Posted by Rifan Syambodo
Categories:
Label:
Fakta Perang
,
Perang di Indonesia
Ia lahir bersamaan kemunculan magnum opus Hegel. Ia meninggal dalam usia sangat muda di Yogyakarta begitu Perang Jawa berakhir.
Pada 14 Oktober 1806, Napoleon menyerbu dan mengalahkan tentara Prusia di Jena, sebuah kota di Thuringen, Jerman. Georg Wilhelm Friedrich Hegel, kelak dianggap sebagai filsuf idealis terkemuka Jerman, lahir di kota Stuttgart pada 27 Agustus 1770, masih sempat merampungkan salah satu karya terbaiknya di malam menjelang Perang Jena pecah: Phenomenology of Mind –ada yang menulisnya Phenomenology of Spirit.
Tapi perang telah menghancurkan kota. Kampus juga sepi. Hegel, yang baru setahun menjabat profesor luar biasa di Universitas Jena, universitas terkemuka di Jerman, mengalami krisis keuangan. Saat inilah Hegel, yang bujangan, menjalin asmara terlarang dengan Charlotte Johanna Christiane Burkhardt, istri pemilik flat tempat Hegel tinggal, yang ditinggal suaminya. Burkhardt berusia delapan tahun lebih muda dari Hegel. Dari hubungan itu lahirlah seorang anak yang diberi nama Ludwig.
Menurut Terry Pinkard dalam Hegel: A Biography, Burkhardt melahirkan Ludwig pada 5 Februari 1807. Kelahiran Ludwig kian memperberat beban Hegel, yang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja sudah kepayahan. Tak berdaya, Hegel memutuskan pindah ke Bamberg, meninggalkan anak dan kekasihnya, yang konon akan ia nikahi setelah suaminya meninggal. Hegel mewalikan Ludwig ke Friederich Frommann, seorang penerbit terkenal di Jena sekaligus teman baiknya.
“Hegel melarikan diri dari sebuah situasi personal yang tak mengenakkan di Jena. Kelahiran Ludwig tak diragukan lagi adalah salah satu alasan timbulnya keinginan pindah di kepala Hegel,” tulis Pinkard.
Ludwig kemudian dibaptis dengan nama Georg Ludwig Friederich Fischer. Fischer diambil dari nama ayah Burkhardt (Johann Christian Fischer), sementara lainnya dari dua bapak baptisnya: Friederich Frommann dan Georg Ludwig Hegel, adik Hegel yang seorang letnan di Resimen Royal Crown Prince of Wurttemberg. Dua nama bapak baptis itu tercatat dalam sertifikat baptisnya, disertai sebuah pernyataan bahwa Ludwig Fischer adalah anak haram ketiga dari Burkhardt dan bahwa Burkhardt adalah seorang istri yang ditinggalkan.
Hegel sendiri memanggil Ludwig dengan sebuah nama Prancis, Louis, seolah-olah ingin membuat jarak psikologis dari realitas keberadaan anaknya.
Keputusan Hegel meninggalkan anak dan kekasihnya bukan tanpa sesal. Dalam sebuah surat kepada Frommann pada Juli 1808, ia menulis tentang Burkhardt: “Aku terus-menerus menyesal karena hingga saat ini aku tak mampu menariknya dari kondisinya sekarang. Padahal ia ibu dari anakku, dan karenanya punya hak untuk memintaku menjalankan kewajibanku. Aku berutang budi padamu karena telah membantuku untuk urusan ini.” Dalam surat itu Hegel juga menyebut soal pinjaman uang untuk membiayai Ludwig Fischer.
Dari surat itu, seperti isi surat Hegel lainnya, Hegel begitu menyayangi Ludwig, anaknya. Hubungan ayah-anak ini begitu canggung, antara benci tapi rindu.
