tentang ini. Itulah ucapan pembawa acara dokumenter tentang anak-anak tentara Belanda yang ditugaskan di Indonesia dulu atau Hindia Belanda. Mereka disebut anak hasil cinta di zaman perang apa yang disebut dalam bahasa Belanda oorlogliefdeskind.
Dokumenter yang berjudul Tuan Papa itu ditayangkan oleh organisasi penyiaran VPRO. Dokumenter televisi selama hampir satu jam itu menampilkan kisah para tentara Belanda, perempuan Indonesia yang menjadi kekasih mereka dan anak-anak mereka.
Jumlah tentara Belanda yang ditugaskan ke Indonesia antara tahun 1946 sampai 1949 itu sekitar 130000 orang. Jan van den Brom, salah seorang tentara Belanda yang dikirim ke Indonesia, mengatakan sebenarnya banyak sekali teman-temannya yang “berpacaran” sama perempuan Indonesia.
Elsje Kauw, salah seorang perempuan Indonesia yang bersuami tentara Belanda, dengan tenang menjelaskan kisah cintanya. “Kami dikaruniahi anak perempuan: Marianne, ” katanya.
Tidak diakui
Di antara anak hasil cinta di zaman perang itu adalah Jan Denni. Ia menceritakan status dirinya dan kedudukan orang Indo yakni warga yang berdarah campur Indonesia Belanda/Eropa. “Pertama, saya tidak diakui oleh bapak saya. Kedua, tidak ada negara yang mengakui kami, ” tandasnya. Kami ini sebenarnya anak yang tidak disengaja. Per ongeluk, dalam bahasa Belandanya.
Banyak di antara tentara Belanda itu yang baru tahu bahwa mereka punya anak di Indonesia bertahun-tahun setelah mereka pulang ke Belanda. Tapi banyak pula yang sempat menggendong anaknya ketika masih bayi. Tapi kebanyakan terpaksa meninggalkan anak mereka ketika harus pulang ke Belanda dan kebanyakan menikah dengan perempuan Belanda.
Anak musuh
Baik si anak maupun sang ibu yang ditinggalkan di Indonesia nasib mereka terkatung-katung setelah tentara Belanda pulang ke Belanda. Mereka bukan hanya susah dari segi materiil tapi juga secara mental. Posisi mereka sulit di Indonesia. Bagi orang Indonesia mereka adalah “anak Belanda”, yang dianggap musuh.
Kehidupan mereka murat-marit. Sampai-sampai makan pun susah. Luwi Velleman, putera tentara Belanda yang bernama Velleman yang sudah pindah ke Australia, mengaku ia sempat menjadi pencuri untuk mencari makan. “Perut lapar. Susah” katanya hampir menangis.
Di antara anak-anak itu ada sudah bertemu dengan ayahnya, tapi ada yang belum dan malah tidak mau atau ragu untuk bertemu. “Saya takut kecewa, ” tandas Jan Denni.
“Saya berharap bisa ketemu walaupun cuma sebentar, ” kata Elly Hoetini Hoekstra, salah seorang anak tentara Belanda yang tetap tinggal di Indonesia.
Penderitaan
Penderitaan anak-anak hasil percintaan di zaman perang itu hampir sama. Mereka dianggap orang Belanda. Johnny bercerita, bahwa ibunya menyemir rambutnya yang pirang dengan semir sepatu hitam supaya tampak hitam, karena anak bule dianggap anak musuh di Indonesia.
Warga Belanda asal Indonesia atau lebih tepat warga berdarah campur Indonesia Eropa (Indo) menyambut baik dokumenter ini. Salah satunya adalah Frank Maasdam. Meski gembira, tapi ia menilai kedatangan dokumen ini sangat lambat. “Sebenarnya sangat menyedihkan, kita di Belanda baru setelah 60 tahun melihat dokumen tentang ini, ” tulisnya dalam email yang diedarkannya kepada para teman.
Sumber: http://www.divineperformance.com/
Dokumenter yang berjudul Tuan Papa itu ditayangkan oleh organisasi penyiaran VPRO. Dokumenter televisi selama hampir satu jam itu menampilkan kisah para tentara Belanda, perempuan Indonesia yang menjadi kekasih mereka dan anak-anak mereka.
Jumlah tentara Belanda yang ditugaskan ke Indonesia antara tahun 1946 sampai 1949 itu sekitar 130000 orang. Jan van den Brom, salah seorang tentara Belanda yang dikirim ke Indonesia, mengatakan sebenarnya banyak sekali teman-temannya yang “berpacaran” sama perempuan Indonesia.
Elsje Kauw, salah seorang perempuan Indonesia yang bersuami tentara Belanda, dengan tenang menjelaskan kisah cintanya. “Kami dikaruniahi anak perempuan: Marianne, ” katanya.
Tidak diakui
Di antara anak hasil cinta di zaman perang itu adalah Jan Denni. Ia menceritakan status dirinya dan kedudukan orang Indo yakni warga yang berdarah campur Indonesia Belanda/Eropa. “Pertama, saya tidak diakui oleh bapak saya. Kedua, tidak ada negara yang mengakui kami, ” tandasnya. Kami ini sebenarnya anak yang tidak disengaja. Per ongeluk, dalam bahasa Belandanya.
Banyak di antara tentara Belanda itu yang baru tahu bahwa mereka punya anak di Indonesia bertahun-tahun setelah mereka pulang ke Belanda. Tapi banyak pula yang sempat menggendong anaknya ketika masih bayi. Tapi kebanyakan terpaksa meninggalkan anak mereka ketika harus pulang ke Belanda dan kebanyakan menikah dengan perempuan Belanda.
Anak musuh
Baik si anak maupun sang ibu yang ditinggalkan di Indonesia nasib mereka terkatung-katung setelah tentara Belanda pulang ke Belanda. Mereka bukan hanya susah dari segi materiil tapi juga secara mental. Posisi mereka sulit di Indonesia. Bagi orang Indonesia mereka adalah “anak Belanda”, yang dianggap musuh.
Kehidupan mereka murat-marit. Sampai-sampai makan pun susah. Luwi Velleman, putera tentara Belanda yang bernama Velleman yang sudah pindah ke Australia, mengaku ia sempat menjadi pencuri untuk mencari makan. “Perut lapar. Susah” katanya hampir menangis.
Di antara anak-anak itu ada sudah bertemu dengan ayahnya, tapi ada yang belum dan malah tidak mau atau ragu untuk bertemu. “Saya takut kecewa, ” tandas Jan Denni.
“Saya berharap bisa ketemu walaupun cuma sebentar, ” kata Elly Hoetini Hoekstra, salah seorang anak tentara Belanda yang tetap tinggal di Indonesia.
Penderitaan
Penderitaan anak-anak hasil percintaan di zaman perang itu hampir sama. Mereka dianggap orang Belanda. Johnny bercerita, bahwa ibunya menyemir rambutnya yang pirang dengan semir sepatu hitam supaya tampak hitam, karena anak bule dianggap anak musuh di Indonesia.
Warga Belanda asal Indonesia atau lebih tepat warga berdarah campur Indonesia Eropa (Indo) menyambut baik dokumenter ini. Salah satunya adalah Frank Maasdam. Meski gembira, tapi ia menilai kedatangan dokumen ini sangat lambat. “Sebenarnya sangat menyedihkan, kita di Belanda baru setelah 60 tahun melihat dokumen tentang ini, ” tulisnya dalam email yang diedarkannya kepada para teman.
Sumber: http://www.divineperformance.com/
Artikel Lainnya:
No Response to "Anak Hasil Cinta Di Zaman Perang Di Indonesia"
Posting Komentar