Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Indonesia
Mereka meninggalkan pulau berbondong-bondong karena bencana alam dan perang, mencari lokasi permukiman baru.
Usai mengunjungi berbagai wilayah di Maluku pada 1679, Gubernur VOC di Kepulauan Maluku Robertus Padtbrugge mencatat kebiasaan berpindah tempat tinggal kelompok masyarakat di Maluku. Masa itu Maluku meliputi daerah penghasil cengkeh (Eugenia aromatica) yang terdiri dari Ternate, Tidore, Makian, Moti, dan Bacan. Ketidakpastian akan tempat tinggal yang permanen akibat bencana alam dan perang, menurut Padtbrugge, membuat mereka sering berpindah tempat.
Penduduk Pulau Makian, yang terletak di sebelah selatan Tidore, melakukan hal yang sama. Beberapa dokumentasi telah mencatat perpindahan penduduk Makian. W.Ph.Coolhaas menuliskan penduduk Makian Timur pindah ke Kasiruta di Bacan di awal abad ke-12 karena aktivitas gunung berapi Kie Besi. Robertus Lucardie dalam The Makianese, Preliminary Remarks on the Anthropological Study of a Migration Oriented People in the Moluccas menuliskan kebiasaan penduduk Makian berpindah tempat adalah upaya mereka menghindari letusan Kie Besi. Permukiman baru mereka adalah pulau-pulau di wilayah selatan-barat Halmahera, termasuk Obi dan Bacan.
Pola perpindahan komunitas Makian juga merefleksikan perkembangan hubungan antar komunitas Maluku. Leonard B Andaya dalam The World of Maluku menggambarkan dualisme kepemimpinan Ternate dan Tidore sebagai Pusat (Center) dan wilayah yang mengakui salah satu kepemimpinan mereka sebagai Pinggir (Periphery). Pusat menjamin perlindungan dan kemakmuran bagi komunitas Pinggir, sementara komunitas Pinggir memberikan kesetiaan kepada Pusat. Hubungan ini saling menguntungkan dan menjadi penopang “kesatuan” Maluku.
Kedatangan kongsi dagang Eropa di Maluku pada abad ke-15 untuk mendominasi perdagangan rempah-rempah, khususnya cengkeh, dan perjanjian dagang yang terjalin dengan penguasa setempat mempengaruhi tatanan serta relasi antara Pusat dan Pinggir. Ditambah lagi dengan perebutan wilayah kekuasaan antara Kesultanan Ternate dan Tidore.
Pulau Makian sering menjadi ajang perebutan ini. Salah satu faktornya, daya tarik Pulau Makian yang sejak abad ke-14 merupakan daerah penghasil cengkeh terbaik dan pelabuhan perdagangan rempah-rempah Maluku.
Pada 1606, dengan dukungan Kesultanan Tidore, Spanyol menaklukkan Kesultanan Ternate. Pulau Makian diberikan kepada otoritas Tidore, termasuk delapan desa yang sebelumnya direbut Ternate. Ternate berusaha merebut kembali dan baru bisa mewujudkannya, dengan bantuan Belanda, pada 1648. Dan untuk meningkatkan jumlah penduduk di Ternate, Sultan Mandar Syah mengikuti jejak ayahnya, Sultan Hamzah, dengan memindahkan penduduk komunitas yang mengabdi kepadanya ke Ternate, termasuk komunitas Moti di Makian.
Kerjasama perdagangan rempah-rempah mengubah relasi Sultan Ternate dengan para bobato (pejabat/bangsawan) dalam wilayah kekuasaannya, termasuk Makian. Pada 31 Januari 1652, Sultan Ternate Mandar Syah dan VOC menandatangani perjanjian mengenai pembatasan perdagangan cengkeh dan juga izin bagi VOC untuk menebang pohon cengkeh di wilayah Ternate. Bahkan kemudian VOC meminta pelarangan penanaman cengkeh. Sebagai imbalan, kesultanan yang kooperatif memperoleh kompensasi ekonomi dan dukungan politik VOC. Akibatnya, ketergantungan ekonomi dan politik bobato terhadap Ternate kian meningkat. Para bobato, yang dulu memiliki penghasilan melalui penjualan cengkeh dalam wilayahnya, kini harus berusaha menjaga kedekatan dengan Sultan untuk memperoleh bagian kompensasinya, yang juga menentukan otoritas politik mereka.