Pada 1811, tanpa sebab Burkhardt memberikan Ludwig Fishcer kepada adik ipar Friederich Frommann, yang saat itu membangun panti asuhan. Kondisi hidup Burkhardt mungkin jadi alasannya. Pada tahun yang sama, Hegel menikahi Maria (Marie) Helena Susanna von Tucher, putri sulung Senator dan walikota Nürnberg, Jobst Wilhelm Freiherr Karl von Tucher. Dari perkawinan ini Hegel memiliki seorang anak perempuan, yang meninggal tak lama setelah lahir, dan dua anak lelaki: Friedrich Wilhelm Karl dan Thomas Kristen Immanuel.
Hegel menerima tawaran mengajar di Heidelberg pada 1816. Sebelum berangkat ke Heidelberg, Hegel dan istrinya membuat keputusan yang sulit. Dalam sebuah surat kepada Frommann tanggal 20 Juli 1816, Hegel menulis: “Istri saya dan saya bertekad membawa Ludwig memasuki keluarga kami.”
Ludwig, yang berusia sepuluh tahun, mulai memasuki keluarga baru. Ia berharap mendapatkan kehangatan dan kasih sayang. Ia bahkan tak mau menyebut Maria Helena sebagai ibu tiri. Tapi ia kecewa. Ia mengalami degradasi, selalu hidup dalam ketakutan, dan tak pernah bisa mencintai orangtuanya. Ia jadi tak nyaman, tertutup, dan pemalu. Karenanya Hegel memutuskan agar dia meninggalkan rumah untuk belajar ilmu perdagangan di Stuttgart. Kebetulan istri Hegel punya kerabat di sana. Tapi Ludwig bikin masalah di sana, mencuri uang. Hegel akhirnya menyerahkan Ludwig ke seorang opsir di tentara kolonial Belanda.
Ludwig tinggal di Amsterdam, Belanda, lalu setelah cukup lama ia memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai tentara yang akan dikirim ke Hindia Timur untuk jangka waktu enam tahun. “Aku akan selesai 24 Juni 1831… tapi siapa yang tahu dalam perang tanpa akhir di sana, di mana aku akan melalui pertempuran demi pertempuran, mungkin terkena peluru musuh, atau penyakit menular, demam, dan lain-lain,” tulis Ludwig dalam suratnya kepada Ludwig Fischer Ebert tertanggal 11 Juli 1825.
Dalam surat itu, Ludwig juga menulis soal kekurangan uang untuk bekal perjalanannya, sehingga dia harus menjual jam tangan. “Mr Hegel takkan membiarkan saya mengambil semua pakaian saya, apalagi buku.”
Pada 29 Agustus 1825, dari Ostende, Belgia, Ludwig berangkat dengan Kapal “Diana” yang dikomandoi Kapten Meulenbroek. Ia tiba di Batavia pada 26 Januari 1826 dan terdaftar pada pasukan Infantri ke-18.
Bisa jadi, Ludwig ditugaskan dalam Perang Jawa, salah satu perang terbesar dan termahal bagi Belanda, untuk menghadapi perlawanan seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Pasukan Diponegoro memanfaatkan alam untuk menghadapi Belanda. Mereka sering melancarkan serangan hebat di musim penghujan, yang menghambat gerak pasukan Belanda. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh tak tampak” yang melemahkan moral dan fisik, bahkan merenggut nyawa, pasukan Belanda. Ludwig menjadi salah satu korbannya. Ia meninggal dunia di Yogyakarta akibat demam imflamatori, tak lama setelah perang usai dan ia dipindahkan ke Kesatuan Perintis.
Kematian Ludwig tercatat dalam Departemen Pencatatan Hindia Belanda, Daftar Kematian, Folio 44. Sertifikat itu berbunyi: “Fischer, Lodewijk, berusia 24 tahun, lahir di provinsi Jena …., terakhir bekerja sebagai juru mudi di Subdivisi 2 Infantri, meninggal pada 28 Agustus 1831 di Yogyakarta, akibat demam imflamatori.”
Berita kematian Ludwig tak pernah sampai ke telinga Hegel. Pada 14 November 1831, hanya beberapa bulan setelah kematian Ludwig, Hegel meninggal dunia di usia 61 tahun. [HENDRI F. ISNAENI]
Sumber: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia
Artikel Lainnya:
No Response to "Anak Hegel Perang di Tanah Jawa"
Posting Komentar