Hubungan Ternate dan Makian merenggang pada masa pemerintahan Sultan Sibori Amsterdam (1675-1690). Terutama ketika Kapita Laut Reti dari Makian, yang berambisi memimpin Makian secara independen, dianggap sebagai ancaman bagi Sibori Amsterdam. Untuk menghalangi ambisi Reti, Sibori Amsterdam menahan uang kompensasi cengkeh Makian dan mendistribusikan sesuai kehendaknya. Karena tak puas, banyak penduduk Pulau Makian pindah ke Tidore –sebagian mengikuti Reti ke Toseho di Halmahera, sebagian lainnya ke Tidore.
Kekuasaan Sibori Amsterdam kian goyah setelah kegagalan serangan terhadap VOC pada 1680-1681. Setelah memohon pengampunan kepada VOC, Sultan Sibori kembali memerintah Ternate pada 1682. Tapi kekuasaannya sudah berkurang karena kerajaannya sudah menjadi vazal Belanda sesuai perjanjian yang ia tandatangani setahun kemudian.
Yang jadi keberatan Sibori Amsterdam justru perpindahan penduduk Makian ke Tidore. Laporan VOC mencatat, dari sekitar 5.197 penduduk Pulau Makian, 2.919 diperkirakan tewas akibat penyerangan Sibori terhadap VOC dan sebagian besar pindah ke Tidore. Menanggapi keberatan ini, Sultan Saifuddin dari Tidore menyatakan, adalah sebuah kebiasaan lama di Maluku yang membolehkan individu berpindah tempat tinggal. Ia menganggap perpindahan itu tak melanggar peraturan Belanda, yang melarang perpindahan penduduk bersama kepala desa untuk mencegah pengalihan loyalitas antar kesultanan.
Dengan alasan keamanan, Sibori Amsterdam meminta izin kepada Batavia untuk memindahkan sebagian penduduk yang masih bertahan ke empat desa, yakni Ngofakiaha, Ngofagita, Talapao, dan Tabalala.
Ketidakpuasan terhadap pimpinan Sultan Ternate dan perpindahan penduduk Makian ke Tidore kembali terulang di tahun 1742. Untuk mencegah semakin banyak penduduk yang pindah, VOC memutuskan untuk membayar kompensasi secara langsung kepada para bobato Makian tanpa melalui Sultan Ternate. Sejak 1745, para bobato menikmati perlakuan khusus VOC, yang menurut Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah, berdampak sebaliknya: memberikan keuntungan ekonomis bagi VOC.
Komunitas Makian kembali mengakui kepemimpinan Ternate di tahun 1752 setelah Sultan Ternate Ayan Syah mengambil langkah rekonsiliasi dengan para bobato Makian.
Menurut Andaya, dinamika perpindahan terkait erat dengan perkembangan relasi komunitas Makian dengan ‘dualisme’ Pusat antara Ternate dan Tidore, yang berubah sejak datangnya perdagangan rempah-rempah. Ketika Kesultanan Ternate tak lagi menguntungkan dan melindungi kepentingan komunitas, penduduk dan elemen pemerintahan Makian berpindah tempat tinggal untuk menata kembali relasi mereka dengan Ternate dan Tidore. Dalam beberapa situasi, Kesultanan Ternate dan VOC membatasi perpindahan, bahkan mengaturnya, agar kestabilan relasi tetap terjaga.
Terakhir, pada 1975, meningkatnya aktivitas gunung api Kie Besi membuat pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan migrasi penduduk 16 desa di Pulau Makian ke wilayah Kao di Halmahera Utara. Lucardie dalam Spontaneous and planned movements among the Makianese of eastern Indonesia menyarankan agar program migrasi memperhatikan tradisi perpindahan masyarakat Makian, termasuk memilih sendiri daerah baru untuk permukiman mereka. Lokasi ini kelak menjadi kecamatan Malifut dalam pemekaran wilayah tahun 1999, yang kemudian dianggap sebagai salah satu penyebab konflik Maluku Utara. [MIRA RENATA/KONTRIBUTOR]
Sumber: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia
Artikel Lainnya:
No Response to "Pindah Pulau Karena Bencana Alam dan Perang"
Posting Komentar